Teori Dekonstruksi Landasan Teoretis

Menurut Sumaryono 1993, Habermas membedakan antara penjelasan dengan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Fakta yang disampaikan melalui formasi diskursif dan diwacanakan secara terus menerus, akhirnya akan diterima sebagai sesuatu yang benar Bleicher, 2003. Dalam melakukan penafsiran, Endraswara 2008 mengemukakan empat langkah utama, yaitu: 1 menentukan arti langsung yang primer, 2 bila perlu menjelaskan arti-arti implisit, 3 menentukan tema, 4 memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti akan mempergunakan teori ini untuk menafsirkan makna bahasa yang diungkapkan dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

2.2.4 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida 1930-2004 pada tahun 1967 dan mulai digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an Muhadjir, 2001: 203. Dekonstruksi merupakan gebrakan posmoderenisme yang bersifat fungsionalis, strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmoderen, karya seni tidak dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan antara seni yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka pemaknaan terkait erat dengan diskursus. Universitas Sumatera Utara Menurut teori dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik, kajian realitas sosial telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian dekonstruksi sosial. Kajian dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial sebagai obyek yang didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin 2007a menjelaskan pandangan Karl Heinrich Marx 1818-1883 tentang realitas kehidupan sosial budaya masyarakat ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sesuai dengan pandangan teori konflik. Dalam pengkajian teks bahasa, terutama terhadap karya sastra, dekonstruksi dilakukan dengan cara memfokuskan permasalahan di dalam teks, memahami makna jelas di dalam teks, mencari pernyataan yang saling berlawanan oposisi biner, dan membiarkan teks tersebut membentuk makna-makna yang disembunyikan oleh penulisnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pembentukan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya saling bertentangan; yang mana pada dasarnya mengandung penundaan makna. Jika dibandingkan dengan sudut pandang Strukturalisme yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure 1857-1913, maka makna petanda selalu dihasilkan berdasarkan adanya penanda; di mana makna merupakan hasil artikulasi dari lambang-lambang. Eagleton 1984 menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkis berfungsi untuk memberikan kedudukan yang lebih utama terhadap kaum laki-laki; yang mana dengan sendirinya memberikan kedudukan yang lebih rendah terhadap perempuan. Ia menjadi perempuan karena ia bukan laki-laki, atau dikarenakan ia adalah laki-laki yang kurang sempurna. Dengan Universitas Sumatera Utara demikian, maka laki-laki di sini merupakan prinsip utama, sedangkan perempuan merupakan prinsip kedua subordinat. Konsep oposisi biner versi Strukturalisme menunjukkan keterkaitan hubungan antara signifiant penanda atau bunyi dan signifie petanda atau konsep; langue