Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial

“…not I, but she, shall suffer; the murder I have committed because I am forever robbed of all that she could give me, she shall atone” Shelley: 145. “…bukan aku, tapi dia; yang akan menderita; atas pembunuhan yang kulakukan karena aku akan selamanya merasa terampas dari semua yang mungkin dapat diberikannya kepada ku, dia akan menebusnya” Shelley: 145. Berdasarkan ungkapan di atas, dapat diketahui bahwa Sang Monster mendiskriminasikan sekaligus memanfaatkan sosok tak bersalah yang dimiliki Justine sebagai penebus perbuatan kejinya. Sang Monster beranggapan jika ia tak mampu memiliki Justine, maka ia harus mati. Oleh karena itu, maka sosok wanita untuk kesekian kalinya digambarkan di sini sebagai obyek, dan penanggung derita atas dominasi pria.

6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial

Setelah dilakukan pengamatan, novel Mary Shelley Frankenstein ternyata juga menyuarakan satir yang berbau ketidakadilan sosial. Realisasi dari ketidakadilan tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kelas sosial dan kekuasaan politik antara kaum yang mendominasi dan kaum yang didominasi. Dalam novel, Shelley sebagian besar namun tidak selalu menyuarakan hal tersebut di dalam penokohan Victor sebagai penguasa yang mendominasi; dan ketidakadilan tersebut banyak direpresentasikan oleh Sang Monster sebagai kaum yang didominasi. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti akan menguraikan hal-hal yang berusaha diungkapkan oleh Shelley dalam novel ini. Universitas Sumatera Utara Keterangan tersebut diungkapkan Sang Monster, sbb: “Was man, indeed, at once so powerful, so virtuous, and magnificent, yet so vicious and base? He appeared at one time a mere scion of the evil principle, and at another as all that can be conceived of noble and godlike…” Shelley: 122. “apakah manusia, yang begitu berkuasa, begitu berbudi luhur, dan menakjubkan, dapat begitu kejam dan hina? Pada satu sisi ia adalah melambangkan setan, dan pada sisi lainnya ia dapat dipandang sebagai orang mulia dan seperti dewa… Shelley: 122. Ungkapan di atas merupakan suatu kekecewaan terhadap sosok penguasa. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi pada era pencerahan di Eropa, terjadi ekspansi kekuasaan monarki ke negara-negara miskin, sebagai bentuk kolonialisme. Dan sosok penguasa tersebut bermanifestasikan kepada kaum aristokrat, yang mana identik dengan kaum yang terpelajar. Mari kita simak ungkapan berikut: “I learned that the possessions most esteemed by your fellow- creatures were, high and unsullied descent united with riches. A man might be respected with only one of these acquisitions; but without either he was considered, except in very rare instances, as a vagabond and a slave, doomed to waste his powers for the profit of the chosen few” Shelley: 122-123. “Aku belajar bahwa kepemilikan adalah kebanggaan bagi makhluk- makhluk ini, tinggi tanpa cacat dilengkapi dengan kekayaan. Seseorang mungkin akan dihormati dengan kepemilikan tersebut; namun tanpa semua ini, akan menjadi gelandangan dan budak, terpaksa harus menghabiskan kekuatannya demi keuntungan beberapa orang yang terpilih” Shelley: 122-123. Uraian tersebut menggambarkan bagaimana konsep berpikir masyarakat moderen pada abad ke-19 yang cenderung lebih menghormati seseorang dari Universitas Sumatera Utara seberapa banyak kekayaan yang dimilikinya. Sebagai akibatnya, kaum yang kurang beruntung sering dianggap sebagai sampah masyarakat, dan beberapa dari mereka dieksploitasi kaum yang mendominasi demi meraup keuntungan dan memperkaya diri sendiri. Ungkapan mengenai ketidakadilan juga disampaikan oleh Victor kepada Elizabeth sebagai bentuk penyesalan karena Justine terbunuh akibat makhluk ciptaannya, sbb: “I know, I feel she was innocent; you are of the same opinion, and that confirms me. Alas Victor, when falsehood can look so like the truth, who can assure themselves of certain happiness? I feel if I were walking on the edge of a precipice, towards which thousands are crowding, and endeavouring to plunge me into the abyss.” Shelley: 96. “Aku tahu, aku merasakan bahwa dia tak bersalah; kau juga berpendapat demikian, dan meyakinkanku. Aduh Victor, ketika kesalahan terlihat sebagai kebenaran, siapa yang dapat memastikan seseorang tentang kebahagiaan tertentu? Aku merasa aku sedang berjalan di ujung sebuah prinsip, menuju ribuan kerumunan, yang menyuruhku masuk ke dalam jurang” Shelley: 96. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Victor menyesal karena telah mendiamkan kesalahan yang diketahuinya, yang berakibat kematian bagi Justine yang tidak bersalah. Yang menjadi ketidakadilan di sini adalah kelalaian dalam mempertahankan sesuatu yang benar, dan membiarkan hal yang salah, sehingga merugikan orang lain. Dalam uraian tersebut Shelley berusaha menggambarkan kekacauan sistem hukum abad ke-19, di mana sering terjadi praduga Universitas Sumatera Utara tak bersalah dan eksekusi mati tanpa terlebih dahulu menelusuri fakta secara seksama, yang mana bertentangan dengan hati nurani dan moral manusia.

6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror