ruang wilayah dalam penggunaan lahan. Dalam berbagai kasus, petani justru kurang terlibat dalam pengambilan keputusan Wibowo, 2004. Keberadaan
penyuluh atau fasilitator yang seharusnya bertugas untuk memberdayakan petani, justru beralih menjadi pelayan yang siap menggantikan petani dalam pengambilan
kebijakan Syarif, 2010. Salah satu rumusan Konperensi Nasional Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia PERHEPI ke XIV di Jakarta, 28-29 Mei 2004 dalam Wibowo, 2004 ialah :
”Rekonstruksi dan restrukturisasi pertanian Indonesia akan sangat tergantungpada bagaimana pemimpin bangsa mendudukkan
pertanian dalam kerangka pembangunan nasional. Harus ada pandangan normatif pemimpin bangsa yang berani mengambil posisi
yang jelas dengan sikap”.
Dalam penyusunan kebijakan, seorang pemimpin yang dibantu oleh para birokrasi di bawahnya harus berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Dengan
demikian penyusunan desain pemantapan pengendalian konversi lahan sawah perlu berpihak kepada petani. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam desain
kebijakan pengendalian lahan sawah yang berpihak kepada petani adalah: 1 penyebab terjadinya konversi, 2 dampak dari konversi lahan sawah, 3 kriteria
kebijakan yang berpihak kepada petani, dan 4 alternatif strategi prioritas yang dipilih.
2.3.2.1. Pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk
Pada dasarnya dalam negara yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, maka pencegahan konversi lahan sawah tidak bisa dicegah, namun bisa
dikendalikan untuk mengatasi dampak negatifnya Addhitama, 2009. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor penting yang berhubungan dengan konversi lahan sawah
adalah laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Irawan 2005.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk besar di dunia. Hingga kini, penduduk dunia telah mencapai 7 milyar jiwa, telah menjadikan
Indonesia sebagai negara keempat terbesar penyumbang pertumbuhan penduduk
di dunia. Penyumbang pertumbuhan penduduk terbesar di dunia pertama adalah China, kemudian India, ketiga Amerika dan keempat Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya sudah berupaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang demikian cepat. Keluarnya UU. No
522009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kemudian Perpres No. 622010 dimana BKKBN yang semula Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Baik dalam UU maupun Perpres ditegaskan bahwa
tugas BKKBN adalah melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan Keluarga Berencana.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa dunia sedang menghadap persoalan besar yang harus segera diatasi yaitu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.
Secara nasional maupun dunia, dampak dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ini akan meningkatkan beban pemerintah dalam penyediaan pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk seperti pangan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, transportasi, energi dan lain sebagainya.
Laju pertumbuhan penduduk tentunya berkorelasi positif dengan pertambahan jumlah makanan. Pasokan makanan yang peningkatannya tidak
dapat mengimbangi jumlah penduduk yang tinggi dapat menimbulkan masalah baru, yaitu krisis bahan pangan. Bahan pangan yang terbatas akan membuat setiap
orang berjuang untuk memperolehnya. Keterbatasan-keterbatasan ini membuat Indonesia harus mengimport pasokan bahan makanan dari negara lain.
Persoalannya, dengan lonjakan penduduk dunia yang ada sekarang, seberapa besar dunia dapat menyediakan bahan makanan bagi penduduknya? Tentunya akan ada
titik kritis dunia dapat menyediakan kebutuhan makanan atau beras bagi penduduknya.
Sebagai bagian dari Indonesia maupun dunia, maka pembangunan Kawasan Andalan pun menghadapi persoalan yang sama. Lonjakan pertumbuhan
penduduk tentunya juga terjadi pada kawasan in. Hal itu akan membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah di kawasan ini. Lonjakan jumlah
penduduk yang tinggi akan meningkatkan beban bagi pemerintah di kawasan ini
dalam menyediakan kebutuhan dasar penduduknya. Untuk itu, selain secara nasional dengan adanya UU dan Perpres, maka perlu dibuat kebijakan-kebijakan
khusus pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah.
2.3.2.2. Diversifikasi Makanan Non Beras
Sebagai makanan pokok, maka ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras sangat tinggi. Bahkan konsumsi beras orang Indonesia dianggap
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata penduduk Asia lainnya. Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi beras hingga 130-140 kilogram per tahun, atau rata-rata
400 gram per hari setiap orangnya. Jumlah ini tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan orang Asia lainnya yang hanya mengkonsumsi beras
sebanyak 65-70 kilogram per orang per tahun http:www.tempo.coreadnews 20111213090371426Konsumsi-Beras-di-Indonesia-Tertinggi-di-Dunia.
Konsumsi penduduk Indonesia akan beras adalah yang tertinggi di dunia Tiftazani, 2011 sehingga menimbulkan masalah pangan utama di Indonesia. Ini
berarti bahwa pemerintah harus menyediakan pangan berupa beras yang cukup bagi penduduk Indonesia. Padahal saat ini ada sekitar 60 jenis bahan pangan
sumber karbohidrat lain selain beras yang bisa dikonsumsi oleh penduduk Indonesia.
Upaya untuk melakukan diversifikasi pangan sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 1960-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan
makanan pokok selain beras. Di akhir pelita I 1974, secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Inpres No.14 tahun
1974 tentang Perbaikan Mutu Makanan Rakyat UPMMR dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari instruksi ini adalah untuk lebih
menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Hal itu seiring dengan yang diuangkapkan oleh Simanjuntak 2006.
Tingginya ketergantungan penduduk Indonesia akan beras Susilo, 2011, dan terbatasnya produksi beras Indonesia, menyebabkan pemerintah harus
mendatangkan beras dari luar. Dalam hal ini diversifikasi makanan non beras juga dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi impor beras nasional
Suyastiri, 2008. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ketergantungan terhadap beras
adalah dengan cara merubah pola konsumsi secara perlahan. Perubahan pola konsumsi ini tidaklah mudah, karena diversifikasi itu merubah pola pangan,
sekaligus pola pikir, yang tadinya kalau tidak makan beras menjadi terdiversifikasi. Bagi penduduk tertentu di Indonesia makan nasi beras identik
dengan orang modern, terkemuka dan memberikan suatu prestise tertentu.
2.3.2.3. Peningkatan Produksi Padi
Makin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk, maka tuntutan akan bahan panganpun makin besar. Dari uraian sebelumnya, dunia sekarang ini sedang
menghadapi krisis pangan, bahkan diramalkan bahwa pada tahun 2030 akan terjadi kekurangan pangan dunia.
Karena konversi lahan subur untuk keperluan non pertanian terutama di Jawa terus berlangsung, maka luas areal untuk tanaman padi akan terus berkurang.
Oleh karena itu perlu ada upaya lain untuk meningkatkan produksi sebagai kompensasi dari berkurangnya lahan subur di Jawa. Strategi peningkatan produksi
padi dapat dilakukan dengan pola intensifikasi dan ekstensifikasi. Strategi ini merupakan kompensasi dari konversi lahan, mengingat kondisi
keuangan negara tidak memungkinkan membuka sawah baru dengan fasilitas irigasinya. Potensi dan peluang lain adalah meningkatkan mutu intensifikasi
melalui penggunaan varitas unggul dan teknik budidaya yang sudah maju PTT. Upaya terakhir ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi per satuan luas
lahan. Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan membukan galengan-galengan pembatas antar sawah.
2.3.2.4. Insentif Fiskal Kepada Petani
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah Samuelson, 1995. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun
kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif
pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Disamping pajak, kebijakan fiskal juga menyangkut subsidi. Berkaitan dengan insentif fiskal, tentunya berkaitan dengan pemberian subsidi kepada petani
atau keringananpenghapusan terhadap pajak-pajak yang ditanggung petani, termasuk pajak bumi dan bangunan.
Pada umumnya kebijakan insentif fiskal pada Pengembangan Kawasan Andalan diberikan kepada investor dan pedagang Samosir dan Wibowo, 2004,
jarang sekali dinikmati oleh petani Wibowo, 2011. Oleh karena itu, kebijakan insentif fiskal ini penting diberikan kepada para petani agar mereka dapat
meningkatkan usahataninya dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraannya.
2.3.2.5. Asuransi Kepada Petani
Kebutuhan akan beras di Indonesia akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan pemerintah maupun pihak-
pihak yang berkepentingan di Indonesia agar produksi beras dapat mencukupi kebutuhan penduduk. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat produksi
beras di Indonesia; misalnya tantangan alam berupa cuaca, hama, ketersediaan pupuk dan sebagainya. Untuk menghasilkan padi atau beras membutuhkan waktu
panjang dan kerja keras dari para petani. Tidak jarang, karena faktor-faktor tertentu menyebabkan petani mengalami gagal panen. Jika gagal panen terjadi,
maka para petani akan mengalami kerugian yang besar. Selain kerja kerasnya menjadi sia-sia, para petani juga mengalami kerugian materi yang tidak sedikit.
Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi para petani, maka dipikirkan tentang proses ganti rugi asuransi terhadap usahatani. Menurut pakar
Sosial Ekonomi Pertanian UGM Prof. Dr Ir Irham MS www.ugm.ac.idindex. php?page= rilisartikel=1115, perlu adanya pemberian jaminan asuransi kepada
petani yang mengalami kerugian gagal panen. Irham kemudian membandingkan dengan negara Iran. Menurutnya, Iran cukup maju dalam pemberian asuransi
kepada petani, meski kondisi alamnya cukup berat dengan perubahan cuaca dan susu yang cukup drastis sehingga memiliki resiko kerugian cukup besar bagi
petaninya. Namun setelah diberlakukan jaminan asuransi bagi petani maka kebijakan ini mendapat sambutan yang cukup luar biasa dan dapat berjalan cukup
efektif. Menurut Murniningtyas 2007, usahatani termasuk aktivitas ekonomi yang
paling sering menghadapi resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Ketidaksiapan atau ketidakmampuan mengantisipasi resiko dan ketidakpastian itu dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan produksi yang cukup besar, bahkan mungkin gagal panen, sehingga petani menderita kerugian yang besar. Oleh karena itu
antisipasi terhadap resiko dan ketidakpastian harus dipandang sebagai bagian integral dari pengembangan sistem usaha pertanian.
Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skema pendanaan untuk membagi resiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian berhubungan dengan
pembiayaan usahatani dengan pihak ketiga lembagaperusahaan swasta atau instansi pemerintah dengan jumlah tertentu dari pembayaran premi Pasaribu at
al , 2010. Melihat pada resiko yang dihadapi petani karena gangguan hama
maupun bencana alam, maka asuransi pertanian menjadi sangat penting. Asuransi pertanian ini dimaksudkan untuk membantu petani dari kerugian gagal panen juga
untuk memastikan bahwa para petani ini akan memiliki modal kerja yang cukup karena mengasuransikan usahataninya untuk membiayai usahatani pada musim
berikutnya. Melihat pada kenyataan bahwa seringnya serangan hama dan penyakit pada
tanaman padi, yang membawa kepada kondisi gagal panen terutama di sentra produksi tanaman pangan harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk
mempertimbangkan penerapan skema asuransi pertanian pada usaha tani padi. Sikap ini juga sebenarnya menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam membela
kepentingan petani miskin. Contoh dari penerapan asuransi pertanian ini dapat dilihat dari pengalaman yang terjadi di Iran dan India. India dan Iran menjadi
contoh dari pemberlakuan asuransi pertanian ini, dan petani yang berpartisipasi telah merasakan manfaat dari skema ini, sehingga mereka terdorong untuk
meneruskanya Wawasan, 2008. Perubahan iklim yang terjadi belakangan ini, menjadi masalah tersendiri
bagi petani. Tidak jarang kondisi iklim yang tidak menentu menjadi penyebab dari kegagalan panen. Dalam konteks ini, maka asuransi untuk usahatani padi menjadi
progam yang menarik. Asuransi ini bukan hanya mencakup perlindungan terhadap fluktuasi harga, tetapi secara khusus juga mencakup pembagian resiko karena
kekeringan, banjir, dan serangan organism pengganggu tanaman serta faktor eksternal lainnya. Disadari bahwa program asuransi ini masih baru untuk
Indonesia Nurmanaf, 2007, oleh karena itu perlu hati-hati dalam pelaksanaannya.
2.3.2.6. Pengendalian Transformasi Mata Pencaharian Petani
Sebagai sebuah negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia hidup dari mata pencaharian sebagai petani. Namun, jumlah ini semakin berkurang
disebabkan menyusutnya lahan pertanian dari tahun ke tahun. Dengan menyusutnya lahan pertanian maka akan berkurang juga tenaga kerja yang dapat
diserap di bidang ini Ruswandi at al. 2007. Akibatnya, jumlah petani juga akan mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya lahan sawah.
Kementerian Pertanian melaporkan bahwa jumlah petani pada tahun 2011 terus menyusut. Sepanjang tahun tersebut jumlah petani berkurang 2,16 juta atau
turun 5,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kementerian memerinci saat ini total petani seluruh Indonesia sebanyak 39,33 juta jiwa dibandingkan 2010 yang
mencapai 41,49 juta jiwa. Selanjutnya dikatakan pula bahwa penyerapan tenaga kerja pertanian 33,51 persen dari total angkatan kerja nasional Sinar Harapan,
2012.
Minat para pemuda untuk bekerja di sektor pertanian terjadi penurunan dari waktu ke waktu. Hal ini tentunya sangat mengkuatirkan, karena di kemudian hari
akan terjadi kelangkaan tenaga kerja pertanian. Ada anggapan di kalangan muda tertentu bahwa bekerja di sektor pertanian tidak menjanjikan pendapatan yang
memadai. Fenomena tersebut terlihat secara nyata, bahwa organisasi-organisasi petani perdesaan rata-rata beranggotakan petani dengan umur seabad ke atas,
sangat sedikit pemuda yang bertani Dion, 2011. Persoalan lain adalah tidak mudah bagi para petani dalam melakukan
transformasi mata pencaharian. Berpindah ke pekerjaan lain membutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap tersendiri, yang berbeda dengan petani. Pada
kenyataannya petani pada umumnya hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pertanian, itupun dengan kualitas yang rendah
Damihartini, 2005. Untuk itu, maka para petani harus disiapkan agar mereka mampu memutuskan dengan bijaksana, jika ingin melakukan konversi pekerjaan
ke non petani. .
2.3.2.7. Saprodi Mudah dan Murah
Ketersedian sarana produksi saprodi seperti pupuk, benihbibit dan obat- obatan, secara mudah dan murah, merupakan salah satu syarat penting dalam
suksesnya usaha pertanian di pedesaan. Tercukupinya kebutuhan saprodi diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani sehingga dapat menunjang
kesejahteraan hidupnya. Namun pada kenyataannya sering terjadi kelangkaan saprodi di tingkat petani, dan tentunya akan sangat mengganggu produksi dan
produktivitas padi. Karena persoalan ini, maka ada usulan untuk mendirikan lembaga penyedia Saprodi di tingkat masyarakat.
Lebih jauh Darwis dan Muslim 2007 mengatakan, bahwa kelangkaan saprodi biasanya dipicu oleh adanya kenaikan harga saprodi. Kenaikan harga ini
dikhawatirkan dapat memicu naiknya harga bahan penyerta produksi tanaman padi seperti benih, pupuk, dan pestisida. Dengan adanya lembaga Saprodi
diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Kementerian Pertanian, sebagai penanggung jawab nasional di bidang pertanian, perlu mengatasi berbagai persoalan saprodi, seperti: kelangkaan dan
harga yang tinggi. Kios-kios atau warung-warung saprodi perlu ada di perdesaan. Kios atau warung saprodi ini merupakan suatu unit bangunan usaha yang
menyediakan dan menyalurkan sarana produksi pertanian seperti benihbibit, pupuk, pestisida dan sarana pertanian lainnya untuk mendukung peningkatan
produksi dalam upaya penyediaan pangan dan pengembangan agribisnis. Untuk meningkatkan produksi pertanian, memberi kemudahan kepada para
petani dalam memproduksi padi maka selain mendirikan kios-kios saprodi beberapa pemerintah daerah menyediakan saprodi gratis kepada para petani. Ini
dilakukan juga dalam rangka menghindari rendahnya tingkat produktivitas padi dan berakibat pada konversi lahan.
Pengelolaan usaha tani menggunakan varitas lokal, pupuk organik, obat anti hama non kimia merupakan cara yang dianggap baik untuk mengatasi kelangkaan
dan tingginya harga saprodi. Dengan menekan harga saprodi dan mempermudah perolehannya, secara langsung akan menekan biaya usaha tani, yang pada
akhirnya akan meningkatkan keuntungan usahatani.
2.3.2.8. Pembangunan Infrastruktur Pertanian
Infrastruktur pertanian merupakan suatu bangunan fisik struktur pendukung pengembangan pertanian. Sarana pendukung tersebut berupa
bangunan penyedia air irigasi dam, sumur pompa, saluran irigasi dan drainase serta jalan pertanian. Dalam dasa warsa terakhir ini perhatian pemerintah terhadap
pembangunan infrastruktur pertanian lebih rendah dibandingkan jaman sebelumnya.
Ja’far 2007 mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 9 komponen penting yang diperlukan dalam mendukung sektor pertanian. 9 faktor tersebut
adalah: 1 kesehatan, 2 irigasi, 3 energi, 4 telekomunikasi, 5 transportasi, 6 sumber air, 7 sanitasi, 8 pilihan teknologi dan pengetahuan, 9 investasi dan
sektor perbankan.
Pentingnya infrastruktur bagi pertumbuhan sektor pertanian sudah banyak diakui oleh pejabat publik yang ada di Indonesia. Dari komponen-komponen yang
disebutkan sebelumnya, terlihat jelas bahwa infrastruktur fisik umumnya sangat membawa dampak langsung bagi kemajuan sektor pertanian di negara-negara
berkembang dan negara-negara maju. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa ada dampak nyata dari investasi infrastruktur terhadap hasil-hasil produktivitas
sektor pertanian. Selain itu, kualitas infrastruktur merupakan faktor menentukan dari dampak infrastruktur terhadap pertumbuhan sektor pertanian bahkan
pengentasan kemiskinan. Kualitas pembangunan infrastruktur akan menentukan hasil dari produksi pertanian, dalam hal ini padi sawah.
Infrastruktur pertanian meliputi produksi hingga pasca produksi. Irigasi atau pengairan merupakan salah satu infrastruktur penting dalam pertanian. Irigasi
memegang peran penting dalam meningkatkan produksi padi sawah. Bahkan dalam beberapa penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa irigasi yang baik
mendorong tingginya produktifitas lahan sawah. Ada berbagai irigasi yang digunakan para petani di Indonesia; 1 irigasi
teknis, 2 irigasi setengah teknis, 3 irigasi sederhana, 4 irigasi desanon PU. Umumnya petani pedesaan masih menggunakan jenis irigasi sederhana atau
irigasi desa, dan belum menggunakan irigasi teknis. Bahkan irigasi-irigasi tersebut kurang memperoleh perhatian pemerintah, sehingga rusak di sana sini. Kondisi
seperti ini tentunya akan mempengaruhi produksi padi petani. Menurut Kembaren 2011, Kementerian Pekerjaan Umum mengakui
jaringan irigasi rusak mencapai 45 persen atau sekitar 3,2 juta ha dari total sawah irigasi di Indonesia yang mencapai 7,2 juta ha. Direktur Irigasi dan Rawa Ditjen
Sumber Daya Kementerian Pekerjaan Umum Imam Agus Nugroho mengatakan kerusakan sawah irigasi mencapai 45 persen di seluruh Indonesia. Dari jumlah
tersebut, sekitar 40 persen menjadi kewenangan pemerintah pusat sementara lima persen menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten. Lahan sawah
irigasi ada 7,2 juta ha, yang rusak dan menjadi kewenangan pusat mencapai 40 persen dari total kerusakan 45 persen.
Menurut Horei 1987, kebutuhan air untuk usahatani sawah berbeda antara musim kemarau kering dan musim hujan basah. Untuk di pulau Jawa dari
perhitungan perhitungan analisa kebutuhan air, besarnya kebutuhan air tiap jenis tanaman pada masing-masing musim tanam selama musim pertumbuhan adalah
sebagai berikut: 1 musim rendeng 4.361,954 m3ha, 2 musim kemarau 9.427,298 m3ha. Keberadaan irigasi menjadi sangat penting mengingat dalam
usaha tani padi sawah dibutuhkan banyak air. Selain irigasi, infrastruktur lain yang harus memperoleh perhatian petani
adalah jalan dan pasar. Infrastruktur ini menjadi penting agar petani dapat menjual hasil sawahnya secara langsung dan dapat memperoleh keuntungan
darinya. Tidak tersedianya prasarana jalan serta pasar, membuat petani tidak mungkin menjualnya hasilnya secara langsung.
2.3.2.9. Pengelolaan Pasca Panen
Dalam bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai berbagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai
komoditas berada di tangan konsumen. Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut pasca produksi post production yang dapat dibagi dalam dua bagian atau
tahapan, yaitu pasca panen postharvest dan pengolahan processing. Penanganan pasca panen sering disebut juga sebagai pengolahan primer primary
processing merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan mulai
panen sampai komoditas dapat dikonsumsi ”segar” atau untuk persiapan pengolahan berikutnya Mutiarawati, 2007.
Penanganan pasca panen bertujuan agar tanaman tersebut dalam kondisi baik, dan sesuai untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk bahan baku
pengolahan. Penanganan pasca panen yang baik akan menekan kehilangan losses baik dalam kualitas maupun kuantitas yaitu mulai dari penurunan kualitas
sampai komoditas tersebut tidak layak pasar atau tidak layak dikonsumsi. Keuntungan melakukan penanganan pasca panen yang baik bila
dibandingkan dengan melakukan usaha peningkatan produksi adalah : 1
Jumlah pangan yang dapat dikonsumsi lebih banyak.
2 Lebih murah melakukan penanganan pasca panen dibanding peningkatan
produksi yang membutuhkan input tambahan. 3
Menghemat energi 4
Waktu yang diperlukan lebih singkat 5
Meningkatkan nutrisi 6
Mengurangi sampah
2.4. Studi Terdahulu
2.4.1. Studi Tentang Kawasan Andalan
Studi tentang Kawasan Andalan relatif sedikit, diantaranya dilakukan oleh Arifin 2008. Dia melakukan penelitian berjudul “Penetapan Kawasan Andalan
dan ‘Leading Sector’ , Sebagai Pusat Pertumbuhan Empat Koridor di Provinsi
Jawa Timur”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi bagaimana pola pertumbuhan ekonomi pada tingkat kabupaten pada masing-masing koridor di
Provinsi Jawa Timur; mengidentifikasi sektor apa saja yang bisa dikembangkan dalam upaya menentukan prioritas pembangunan pada tingkat kabupaten pada
masing masing koridor di Propinsi Jawa Timur; serta menganalisa dimana kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi pada tingkat kabupaten
pada masing-masing koridor di Propinsi Jawa Timur. Hasil penelitian Berdasarkan analisis Tipologi Klassen di empat koridor di
Jawa Timur yang termasuk daerah berkembang cepat adalah Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Kediri, Kota Madiun, Kota Probolinggo, Kabupeten Jember, dan
Kabupaten Bojonegoro. Yang tergolong daerah maju tapi Kabupaten Sidorajo, Kota Batu, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk,
Kabupaten Madiun, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Probolinggo Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Sumenep. Yang tergolong daerah
berkembang cepat high growth but low income adalah Kabupaten Gresik, Kabupaten Malang, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kabupaten Jombang, Kabupaten
Kediri, Kabupaten Ponorogo, Kabudpaten Magetan, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Bangkalan. Yang
tergolong daerah relatif tertinggal low growth and low income adalah Kabupaten
Blitar, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan.
2.4.2. Studi Tentang Kawasan Andalan Yang Dilewati Koridor Joglosemar
Studi tentang Pengembangan Kawasan Andalan yang dilintasi koridor Joglosemar masih sangat sedikit dilakukan. Giyarsih 2006 yang melakukan studi
dengan judul Pola Transformasi Spasial di Koridor Segitiga Pertumbuhan Joglosemar. Studi ini bertujuan untuk :
1 Mengkaji pola transformasi wilayah perdesaan yang terjadi di sepanjang koridor Joglosemar;
2 Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi proses transformasi wilayah perdesaan, sebagai kunci bagi penyusunan alternatif pengembangan.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah 1998 mengadakan penelitian yang berjudul Pengkajian Pengembangan Kawasan
Joglosemar, yang bertujuan menyusun: 1
Menyusun data dan informasi pada kawasan segitiga Joglosemar, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penyusunan konsep
pengembangan kawasan, dengan mencerminkan pada indikasi program strategis guna mengakomodasikan kebutuhan pembangunan sektoral dan
daerah yang bersifat lebih operasional dan luwes. 2
Merumuskan strategi kebijakan untuk mengembangkan kinerja kawasan dalam keterkaitannya dengan sektor-sektor unggulan sebagai pemantapan
terhadap ekonomi yang mampu bertahan “survive” dalam konteks regional, nasional maupun global dari daya tahan menuju daya saing.
3 Merumuskan indikasi program strategis, yang berupa program unggulan dan
program penunjang dalam jangka waktu menengah 5-10 tahun. 4
Menyusun rencana jangka pendek yang terintegrasi dengan program nasional menciptakan lapangan kerja padat karya.
Wibowo 2008 dalam Tesisnya yang berjudul Model Pembangunan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Kerjasama Strategis Joglosemar menganalisis
tentang: 1
Daerah-daerah yang memiliki interaksi spasial dengan Joglosemar untuk menentukan batasan kawasan;
2 Hirarki pusat-pusat aktivitas untuk menentukan pemusatan aktivitas di
Kawasan Joglosemar; 3
Tipologi dan pemetaan konfigurasi spasial; 4
Interaksi antar daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja pembangunan ekonomi daerah;
5 Penentuan strategi pengembangan antar wilayah.
2.4.3. Studi tentang Konversi Lahan Sawah
Studi-studi tentang konversi lahan di Pulau Jawa telah banyak dilakukan, seperti yang dikemukakan oleh Irawan 2003 bahwa sampai saat ini
belum ada sistem pemantauan dan dokumentasi alih fungsi lahan sawah yang baik. Akibatnya sampai sekarang kita belum tahu secara pasti besaran yang
sesunggguhnya. Estimasi yang dihasilkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan angka yang berbeda-beda.
2.4.4. Penggunaan Alat Analisis
Banyak studi di dunia yang dalam metodenya menggunakan berbagai alat analisis SIG, Regresi atau Ekonometrika, Statistik Maupun AHP. Beberapa
penelitian yang penting yang relevan dengan penelitian ini antara lain: Menurut Paelinck dan Klaassen dalam Anselin 1999, analisis spasial
ekonometrika pada dasarnya memanfaatkan data Sistem Informasi Geografi SIG dengan data spasial dan teknik ekonomerika. Data spasial yang dianalisis adalah
data cross section dan time series, pendugaan digunakan Maximum Likelihood Estimation
MLE. Muller dan Zedller 2002 mengadakan penelitian tentang dinamika
penggunaan lahan di pusat dataran tinggi Vietnam. Pada penelitian ini dilakukan
kombinasi analitis menggunakan sofware system SIG dan data primer yang dihasilkan dari survey desa. Adapun data satelit yang digunakan adalah Landsat
1975, 1992, dan 2000. Nelson dan Geoghegan 2002 melakukan penelitian tentang penyempitan
hutan dan perubahan penggunaan lahan di beberapa negara berkembang. Dengan menggunakan analisis spasial ekonometrika ditemukan laju penyempitan hutan
dan perubahan penggunaan lahannya. Data yang dipergunakan bervariasi dari tahun 1970 sampai dengan 2002. Data lima satelit dipergunakan pada penelitian
ini antara lain: LandsatMSS, LandsatTM, AVHRR, IKONOS Space Imaging, Quickbird Digital Globe
, dan SPOT Spot Images. Sementara itu Munroe et al. 2002 melakukan penelitian dinamika
perubahan land cover di Honduras bagian barat. Penelitian dengan pendekatan kawasan ini memanfaatkan data satelit tahun 1987, 1991 dan 1996.
Ada dua penelitian menggunakan teknik analisis spasial ekonometrika dilakukan di Indonesia. Pertama, dilakukan oleh Maertens et al. 2006. Mereka
melakukan penelitian tentang intensifikasi pertanian berkelanjutan di berbagai area pinggir hutan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi. Disamping
menggunakan data satelit, penelitian ini juga memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber di Indonesia seperti BPS dan Bakosurtanal.
Kedua, Lavigne melakukan penelitian perubahan land cover dan berbagai kerusakan lingkungan sebagai akibat letusan gunung berapi di Pulau Jawa juga
menggunakan analisis spasial ekonometrika. Data SIG yang digunakan adalah tahun 1990 dan 2000.