khususnya para pedagang tidak boleh memanfaatkan kelemahan petani untuk keuntungan mereka secara sepihak.
Tata niaga beras di Indonesia selama ini dilakukan oleh Badan Usaha Logistik Bulog, petani belum dilibatkan secara optimal. Bulog diharapkan bisa
lebih berperan sebagai mitra petani, dimana ada hubungan yang kuat antara Bulog dengan petani. Hubungan yang erat ini dimungkinkan adanya suatu system
deteksi dini terhadap pasokan beras dan harga beras. Pada saat panen raya Bulog perlu membeli seluruh beras miliki petani dengan harga yang disepakati. Di sisi
lain, bila terjadi gagal panen Bulog membeli beras petani dengan harga yang disepakati. Dalam kata lain pendapatan petani saat panen raya dan gagal panen
diharapkan sama. Hal tersebut dimungkinkan apabila dilakukan pengaturan tata niaga beras yang lebih berpihak kepada petani. Jangan membiarkan petani masuk
pasar bebas tanpa pengawalan. Usahatani padi sawah sangat tergantung pada musim. Dalam kondisi musim
yang sering berubah secara ekstrim seperti sekarang ini, maka perlu adanya suatu jaminan dari pemerintah agar petani tetap bisa hidup dengan layak. Hidup dengan
layak adalah hidup dengan kemampuan untuk membiayai kebutuhan dasar keluarganya seperti: sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan.
Indonesia belum punya pengalaman memberikan asuransi kepeda petani. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang lebih mendalam untuk hal ini. Belajar
dari negara lain, seperti Iran, akan sangat membantu dalam menyusun grand design
kebijakan asuransi petani. Pemberian asuransi kepada petani adalah suatu keputusan politik yang berani. Bila hal itu dilakukan maka petani tidak lagi
terjebak dalam ketidak pastian usahataninya. Asuransi petani hendaknya diarahkan kepada jaminan terhadap pemasaran hasil usahatani sawah.
Dalam rangka menjamin pemasaran hasil usahatani sawah, maka keterlibatan swasta harus diperhatikan. Dalam tata niaga beras, pedagang adalah
pihak yang paling diuntungkan. Pedagang yang memiliki akses langsung kepada petani dan konsumen akhir, memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan
harga beras di tingkat petani, maupun di tingkat konsumen akhir. Petani yang hidupnya miskin posisi tawarnya menjadi sangat rendah, apalagi bila karena
kebutuhan mendesak, pembelian padi oleh pedagang kepada petani dilakukan dengan sistem “ijon”.
Seperti telah diketahui, bahwa pedagang memiliki keuntungan yang lebih tinggi dari pada petani. Keuntungan pedagang terlihat pada selisih harga di tingkat
petani dengan harga di tingkat konsumen akhir. Semakin banyak pedagang menguasai beras dengan jumlah yang semakin besar, maka semakin besar pula
keuntungan pedagang tersebut. Dari kenyataan ini, maka pedagang yang bermodal besar akan lebih banyak keuntungannya. Oleh karena itu harus diatur pembatasan
atas selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen akhir. Pemasaran hasil usahatani padi sawah juga dipengaruhi oleh aksesibilitas
dari sawah terhadap pasar. Aksesibilitas petani jauh lebih rendah dibandingkan dengan aksesibilitas pedagang. Pembukaan jalan-jalan poros desa seringkali justru
menguntungkan pedagang dari pada petani. Akses jalan yang dibangun tidak serta merta menaikkan harga beras di tingkat petani. Pembangunan jalan poros desa
justru dengan cepat berpengaruh terhadap menurunnya biaya di tingkat pedagang. Dengan kata lain pembangunan sarana dan prasarana jalan lebih menguntungkan
pedagang dari pada petani. Peningkatan aksesibilitas harus dibaca sebagai peningkatan aksesibilitas petani. Peningkatan adalah rangkaian dari suatu sistem
pemasaran hasil usahatani, oleh karena itu petani harus terlibat secara intens pada persoalan ini. Bila perlu petani memiliki kendaraan kolektif untuk menjamin agar
aksesibilitas mereka terhadap pasar menjadi lebih mudah. Aksesibilitas adalah upaya mendekatkan petani pada konsumen dengan harapan petani mendapat
keuntungan langsung yang lebih besar terhadap hasil usaha taninya. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi sangat besar.
8.4.2.3. Saprodi Murah dan Mudah
Sistem produksi pupuk, bibit dan obat-obatan dikuasai oleh pabrik-pabrik besar. Ada banyak kasus ketika petani mencoba mengembangkannya, justru
dihukum karena dianggap melanggar hak kekayaan intelektual. Sulit bagi petani untuk menjadi mandiri dalam hal pupuk, bibit dan obat-obatan. Di sisi pemasaran
saprodi dikuasai oleh pabrik dan pedagang. Kenyataan di lapangan ketika petani sangat membutuhkan, barang-barang tersebut hilang dari pasar. Kalau pun ada
harus diperoleh dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh petani ketika masa panen datang.
Petani melalui Badan Usaha Milik Desa BUMDES perlu dilibatkan dalam tata niaga saprodi, sehingga jaminan ketersediaan saprodi secara mudah bisa
diperoleh. Harga saprodi yang ditentukan secara sepihak oleh produsen, dalam pasar oligopoli, sangat tidak berpihak kepada petani. Oleh karena itu sudah
sewajarnya bila petani mendapatkan subsisdi saprodi. Pemberian subsisdi saprodi harus dilakukan secara hati-hati, karena kalau tidak maka jatuh ke tangan ”petani
kaya”. Petani kaya yang tinggal di kota dan menyerahkan penggarapan sawahnya kepada buruh tani tidak layak untuk mendapatkan subsidi saprodi. Subsidi saprodi
hanya diberikan kepada petani miskin dengan kepemilikan luas lahan yang sempit, tinggal di kawasan hamparan sampah atau di perdesaan yang
bersangkutan dan menggarap sendiri lahan sawahnya. Pengelolaan usahatani secara organik bisa menjadi alternatif dalam
meningkatkan kemandirian petani dalam penggunaan saprodi. Dengan usahatani organik petani dapat didorong untuk mampu memproduksi bibit, pupuk dan obat-
obatan untuk kepentingan usahataninya. Bahkan bila mungkin produksi tersebut dapat dipasarkan secara umum. Dengan demikian petani bukan hanya
memperoleh manfaat dari pengusahaan lahan sawahnya, tetapi juga dari faktor- faktor lain di luar lahan sawah.
8.4.2.4. Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Lahan Sawah
Isentif fiskal berupa pengurangan atau pembebasan pajak dilakukan dengan membebaskan petani sawah untuk tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan
PBB atas lahan sawah yang dimilikinya. Hal ini penting untuk dilakukan, karena keuntungn usaha tani padi sawah sangat rendah. Di sisi lain, karena peraturan
pemerintah, petani tidak bisa mengkonversi lahan sawahnya untuk kepentingan di lainnya. Bila kondisi semacam ini dibiarkan, sebenarnya petani ditempatkan
sebagai “terhukum”, karena ditempatkan pada suatu kondisi usahatani dengan tingkat keuntungan yang rendah atau rugi.
Insentif fiskal adalah suatu keniscayaan bagi petani. Petani adalah kelompok terbesar dalam masyarakat, khususnya di perdesaan. Walau demikian, persoalan-
persoalan yang dihadapi petani dalam hubungannya dengan pengelolaan sarana produksi cukup besar, dan mereka tidak mungkin keluar dari permasalahan
tersebut. Persoalan-persoalan, khususnya menyangkut sarana produksi harus diatasi, dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, insentif fiskal menjadi salah satu
jalan keluarnya. Tidak memberikan insentif fiskal kepada petani adalah bentuk pengingkaran
terhadap upaya peningkatan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembebasan PBB harus diberikan secara hati-hati sebagaimana halnya dengan pemberian subsisdi saprodi, karena kalau tidak maka jatuh ke tangan ”petani
kaya”. Petani kaya yang tinggal di kota dan menyerahkan penggarapan sawahnya kepada buruh tani tidak layak untuk mendapatkan subsidi saprodi. Subsidi saprodi
hanya diberikan kepada petani miskin dengan kepemilikan luas lahan yang sempit, tinggal di kawasan hamparan sampah atau di perdesaan yang
bersangkutan dan menggarap sendiri lahan sawahnya.
8.4.2.5. Konsolidasi Manajemen Lahan Sawah
Dalam sistem warisan di Jawa Tengah dikenal istilah ”sepikul segendongan
”, yang artinya bahwa dalam pembagian warisan anak laki-laki menerima 2 dua bagian sedangkan anak perempuan menerima 1 satu bagian.
Cara pembagian seperti ini juga berlaku dalam membagi tanah warisan, termasuk lahan sawah. Pembagian lahan sawah dilakukan secara fisik, dimana lahan sawah
langsung diberi batas galengan. Maka tidaklah heran bila luasan lahan sawah di Kawasan Andalan rata-rata kurang dari 0,5 hakeluarga.
Dengan luasan seperti itu tidak memungkinkan petani melakukan usahatani secara optimal, karena luasan paling optimal diperkirakan sekitar 2 ha.
Dibutuhkan suatu upaya yang memungkinkan petani melaksanakan usahatani dengan luas lahan 2 ha. Salah satu cara yang dianjurkan adalah konsolidasi
manajemen lahan. Pola konsolidasi manajemen lahan adalah usahatani dilakukan secara berkelompok sehingga mencapai luasan 2 ha, tanpa harus membongkar
galengan . Luasan 2 ha tersebut dikelola oleh beberapa orang. Selanjutnya hasil
panen dibagi secara proporsional menurut kontribusi luasan lahan sawah yang diberikan dan kontribusi tenaga kerjanya.
Pola konsolidasi lahan seperti itu memungkinkan terjadi efisiensi penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sisa bisa dialokasikan untuk
mengelola usaha hulu dan hilir dari usaha tani sawah. Usaha hulu meliputi: produksi pupuk, produksi bibit, produksi alat pertanian, dan lainnya. Sedangkan
usaha hilir meliputi: penggilingan padi, pengolahan makanan berbahan baku beras, pemasaran beras, dan lainnya.
Konsolidasi manajemen lahan sawah berbeda dengan konsep ”corporate farming”
. Pada corporate farming penggabungan lahan sawah dilakukan dengan membuka galengan. Konsep konsolidasi lahan sawah dengan membuka galengan
sulit diterapkan di Kawasan Andalan, karena petani trauma terhadap sistem land reform
yang pernah diterapkan di Indonesia pada awal tahun 1960-an yang ternyata gagal, dan sampai saat ini tidak pernah dilakukan lagi.
Konsolidasi manajemen lahan membutuhkan persiapan yang matang. Kelompok tani, sebagai komunitas petani harus dilibatkan secara penuh, baik
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya. Kelompok tani yang dapat disertakan dalam konsolidasi lahan adalah kelompok tani yang aktif, artinya
punya pengurus, punya anggota, ada pertemuan rutin, ada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dengan penuh kesadaran. Tidak disarankan untuk
melibatkan kelompok tani yang ada karena semata-mata ingin menerima bantuan dari pemerintah atau pemerintah daerah. Disamping secara organisasi aktif,
kelompok tani tersebut anggotanya memiliki lahan sawah yang terletak pada satu hamparan dan berbatasan langsung satu dengan lainnya.
8.4.2.6. Perubahan Perilaku Petani Lahan Sawah
Petani di perdesaan bukanlah makhluk individualis, mereka hidup dalam suatu komunitas tertentu. Komunitas tersebut diatur dalam suatu norma, etika dan
nilai yang sama. Oleh karena itu, hidup berkelompok adalah penting bagi petani. Petani bukan hanya sebagai suatu mata pencaharian, petani adalah cara hidupnya.
Untuk memberdayakan petani kita perlu melakukannya dengan pendekatan
kelompok. Berkelompok memungkinkan dengan lebih cepat posisi tawar petani meningkat.
Pelatihan kepada petani perlu dilakukan secara intensif oleh berbagai pemangku kepentingan yang ada secara terpadu. Pemerintah, LSM, swasta dan
perguruan tinggi secara bersama-sama dapat melakukan rekayasa sosial dalam rangka mempercepat perubahan yang ada di diri petani maupun kelompok tani.
Petani di perdesaan lebih bersifat “unity”, oleh karena itu berbagai bentuk pelatihan perlu didesain dengan tidak meninggalkan ciri dasar ini.
Upaya merubah perilaku petani dalam melakukan konversi lahan sawah disamping diatasi dengan pendekatan ekonomi, juga harus diatasi dengan
pendekatan sosial budaya. Pelatihan yang didesain secara baik memungkinkan adanya perubahan motivasi dan sikap. Khusus untuk perubahan sikap,
memungkinkan terjadi bila dilakukan dengan berbagai upaya merubah persepsi masyarakat tentang konversi lahan yang selama ini dianggap hal biasa,
mengidentifikasi dan memodifikasi terhadap nilai-nilai budaya yang dianggap mendorong terjadinya konversi lahan sawah, dan peningkatan kemampuan petani.
Terjadinya konversi lahan sawah juga disebabkan oleh karena masih rendahnya tingkat informasi tentang konversi lahan sawah yang diterima oleh masyarakat,
khususnya petani. Beberapa nilai budaya yang mendorong terjadinya konversi lahan sawah
adalah budaya waris yang menstimulus adanya pembagian lahan secara fisik, Dengan luasan lahan yang sempit menghambat terjadinya tingkat keuntungan
usaha tani sawah yang lebih baik. Karena keuntungan rendah dan cenderung merugi, maka mendorong petani untuk melakukan konversi lahan secara nyata
maupun semu. Secara nyata dilakukan dengan merubah peruntukannya secara permanen. Sedangkan secara semu adalah merubah peruntukan sawah untuk
sementara. Pelatihan kepada petani diupayakan secara sistematis mampu menjadikan
mereka yang tidak tahu menjadi tahu pengetahuan, yang tidak mau menjadi mau sikap dan yang tidak bisa menjadi bisa terampil. Pola pendekatan pelatihan
orang dewasa andragogi menjadi pilihan yang tepat untuk digunakan dalam berbagai pelatihan kepada petani, karena mereka pada dasarnya bukan orang yang
berangkat dari “titik nol”. Petani pada dasarnya memiliki pengetahuan dan pengalaman usaha tani yang cukup panjang, dari generasi ke generasi.
Pelatihan kepada petani hendaknya menghindari bentuk-bentuk pelatihan formal di kelas. Model-model pelatihan “on job tranning” dan in “service
tranning”. Melatih di tempat mereka biasa berada field base tranning akan menjadikan mereka lebih nyaman menerima berbagai pendekatan baru. Pelatihan
bagi petani harus melibatkan komunitasnya kelompok tani. Dengan melibatkan kelompok taninya, maka akan mencairkan suasa pelatihan yang dibangun, yang
pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai. Di lain pihak, pelatihan berbasis komunitas akan mempermudah didalam pengendalian pasca pelatihan.
Kelompok tani bukan hanya bermanfaat dalam pelatihan-pelatihan bagi petani, tetapi juga di dalam merubah perilaku dan menata usaha tani, termasuk
konsolidasi lahan. Seperti diketahui bahwa kepemilikan lahan sawah oleh petani pada Kawasan Andalan Provinsi Jawa Tengah rata-rata kurang dari 0,5 ha per
keluarga. Luasan ini tentu tidak efisien. Upaya konsolidasi lahan sawah menjadi penting dilakukan. Dengan luasan yang lebih lebar memungkinkan terjadinya
usahatani yang lebih efisien. Upaya konsolodasi lahan oleh petani perlu melibatkan kelompok tani, untuk menghindari konflik sosial yang mungkin
timbul. LSM sebagai potensi sosial yang hadir secara mandiri karena
kepeduliannya, khususnya kepada petani, perlu melakukan berbagai bentuk advokasi agar petani lebih berdaya. Keberdayaan petani dapat dilihat pada
semakin sejahteranya masyarakat dan disertai dengan kedaran akan hak dan kewajibannya. Upaya advokasi oleh LSM perlu dilakukan secara sinergis dengan
berbagai pemangku kepentingan yang lain. Selain LSM, Perguruan tinggi juga memiliki peran yang sangat strategis.
Masalah petani, bukan semata-mata masalah fakultas pertanian. Masalah petani adalah masalah multi disiplin ilmu. Perguruan tinggi yang memiliki latar belakang
ilmu yang bervariasi dan pada saat yang sama memiliki hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan, tentunya memiliki kesempatan yang lebih luas
dalam menolong petani. Ditambah lagi perguruan tinggi adalah lembaga independen non partisan, posisi ini menjadikan perguruan tinggi jauh dari
kecurigaan petani bila sedang melakukan upaya-upaya pemberdayaan dengan memanfaatkan kemampuan penelitian dan bantuan teknisnya.
8.4.2.7. Peningkatan Usaha Non Sawah
Jumlah tenaga kerja petani sangatlah berlimpah, disisi lain dalam mengelola sawah tidak semua tenaga kerja tersebut digunakan ”fullday”. Pada tahapan
tertentu tenaga kerja dibutuhkan sangat banyak, terutama pada saat mengolah lahan, menanam dan panen. Namun pada tahapan lain tenaga kerja yang
dibutuhkan sangat sedikit. Maka bila dilihat dari curahan tenaga kerjanya banyak yang menganggur idle labor.
Banyaknya waktu luang yang dimiliki petani perlu dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk mengelola usaha tanai non sawah atau usaha non
pertanian. Mengelola usaha tani non sawah tidaklah sulit bagi petani, dengan pembekalan yang baik mereka akan bisa memanfaatkan halaman rumahnya,
waktu luangnya dan berbagai potensi lainnya untuk dapat memberikan pendapatan tambahan bagi keluarganya. Pada kenyataannya diversifikasi usahatani sudah
biasa dilakukan oleh petani. Namun untuk usaha non pertanian tidak mudah dilaksanakan. Kebanyakan
petani adalah kelompok masyarakat subsisten, mereka melaksanakan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Belum banyak diantara petani-
petani kecil yang memiliki cara berfikir ekonomis dan berorientasi jangka panjang. Kebanyakan mereka bertindak dengan memperhitungkan kepentingan
jangka pendek dan jangka menengah. Dalam usaha jangka menengah pun kebanyakan mereka bukan sebagai ”trendsetter”, tetapi sebagai ”follower”
terhadap apa yang telah dilakukan pihak-pihak lain. Sebagai follower mereka sering terjebak pada situasi ”over supply”, dimana mereka melihat suatu usaha
sepertinya menguntungkan. Namun bila mereka ikut masuk ke dalam pasar secara bersama-sama dalam jumlah pelaku yang banyak, maka terjadi over suplly yang
mendorong harga menjadi turun, pada akhirnya menjadikan petani merugi.
Mengacu pada pengalaman tersebut, maka petani perlu dilatih secara sistematis. Dengan demikian mereka bisa membaca peluang pasar dengan baik
dan mempertimbangkan secara masak berbagai potensi dan peluang dibandingkan dengan tantangan dan kelemahan yang mereka miliki. Terjun ke dunia non
pertanian adalah hal baru bagi kebanyakan petani. Ada resiko bagi petani akan gagal. Namun demikian mereka harus dipersiapkan secara baik untuk mengelola
usahatani non sawah, bahkan usaha non pertanian. Melatih usahatani non sawah hendaknya tidak dilakukan oleh pemerintah
saja. Pengalaman yang dimiliki oleh LSM, swasta dan perguruan tinggi hendaknya juga dimanfaatkan secara optimal. LSM memeiliki pengalaman dalam
memberikan advokasi kepada petani, terutama dalam pemberdayaan petani dan peningkatan pendapatan keluarga petani. Swasta memiliki berbagai pengalaman
tentang bagaimana membaca peluang usaha, yang didasarkan atas pasar. Sedangkan Perguruan Tinggi memiliki hasil-hasil penelitian yang sahih yang
dapat dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya mendorong
usahatani non sawah tidaklah semudah membalik telapak tangan. LSM biasanya menggunakan bahasa ”perjuangan”. Swasta menggunakan bahasa ”keuntungan”,
Perguruan Tinggi menggunakan bahasa ”ilmiah”. Pemerintah sering menggunakan bahasa-bahasa ”pembangunan”. Sedangkan petani lebih banyak
menggunakan bahasa yang sederhana, yaitu bahasa ”kebutuhan”. Mendekatkan berbagai kepentingan tersebut dalam suatu konsep perlu suatu sistem dialogis agar
tercipta saling memahami dan saling menerima. Asal semuanya berfikir untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka semua
kepentingan tersebut dapat diintegrasikan secara terpadu.
8.4.2.8. Diversifikasi Makanan non Beras
Nasiberas adalah makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat pada Kawasan Andalan. Makan beras sudah menjadi kebiasaan lama yang sulit
tergantikan. Mengajak masyarakat, khususnya petani untuk merubah pola makannya dari beras ke non beras tidaklah mudah. Kesulitan utamanya terletak
pada budaya makan. Bagi kebanyakan orang Jawa, belum dikatakan makan bila
belum makan nasi. Meskipun mungkin yang bersangkutan sudah makan mie, jagung, ubi atau makanan yang mengandung karbohidrat lainnya.
Usaha melaksanakan diversifikasi makanan non beras perlu dilakukan dengan penyuluhan dan kampanye yang intensif. Perlu dilakukan sosialisasi
bahwa yang kita butuhkan bukanlah beras, tetapi kalori yang ada di dalam beras. Kalori sejumlah 1800-2800 sebagai modal kita untuk beraktivitas sehari-hari
dapat diperoleh dari makanan-makanan lain di luar beras, karena kalori akan diubah oleh tubuh kita menjadi energi. Penyuluhan dan kampanye diversifikasi
makanan non beras bukan hanya dilakukan secara intensif, tetapi juga memerlukan kreatifitas tertentu. Keberhasilan dalam melakukan diversifikasi
makanan non beras secara agregat akan menurunkan kebutuhan akan beras. Dengan demikian ketercukupan beras kawasan juga lebih terjamin.
8.5. Perencanaan dan Penganggaran Terpadu
Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur melalui Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut diakui adanya 5 lima pendekatan perencanaan pembangunan yaitu: 1 politik, 2 teknokratik, 3
partisipatif, 4 atas-bawah top-down, dan bawah-atas bottom-up. Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan PresidenKepala Daerah adalah proses
penyusunan rencana, karena rakyat perlu menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon
PresidenKepala Daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan PresidenKepala
Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan
menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan
partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan stakeholders terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi,
KabupatenKota, Kecamatan, dan Desa. Perencanaan politik mensyaratkan adanya politikus yang visioner. Politikus
yang visioner tidak hanya mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis yang sesaat. Mereka harus mampu melihat kedepan, baik jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang. Politikus yang visioner bukanlah politikus yang oportunis.
Perencanaan teknokratis mensyaratkan adanya birokrasi yang “good and clean”.
Good artinya birokrasi yang kompeten di bidangnya. Birokrat harus mempunyai pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baik di bidangnya. Birokrat
harus ditempatkan dengan prinsip “The right man on the right place”. Bukan birokrat yang ditetapkan hanya karena semata-mata yang bersangkutan menjadi
anggota Tim Sukses PresidenGubernurBupatiWalikota saat pemilihan umum dilaksanakan.
Perencanaan partisipatif menyarakat adanya metode partisipatif yang diterapkan secara baik dan memperhatikan aspek keterwakilan seluruh komponen
masyarakat yang ada. Bukan suatu proses perencanaan yang direkayasa sedemikian rupa yang seolah-olah partisipatif. Rakyat termasuk didalamnya petani
hanya digunakan sebagai alat legitimasi dalam pengambilan keputusan dalam proses perencanaan pembangunan.
Bottom up dan top down planning dirancang untuk menyelaraskan
kepentingan pemerintah di satu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain. Pada kenyataannya pendulum proses perencanaan di Indonesia lebih condong ke arah
top down planning . Perencanaan dari masyarakat sering dianggap hanya sebagai
daftar keinginan dan bukan daftar kebutuhan, sehingga pemerintah merasa tidak wajib untuk memenuhinya. Tidaklah heran bila orang Jawa sering
memelesetkannya bottom up menjadi “mboten up” tidak pernah naik. Dalam rangka mamantapkan pengendalian konversi lahan sawah yang
berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah, maka keterpaduan antar pendekatan perencanaan pembangunan perlu ditingkatkan.
Diperlukan adanya sinergisitasketerpaduan antara perencanaan politis,
perencanaan teknokratis dan perencanaan dalam mengambil keputusan terhadap program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan diprioritaskan pendanaannya.
Model integrasi kepentingan perencanaan dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 35 Bagan integrasi perencanaan politis, teknokratis dan partisipatif Dari gambar di atas diketahui bahwa integrasi perencanaan bukan dalam
rangka saling meniadakan satu dengan yang lain. Masing-masing pendepatan perencanaan pembangunan memiliki ruang lingkup yang berbeda. Namun
demikian ada sisi-sisi yang bisa diintegrasikan, terutama bila dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Model integrasi sistem perencanaan
memungkinkan ditemukannya kondisi ” pareto optimum”, dimana pembangunan tetap dapat dilaksanakan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan
kepentingannya.
Perencanaan dan penganggaran bagaikan dua keping mata uang, dimana yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Pada gambar 36 berikut ini
dijelaskan tentang integrasi pendekatan perencanaan politis, teknokratis, partisipatif, top down planning dan bottom up planning, serta hubungannya
dengan sistem penganggaran.
CSR
Penggalian Gagasan
Musrenbang Desa
RPJMDes RKPDes Musrenbang
Kecamatan Musrenbang
Kabupaten
Profil Desa Podes
Pelaksanaan Pertanggungjawaban
APBD Kab
MDST Pokok
Pikiran DPRD
RPJMD
RKPD
Forum SKPD
MAD MKP
CSR APBD
Prov
MD Sosialisasi
MAD Sosialisasi
J A
R I
N G
A S
M A
R A
CSR APBN
RPJM RKP
Keterangan : Alur Perencanaan
Alur Penganggaran Gambar 36 Sistem perencanaan dan penganggaran terpadu pemantapan
pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan
Perencanaan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani harus dimulai dari bawah, yaitu dari petani itu sendiri. Adapun tahapan