Analisa Tingkat Konversi Lahan Sawah
Gambar 14 Penggunaan lahan pada Kawasan Andalan tahun 1997
• •
Sukoharjo Karanganyar
Grobogan
Demak
• •
• •
•
Kendal
Semarang
Boyolali
Klaten
• •
• •
•
Kota Semarang
Kota Magelang Temanggung
•
•
• •
Surakarta Magelang
Salatiga
33
Gambar 15 Penggunaan lahan pada Kawasan Andalan tahun 2003
Demak
Kendal Kota Semarang
Boyolali Salatiga
•
• •
• •
• •
• •
• •
• •
•
Sukoharjo Surakarta
Karanganyar
Grobogan Semarang
Magelang Klaten
Temanggung Kota Magelang
Gambar 16 Penggunaan lahan pada Kawasan Andalan tahun 2006
• •
• •
• •
•
• •
• •
•
• •
Sukoharjo
Karanganyar Magelang
Semarang Salatiga
Kota Semarang Kendal
Demak
Klaten Surakarta
Boyolali Temanggung
Kota Magelang Grobogan
Dari gambar di atas, setelah dilakukan overlay antara Peta penggunaan lahan pada Kawasan Andalan tahun 1991, 1997, 2003 dan 2006 dapat diketahui
arah konversi lahan sawah sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini : Tabel 12 Arah konversi lahan sawah pada Kawasan Andalan tahun 1991 – 2006.
Kabupaten Perkebunan Permukiman Hutan Lain-Lain
Ha Ha Ha Ha
Kab. Magelang 433,87
18,43 1.222,21
51,91 680,41 28,90
18,00 Kab. Boyolali
1.255,56 13,57
7.719,45 83,45
152,95 1,65
122,31 Kab. Klaten
206,14 2,35
8.459,27 96,38
0,00 0,00
111,50 Kab. Sukoharjo
882,63 11,10
6.973,18 87,68
61,01 0,77
36,22 Kab. Karanganyar
709,66 39,68
976,74 54,61
18,51 1,03
83,76 Kab. Grobogan
4.914,99 64,32
1.469,32 19,23
1.184,47 15,50 72,33
Kab. Demak 1.180,86
18,18 5.257,29
80,94 0,00
0,00 57,15
Kab. Semarang 438,84
5,89 6.570,29
88,16 427,64
5,74 16,15
Kab. Temanggung 1911,24
21,13 6.586,18
72,81 511,50
5,65 36,41
Kab. Kendal 531,27
36,31 715,06
48,87 159,79 10,92
57,11 Kota Magelang
133,07 38,04
198,89 56,85
0,00 0,00
17,90 Kota Surakarta
0,00 0,00
12,75 33,77
0,00 0,00
25,01 Kota Salatiga
81,26 26,09
197,06 63,26
0,00 0,00
33,19 Kota Semarang
386,39 39,74
558,53 57,45
0,00 0,00
27,30 Jumlah
13.065,77 46.916,20
3.196,28 714,34
Sumber : Data Olahan 2011
Bagi para petani, air merupakan kebutuhan utama, yang tidak saja digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum mereka, namun juga
sangat dibutuhkan dalam mengolah lahan sawah. Dalam usahatani, khususnya pengolahan lahan sawah, air yang dibutuhkan sangat besar. Faktor air sangat
menentukan tingkat keberhasilan pengolahan sawah. Persoalannya, dengan perkembangan sekarang ini, pada beberapa daerah air menjadi sangat sulit
diperoleh, dan bagi para petani keterbatasan pasokan air bagi sawah mereka akan mempengaruhi produktivitas sawah, bahkan keputusan-keputusan untuk
melakukan konversi lahan sawah. Dalam wawancara dengan para petani saat kunjungan lapangan ke
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali, diperoleh informasi bahwa air menjadi salah satu sebab mengapa para petani melakukan konversi lahan. Menurut
keterangan para petani, kurangnya pasokan air untuk mengairi sawah mereka terjadi setalah letusan gunung Merapi, tanggal 14, 17 Januari 1997 dan 11, 19 Juli
1998.
Persoalan yang dihadapi para petani bertambah, karena sumber air yang tersedia harus diperebutkan dengan PDAM, untuk kebutuhan air minum
penduduk. Untuk mempertahankan agar lahan yang ada bisa tetap produktif walaupun pasokan air terbatas, maka banyak terjadi ’konversi semu’, artinya
banyak lahan sawah yang berubah menjadi tegalan. Konversi semu ini banyak terjadi di daerah sekitar Gunung Merbabu. Di Kecamatan Ampel, desa yang
tingkat konversinya cukup tinggi adalah Sewu, Selodoko dan Candi. Masalah ketersediaan air menjadi masalah utama di kecamatan Ampel.
Menurut penuturan bapak Kalini, salah seorang penduduk dari Desa Tanduk, Dukuh Prigi, jumlah lahan sawah yang ada di dusun ini diperkirakan sekitar 15
ha. Jumlah ini menurutnya sudah menurun jika dibandingkan dengan tahun 1980- an, dimana total luas lahan di Dusun Prigi berjumlah kurang lebih 25 ha. Dari luas
sawah yang dimiliki, rata-rata para petani dusun Prigi hanya 50 yang ditanami padi, sedangkan 50 sisanya ditanami rumput dan pohon Sengon. Hal ini
dilakukan bukan karena hasil yang diperoleh dari menanam padi kurang baik, tapi justru karena kurangnya air untuk mengairi sawah. Kurangnya pasokan air inilah
yang kemudian mendorong para petani untuk mengalihfungsikan lahan sawah ke fungsi lainnya. Upaya ini dilakukan agar lahan yang ada bisa tetap produktif dan
mendatangkan keuntungan bagi mereka. Jika air menjadi penyebab utama para petani di Ampel melakukan konversi
lahan, maka di desa Botomulyo, motiv ekonomi menjadi motiv utama bagi para petani dalam melakukan konversi lahan sawah. Menurut keterangan salah seorang
perangkat desa, desa tersebut terkenal dengan produksi batu batanya, sehingga diberi nama Botomulyo. Bahan baku utama pembuatan bata ini adalah tanah
sawah. Menurut pak Gafur, petani di wilayah desa Botomulyo tidak terlalu memikirkan tentang persoalan konversi. Bagi mereka yang penting bisa
memperoleh keuntungan darinya. Jika harga bata tinggi, maka mereka akan membuat bata.
Selain untuk batu bata, di desa Botomulyo juga terjadi pengalihfungsian lahan dari lahan sawah ke pemukiman. Perubahan ini dapat dilihat dalam
perjalanan menuju desa Botomulyo, banyak rumah yang didirikan di tengah- tengah lahan sawah.
Pasokan air untuk mengairi sawah, juga menjadi masalah bagi penduduk Dusun Pujang Kulon, Desa Pujang Rejo, Kabupaten Kendal. Lima tahun yang
lalu, penduduk dapat menanam padi sebanyak 3 kali dalam satu tahun, namun sekarang ini mereka hanya bisa menanam padi sebanyak 2 kali setahun, bahkan
ada petani yang hanya menanam padi sebanyak 1 kali. Berkurangnya jumlah menanam padi dari 3 kali menjadi 2 kali disebabkan kurangnya pasokan air bagi
sawah-sawah yang ada di dusun ini. Karena jumlah air untuk mengairi sawah terbatas, maka terjadilah perebutan air diantara para petani. Rebutan air ini
kemudian memicu terjadinya konflik sosial antar para petani yang berada di hulu dan yang berada di hilir.
Para tokoh masyarakat kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Para tokoh masyarakat kemudian sepakat, karena kekurangan air
sering terjadi pada bulan Februari, maka disepakati untuk bulan tersebut para petani tidak diperkenankan untuk menanami sawah mereka. Pada musim tanam
ini, para petani menanami sawah mereka dengan tanaman-tanaman lain seperti bawang merah, kacang tanah, atau tembakau. Selain karena persoalan air, petani
di Desa Pujang Rejo memang memilih untuk menanam komoditas non padi sawah, seperti bawang merah, kacang hijau dan tembakau, karena lebih
menguntungkan. Ada fenomena khusus dimana di beberapa daerah terjadi konversi lahan
sawah menjadi hutan. Secara teori hal ini sangatlah aneh. Namun kenyataan di lapangan dapat dijelaskan, bahwa pada awal krisis multidimensional tahun 1997
banyak hutan rakyat maupun yang lainnya yang dibiarkan untuk dikelola oleh masyarakat, yang diantaranya dialihfungsikan untuk lahan sawah. Pada tahun
2001 sampai dengan 2003, banyak diantara lahan sawah tersebut yang telah dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai hutan. Di samping itu, karena alasan
mahalnya harga saprodi, pada tahun yang sama banyak petani yang memutuskan untuk tidak menanam padi, tetapi menggantinya dengan tanaman keras yang cepat
tumbuh, yaitu jati emas dan sengon. Maka tidak mengherankan bila pada citra landsat tahun 2003 nampak banyak daerah yang mengkonversi lahan sawahnya
menjadi hutan.
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konversi lahan sawah. Oleh berbagai sebab, konversi lahan
sawah ini akan terus terjadi dan tidak dapat dicegah. Namun, konversi lahan sawah ke penggunaan lain perlu dikelola, sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif bagi manusia, khususnya ketersediaan pangan. Beberapa alasan umum mengapa petani untuk tidak menanam padi sawah
adalah: 1
Kekurangan air yang disebabkan: a menyusutnya debit air sungai sebagai saluran induknya, b perebutan penggunaan air untuk kepentingan usahatani
sawah dan permukiman serta kepentingan industri, c pembangunan infrastruktur jalan yang mengisolasi beberapa hamparan sawah, d rusaknya
berbagai prasarana irigasi baik yang teknis, non teknis maupun yang sederhana, dan e menyusutnya debit air tanah.
2 Adanya program pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan
usahatani non padi sawah, seperti: a program penanaman kayu sengon, atau biasa dikenal dengan “sengonisasi”, b program pengembangan peternakan
sapi, c program penanaman rumput gajah, d program pengembangan ikan tawar.
3 Adanya pembangunan sarana dan prasarana fisik, seperti: pembangunan
permukiman, pembangunan kawasan industri dan pembangunan prasarana jalan. Terlibat di dalam kegiatan ini dipandang lebih menguntungkan,
dibandingkan usahatani padi sawah. 4
Mahalnya harga saprodi yang tidak sepanding dengan harga pasca panennya.
5 Lebih memilih menanam komuditas pertanian lainnya yang dianggap lebih
menguntungkan, seperti: sayur-mayur, bawang merah, kacang hijau, holtikultura lainnya.
Laju konversi dari masing-masing kabupaten dan kota di kawasan Andalan bervariasi. Untuk mengetahui pengelompokkan laju konversi lahan sawah di 14
kabupaten dan kota tahun 1991-2006, maka digunakan analisis K-means Clustering
. Data hasil citra landsat dikumpulkan kemudian dianalisis. Ada 195 kecamatan dari 14 kabupaten dan kota pada Kawasan Andalan yang menjadi
sampel. Dari proses analisis yang dilakukan diperoleh hasil clustering sebagaimana Tabel berikut ini:
Tabel 13 Data Clustering Tingkat Konversi Lahan Sawah pada Kawasan Andalan
No Clustering Range
Anggota Kec
1 Sangat Tinggi
2.001,74 1
2 Tinggi
1.233,50 – 1.529,94 3
3 Sedang 742,26
– 1.115,09
21 4 Rendah
325,74 –
719,37 60
5 Sangat Rendah
0,67 –
320,00 94
Jumlah 179
Sumber : Data Olahan 2011
Dari tabel 13 diketahui bahwa anggota cluster terbanyak adalah cluster 4, yaitu dengan tingkat konversi lahan rendah. Dari distribusi tersebut, dapat
diketahui bahwa tingkat konversi lahan pada 195 Kecamatan yang ada di 14 kabupaten dan kota pada Kawasan Andalan sebagian pada tingkat rendah.
Dari 195 Kecamatan yang ada pada Kawasan Andalan, terdapat 16 Kecamatan tidak terjadi konversi lahan sawah. Kecamatan-kecamatan tersebut
mengalami rata-rata perluasan lahan sawah sebesar 296,76 ha selama kurun waktu 15 tahun dari tahun 1991 sampai dengan 2006. Kecamatan-kecamatan tersebut
meliputi: 1 Kabupaten Demak di Kecamatan Dempet, Kecamatan Demak dan Kecamatan Gajah, Kecamatan Wonosalam, 2 Kabupaten Semarang di
Kecamatan Susukan, Kecamatan Getasan, Kecamatan Banyubiru, Kecamatan Suruh, 3 Kabupaten Kendal di Kecamatan Limbangan, 4 Kabupaten Grobogan
di Kecamatan Kedungjati, Kecamatan Klambu dan Kecamatan Brati, Kabupaten Klaten di Kecamatan Bayat, 5 Kabupaten Magelang di Kecamatan Tempuran dan
Kecamatan Salaman. Pada Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang tidak terdapat perubahan
luasan lahan sawah. Hal tersebut dikarenakan Kecamatan Semarang Timur merupakan kota yang penuh dengan lokasi pemukiman. Dan sejak tahun 1991
sampai dengan 2006, menurut data citra landsat tidak terdapat penggunaan lahan untuk sawah.
Meningkatnya luas lahan sawah di 5 Kabupaten pada 16 Kecamatan disebabkan oleh adanya :
1 Pencetakan lahan sawah baru pada wilayah-wilayah pantai utara jawa,
pinggiran rawa Pening dan waduk Kedung Ombo. 2
Adanya perubahan penggunaan lahan dari kebun tembakau ke lahan sawah pada sentra-sentra produksi tembakau.
3 Penggarapan lahan-lahan yang selama ini terlantar.
Sebaran tingkat konversi lahan per kabupaten dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini :
Tabel 14 Jumlah Kecamatan Per Kabupaten dengan Tingkat Konversi Lahan Sawah pada Kawasan Andalan
Kabupaten Tingkat Konversi Lahan Sawah
Jumlah Kc
Sangat Tinggi
Kc Tinggi
Kc Sedang
Kc Rendah
Kc Sangat
Rendah Kc
Kab. Magelang 2
11 6
19 Kab. Boyolali
1 1
4 8
5 19
Kab. Klaten 6
19 25
Kab. Sukoharjo 3
10 13
Kab. Karanganyar 1
3 5
7 16
Kab. Grobogan 1
2 11
2 16
Kab. Demak 4
2 3
9 Kab. Semarang
2 1
7 10
Kab. Temanggung 2
3 7
12 Kab. Kendal
2 5
9 16
Kota Magelang 2
2 Kota Surakarta
5 5
Kota Salatiga 1
3 4
Kota Semarang 4
9 13
Jumlah 1
3 21
60 94
179
Sumber : Data Olahan 2011
Dari Tabel 14 di ketahui bahwa Kabupaten Boyolali secara umum memiliki tingkat konversi lahan sawah yang cenderung tinggi. Kabupaten ini memiliki 1
satu kecamatan dengan tingkat konversi lahan sawah yang sangat tinggi yaitu Kecamatan Ampel dan 1 satu kecamatan dengan tingkat konversi lahan yang
tinggi yaitu Kecamatan Juwangi.
Kabupaten Grobogan dan Karanganyar secara umum juga memiliki tingkat konversi lahan yang cenderung tinggi. Kedua kabupaten ini masing-masing
memiliki 1 satu kecamatan dengan tingkat konversi lahsan sawah yang tinggi, yakni: 1 Untuk Kabupaten Grobogan adalah Kecamatan Geyer,
sedangkan Kabupaten Karanganyar adalah Kecamatan Jatiyoso. Kebijakan pemerintah daerah yang secara kuat mendorong program-
program pengembangan peternakan, industri kecil, sengonisasi dan pengembangan perusahaan air minum telah menyebabkan petani tidak mampu
mengelola usahatani padi sawahnya dengan optimal. Bila dilihat dari rentang waktunya, maka tingkat konversi lahan sawah dapat
dilihat sebagaimana Tabel 15 berikut ini. Tabel 15 Arah konversi lahan sawah pada Kawasan Andalan tahun 1991-1997,
1997-2003dan 2003-2006.
No Arah Konversi
1991-1997 Ha
1997-2003 Ha
2003-2006 Ha
1 Sawah ke Perkebunan
285,44 12.692,77
87,56 2
Sawah ke Permukiman 101,32
46.712,66 102,22
3 Sawah ke Hutan
753,77 2.433,25
9,26 4
Sawah ke Lain-Lain 172,51
531,02 10,81
Jumlah 1.313,04 62.368,70
209,85
Sumber : Data Olahan
Dari data Tabel 15, diketahui bahwa konversi lahan sawah tertinggi terjadi dari tahun 1997-2003 yaitu sebesar 62.368,70 ha. Konversi ditandai dengan
perubahan lahan sawah menjadi pemukiman sebesar 46.712,66 74,90 , lahan sawah menjadi perkebunan sebesar 12.692,77 20,35 , dan lahan sawah
menjadi hutan sebesar 2.433,25 3,90 , dan lahan sawah menjadi lain-lain sebesar 531,02 0.85 .
Gambar 17 Penggunaan Lahan pada Kawasan Andalan Tahun 1991-2006
Demak
Kendal Kota Semarang
Magelang
• •
•
• •
•
• •
Surakarta Temanggung
Kota Magelang Salatiga
Semarang
• •
• •
•
•
Karanganyar Sukoharjo
Klaten Boyolali
Grobogan
Hal-hal yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah pada periode tahun 1997-2003, diantaranya adalah terjadinya krisis global yang berpengaruh
secara kuat di Indonesia. Pada waktu itu krisis yang dimulai dengan krisis keuangan telah menjalar kepada krisis ekonomi dan krisis politik. Kota adalah
wilayah yang terkena dampak yang lebih besar dibandingkan desa. Akibatnya banyak penduduk kota yang kehilangan pekerjaan dan terpaksa harus kembali ke
desa. Desa terpaksa harus mendukung kehidupan sejumlah besar penduduk. Penduduk yang pindah dari kota ke desa, tentunya membutuhkan lahan untuk
pemukiman dan juga lahan untuk usaha tani. Pada umumnya penduduk kota yang datang ke desa, meskipun mereka pada awalnya berasal dari desa, sudah tidak
memiliki ketrampilan dan etos kerja sebagai petani padi sawah. Hal tersebut mendorong adanya konversi lahan sawah yang sangat besar pada periode waktu
tersebut.