para petani tersebut terpaksa harus memilih antara menjadi buruh pabrik di pabrik- pabrik milik kaum industrialis atau kehilangan harta benda sama sekali.
6.4.2 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Ras Manusia
Rasisme merupakan salah satu tema yang diangkat dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam novel ini Shelley berusaha menggambarkan budaya masyarakat
moderen yang sering menilai penampilan luar sebagai tolok ukur pribadi, potensi, bahkan kekayaan materi seseorang judging the book by its cover. Salah satu contoh
jelas yang diangkat Shelley dalam novel ini adalah ketika Sang Monster dihujat dan dizalimi hanya karena penampilan fisiknya yang cacat dan ‘berbeda’. Namun jika
ditelusuri, Sang Monster sebenarnya sangat berjiwa manusiawi, yang mana mampu mencintai, menyayangi, menghargai, dan berterima kasih. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa pesan yang berusaha disampaikan pengarang adalah konsep berpikir mindset manusia moderen terhadap penilaian seseorang berdasarkan penampilan
fisiknya warna dan rupanya. Berkaitan dengan hal tersebut, politik juga berperan besar di sini. Oleh karenanya, fakta sejarah juga perlu disertakan sebagai pendukung
penelitian. “Beautiful -- Great God His yellow skin scarcely covered the
work of muscles and arteries beneath; his hair was of a lustrous black, and flowing; his teeth of a pearly whiteness; but these
luxuriances only formed a more horrid contrast with his watery eyes, that seemed almost of the same colour as the dun white
sockets in which they were set, his shrivelled complexion, and straight black lips” Shelley: 58.
Universitas Sumatera Utara
“Indah – Ya Tuhan Kulit kuningnya yang jarang menutupi sambungan otot dan arteri di bawahnya; rambutnya hitam berkilau,
dan terjuntai; giginya seputih mutiara; namun semua ini hanya membentuk suatu kengerian dibandingkan matanya yang berair,
yang hampir sama dengan kelopak matanya ketika dipasang, keriput, dan bibir hitam yang lurus” Shelley: 58.
Uraian tersebut menyinggung tentang warna kulit yang kuning, rambut hitam berkilau, gigi seputih mutiara. Sebutan tersebut biasanya digunakan bangsa barat
untuk menyebut bangsa Cina, dan mutiara adalah sebutan untuk Hongkong mutiara dari timur. Menurut sejarawan Inggris, Paul Johnson dalam artikelnya A Contrarian
View of Colonialism 1997, pada abad ke-19, Cina sangat terkenal dalam usaha perdagangan teh dan kain, yang mana teh merupakan salah satu kebutuhan pangan
pokok bangsa Inggris. Bangsa Inggris kemudian mulai menyiasati bagaimana caranya menguasai usaha perdagangan tersebut dengan penjualan candu ke Cina. Beberapa
puluh tahun kemudian terjadi perang candu 1839-1842 sebagai pemicu kolonialisme Hongkong. Dalam hal ini, Shelley berusaha menyampaikan bagaimana bangsa barat
menyuarakan rasa takut dan doktrin sentimen akan bangsa Cina. Ungkapan yang berunsur rasisme juga disampaikan oleh Robert Walton
dalam suratnya ke pada adiknya, Margaret Saville. Walton menceritakan tentang seseorang yang dikenalnya ketika sedang berlayar menemukan Kutub Utara, sbb:
“…he is wholly uneducated: he is as silent as a Turk, and a kind of ignorant carelessness attends him” Shelley: 21.
“…ia benar-benar tak terdidik: ia sebisu orang Turki, dan kebodohan sering menggambar sosoknya” Shelley: 21.
Universitas Sumatera Utara
Uraian tersebut dapat dikaitkan dengan pandangan sinis masyarakat Inggris terhadap kesultanan Ottoman pada abad ke-19 di Turki. Bangsa Inggris sering
berasumsi bahwa bangsa Turki identik dengan korupsi. Oleh karena itu, “Silent as a Turk” adalah idiom bangsa Inggris untuk menyatakan seseorang yang diam karena
terlibat korupsi. Mari kita simak dialog antara Pria Tua Buta dengan Sang Monster berikut:
By your language, stranger, I suppose you are my countryman; -- are you French”?
No; but I was educated by a French family, and understand that language only. I am now going to claim the protection of some
friends, whom I sincerely love, and of whose favour I have some hopes”.
Are these Germans”? Shelley: 135-136. “Dari bahasamu, orang asing, ku rasa kau berasal dari negaraku; --
apakah kau orang Perancis”? Tidak; tapi aku dididik oleh keluarga berkebangsaan Perancis, dan
hanya mengerti bahasa tersebut. Aku ingin memperoleh perlindungan dari beberapa teman, yang dengan tulus kucintai, dan
yang dapat memberiku harapan-harapan”. Apakah mereka orang Jerman? Shelley: 135-136.
Dari ungkapan tersebut dapat disimak bahwa Pria Tua Buta berasumsi bangsa Jerman adalah bangsa yang kejam. Hal tersebut diketahui berdasarkan ungkapan hati
yang disampaikan Sang Monster kepadanya. Sang Monster menceritakan tentang keinginannya akan perlindungan beberapa teman, namun segera disanggah oleh Pria
Tua Buta dengan asumsi bahwa hanya bangsa Jerman lah yang mampu membuat
Universitas Sumatera Utara
Sang Monster merasa teraniaya. Asumsi tersebut dikaitkan pada peristiwa Perang Napoleon pada tahun 1799-1815, di mana Perancis dan Jerman terlibar adu
sentimen.
6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin