Monarki Louise XIV di Perancis adalah tonggak sejarah absolutisme di Eropa. Pengaruh absolutisme tersebut disuburkan oleh Jacques-Bénigne Bossuet
1627-1704, seorang uskup dan pakar teologi Kerajaan Louise XIV di Perancis, yang menyatakan bahwa Kekuasaaan Monarkisme adalah kekuatan yang diturunkan dari
Tuhan; barangsiapa yang menentang kekuasaan tersebut maka ia menentang kekuasaan Tuhan. Doktrin tersebut mulai diterima dan diterapkan di negara-negara
Eropa lainnya seperti Spanyol, Belanda, dan Austria. Negara-negara tersebut menggunakan kekuasaan untuk penyebaran agama Katolik di wilayah Eropa. Turki,
di bawah Kesultanan Ottoman, adalah negara Eropa yang memeluk agama Islam dan menolak penyebaran agama Katolik. Akibatnya sering terjadi peperangan yang
mengatasnamakan penyebaran agama serta perampasan lahan antara negara-negara penganut absolutisme melawan Kesultanan Ottoman.
6.1.2 Era Pencerahan 1650-1800
Karena prihatin atas keadaan yang diakibatkan oleh Era Absolutisme, muncul suatu gerakan intelektual yang disebut sebagai Gerakan Pencerahan Enlightment.
Para pendukung gerakan tersebut philosophes menentang aturan absolut kaum penguasa dan menekankan kesetaraan individu. John Locke 1632-1704, salah satu
penggerak Era Pencerahan, menyatakan bahwa masyarakat berhak atas kebebasan, kepemilikan, dan penghidupan yang layak. Locke berpendapat bahwa pemerintah
diharuskan melindungi hak-hak tersebut; Jika tidak, maka masyarakat berhak
Universitas Sumatera Utara
menggulingkan pemerintahan mereka. Hal serupa juga dilakukan oleh filsuf berkebangsaan Perancis, Voltaire 1694-1778, dengan lemparan kritiknya terhadap
monarki kaum gerejawan. Voltaire menganggap bahwa monarkisme yang ditunjukkan adalah suatu bentuk kemunafikan dan penganiayaan bagi pemeluk agama
non Katolik. Era Pencerahan ditandai dengan berkembangnya filsafat ilmu pengetahuan
yang bersifat logis. Pada era ini banyak muncul penemuan baru, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, matematika, dan teknologi. Logika dan alasan dianggap
sebagai proses penciptaan sebuah pemikiran. Proses berpikir dan bertindak manusia diukur berdasarkan pendekatan ilmiah dan gagasan observasi yang objektif menuju
kesimpulan yang sahih. Era ini membantah takhayul tentang bagaimana dunia berfungsi dengan cara menjelaskan fenomena mistis seperti petir, gerhana, penyakit,
atau halusinasi dari sudut pandang ilmiah. Beberapa pembaharu dalam bidang ilmu pengetahuan seperti Charles Darwin, Isaac Newton, Galileo Galilei, dan Gottfried
Liebnitz mengajarkan masyarakat tentang teori gravitasi, teori evolusi, kalkulus, kosmologi, dan fisika, yang mana mengakibatkan ilmu pengetahuan berdasarkan dalil
teologi dan ketuhanan khas Absolutisme tidak lagi dijadikan sebagai patokan.
6.1.3 Era Revolusi Industri 1800-1850
Pembaharuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan logika ilmiah yang diperkenalkan oleh Era Pencerahan mengakibatkan terjadinya pengembangan
Universitas Sumatera Utara
teknologi secara besar-besaran, yang berdampak terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat terutama budaya konsumerisme. Semenjak munculnya
penemuan-penemuan baru seperti mesin uap oleh James Watt 1736-1819, dan mesin tenun oleh Richard Arkwright 1733-1792, Inggris dan negara-negara kaya di
Eropa mulai mendirikan pabrik-pabrik besar terutama yang bergerak dalam bidang industri tekstil untuk keperluan produksi massal. Pabrik-pabrik tersebut
mengakibatkan polusi dan sanitasi buruk yang cukup parah, yang mana mengakibatkan munculnya wabah-wabah penyakit seperti kolera, tifus, cacar,
malaria, dsb. Revolusi
Industri juga
menyebabkan perubahan sistem perekonomian masyarakat Eropa dari merkantilisme menjadi kapitalisme, karena pada saat itu
badan-badan usaha sudah mulai dikuasai oleh individu swasta. Kapitalisme menyebabkan kepemilikan atas benda, usaha, dan pendidikan ditentukan oleh kaum
yang memiliki modal terbesar, yang mana mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial yang sangat jelas dalam kehidupan bermasyarakat era tersebut. Dengan kata
lain, kesempatan usaha ditentukan dari seberapa banyak modal yang dimiliki individu atau kelompok tertetu.
Kemajuan dalam hal teknologi industri tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, yakni di mana manusia diperlakukan layaknya
mesin. Para buruh pabrik, yang mayoritas merupakan kaum urban yang disita lahan dan ladangnya, memperoleh upah yang sangat kecil dan tidak dibekali oleh jaminan
kesehatan serta keselamatan kerja, dan banyak di antaranya merupakan anak di
Universitas Sumatera Utara
bawah umur. Selain itu, produksi massal mengakibatkan jam kerja yang sangat tidak manusiawi, yang mana memaksa para buruh bekerja siang dan malam tanpa hari
libur. Sebagai dampaknya, banyak anak di bawah umur dimulai dari usia enam tahun sudah bekerja selama 14 jam sehari, dan banyak di antaranya meninggal akibat
kecelakaan kerja. Sebagai reaksi perlawanan terhadap Revolusi Industri, muncul suatu gerakan
ideologi yang disebut dengan Luddity, yakni kelompok pemberontak yang terdiri dari gabungan buruh serikat pekerja. Kelompok tersebut menganggap Revolusi Industri
terbukti telah merugikan rakyat dengan adanya perampasan lahan, eksploitasi, dan kapitalisme. Sebagai bentuk protes, Luddity tersebut melakukan pengerusakan alat-
alat pabrik dan melakukan pemogokan kerja.
6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme