Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley

(1)

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

TESIS

Oleh

BIMA PRANACHITRA

087009003/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BIMA PRANACHITRA

087009003/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : REPRESENTASI BYRONIC HERO DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY

Nama Mahasiswa : Bima Pranachitra Nomor Pokok : 087009003

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.) (Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M. Sc.)

Tanggal lulus: 27 Juli 2010


(4)

Telah diujikan pada Tanggal 27 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

2. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. 4. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 17 September 2010

Bima Pranachitra


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.

Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.

Kata – kata kunci : Arketaipal, Byronic Hero, dekonstruksi, diskursus, edukasi publik, emansipatoris, konstruksi sosial, postrukturalisme, realitas sosial, rekonstruksi sosial, representasi, Romansa Gotik, satir.


(7)

ABSTRACT

The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.

The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life. Keywords : Archetypal, Byronic Hero, deconstruction, discourse, emancipatory,

Gothic Romance, public education, post-structuralism, representa-tion, satirical, social construcrepresenta-tion, social realities, social reconstru-ction.


(8)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley; yang mana memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang tergambar dalam sebuah karya sastra.

Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan pemerolehan gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat (novelty), terutama dalam ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman terhadap karya sastra, terutama Romansa Gotik, yakni sebagai cerminan permasalahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat; yang mana pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai sarana luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan memotivasi pembacanya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna, dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca; melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan pendalaman ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di lain waktu.

Medan, September 2010


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan, beliau terus memberikan motivasi, arahan, kritik, masukan, serta kesediaan waktu di tengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, yang mana dirasakan sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran berharga dari beliau, antara lain yakni kesabaran dan ketelatenan. Begitu banyak bimbingan yang diberikan oleh beliau, sehingga menumbuhkan semangat dan optimisme penulis untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Rasa terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing II. Selama masa bimbingan, beliau selalu menyempatkan diri kapan pun dan di mana pun untuk mendidik penulis dengan ilmu pengetahuan dan referensi yang sangat kekinian. Beliau menanamkan rasa tanggung jawab, harapan, etika, ketekunan, dan ketelitian di dalam diri penulis, yang tentunya telah memperluas pengetahuan dan penguasaan materi yang dimiliki oleh penulis. Dikarenakan sikap beliau yang sangat keibuan dan mengemong, penulis merasa sangat berhutang budi sekaligus merasa teramat senang dan bangga menjadi mahasiswa bimbingannya.

Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham selama penyelesaian tesis ini, terutama kepada :


(10)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc,(CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. 3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Bapak Drs. Umar Mono, M.Hum.

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, yang mana telah memberikan segala kemudahan dalam penyelenggaraan kegiatan akademik.

4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. dan Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. selaku penguji, yang telah banyak memberikan koreksi berguna.

5. Semua Dosen Program Studi Linguistik dan KWK USU.

6. Kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Linguistik dan Sekolah Pascasarjana USU.

7. Kepada kedua orangtua saya. Liliek Pranachitra dan Rr. Nurhidayati, yang telah membesarkan dan membina etika, moral, mental, dan spiritual saya sebagai bekal menghadapi kehidupan yang didasari oleh tanggung jawab dan reputasi baik. 8. Kepada adik-adik saya tercinta, Ayu Supraba, S.S. dan Rama Yudhistira; juga

kepada seluruh sanak saudara.

9. Rekan-rekan mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2008/2009.

10. Kepada dr. Nuning Affira, Hanna Pratiwi, dan adik-adik angkat saya: Ita Khairani, S.Pd., M.Hum., dan Dewina Sitanggang, S.S. yang mana telah banyak mendukung, mengingatkan, dan membantu saya selama ini.

11. Kepada tokoh-tokoh yang mengilhami penulis: John Lennon, Lord Gordon Byron, Mary Shelley, Jacques Derrida, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault.

Medan, September 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Bima Pranachitra

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 8 Maret 1985 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Alamat : Jalan Stasiun PJKA No. 22

Kp. Baru, Medan, Sumatera Utara 20158

Pendidikan Formal :

1. TK Rahmat Harapan Medan (Tamat 07 Juni 1991) 2. SD Yapena 45 Medan (Tamat 14 Juni 1997) 3. SLTP Negeri 2 Medan (Tamat 20 Juni 2000) 4. SMA Angkasa Lanud Medan (Tamat 05 Juni 2003) 5. STBA Harapan Medan (Tamat 17 Desember 2007)

6. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak September 2008)

Pendidikan Nonformal :

1. Anggota Kehormatan YPPIA (2002) 2. Sekolah Musik Era Musika (2004) 3. Sekolah Musik Medan Musik (2006)

Pekerjaan : 1. Wiraswasta (1998 - Sekarang)

2. Wakil Ketua Liliek Pranachitra’s Digital Studio (2008-Sekarang) 3. Komisaris CV. Izi Bravhira Chitra (2009-2010)


(12)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9


(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP... 11

2.1 Kajian Pustaka... 11

2.2 Landasan Teoretis ... 14

2.2.1 Psikologi Sastra ... 14

2.2.2 Pendekatan Arketaipal... 15

2.2.3 Metode Hermeneutika ... 17

2.2.4 Teori Dekonstruksi... 18

2.3 Konsep ... 20

2.3.1 Representasi ... 20

2.3.2 Byronic Hero ... 22

2.3.3 Postrukturalisme... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian... 25

3.2 Lokasi Penelitian... 27

3.3 Data dan Sumber Data ... 27

3.3.1 Sumber Data Primer ... 27

3.3.2 Sumber Data Sekunder... 28

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 28

3.5 Teknik Analisis Data... 30

3.6 Model Penelitian ... 34


(14)

BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN K A R Y A M A R Y S H E L L E Y D A N K O N F L I K B A T I N

V I C T O R F R A N K E N S T E I N ... 37

4.1 Pendahuluan ... 37

4.2 Latar Belakang Penulisan Novel... 39

4.3 Daftar Penokohan... 42

4.4 Tema Novel... 47

4.4.1 Keluarga, Masyarakat, dan Pengasingan... 50

4.4.2 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi... 52

4.4.3 Ambisi dan Kegagalan ... 53

4.4.4 Prasangka, Ketidakadilan, dan Rasa Dendam ... 55

4.4.5 Politik, Kekuasaan, dan Perbudakan ... 57

4.5 Konflik Batin Victor Frankenstein... 59

4.5.1 Byronic Hero dalam Penokohan Victor Frankenstein... 60

BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN INGGRIS PERIODE ROMANTISME... 69

5.1 Byronic Hero Sebagai Ciri Khas Lord Byron ... 69

5.2 Byronic Hero dalam Karya-Karya Mary Shelley... 73

5.3 Periode Romantisme dalam Sejarah Kesusastraan Inggris ... 76

5.4 Latar Belakang Sosial-Politik Periode Romantisme ... 78


(15)

BAB VI NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY

DAN PERADABAN MANUSIA DALAM SEJARAH EROPA ... 89

6.1 Peradaban Masyarakat Eropa Semenjak Era Pencerahan (Enlightment)... 90

6.1.1 Era Absolutisme (1500-1650) ... 91

6.1.2 Era Pencerahan (1650-1800)... 92

6.1.3 Era Revolusi Industri (1800-1850)... 93

6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme ... 95

6.3 Romansa Gotik Sebagai Reaksi Bagi Era Revolusi Industri ... 100

6.4 Byronic Hero dan Dekonstruksi Kehidupan Sosial, Politik, dan Budaya Masyarakat Barat Abad ke-19... 103

6.4.1 Byronic Hero Sebagai Representasi Kesenjangan Kelas Sosial Masyarakat... 104

6.4.2 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Ras Manusia ... 107

6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin ... 110

6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial... 112

6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror... 115

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 122

7.1 Simpulan ... 122

7.2 Saran... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 127


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 1. Unit-Unit Yang Diteliti dalam Format Deskriptif-Kualitatif ... 26


(17)

DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif... 33 2. Model Penelitian ... 34


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Foto dan Biografi Pengarang ... 130

2. Sinopsis Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 134

3. Kulit Sampul Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 140


(19)

DAFTAR ISTILAH

Absolutisme : bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa (raja, kaisar, diktator, dsb).

Algolagnia : perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka; rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.

Ambisius : berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan dan cita-cita); penuh ambisi.

Antagonis : tokoh karya sastra yang merupakan penentang dari tokoh utama; tokoh lawan.

Aristokrat : orang dari golongan bangsawan; ningrat.

Arketaipal : suatu pembahasan dalam ilmu psikologi yang diperkenalkan oleh C.G. Jung; membahas tentang adanya ketidaksadaran kolektif terhadap ide, pola pikir, pencitraan, dsb, yang bersifat universal dalam diri suatu individu

Augustan : periode kesusastraan setelah era klasik di Eropa (terjadi pada akhir abad ke-17 di Perancis, dan abad ke-18 di Inggris).

Byronic Hero : suatu ciri penokohan khas (tokoh setengah antagonis) dalam karya sastra Inggris, yang dipopulerkan oleh Lord Byron.

Dekonstruksi : suatu pendekatan (terutama dalam karya sastra) yang berfokus kepada pembongkaran dan penundaan makna; diperkenalkan oleh Jacques Derrida.

Demokrasi : gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Diskriminasi : pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb).


(20)

Diskursif : berkaitan dengan nalar; disimpulkan secara logis.

Diskursus : wacana sosial yang didistribusikan ke tengah masyakat; yang mana dapat berisi beragam ideologi; yang pada akhirnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran wacana tersebut.

Dominasi : penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dsb).

Ekspansi Kekuasaan : perluasan daerah kekuasaan suatu negara yang dilakukan dengan cara-cara penjajahan ke negara lainnya.

Eksperimen : percobaan yang bersistem dan berencana (untuk membuktikan kebenaran suatu teori, dsb).

Eksploitasi : pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (terhadap tenaga orang lain).

Ekspresif : pengungkapan maksud dan tujuan seseorang.

Ekstrinsik : berasal dari luar (sifat manusia, atau nilai suatu peristiwa); bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sesuatu; tidak termasuk intinya.

Emansipatoris : bersifat membebaskan dan menyamakan kedudukan terhadap sesuatu hal/permasalahan (emansipasi).

Epistemologi : cabang ilmu filsafat, terutama dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.

Fakta Sejarah : kejadian sejarah

Fakta : suatu hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.

Feminisme : gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

Fenomena : hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti kejadian alam).


(21)

Fobia : ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Gerakan : pergerakan, usaha, atau kegiatan dl lapangan sosial (politik

dsb).

Gotik : gaya arsitektur (seni pahat dan seni lukis) pada abad ke-12- abad ke-16 di Eropa; jenis Kesusastraan Inggris yang menyertakan elemen misteri seperti hantu, monster, dsb.

Halusinasi : pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra yang bersangkutan, misalnya mendengar suara tanpa ada sumber suara tsb.

Hegemoni : pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan suatu negara atas negara (atau negara bagian) lainnya.

Heroisme : sifat kepahlawanan.

Horor : sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat.

Humanistis : bersifat kemanusiaan.

Idealisme : aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami.

Ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Idiom : konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya.

Ilmiah : bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.

Industri : kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan.


(22)

Industrialisasi : usaha menggalakkan industri dalam suatu negara; pengindustrian.

Intelektual : cendikiawan.

Intrinsik : terkandung di dalamnya (tergambar jelas dalam cerita).

Introspeksi : peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dsb) diri sendiri; mawas diri.

Isu : masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi dsb).

Kapitalisme : sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.

Kasta : golongan (tingkat atau derajat) manusia (terutama dalam masyarakat beragama Hindu).

Kaum Kelas Bawah : masyarakat miskin; kaum buruh.

Kaum Penguasa : orang yang menguasai; orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb).

Kaum Urban : orang yang berpindah dari desa ke kota.

Keabstrakan : sesuatu yang tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala. Kegilaan : sifat (keadaan, perihal) gila; sesuatu yang melampaui batas;

ketidakberesan; kericuhan; kekacauan. Kesenjangan Sosial : ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial.

Kolonialisme : paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Konflik : percekcokan; perselisihan; pertentangan.

Konsep : gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.


(23)

Konsumerisme : paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb.

Kontradiksi : pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan.

Kontribusi : sumbangan.

Kontrol Sosial : suatu fungsi sosial politik yang mewajibkan anggota individu ataupun kelompok untuk memenuhi harapan dan mematuhi aturan atau suatu otoritas; termasuk menanamkan nilai-nilai sosial serta hukuman dari penyimpangan yang dilakukan.

Kritik : kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.

Kultural : hal yang berhubungan dengan kebudayaan.

Marjinal : orang atau kelompok yang berada di luar masyarakat mayoritas.

Mekanisasi : penggantian dan penggunaan tenaga mesin dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan. Merkantilisme : sistem ekonomi untuk menyatukan dan meningkatkan kekayaan

keuangan suatu bangsa dengan pengaturan seluruh ekonomi nasional oleh pemerintah, dengan kebijaksanaan yang bertujuan mengumpulkan cadangan emas, memperoleh neraca perdagangan yang baik, mengembangkan pertanian dan industri, dan memegang monopoli atas perdagangan luar negeri Metafiksi : sebuah karya sastra (novel atau cerita pendek lainnya) yang

menceritakan tentang keadaan dan pengalaman pengarangnya sendiri; kemudian dimanipulasi sebagai tema dari suatu fiksi. Minoritas : golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika

dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat. Misterius : penuh rahasia; sulit diketahui atau dijelaskan (karena tidak jelas

tanda-tandanya dsb).

Mistis : hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang biasa.


(24)

Monarkisme : bentuk pemerintahan suatu negara yang dikepalai oleh raja atau ratu.

Monster : makhluk yang berukuran luar biasa (sangat besar); makhluk yang menakutkan, sering diceritakan dalam dunia fiksi.

Moral : ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. Multikultural : keanekaragaman kebudayaan.

Neurosis : penyakit saraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian susunan saraf (seperti histeri, depresi, fobia); psikoneurosis.

Oposisi Biner : istilah yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure; mengacu pada dikotomi di mana masing-masing pasangan (kata, kalimat) yang beroposisi memperlihatkan struktur dominasi terhadap oposisinya.

Patriarki : suatu sistem sosial yang memposisikan kaum pria sebagai sosok yang mendominasi (terhadap kaum wanita).

Pencerahan : suatu gerakan intelektual setelah era Absolutisme; yang terjadi pada abad ke-17 di Eropa. Gerakan ini ditandai dengan mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dan banyaknya penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah (saintifik).

Peradaban : kemajuan (kecerdasan, kebudayaan); hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.

Politis : bersifat politik; bersangkutan dng politik.

Posmoderenisme : suatu pendekatan yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger, kemudian dilanjutkan oleh Thomas Samuel Kuhn dan Jacques Derrida; yakni budaya kontemporer yang ditandai dengan penolakan terhadap kebenaran obyektif dan narasi budaya global. Pendekatan ini ditekankan pada peran bahasa, hubungan kekuasaan, dan motivasi.

Postrukturalisme : sebuah pendekatan dalam kritik sastra dan filsafat yang dimulai di Perancis pada akhir tahun 1960. Pendekatan ini menolak


(25)

menganggap bahwa bahasa bukan lah media transparan yang menghubungkan seseorang langsung dengan kebenaran atau realitas, melainkan sebuah struktur atau kode, yang mana bagian makna berasal dari pertentangan antara satu kata dengan kata lainnya. Pendekatan ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Jacques Derrida, Roland Barthes, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Michel Foucault.

Praksis : praktik (bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia). Primordial : termasuk dl bentuk atau tingkatan yang paling awal; paling

dasar.

Proletariat : lapisan sosial yang paling rendah; golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga.

Protagonis : tokoh utama dalam cerita rekaan (karya sastra).

Radikal : secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); politik yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.

Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.

Rasisme : prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

Realitas Sosial : kenyataan sosial; semua kejadian dan fakta yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Rekonstruksi Sosial : membangun kembali tatanan kehidupan sosial masyarakat dengan keadaan yang lebih humanistis (manusiawi).

Representasi : perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang mewakili; perwakilan.

Revolusi Industri : pemanfaatan teknologi secara besar-besaran dengan pembangunan pabrik-pabrik dan eksploitasi terhadap kaum buruh, yang terjadi di Inggris dan beberapa negara Eropa pada


(26)

abad ke-18. Pada era ini terjadi kesenjangan sosial yang sangat besar sebagai dampak dari munculnya sistem kapitalisme. Revolusi : perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial)

yang dilakukan dengan kekerasan; perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.

Robot : alat berupa orang-orangan dsb yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin.

Romansa Gotik : suatu transisi aliran Romantisme dengan penyertaan unsur horor dan teror khas Kesusastraan Gotik sebagai diskursusnya, yang mana berisi berbagai satir tentang keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat. Aliran ini dipopulerkan oleh pengarang Romantik gelombang kedua seperti Lord Byron dan Mary Shelley pada abad ke-18 di Eropa.

Romantisme : suatu gerakan kritik sastra yang dimulai pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di Eropa; yang mana melibatkan emosi dan ekspresi sebagai sumber pengalaman estetik pengarangnya. Karya sastranya sering menceritakan tentang ‘keliaran’ alam, yakni seperti tentang laut, gunung, badai, dsb.

Satir : komponen karya sastra yang berisi sindiran terhadap kecerobohan, kebodohan, kekejaman manusia, dsb.

Sentimen : pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu (bertentangan dengan pertimbangan pikiran); emosi yang berlebihan; iri hati; tidak senang; dendam; reaksi yang tidak menguntungkan.

Simbolis : sebagai perlambang.

Simpatisan : orang yang bersimpati (kpd partai politik dsb).

Takhayul : sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka; kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.

Teknologi : metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan.


(27)

xxii

Teologi : pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Tuhan, dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama, terutama berdasarkan kitab suci).

Teori Sosial Kritis : suatu teori yang menekankan pada upaya pembebasan masyarakat. Dalam pandangan teori ini, ilmuwan diharapkan menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dengan cara mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk berpemikiran kritis. Teori kritis bersifat emansipatoris dan berusaha membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. Ciri khas teori ini adalah bersifat interdispliner. Teori Sosial Kritis mulai mencapai kejayaannya di tangan cendikiawan seperti Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas (yang tergabung dalam Frankfurt School) pada tahun 1937.

Teror : usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.

Transisi : peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) kepada keadaan yang lain.

Vokal : berani mengemukakan pendapat; berani bersuara (mengkritik dsb.

Zalim : bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam.


(28)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.

Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.

Kata – kata kunci : Arketaipal, Byronic Hero, dekonstruksi, diskursus, edukasi publik, emansipatoris, konstruksi sosial, postrukturalisme, realitas sosial, rekonstruksi sosial, representasi, Romansa Gotik, satir.


(29)

ABSTRACT

The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.

The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life. Keywords : Archetypal, Byronic Hero, deconstruction, discourse, emancipatory,

Gothic Romance, public education, post-structuralism, representa-tion, satirical, social construcrepresenta-tion, social realities, social reconstru-ction.


(30)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam penciptaan karya sastra, sering terdapat hubungan yang erat antara kepribadian dan kehidupan pengarang dengan karya sastra yang dihasilkannya. Karya sastra tak jarang diciptakan untuk mewakili suasana hati pengarang terkait dengan pemikiran dan perasaan yang dirasakan pada saat karya tersebut diciptakannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap biografi pengarang dan pendekatan di luar teks sastra (ekstrinsik) menjadi hal yang penting dan memudahkan pembaca untuk memahami maksud tertentu yang disembunyikan pengarang dalam karya sastranya.

Karya Sastra dan Kesusastraan memiliki sifat dan batas jangkauan kajian yang universal dan tidak terbatas. Hal tersebut senada dengan penjelasan Semi (dalam Siswantoro, 2008), bahwa sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah kemanusiaan, dan semesta. Darma (dalam Siswantoro, 2008: 67) menjelaskan keterkaitan antara sastrawan dan karya sastranya, sbb:

…sastrawan dapat dianggap sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup; sedangkan sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani pembacanya.

Terkait pembahasan tentang komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya, dijelaskan Abrams (Siswantoro, 2008: 179) bahwa terdapat situasi


(31)

sastra secara menyeluruh (the total situation of work of art) yang terdiri atas (1) karya sastra (work), (2) sastrawan (artist), (3) semesta (universe), dan (4) pembaca (audience). Demikian halnya dengan jenis pendekatan dalam kajian sastra, yakni (1) pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik.

Dalam kajian Kesusastraaan Inggris, terdapat suatu periode kesusastraan yang disebut sebagai Periode Romantik atau Romantisme (terjadi pada akhir abad ke-18-19 di Eropa). Kesusastraan Romantik ditandai dengan penyertaan unsur ekspresif pengarangnya, yakni penggambaran alur cerita dan penokohan yang mengikuti suasana hati dan sisi psikologis pengarangnya. Oleh karena itu, untuk meneliti kesusastraan jenis ini, seyogyanya dilakukan pendekatan yang bersifat ekspresif. Selden (Siswantoro, 2008: 1) menyebutkan bahwa karya sastra Inggris pada periode Romantik dianggap sebagai anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Hal senada dijelaskan oleh Klarer (1999) bahwa karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga dapat dikatakan bahwa karya sastra dianggap sangat penting kedudukannya.

Siswantoro (2008: 143) menjelaskan bahwa penokohan dalam karya sastra dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh statis merupakan ciri penokohan yang sangat umum dalam karya sastra, yakni jenis penokohan yang jarang mengalami perubahan perwatakan, dan hanya memainkan satu peran yang monoton. Sementara tokoh dinamis, adalah tokoh yang memiliki perwatakan kompleks dan bersifat dinamis (berubah-ubah sifatnya).


(32)

Memasuki akhir abad ke-18, dunia Kesusastraan Inggris digemparkan oleh munculnya jenis perwatakan dinamis yang sangat berbeda penggambarannya. Jenis perwatakan baru tersebut dikenal dengan sebutan Byronic Hero, yakni suatu ciri khas penokohan dalam karya-karya Lord Byron (1788-1824). Byron adalah penyair berkebangsaan Inggris yang menggambarkan Byronic Hero tersebut dengan ciri perwatakannya yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood) dan cenderung kontroversial; sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah tokoh tersebut termasuk dalam kategori tokoh protagonis atau tokoh antagonis.

Lord Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok Gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberani, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam; namun di lain sisi ia juga terpelajar, karismatik, baik hati, dan bersahaja (Gross, 2001). Jenis penokohan tersebut dianggap sangat berbeda, menarik, dan dianggap sebagai suatu nafas baru dalam Kesusastraan Inggris. Sebagai akibatnya, Byronic Hero mulai diadaptasikan dan dikembangkan oleh beberapa pengarang lainnya seperti Edgar Allen Poe, Robert Louise Stevenson, Percy Bysshe Shelley, dan Mary Shelley.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, salah satu penggambaran penokohan Byronic Hero yang paling sempurna sepanjang sejarah Kesusastraan Inggris adalah Victor Frankenstein, yakni tokoh fiksional karangan Mary Shelley (1797-1851) dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam cerita, Victor digambarkan sebagai seorang fisikawan muda yang berambisi untuk menciptakan


(33)

manusia melalui serangkaian eksperimen sains yang bersifat tidak lazim; sebagai suatu reaksi dari keputusasaan dalam menjalani kehidupannya.

Pengangkatan cerita dengan penyertaan perwatakan Byronic Hero menjadi sangat populer di Inggris, terutama ketika era Romantik sedang berlangsung di Eropa. Aliran Romantik tersebut ditandai dengan sering digunakannya unsur-unsur seperti imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Menurut Thorslev Jr. (1962: 16), aliran Romantik juga diketahui sering mengangkat tema-tema seperti liberalisme, eksotisme, supernaturalisme, dan pandangan tentang alam. Beberapa tema tertentu juga berkaitan dengan suasana hati. Gerakan sastrawan Romantik tersebut kemudian dikenal secara luas di Eropa sebagai Romantisme (akhir abad ke-18-19).

Kemunculan Romantisme itu sendiri merupakan suatu reaksi protes terhadap Era Revolusi Industri (1800-1850), yang mengeksploitasi teknologi dan sains yang dibawa oleh Era Pencerahan (Enlightment) pada pertengahan dan akhir abad ke-17 (1650-1800) di Eropa. Romantisme juga menentang norma politik dan norma sosial yang diwariskan oleh kaum gerejawan dan kaum aristokrat semenjak Era Absolutisme (1500-1650), yang mana masih dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat Eropa ketika terjadinya Era Revolusi Industri. Dengan demikian, maka Era Revolusi Industri dapat dikatakan sebagai era transisi yang dipengaruhi oleh kedua era sebelumnya; yakni terjadinya kapitalisme, eksploitasi teknologi, mekanisasi, kesenjangan sosial, sekaligus terjadinya pengungkungan pendapat oleh kaum gerejawan. Sebagai akibatnya, Pengarang Romantik pun berhenti bercerita tentang


(34)

keindahan alam dan mulai menyuarakan protes terhadap kekuasaan, yang disuarakan melalui Romansa Gotik (Gothic Romance), yakni Sastra Romantik yang dipadukan dengan elemen horor dan teror khas Sastra Gotik.

Salah satu akibat dari gerakan Romantisme tersebut, terutama dalam ranah Kesusastraan Inggris, adalah maraknya penggunaan penokohan Byronic Hero setelah Lord Byron. Penokohan tersebut difungsikan Byron dalam karya-karyanya sebagai perlambang penolakan terhadap kekuasaan kaum industrialis pada abad ke-18, yang mana menceritakan tentang gambaran perilaku dan pemikiran manusia yang tidak dapat ditebak secara matematis dan akurat dikarenakan dimilikinya perasaan dan suasana hati; terlepas dari keharusan bersikap rasional. Setelah keberhasilan Lord Byron mencapai puncaknya, penokohan Byronic Hero tersebut kemudian dilanjutkan dan dipopulerkan oleh Mary Shelley dalam karya-karyanya. Shelley menggunakan jenis perwatakan ini sebagai sindiran (satire) sekaligus perlambang terhadap perilaku masyarakat abad ke-18, yang mana diperbudak oleh teknologi, dan berperilaku layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962).

Untuk mengetahui dorongan yang menyebabkan Shelley mengangkat tema tersebut, lebih lanjut dijelaskan Wellek dan Warren (dalam Siswanto, 2008: 13) bahwa sebuah karya sastra merupakan kompensasi perasaan pengarangnya. Terkait dengan penjelasan tersebut, maka Mary Shelley dapat dikatakan mengalami gangguan emosi sebagai reaksi dari keadaan sosial, ekonomi, kebijakan politik, dan budaya masyarakat yang dilihat dan dirasakannya.


(35)

Mary Shelley adalah seorang sastrawan berkebangsaan Inggris yang lahir pada tanggal 30 Agustus 1797 di London. Ia cenderung menulis tentang bahasan yang berkaitan dengan elemen otobiografi, simpati, gender, Romantisme, dan politik. Selain itu, Shelley juga dikenal kritikus sastra inggris sebagai pengarang yang menggambarkan penokohan Byronic Hero yang jauh lebih baik daripada penciptanya sendiri. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Mary Shelley dan suaminya, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), adalah teman dekat Lord Byron. Untuk mengetahui keterkaitan dan kesamaan ide Shelley dengan Byron, peneliti mengacu kepada penjelasan Wellek dan Warren dalam Siswanto (2008: 2), yakni peneliti hendaknya mengetahui dan mempelajari hubungan erat antara sastrawan dan karya sastranya; persahabatan sastrawan dengan sastrawan lain; perjalanannya, serta daerah-daerah yang pernah dikunjungi dan ditinggalkannya.

Perkenalan Mary Shelley dengan Lord Byron terjadi pada Mei 1816, yakni ketika Shelley dan suaminya belibur musim panas bersama Byron dan beberapa teman dekatnya di Genewa, Switzerland (Brewer, 1994). Dari pertemuan tersebut, Mary Shelley kemudian akrab dengan Lord Byron, dan mulai berbagi ide dan wawasan. Suatu ketika, Byron menantang Shelley untuk mengarang cerita horor dengan versi masing-masing. Tantangan tersebut diterima oleh Shelley, dan dituangkan ke dalam cerita Mary Shelley Frankenstein, yang konon merupakan interpretasi Shelley tentang perpaduan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang piatu dan manifestasi semu dari perwatakan suaminya, Percy Bysshe Shelley.


(36)

Semenjak penerbitan pertama novel pada tahun 1818 dengan judul asli Mary Shelley: Frankenstein or The Modern Prometheus, karya sastra tersebut sudah menjadi best seller dan terjual lebih dari ratusan juta cetakan di seluruh dunia hingga saat ini. Seiring perkembangannya, tokoh Sang Monster dan gambaran cerita novel juga banyak mengalami adaptasi dan dijadikan inspirasi oleh pengarang lainnya. Namun sangat disayangkan bahwa sebagian penikmat karya sastra terbukti gagal menangkap esensi yang berusaha disuarakan oleh Mary Shelley dalam novel tersebut. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar pembaca dan kritikus sastra hanya membahas novel dari segi intrinsiknya; sementara inti pembahasan yang sebenarnya terletak pada segi ekstrinsiknya.

Alasan peneliti mengangkat novel Mary Shelley Frankenstein sebagai tesis adalah untuk memperkenalkan penokohan Byronic Hero sebagai representasi tema perlawanan sosial dalam karya sastra. Selain hal tersebut, peneliti juga akan berusaha untuk melakukan pembongkaran makna yang berkaitan dengan realitas sosial, yang tersirat dalam dialog dan monolog penokohannya.

1.2 Perumusan Masalah

Tesis ini akan difokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan spesifik, sbb:

1. Bagaimanakah gambaran Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein?


(37)

3. Bagaimanakah cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein?

4. Bagaimanakah pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat?

5. Kontribusi apakah yang terkandung dalam novel Mary Shelley Frankenstein?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis adalah, sbb:

1. Mendeskripsikan Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein. 2. Menganalisis representasi realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam

novel Mary Shelley Frankenstein.

3. Mendeskripsikan cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

4. Menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat. 5. Menyingkap kontribusi yang terkandung dalam novel Mary Shelley

Frankenstein.


(38)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian mengenai Kesusastraan Inggris, dan selanjutnya dapat membantu penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Sastra Romantik, Sastra Gotik, Sastra Posmoderen, dan novel-novel Mary Shelley.

2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, yakni yang memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia, terutama dalam hal pengadaptasian penokohan Byronic Hero kreasi Lord Byron dan Mary Shelley.

3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas sosial masyarakat sebagai media perlawanan.


(39)

10

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang digambarkan dalam sebuah novel dapat bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.

2. Memperluas pengetahuan tentang ciri khas Kesusastraan Inggris, terutama mengenai Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan Romansa Gotik. 3. Menstimulasi dan memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia.


(40)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP

Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini akan dikemukakan sebagai berikut:

1. Tesis Chris Koelbleitner yang berjudul Frankenstein and Great Expectations: The Romantic Child and The Victorian Adult (1997). Pada penelitian tersebut dibahas interaksi antara diskursus Sastra Romantik dan Sastra Victorian terhadap penokohan Pip dalam novel Great Expectations karya Charles Dickens, sekaligus membandingkannya dengan penokohan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Pip diceritakan mengalami diskriminasi sosial dan terpaksa harus mengorbankan kebahagiaan masa kecilnya sebagai buruh pabrik. Ketika dewasa, Pip berhasil menyusun strategi dan merongrong kekuasaan yang telah memanipulasi dirinya.


(41)

Berbeda dengan hasil penelitian di atas, penulis membahas penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton, dan Sang Monster sebagai penyebab sekaligus penanggung derita diskriminasi sosial yang diciptakannya sendiri.

2. Tesis Jonathan Darren yang berjudul Literary Studies: Analyzing the Psychology of the Split Personality in Dr. Jekyll and Mr. Hyde by Robert Louis Stevenson (2000). Penelitian ini menganalisis unsur-unsur kepribadian ganda atau dikenal sebagai Disosiatif Identity Disorder (DID) terhadap penokohan Dr Jekyll dan Mr Hyde. Dr Jekyll dan Mr, Hyde secara efektif mewakili sisi baik dan jahat dari sifat manusia.

Berbeda dengan penelitian di atas, penulis menegaskan bahwa perilaku Byronic Hero tidak lah sama dengan kegilaan mental penokohan yang disebutkan sebelumnya. Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi terhadap ketidakadilan sosial.

3. Penelitian essay Nova Dahlén yang berjudul Severus Snape and the Concept of the Outsider: Aspects of Good and Evil in the Harry Potter Series (2009). Pada penelitian tersebut dibahas karakter dinamis Severus Snape yang bersifat kompleks, dan memfokuskan tokoh sebagai orang buangan.

Yang menjadi perbedaan antara penelitian di atas dengan penelitian yang diangkat penulis adalah penokohan Severus Snape tidak diposisikan sebagai tokoh utama penggerak jalan cerita seperti halnya Victor Frankenstein, sehingga peran penokohan tersebut tidak dirasakan pengaruhnya.


(42)

4. Penelitian essay Charlotta Wendick yang berjudul Happiness?: A Psychoanalytic Reading of the character Bill Maplewood in Todd Solondz’s film, Happiness (2008). Pada penelitian tersebut dibahas tentang suatu psikoanalisis menyeluruh terhadap karakter Bill Maplewood, yang mana berisi analisis konflik batin tokoh sebagai reaksi sadar dan tidak sadarnya. Berbeda dengan penelitian di atas, peneliti membahas konflik batin yang dirasakan Victor Frankenstein sebagai akibat dari ambisinya, bukan gejala kegilaan yang terjadi secara alami.

Peneliti juga mengaplikasikan teori-teori yang relevan mengenai pembahasan Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan hubungannya dengan konsep monster dari buku-buku karya Fred Botting, antara lain: Gothic Romanced: Consumption, Gender and Technology in Contemporary Fictions (2008), dan Making Monstrous: Frankenstein, Criticism, Theory (1991); juga teori-teori tentang konsep Byronic Hero dari buku karya Peter L. Thorslev Jr., yakni: The Byronic Hero: Types and Prototypes (1962) sebagai suatu pijakan untuk menganalisis penokohan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Selain itu, perlu diketahui bahwa pembahasan tentang penelitian yang diangkat penulis masih bersifat sangat baru dan sangat kekinian, terutama di Indonesia. Sebagai akibatnya, sumber referensi yang tersedia dirasakan masih sangat terbatas jumlahnya.


(43)

2.2 Landasan Teoretis

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain deskriptif-kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.

2.2.1 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan yang terkait dengan pemikiran dan perasaan pengarang dalam menciptakan karyanya. Selain terkait dengan narasi dalam substansi karakter tokoh, psikologi sastra juga terkait erat dengan realitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dalam pembahasannya digunakan sekaligus pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Hal tersebut dijelaskan oleh Roekhan (dalam Endraswara, 2008: 97-98) bahwa pendekatan psikologi sastra terdiri atas tiga pendekatan sekaligus, yakni: (1) tekstual, yang mengkaji aspek psikologis karya sastra. (2) reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca akibat pengaruh karya yang dibacanya. (3) ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis, baik sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya.


(44)

Psikologi dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikosastra dapat menjelaskan proses kreatif pengarang, yakni menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel, karena secara disadari atau tidak, pengarang cenderung ikut memasukan teori psikologi yang dianutnya, yang mana juga memiliki daya psikologis terhadap pembacanya. Oleh sebab itu maka karya sastra dapat dianggap sebagai cerminan psikologis pengarangnya.

Dikaitkan dengan objek penelitian, maka psikologi Mary Shelley sebagai pengarang dalam hal pencitraan Byronic Hero merupakan sebuah potret perlawanan manusia terhadap era Absolutisme, Pencerahan, dan Revolusi Industri.

2.2.2 Pendekatan Arketaipal

Menurut Scott (1963), pendekatan arketaipal adalah sebuah pendekatan yang bertumpu pada analisis yang bersifat mengkaji tindak tanduk manusia, bukan untuk mengkaji unsur estetik dan instrinsik sebuah karya sastra. Pendekatan ini erat hubungannya dengan psikologi manusia karena setiap perilaku manusia dalam berkebudayaan dan berkesenian tidak dapat dipisahkan dengan zaman di mana manusia hidup.

Pendekatan ini menegaskan bahwa di dalam karya sastra terdapat suatu kumpulan simbol, gambar, karakter, dan motif yang pada dasarnya akan membangkitkan respon yang sama terhadap semua orang. Menurut psikolog Carl Gustav Jung (1875-1961), arketaipal berhubungan erat dengan alam bawah sadar


(45)

manusia. Pendekatan Arketaipal mengidentifikasi pola-pola dasar yang dimaksud dan menjelaskan bagaimana hal-hal tersebut difungsikan dalam karya sastra.

Dalam hal ini, psikoanalisis Jung membahas tentang proses ketidaksadaran kolektif (yang disebut juga sebagai kritik tipikal). Ketidaksadaran kolektif adalah simbolisasi persepsi yang dipicu oleh sejumlah pikiran bawaan, perasaan, naluri, dan kenangan yang berada dalam ketidaksadaran semua manusia, yakni serangkaian pengalaman yang datang dengan sendirinya seperti takdir.

Data elemen arketaipal, secara relatif, dimanfaatkan sebagai sarana untuk memahami konsep pemikiran, watak, aspirasi, harapan masyarakat, serta nilai-nilai yang diharapkan oleh pencipta karyanya. Data elemen arketaipal dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi: (1) tokoh, (2) situasi, dan (3) pencitraan arketaipal. Data tokoh arketaipal merupakan tokoh legenda yang memiliki sifat tipikal, misalnya: pahlawan, monster, robot, penguasa, budak, dsb. Situasi arketipal berkenaan dengan peristiwa-peristiwa esensial dan tipikal dalam alur cerita, misalnya: pencarian, pelarian, petualangan, pelayaran, pengasingan, diskriminasi, dsb. Pencitraan arketaipal berupa imagi-imagi tipikal yang menimbulkan asosiasi pada makna tertentu, antara lain: gejala alam, pergantian musim, nama tumbuhan, nama hewan, warna, dsb.

Salah satu kegunaan pendekatan ini adalah sebagai pendekatan universal yang menyoroti hal-hal apa saja yang menjadi penyebab sebuah karya sastra dapat bertahan begitu lama. Di lain sisi, Pendekatan Arketaipal cenderung mengabaikan unsur seni


(46)

dalam karya sastra, dan lebih menyoroti hal-hal simbolis dalam cerita, yang mana biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia.

2.2.3 Metode Hermeneutika

Hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa dan semua aspek kebahasaan dalam kehidupan manusia. Istilah ‘hermeneutik’ berasal dari Bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’; dan hermeneia, yang secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang penafsiran atau interpretasi tentang isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks; dan menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Palmer, 2003).

Metode hermeneutika melakukan penafsiran terhadap bahasa melalui dua cara; yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis (Bleicher, 2003). Penafsiran gramatikal adalah cara bagaimana orang menggunakan bahasa berdasarkan situasi (di mana dan bagaimana bahasa itu digunakan). Sedangkan penafsiran psikologis adalah apa yang dapat ditangkap dari makna yang terkandung dalam setiap pembahasan itu (Bungin, 2007a).

Dalam meneliti suatu karya sastra, hermeneutika digunakan untuk memahami makna sastra yang terdapat di balik struktur. Sastra dipandang sebagai simbol dan teks dimana pada teks terdapat konteks yang bersifat polisemi sehingga teks harus dihubungkan dengan konteks.


(47)

Menurut Sumaryono (1993), Habermas membedakan antara penjelasan dengan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Fakta yang disampaikan melalui formasi diskursif dan diwacanakan secara terus menerus, akhirnya akan diterima sebagai sesuatu yang benar (Bleicher, 2003).

Dalam melakukan penafsiran, Endraswara (2008) mengemukakan empat langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti akan mempergunakan teori ini untuk menafsirkan makna bahasa yang diungkapkan dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

2.2.4 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) pada tahun 1967 dan mulai digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an (Muhadjir, 2001: 203). Dekonstruksi merupakan gebrakan posmoderenisme yang bersifat fungsionalis, strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmoderen, karya seni tidak dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan antara seni yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka pemaknaan terkait erat dengan diskursus.


(48)

Menurut teori dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik, kajian realitas sosial telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian dekonstruksi sosial. Kajian dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial sebagai obyek yang didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin (2007a) menjelaskan pandangan Karl Heinrich Marx (1818-1883) tentang realitas kehidupan sosial budaya masyarakat ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas (sesuai dengan pandangan teori konflik).

Dalam pengkajian teks (bahasa), terutama terhadap karya sastra, dekonstruksi dilakukan dengan cara memfokuskan permasalahan di dalam teks, memahami makna jelas di dalam teks, mencari pernyataan yang saling berlawanan (oposisi biner), dan membiarkan teks tersebut membentuk makna-makna yang disembunyikan oleh penulisnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pembentukan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya saling bertentangan; yang mana pada dasarnya mengandung penundaan makna.

Jika dibandingkan dengan sudut pandang Strukturalisme yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), maka makna (petanda) selalu dihasilkan berdasarkan adanya penanda; di mana makna merupakan hasil artikulasi dari lambang-lambang. Eagleton (1984) menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkis berfungsi untuk memberikan kedudukan yang lebih utama terhadap kaum laki-laki; yang mana dengan sendirinya memberikan kedudukan yang lebih rendah terhadap perempuan. Ia menjadi perempuan karena ia


(49)

demikian, maka laki-laki di sini merupakan prinsip utama, sedangkan perempuan merupakan prinsip kedua (subordinat).

Konsep oposisi biner versi Strukturalisme menunjukkan keterkaitan hubungan antara signifiant (penanda atau bunyi) dan signifie (petanda atau konsep); langue (bahasa atau sistem yang dimiliki bersama) dan parole (ucapan, realisasi individual). Salah satu kekurangan dalam pendekatan Strukturalisme adalah adanya konsep-konsep dikotomis yang mengandung ketidakstabilan makna dan bersifat kabur. Lebih lanjut, Lechte (2001) menjelaskan bahwa teori Saussurean dan teori linguistik Strukturalis kemudian disempurnakan oleh kelompok postrukturalis dengan penyertaan konsep Differance atau penundaan makna, yang diperkenalkan oleh Derrida pada tahun 1968.

2.3 Konsep

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam penelitian, antara lain: (1) Representasi, (2) Byronic Hero, dan (3) Postrukturalisme.

2.3.1 Representasi

Representasi secara harafiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi kultural tempat dikonstruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial. Representasi berfungsi mengubah obyek kebudayaan menjadi obyek kultural. Istilah tertua dari representasi adalah mimesis, yakni suatu konsep hasil debat antara Plato dan Aristoteles. Mimesis adalah peniruan terhadap dunia empiris melalui kata-kata, bunyi,


(50)

pikiran, tingkah laku, dan berbagai perwujudan aktivitas kultural. Maka dapat disimpulkan bahwa dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya..

Representasi merupakan salah satu fokus permasalahan yang sangat penting dalam teori-teori postruktural. Representasi memberi makna khusus pada tanda terhadap proses dan hasilnya. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak diberi bentuk konkritnya (Sardar, van Loon, 2001). Lebih lanjut, Perbedaan antara representasi dengan teks dijabarkan, sebagai berikut:

Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti obyek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (2004: 4), semua bentuk representasi, baik literal, visual, dan aural, maupun kultural pada umumnya, baik budaya tinggi maupun budaya masaa, didasarkan atas pesan ideologi tertentu sehingga tidak mungkin lepas dari masalah sosial politis (Ratna, 2008: 123).

Berdasarkan keterangan di atas, maka novel Mary Shelley Frankenstein diketahui sebagai produk kreatif pengarangnya, yang dapat dikonstruksi secara sosial dengan penggunaan bahasa sebagai medianya. Sehingga dapat dikatakan bahwa teks dalam novel berkaitan erat dengan makna dan representasi. Ratna (2008: 125) menjelaskan bahwa di dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer yang lain; yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia.


(51)

2.3.2 Byronic Hero

Istilah Byronic Hero pertama kali dipopulerkan oleh Lord Byron (1788-1824) dalam karya-karyanya pada era Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya (romantic movement). Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Byronic Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks dan banyak mengalami perubahan suasana hati (mood), juga cenderung kontroversial. Dalam realisasinya, tokoh Byronic banyak digambarkan pengarang sebagai tokoh yang semula dianggap antagonis, antara lain: setan, vampir, monster, ataupun tokoh kontroversial lainnya; namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang pahlawan.

Ciri tokoh Byronic sangat khas. Menurut Thorslev Jr. (1962: 7), Tokoh ini sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga sebagai ‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menggunakan konsep Byronic Hero untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang digambarkan oleh penokohan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Penelitian akan menjelaskan tentang hal apa saja kah yang melatarbelakangi perilaku tersebut, hal apa sajakah yang menjadi motivasi perilaku tersebut, dan bagaimana kah perilaku tersebut digambarkan dalam novel.


(52)

2.3.3 Postrukturalisme

Kemunculan aliran Postrukruralisme merupakan reaksi penyempurnaan sekaligus penentangan terhadap aliran Strukturalisme. Aliran tersebut dipopulerkan Jacques Derrida pada awal abad ke-20 (1980an) di Perancis dan Amerika. Postrukturalisme merupakan sebuah aliran yang sangat berkembang dan mutakhir, terutama dalam kajian sastra dan kritik sastra. Menurut pandangan Derrida, kekurangan pendekatan Strukturalisme (linguistik) terletak pada pengandalan anggapan-anggapan (pre-supposition) yang tidak pernah dipertanyakan lagi, dan menggunakan konteks sains terlalu sempit. Derrida menentang hal tersebut dengan konsepsinya mengenai desain sebagai suatu penyingkapan (design as a closure), yang dilakukan dengan dekonstruksi (deconstruction).

Lebih lanjut, kelemahan Strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut: (a) model analisis Strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata berdasarkan kepada struktur dan sistem tertentu; (b) strukturalisme terlalu memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan pengarang dan pembaca sebagai subyek manusianya; (c) hasil analisis Strukturalisme seolah-oleh difungsikan untuk karya sastra itu sendiri (intrinsik), bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas (ekstrinsik).

Secara definitif, Strukturalisme berarti suatu paham mengenai unsur-unsur, yakni struktur dengan mekanisme antarhubungan. Sebagai akibatnya, Strukturalisme


(53)

24

kemudian direvisi oleh Postrukturalisme, yang mana mengakibatkan pergeseran estetika produksi ke arah estetika konsumsi: yakni menyamakan letak penerima (pembaca) sebagai pencipta (pengarang). Postrukturalisme menganggap bahwa makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan melalui partisipasi aktif. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna tekstual berkaitan erat dengan konteks.

Postrukturalisme beranggapan bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka, melainkan terpisah sifatnya dari subyek sebagai penyampai pernyataan. Subyek di sini diartikan sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu, Postrukturalisme meletakkan dekonstruksi sebagai elemen yang sangat penting dalam pengungkapan makna yang disembunyikan penulisnya (hidden meanings).


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian

Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis konten (isi). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada dalam komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial; dan bagaimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Oleh karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan mampu untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang pada umumnya (Bungin, 2007a: 158). Penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan antara lain: untuk menggambarkan berbagai kondisi dan situasi serta realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menggambarkan realitas tersebut sebagai gambaran tentang kondisi, situasi, atau realitas tertentu.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam sastra antara lain:

“(1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yangbanyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama”.


(55)

Lebih lanjut, Endraswara (2008: 122) menerangkan bahwa sastra pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian, akan tetapi kejadian tersebut bukanlah fakta sesungguhnya, melainkan sebuah fakta mental pencipta. Dikaitkan dengan hal tersebut, maka penelitian ini akan mendeskripsikan potret luapan emosi manusia yang tergambar dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti membagi unit-unit penelitian dalam beberapa studi kasus, sbb:

Tabel 1 Unit-Unit Yang Diteliti dalam Format Deskriptif-Kualitatif ( D i m o d i f i k a s i d a r i S u m b e r : B u n g i n , 2 0 0 7 a : 6 9 )

UNIT YANG DITELITI FORMAT

DESKRIPTIF Individu Kelompok/Keluarga Masyarakat Kelembagaan

Sosial/Pranata

Studi Kasus SK1 SK2 SK3 SK4

Keterangan:

SK : Studi Kasus.

SK1 (Individu) : Pengarang.

SK2 (Kelompok/Keluarga) : Keluarga dan kelompok pengarang. SK3 (Masyarakat) : Masyarakat barat abad ke-19.

SK4 (Kelembagaan Sosial/Pranata) : Pemerintah dan sistem birokrasi negara Eropa abad ke- 19.


(56)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kodya Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pustaka deskriptif yang berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang digambarkan dalam teks. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif menggunakan pendekatan filsafat fenomenologi moderen, yang dipelopori oleh Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938). Filsafat fenomenologi moderen tersebut cenderung menekankan peranan pemahaman terhadap makna.

3.3.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan khusus (Surachmad, 1990: 163). Berkaitan dengan hal tersebut, maka sumber data primer yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah novel Mary Shelley Frankenstein, cetakan ketiga puluh, yang disunting oleh Maurice Hindle dan diterbitkan ulang oleh Penguin Books, London, Inggris pada tahun 2003.


(57)

3.3.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dan terlebih dahulu dikumpulkan oleh orang luar penyelidik, walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya data asli (Surachmad, 1990: 163). Dengan demikian, maka data sekunder yang digunakan peneliti dalam menganalisis data primer antara lain berupa analisis sumber dari internet dan buku-buku yang dapat dijadikan sebagai acuan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan format desain deskriptif-kualitatif yang didasari oleh Filsafat Fenomenologisme. Fenomenologi adalah tataran berpikir secara filosofis terhadap obyek yang diteliti dengan cara menekankan pada peran pemahaman terhadap makna. Hal tersebut dapat dimaklumi dikarenakan manusia adalah makhluk simbolik yang menggunakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi. Menurut Endraswara (2008), dalam penelitian sastra, Fenomenologi menghendaki kesadaran peneliti untuk masuk ke dalam teks, bukan mendorong keterlibatan subjektif murni. Otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki peranan penting, dan penafsiran teks disesuaikan dengan situasi kesejarahan penafsir. Sebuah karya sastra hadir bukan sebagai sebuah produk akhir dan bukan menyajikan makna yang sudah selesai.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan cara (1) membaca novel Mary Shelley Frankenstein secara cermat dan berulang-ulang; (2)


(58)

menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar, diterjemahkan, dan dibagi ke dalam unit-unit kecil sesuai klasifikasinya; (3) pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara mengabaikan data-data yang kurang relevan.

Menurut Bungin (2007a), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data.

Observasi sebagai metode penelitian kualitatif merupakan suatu pengamatan dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya. Oleh sebab itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuannya melalui hasil kerja panca indra mata, serta dibantu oleh panca indra lainnya.

Terhadap hal di atas, khususnya terkait teknik pengumpulan data dan teknik analisis data kualitatif Bungin (2007a: 78) menjelaskan, sbb:

Pada dasarnya, metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sekaligus juga adalah metode analisis data, dengan kata lain prosedur metodis sekaligus juga adalah strategi analisis data itu sendiri, sehingga proses pengumpulan data juga sekaligus adalah proses analisis data. Dengan demikian, proses pengumpulan data juga adalah proses analisis data, karena itu setelah data dikumpulkan maka sesungguhnya sekaligus peneliti sudah menganalisis datanya.

Sebagai sebuah karya Postrukturalisme, Mary Shelley Frankenstein menggunakan sistem tanda dalam kehidupan bermasyarakat, di mana tanda-tanda tersebut mengatur pola-pola interaksi sosial dalam sebuah masyarakat yang diteliti.


(59)

Untuk memahami hal ini, yakni bahasa sebagai sebuah sistem tanda, digunakan tipologi dari tanda-tanda yang digunakan dalam masyarakat.

3.5 Teknik Analisis Data

Strategi analisis data penelitian ini menggunakan strategi analisis konten (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Menurut Endraswara (2008: 160):

“Pada dasarnya, analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup banyak, antara lain meliputi: (a) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (c) nilai filosofis, (d) nilai religius, (e) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Dengan kata lain, peneliti baru memanfaatkann analisis konten apabila hendak mengungkap kandungan nilai tertentu dalam karya sastra.”

Dalam penelitian kualitatif, analisis konten ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi. Pemahaman dasar terhadap kultur di mana komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat (Bungin, 2007a: 158).

Strategi analisis juga menggunakan metode hermeneutika, karena melalui hermeneutika, makna-makna yang tersembunyi dalam teks sastra dapat disingkap dan ditafsirkan. Hal yang lazim dilakukan oleh peneliti hermeneutika sastra adalah membaca teks ‘dari dalam’ tanpa masuk ke dalam teks. Dalam memahami teks,


(60)

kerangka kebudayaan dan sejarahnya bersifat diakronis, yang memiliki kesalinghubungan. Dalam pembahasan ekstrinsik, diperoleh makna sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah karya sastra pada zaman tertentu.

Lebih lanjut mengenai hal ini, dijelaskan Endraswara (2008: 90), sebagai berikut:

“Penelitian sastra seyogyanya juga menjurus ke masalah-masalah politik, karena, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks sastra. Bahkan kondisi politik juga sering mempengaruhi kehidupan sastra itu sendiri. Mungkin sekali yang terpantul dalam karya sastra bukan hubungan politik secara detail, melainkan berupa ideologi tertentu. Ideologi itu yang akan menjadi pijaran sebuah karya sastra mengandung kekuasaan tertentu atau tidak”.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sama halnya dengan metode analisis data. Dalam hal ini, peneliti melakukan langkah sebagai berikut:

1. Peneliti melakukan pengelompokan dua unit analisis struktur, yakni unit intrinsik dan unit ekstrinsik. Analisis unit intrinsik meliputi penokohan, alur, tema, dan latar novel Mary Shelley Frankenstein. Sedangkan pada unit ekstrinsik digunakan teori Psikosastra, metode Hermeneutika, pendekatan Arketaipal dan pendekatan Postruktural untuk keperluan menganalisa unsur-unsur psikologis, sosiologis, filosofis, dan politis yang terkandung dalam penokohan Byronic Hero.


(1)

Terkejut melihat keberhasilan eksperimen Waldman, Victor pun semakin berambisi untuk menyempurnakannya. Ia kemudian terobsesi untuk menciptakan suatu kehidupan baru dalam sosok manusia sempurna. Namun malang, sebelum ia sempat mempelajari banyak hal menyangkut eksperimen tersebut, Prof. M. Waldman direnggut nyawanya oleh seorang gelandangan pasien vaksin cacar, ketika akan melakukan praktek vaksin massal. Mengetahui tragedi ini, Victor merasa putus asa, dan nekat melanjutkan eksperimen yang pernah dipelajarinya dari Waldman. Ia mencoba mengumpulkan potongan tubuh dari sejumlah jenazah yang masih baru, menyatukan potongan-potongan tubuh tersebut, dan mencangkokkan otak mendiang Prof. M. Waldman ke dalam tempurung kepala mayat tersebut. Dengan melakukan ini, Victor berharap dapat menciptakan sesosok manusia sempurna hasil rekayasa eksperimen.

Selama mengerjakan eksperimen tersebut, Victor mengurung diri berminggu-minggu lamanya. Tak disangka, ternyata Victor berhasil menghidupkan mayat tersebut. Namun ia sangat kecewa ketika melihat makhluk hasil eksperimennya itu menjadi sesosok makhluk buruk rupa, yang sama sekali di luar harapannya selama ini. Victor merasa menyesal karena telah memberinya kehidupan, tanpa terlebih dahulu memikirkan bagaimana kelak ia akan memelihara dan membesarkan makhluk tersebut. Melihat sosoknya yang menakutkan, ia pun panik dan memutuskan untuk mengusir dan membiarkan makhluk yang diciptakannya itu hidup sebatang kara. Setelah makhluk itu pergi, Victor langsung jatuh sakit, dan kemudian dirawat oleh sahabatnya, Henry Clerval.

Makhluk ciptaannya ini pun memulai petualangan di dunia yang tak pernah dikenalnya. Ia sebenarnya tidak tahu mengapa dan untuk apa ia diciptakan. Makhluk ini tercipta tanpa nama, dengan sosok dan fisik yang tidak sempurna, bahkan terlihat janggal dan menakutkan, serta yang paling menyedihkan, ia tak pernah diajarkan cara berkomunikasi oleh penciptanya. Selama melakukan perjalanan, berbagai macam kesialan dan ketidakadilan pun sering dialaminya, terutama ketika ia dihakimi warga, karena tertuduh sebagai pembawa wabah kolera dan disentri di kota tersebut.


(2)

Makhluk itu pun terus berlari untuk menyelamatkan diri, sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah rumah kecil yang sangat sederhana, dan memutuskan untuk menyelinap dan tinggal di dalam kandang hewan ternak, tanpa diketahui oleh keluarga tersebut.

Rumah sederhana itu diketahui sebagai rumah kontrakan yang ditinggali oleh Keluarga De Lacey, yang mana ditinggali oleh sepasang suami istri dengan dua anak manis, serta seorang kakek buta. Walaupun hidup dalam kemiskinan, mereka tetap hidup harmonis dan saling menyayangi satu sama lain. Dari keluarga ini lah makhluk tersebut perlahan mulai belajar tentang kasih sayang, sopan santun, sedikit pengetahuan tentang agama, cara berbicara, cara menyimak, dan cara membaca. Namun sangat disayangkan, dikarenakan himpitan ekonomi, keluarga ini tak mampu membayar uang sewa rumah tersebut. Hal ini semakin diperparah oleh terjadinya musim dingin yang menyebabkan mereka sulit panen. Melihat penderitaan ini, tanpa sepengetahuan mereka, makhluk ciptaan Victor tersebut kemudian membantu keluarga ini dengan cara memanen hasil tanaman yang beku karena musim dingin. Hasil panen itu ia letakkan di depan rumah, dan diketahui oleh keluarga tersebut keesokan harinya.

Suatu ketika rumah itu kosong, penagih sewa rumah tersebut tiba-tiba datang dan menyakiti kakek buta. Ia mengancam akan menyita rumah jika mereka tidak terus menunggak. Makhluk itu pun marah, kemudian mencelakai penagih sewa rumah itu. Kakek buta itu merasa sangat berterima kasih, dan mengajak makhluk tersebut masuk ke dalam rumah. Makhluk itu sangat senang karena kakek tersebut sangat menghargainya. Tak lama kemudian, keluarga tersebut pulang. Karena panik atas kejadian yang menimpa kakek buta tersebut, puteranya menyangka makhluk itu lah yang menyakiti ayahnya. Akhirnya makhluk malang itu pun dipukul dan diusir oleh puteranya.

Dalam pelariannya, makhluk itu terus menangis, dan bertanya-tanya mengapa ia diperlakukan seperti ini. Tak lama kemudian, ia kembali ke rumah itu. Namun sayang, rumah itu sudah kosong. Mendapati rumah itu sudah kosong, secara tidak


(3)

sengaja, ia pun memeriksa kantong jubah yang dikenakannya, dan menemukan buku harian Victor Frankenstein yang terbawa saat ia diusir dari laboratorium. Setelah membaca isi buku tersebut, makhluk tersebut marah dan dendam kepada Victor. Sebagai luapan kemarahannya, ia kemudian membakar rumah itu sambil meneriakkan nama Frankenstein.

Di lain tempat, Victor masih berada di Ingolstadt. Tak lama ia menerima kabar dukacita dari ayahnya, Alphonse, mengenai kematian adik bungsunya, William. Ayahnya juga menceritakan tentang terbunuhnya Justine Moritz, pengurus rumahnya. Justine diberitakan telah dihukum gantung warga akibat tertuduh membunuh William. Keesokan harinya, Victor segera pulang, dimana ia langsung disambut oleh makhluk ciptaannya tersebut. Makhluk itu menyuruh untuk menemuinya di Gunung Montanvert. Sampainya di sana, ia memaksa Victor untuk menciptakan teman hidup bagi makhluk tersebut, dan berjanji bahwa jika dikabulkan, maka ia tak akan pernah mengganggu hidupnya lagi. Namun jika Victor menolaknya, maka Sang Monster mengancam akan menghabisi semua orang yang disayanginya. Untuk sejenak Victor memikirkan apa yang akan terjadi. Di satu sisi, ia tak ingin menciptakan makhluk mengerikan lainnya, namun di sisi lainnya, ia juga takut akan teror makhluk tersebut.

Setibanya di rumah, Victor pun langsung melamar Elizabeth sebagai istrinya. Ia melakukan ini sebagai usaha untuk mengingkari janjinya terhadap makhluk tersebut. Sang Monster pun marah dan mulai melancarkan aksi terornya. Mengetahui makhluk itu akan menagih janjinya, maka Victor pun terus memperketat penjagaan rumahnya, serta mengajak orang-orangya untuk memburu makhluk tersebut. Namun malang sekali, Henry Clerval menemukan ayah Victor sudah tidak bernyawa di kamarnya. Teror pun tak hanya sampai di situ, pada akhirnya Elizabeth juga terbunuh tepat pada malam pengantinnya.

Karena merasa putus asa, Victor pun terpaksa bergegas ke laboratoriumnya untuk segera menghidupkan Elizabeth dengan eksperimen yang sama. Namun di tengah perjalanannya, Henry Clerval juga berhasil dibunuh oleh makhluk tersebut. Setelah Elizabeth berhasil dibangkitkan, Sang Monster berusaha merampasnya dari


(4)

139

tangan Victor. Persengketaan antara sang pencipta dan ciptaannya pun terjadi. Namun perebutan ini tak berlangsung lama ketika Elizabeth menyadari bahwa wajahnya yang sekarang sangat lah buruk rupa. Elizabeth menyadari penderitaannya ini, dan segera mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya sendiri. Pada akhirnya, seluruh bangunan itu pun ikut terbakar habis.

Tragedi ini begitu membekas di benak Victor. Maka dengan kebulatan tekad, ia pun menghabiskan sisa hidupnya untuk memburu makhluk tersebut. Berbulan-bulan perjalanan pun ditempuhnya hanya untuk membalaskan dendamnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia pun terdampar di dataran es dalam keadaan tak berdaya. Di sini lah ia bertemu dengan Kapten Walton, dan kemudian menceritakan semua kisah penderitaan hidupnya. Namun dikarenakan rasa lelahnya yang teramat sangat, Victor pun akhirnya menemui ajalnya. Tak lama kemudian makhluk ciptaannya tiba-tiba hadir di antara mereka, meratapi kematian sang pencipta. Ia terlihat menyesali segala perbuatan yang pernah dilakukannya. Ternyata jauh di lubuk hatinya, makhluk ini menganggap Victor sebagai ayahnya, dan berusaha mencintainya dengan caranya yang tak lazim, kendatipun selalu menyakiti hati ayahnya tersebut. Di akhir cerita, makhluk ini terus menangisi jenazah Victor, dan mulai memakamankannya dengan cara kremasi. Setelah itu ia pun menghilang di balik kabut bersama keputusasaannya, tanpa pernah terlihat ataupun terdengar lagi oleh manusia mana pun.


(5)

Lampiran 3

Kulit Sampul Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley


(6)

Lampiran 4