BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN
KARYA MARY SHELLEY DAN KONFLIK BATIN VICTOR FRANKENSTEIN
4.1 Pendahuluan
Novel Mary Shelley Frankenstein adalah salah satu bentuk karya sastra Inggris periode Romantik yang digambarkan dalam suasana Gotik Gothic Romance.
Novel tersebut menjadi sangat terkenal dan melegenda, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika, sebagai akibat dari isi ceritanya yang unik, menarik, dan berbeda
dibandingkan novel-novel Romantik lainnya. Mary Shelley Frankenstein diketahui banyak menceritakan keadaan yang dirasakan penokohan-penokohannya secara
arketaipal; yakni berupa ekspresi-ekspresi dan simbolisasi pencitraan penokohan perwatakan yang berkaitan erat dengan psikologi manusia dan pola perilaku
manusia dalam berkebudayaan sesuai zamannya, yang mana mengakibatkan perilaku yang ditunjukkan satu penokohan mempengaruhi perilaku penokohan lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mary Shelley Frankenstein sebagai Romansa Gotik dengan penggunaan arketaipal dijelaskan Beville 2009 : 41, sebagai berikut:
Mary Shelley’s Frankenstein is an archetypal example of Gothic fiction and her uncanny monster-figure can be seen as an enacting
the quandary of life in the terrifying context of profound non- identity. Steven Bruhm would argue that ‘the volatile status of
otherness’, as manifest in Shelley’s novel, will forever haunt theGothic mode, but he also notes that this ‘otherness’ is often
framed by a psychoanalitic model of the human psyche that includes a larger social vision full of phobias and prejudices about
many types of ‘others’.
Universitas Sumatera Utara
Novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley merupakan contoh arketaipal dari sebuah fiksi Gotik, dan figur monster
anehnya dapat dipandang sebagai peran kebingungan hidup dalam konteks ketakutan yang amat besar dari keadaan tanpa identitas.
Steven Bruhm memperdebatkan bahwa ‘status mudah berubah pendirian terhadap orang lain’ sebagai manifestasi dalam novel
Shelley, yang mana akan selamanya menghantui mode Gotik, sebaliknya ia berpendapat bahwa ‘kelainan’ tersebut sering
dibentuk oleh model psikoanalitik dari kejiwaan manusia yang meliputi visi sosial yang penuh dengan fobia dan prasangka
mengenai banyak jenis ‘orang lain’.
Sebagai salah satu ciri pendekatan arketaipal, Victor Frankenstein diposisikan dalam sebuah peran ganda, yakni: sosok malaikat sekaligus iblis. Ia dapat dianggap
mewakili sosok malaikat karena mempergunakan ilmu pengetahuan yang dikuasainya untuk tujuan kemanusiaan, sementara di lain sisi ia dianggap mewakili sosok iblis
karena menyalahgunakan ilmu pengetahuan tersebut demi pemuasan ambisinya semata.
Terlepas dari penggambaran watak tokoh-tokohnya, tujuan Mary Shelley merancang tema cerita novel tersebut adalah sebagai suatu cara untuk menyadarkan
penguasa pemerintah agar lebih memperhatikan keberadaan kaum-kaum yang kurang beruntung secara ekonomi dan tidak memperoleh pendidikan layak. Hal
tersebut diketahui sebagai salah satu motivasi Shelley untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, William Godwin dalam upaya mengatasi kesenjangan sosial Coghill, 2000:
2. Selain itu, sebagian besar karya-karya Shelley menyuarakan nafas revolusi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan kebebasan, persamaan kelas, dan persaudaraan
dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tentunya dapat disimak secara jelas
Universitas Sumatera Utara
setelah dilakukan dekonstruksi terhadap makna yang disembunyikan dalam karya- karyanya.
4.2 Latar Belakang Penulisan Novel