oleh peran semboyan jargon-jargon persaudaraan dan federasi dunia brotherhood of man, and the federation of the world.
5.5 Interpretasi Sebagai Ciri Khas dalam Pendekatan Romantik
Dalam bahasan studi sastra, terutama dalam kesusastraan Inggris, terdapat suatu cara untuk mempelajari makna yang dapat ditafsirkan secara ekstrinsik. Salah
satu cara yang digunakan dalam mengungkap fakta di balik karya sastra adalah dengan cara mengkaji sebab-akibat karya sastra tersebut dihasilkan. Wellek dan
Warren 1977 menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, jika kita menelusuri asal usul karya sastra tersebut dihasilkan, maka kita dapat menjelaskan tentang kausal
konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat yang digambarkannya. Dalam Kesustraan Inggris, khususnya Kesusastraan Romantik, terkandung
keadaan sosial-politik masyarakat yang berusaha diceritakan kepada pembacanya, yang mana disampaikan dalam bentuk satir. Kemunculan pendekatan ekstrinsik itu
sendiri biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan erat dengan latar belakang pengarang seperti: biografi, psikologi, dan kehidupan sosial-nya. Senada
dengan hal tersebut, unsur kausal dalam karya sastra juga dapat terbentuk dari aktivitas kolektif dan semangat zaman-nya.
Jika dikaitkan dengan semangat zaman-nya, maka fakta sejarah dapat dianggap memegang peranan yang sangat penting dalam hal penerjemahan. Menurut
Mona Baker dan Kirsten Malmkjær dalam Routledge Encyclopedia of Translation
Universitas Sumatera Utara
Studies 2001 setelah teori penerjemahan versi linguistik yang cenderung baku mulai tergantikan, proses penerjemahan mulai bergeser fokusnya menjadi menyoroti
konteks yang berhubungan dengan ruang lingkup permasalahan kebudayaan, sejarah, dan sosiologi. Perkembangan konsep penerjemahan tersebut dimulai sejak
pertengahan abad ke-20 di Eropa, dan berkembang pesat pada tahun 1980an. Pada era tersebut penerjemah sudah mulai menerjemahkan fakta sejarah berdasarkan disiplin
ilmu yang dikuasainya, yakni filsafat ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, dijelaskan sbb: “The history of translation can focus on practice or theory, or both.
A history of the practice of translation deals with such questions as what has been translated, by whom, under what circumstances, and
in what social or political context. History of theory, or discourse on translation, deals with the following kinds of questions: what
translators have had to say about their artcraftscience; how translations have been evaluated at different periods; what kinds of
recommendations translators have made, or how translation has been taught; and how this discourse is related to other discourses of
the same period” Baker, 2001: 101. “Sejarah penerjemahan dapat berfokus pada kegiatan atau teorinya,
ataupun terhadap keduanya. Penerjemahan sejarah sebagai kegiatan yakni meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti hal apa yang sudah
diterjemahkan, oleh siapa, dalam keadaan apa, dan dalam konteks sosial atau politik apa. Penerjemahan sejarah sebagai teori, atau
diskursus penerjemahan, berfokus pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apa yang akan disampaikan penerjemah
berdasarkan senikeahlianilmu yang dikuasainya; bagaimana terjemahan-terjemahan tersebut diperiksa dalam kurun waktu yang
berbeda; rekomendasi apa yang telah dilakukan oleh penerjemah, atau bagaimana jenis penerjemahan yang diajarkannya; dan
bagaimana diskursus tersebut berkaitan dengan diskursus-diskursus lain dalam kurun waktu yang sama” Baker, 2001: 101.
Era Romantisme yang dimulai pada awal abad ke-19 adalah suatu isyarat pembaruan dalam dunia terjemahan. Sumber teks mulai diinterpretasi atau ditafsirkan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan fakta sejarah dan permasalahan sosial politik dalam kehidupan bermasyarakat yang diamati. Tokoh yang mempelopori gaya penerjemahan tersebut
adalah Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher 1768-1834, yang mana merupakan seorang pakar teologi berkebangsaan Jerman, yang terkenal dengan kritiknya
terhadap era pencerahan versi kaum gereja protestan ortodox. Salah satu hal yang menjadi pemicu terjadinya revolusi dalam penerjemahan jenis ini dikarenakan adanya
makna tersembunyi dalam teks yang berusaha menyuarakan beberapa ‘kepentingan’. Kepentingan-kepentingan tersebut biasanya berkaitan erat dengan konteks sosial-
politik dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini Munday 2001 menjelaskan sebagai berikut:
“..... the Romanticism of the early nineteenth century discussed the issues of translatability or untranslatability. In 1813, the German
theologian and translator Friedrich Schleiermacher wrote a highly influential treatise on translation, Uber die verschiedenen
Methoden des Ubersetzens ‘On the different methods of translating. Schleiermacher is recognized as the founder of modern
Protestant theology and of modern hermeneutics, a Romantic approach to interpretation based not on absolute truth but on the
individual’s inner feeling and understanding”. “..... Romantisme pada awal abad kesembilan belas membahas
tentang permasalahan yang dapat diterjemahkan, maupun yang tidak dapat diterjemahkan. Pada tahun 1813, seorang pakar teologi
dan penerjemah berkebangsaan Jerman Friedrich Schleimacher menuliskan risalah yang sangat berpengaruh tentang penerjemahan,
Uber die verschiedenen Methoden des Ubersetzens metode yang berbeda dalam penerjemahan. Schleiermacher dikenal sebagai
pelopor teologi Protestan moderen dan hermeneutika moderen, yakni sebuah pendekatan Romantik terhadap interpretasi yang tidak
berdasarkan kebenaran yang absolut melainkan perasaan dan pemahaman yang dimiliki oleh perorangan”.
Universitas Sumatera Utara
Kajian sastra, dalam sudut pandang postrukturalisme sangat berkaitan dengan suatu aktivitas interpretasi penafsiran. Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra,
pada awal dan akhirnya, berkaitan dengan karya sastra yang harus diinterpretasikan dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra Romantik pasti melibatkan peranan
konsep hermeneutika dan arketaipal. Oleh karena itu, kedua hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak dapat diabaikan.
Metode hermeneutika melakukan penafsiran terhadap bahasa melalui dua cara: yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis. Penafsiran gramatikal
adalah cara bagaimana orang menggunakan bahasa berdasarkan situasi di mana dan bagaimana bahasa itu digunakan. Sedangkan penafsiran psikologis adalah apa yang
dapat ditangkap dari makna yang terkandung dalam setiap pembahasan itu Bungin, 2007a. Dalam meneliti karya sastra, hermeneutika berusaha memahami makna sastra
yang terdapat di balik struktur. Lefevere 1977: 46-47 memandang bahwa terdapat tiga varian pokok
hermeneutika: 1 hermeneutika tradisionalRomantik; 2 hermeneutika dialektik; dan 3 hermeneutika ontologis. Perlu diketahui bahwa pada satu sisi, ketiga varian
tersebut mendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami verstehen. Namun di sisi lain, ketiganya
berbeda dalam menginterpretasikan verstehen-nya. Untuk memaparkan pembahasan dalam sub bab ini, peneliti melakukan pembatasan dengan cara menggunakan jenis
varian yang paling representatif, yakni hermeneutika tradisionalRomantik.
Universitas Sumatera Utara
Era Romantik ditandai dengan adanya suatu kritik ekspresif, yang mana kritik tersebut selanjutnya berkembang ke arah psikosastra. Ciri khas Kesusastraan
Romantik adalah adanya unsur luapan perasaan spontan dari pengarangnya. Dalam hal ini, maka sastra tidak lagi dipandang sebatas cerminan perilaku manusia. Pada era
tersebut, unsur utama sastra adalah ekspresi, luapan, atau ungkapan hati pengarangnya; yang mana merupakan hasil imajinasi pengarang dalam menjabarkan
pandangan, pemikiran, dan perasaannya. Dengan kata lain, Sastra Romantik berisi visi dan pemikiran individual si pengarang itu sendiri.
Lefevere 1997: 47 berpendapat bahwa proses versetehen mental dapat terjadi melalui suatu pemikiran yang aktif; yang mana merespons pesan dari pikiran
yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu. Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam fokus penafsirkan teks Romantik adalah pemahaman
pengalaman pengarang atau bersifat psikologis. Dilthey Lefevere, 1997 juga menegaskan bahwa ekspresi kehidupan batin atau makna peristiwa-peristiwa sejarah
banyak mewarnai penciptaan karya sastra Era Romantik. Sementara Pendekatan Arketaipal bertujuan untuk memahami hasil
perenungan nilai-nilai, ketidaksadaran kolektif, aspirasi, latar belakang kultural, sosial, dan historis yang disuarakan dalam karya sastra, terkait dengan keadaan
masyarakat yang diceritakannya. Dalam penggunaannya, arketipal menyikapi objek karya sastra sebagai bagian dari sastra secara menyeluruh. Arketaipal tersebut dapat
didefinisikan sebagai pencitraan, tokoh, desain naratif, tema, bahkan perlambangan mitologi yang bersifat esensial dan tipikal. Novel Mary Shelley Frankenstein
Universitas Sumatera Utara
menggunakan berbagai simbolisasi Arketaipal; yakni sosok pahlawan, monster, pencipta, penguasa, budak, dsb sebagai perlambangan kaum-kaum yang mendominasi
dan kaum yang terdominasi. Salah satu kelebihan dari pendekatan ini adalah mampu menjelaskan segi
menarik dari objek kajian, walaupun harus mengabaikan segi estetik objek bahasannya. Mengacu pada penjelasan C.G. Jung Hall dan Hurley, 1930: 68,
arketaipal diartikan sebagai pencitraan primordial atau residu psikis dari tipe-tipe pengalaman yang berulang pada kehidupan umat manusia generasi terdahulu, dan
tetap ada dalam ketidaksadaran kolektif collective unconscious manusia generasi sekarang. Dalam sudut pandang postrukturalisme, Arketaipal difungsikan bersamaan
dengan metode hermeneutika sebagai alat untuk memahami teks sebagai fakta sosial social facts dan bentuk komunikasi mode of communication.
Beberapa aspek yang seringkali dicari dalam karya sastra Romantik adalah pembuktian akan watak dan pengalaman-pengalaman pribadi pengarangnya baik
yang disadarinya maupun tidak. Lebih lanjut dijelaskan Eagleton 1983 bahwa ‘dunia’ karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt, yakni
kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek. Seperti yang kita ketahui, Era Romantik sarat dengan makna kontroversi dan
pemberontakan terhadap tirani pemerintahan pada masa Revolusi Industri. Peran Kesusastraan Romantik sangat lah besar dan berpengaruh bagi pembacanya.
Interpretasi dianggap sebagai faktor kunci untuk memahami secara jelas permasalahan yang digambarkan dalam Kesusastraan Romantik. Lebih lanjut,
Universitas Sumatera Utara
Lefevere 1997 menjelaskan bahwa penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek
tersebut kepadanya. Lebih jauh, Fashri Lefevere, 1997: 49 menjelaskan hermeneutika sebagai berikut.
...Pembicaraan mengenai hermeneutika akan menghadapkan kita pada problem hermeneutika yang syarat dengan bayang-bayang
relativisme pemahaman. Persoalan hermeneutika itu bersarang pada perbedaan antara maksud pengarang dan maksud teks, dunia waktu
dan tempat ketika teks itu ditulis dan dunia ketika teks itu dibaca. Apakah pemahaman kita terhadap teks harus sesuai dengan maksud
pengarang atau interpretasi kita terlepas dari maksud subyektif pengarang? Pada titik inilah hermeneutika menjadi perdebatan
klasik sekaligus menjadi inti persoalan hermeneutika the core of hermeneutics problem.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa hermeneutika di sini berperan sebagai pisau bedah untuk meneliti interpretasi
arketaipal yang disajikan dalam karya Sastra Romantik. Hasil dari interpretasi tersebut kemudian akan dilanjutkan kepada pencarian makna yang tersembunyi
hidden meanings, yakni mengenai tema-tema sosial-politik yang direpresentasikan oleh teks; yang sesungguhnya merupakan pengalaman pengarang, dan berkaitan
dengan latar belakang sosial dan psikologisnya. Hermeneutika sebagai sarana penafsiran kemudian dipadukan dengan pendekatan arketaipal ciri khas Kesusastraan
Romantik. Lebih lanjut mengenai hal tersebut dapat diuraikan, sbb:
Universitas Sumatera Utara
a. Biografi Pengarang dan Karya Sastra yang dihasilkannya
Jika dikaitkan dengan biografi pengarang dan karya sastra yang dihasilkannya, kita dapat melihat sudut pandang penulis mengenai latar belakang
penulisan karya sastra tersebut. Dalam hal ini, Shelley berusaha menyembunyikan pengalaman pribadi yang pernah dialaminya melalui interpretasi tokoh-tokoh sastra
yang diceritakannya secara subyektif, di mana terdapat kesamaan antara pengalaman tokoh fiksi dengan pengalaman nyata pengarangnya. Wellek dan Warren 1977
menjelaskan bahwa suatu karya sastra dapat membentuk kesamaan keadaan dengan pengalaman pengarang di kenyataan jika ditinjau dari biografinya. Sebagai salah satu
contoh, dalam Mary Shelley Frankenstein Shelley menyamakan pengalaman hidupnya dengan tokoh Victor Frankenstein, diuraikan dalam cerita, sbb:
”...my family is one of the most distinguished of that republic... my father had filled several public situations with honour and
reputation. He was respected by all who knew him for his integrity and indefatigable attention to public business” Shelley: 33.
”...orangtuaku adalah orang-orang yang disegani di republik tersebut... ayahku telah hadir dalam masyarakat dengan harga diri
dan reputasi. Ia dihormati semua orang yang mengenalnya karena integritas dan rasa perhatiannya yang tak kenal lelah dalam
mengatasi kepentingan orang banyak” Shelley: 33.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Shelley sebenarnya menceritakan tentang sosok orangtuanya. Ayahnya, William Godwin, merupakan tokoh filsuf
terkenal dan disegani pada abad ke-19. Godwin dihormati masyarakat karena banyak menghasilkan teori-teori yang mengatasi keadaan politik negara dalam karya-
karyanya seperti Enquiry Concerning Political Justice Shelley: xiv.
Universitas Sumatera Utara
b. Psikologi Pengarang dan Karya Sastra yang dihasilkannya
Psikologi pengarang dan karya sastra yang dihasilkannya dapat memiliki kesamaan. Dalam hal ini Shelley mewakilkan ’kegilaan’-nya dalam penokohan
Victor Frankenstein untuk menggambarkan ambisi dan derita psikologis yang dialaminya. Teori mengenai ’kegilaan’ sebagai penghasil karya sastra disampaikan
oleh Wellek dan Warren 1977: 93 bahwa psikologi itu sendiri merupakan penentu proses kreasi. Psikologi dianggap bersifat artistik jika melibatkan koherensi dan
kompleksitas—secara singkat, itu adalah sebuah seni. Lebih lanjut, Wellek dan Warren 1977 menyatakan bahwa keadaan psikologis yang tak logis pada hakikatnya
juga terdapat dalam jiwa manusia yang terdidik, namun makna yang ingin disampaikan akan terlihat lebih jelas berkat pencitraan pengarang terhadap karya
sastra yang dihasilkannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika dilakukan interpretasi dengan pendekatan ekspresif, maka kita dapat mengungkap jeritan hati
dan perasaan emosional pengarang yang disuarakan melalui tokoh yang digambarkannya.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY