Pengembangan Kawasan Andalan Design Of stbilizing pro-farmer controls of rice field conversion at special zones in Central Jawa Province

aktifitas, yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya. Selanjutnya, konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip: 1 berbasis pada sektor unggulan; 2 dilakukan atas dasar karakteristik daerah; 3 dilakukan secara komprehensif dan terpadu; 4 mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; 5 dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Wilayah yang mempunyai karakteristik yang berbeda, perlu bekerja sama satu sama lain bahkan dengan kota-kota di luar batas-batas daerah untuk mengembangkan wilayah produktif yang dinamis. Setiap kota perlu terhubungkan dengan kota lain sehingga membentuk koridor wilayah, yang memungkinkan wilayah-wilayah itu saling berinteraksi. Setiap pulau besar sudah mempunyai struktur dasar koridor kerja sama antar wilayah. Dengan demikian, yang diperlukan adalah pemantapannya dan perluasannya ke pusat-pusat wilayah yang lebih dalam lagi secara bertahap. Dalam koridor antar wilayah ini, setiap wilayah perlu berbagi sumber daya dan berbagi peran berdasar pada potensi dan keunikan yang dimiliki masing-masing wilayah, dan menjaga agar tidak terjadi hambatan dalam pergerakan barang antar wilayah. Kerja sama antar wilayah akan meningkatkan penggunaan ruang dan fasilitas yang efisien dan efektif diantara wilayah-wilayah itu. Peran rencana tata ruang adalah mewadahi kesepakatan untuk membentuk kerja sama itu, bukan menjadi ketentuan yang tidak dapat diubah. Pada akhirnya koridor kerja sama wilayah ini akan memungkinkan setiap wilayah, dengan kultur dan sejarah yang berbeda, dapat bekerja sama dan memperkuat karakteristik yang unik dari wilayah itu secara keseluruhan dan dapat juga mewujudkan pengalaman budaya dan nilai- nilai baru.

2.2. Konversi Lahan Sawah

2.2.1. Pengertian Konversi Lahan Sawah

Menurut Kementerian Pertanian, konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan. Konversi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik Sumardjono 2006 mengatakan, bahwa berkenaan alih fungsi tanah pertanian, gejala yang telah diwaspadai semenjak lebih dari 20 tahun yang lalu itu ternyata tidak semakin surut. Secara kuantitatif, paling tidak telah terbit sepuluh ketentuan dalam berbagai bentuk dan tingkatan yang intinya mengatur tentang alih fungsi tanah pertanian. Gejala yang sangat memprihatinkan sering terjadi di beberapa kabupaten yang menghadapi perkembangan yang luar biasa misalnya Botabek, Sidoarjo telah menimbulkan reaksi berupa keluarnya surat Menteri Negara Agraria atau Kepala BPN serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionalKetua Bappenas semenjak tanggal 17 Juni 1994 Menurut Irawan 2003, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan maka kebutuhan penyediaan lahan untuk kegiatan non pertanian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan demikian menyebabkan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian seringkali sulit dihindari terutama di daerah yang sumber daya lahan yang sangat terbatas seperti di Jawa. Konsekuensinya adalah upaya pencadangan kawasan pada produksi pangan seyogyanya dilengkapi dengan upaya pencegahan atau pengendalian konversi lahan agar eksistensi kawasan tersebut dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Namun seberapa jauh kebutuhan upaya pencegahan konversi lahan tersebut akan tergantung pada besarnya ancaman konversi lahan tersebut.

2.2.2 Penyebab Konversi Lahan Sawah

Lee mengemukakan adanya enam faktor penting yang mempengaruhi konversi lahan, terutama di pinggiran kota Yunus, 2001. Keenam faktor tersebut adalah: 1 karakteristik fisikal dari lahan, 2 peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan, 3 karakteristik personal dari pemilikan lahan, 4 banyak sedikitnya utilitas umum, 5 derajat aksesibilitas lahan, dan 6 inisiatif para pembangun. Yunus 2001 selanjutnya mengemukakan adanya 4 isu penting tentang konversi lahan, yaitu: 1 Meningkatnya harga lahan, 2 meningkatnya harga perumahan, 3 meningkatnya gejala spekulasi lahan, dan 4 meningkatnya gejala fragmentasi lahan. Ditinjau dari prosesnya, konversi lahan sawah dapat terjadi: 1 secara gradual, 2 seketika instant. Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usahatani pada lokasi tersebut tidak berkembang secara menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri. Proses konversi lahan pertanian ke non pertanian dalam hal ini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1 proses konversi yang dilaksanakan oleh perorangan dan 2 proses konversi yang dilakukan oleh institusi. Orientasi dan luas pemanfaatan setelah terjadi konversi yang dilaksanakan oleh perorangan berbeda dengan orientasi pemanfaatan yang dilaksanakan oleh institusi, maka prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga berbeda. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh perbedaan orientasi dan luas yang berbeda juga diperkirakan berbeda pula. Pengajuan pemanfaatan lahan yang dilaksanakan oleh perorangan maupun institusi harus selalu memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut: 1 Lokasi lahan yang dimohon masuk dalam rencana pengembangan kota Kecamatan atau Kabupaten; 2 lokasi lahan yang dimohon merupakan lahan yang tidak subur, yaitu bukan merupakan lahan sawah yang menghasilkan padi 2 atau 3 kali dalam setahun; 3 lokasi lahan yang dimohon tidak memperoleh aliran irigasi teknis maupun setengah teknis; 4 lokasi lahan yang dimohon tidak terletak di tengah-tengah lahan pertanian yang masih produktif dikerjakan. Secara konseptual beberapa kriteria tersebut membangun landasan pemikiran yang kuat untuk melindungi keberadaan lahan pertanian subur dan produktif, hasilnya akan nampak nyata apabila diimbangi dengan koordinasi kerja antar departemen baik secara vertikal maupun horizontal. Kenyataan di lapangan menunjukkan gejala yang agak menyimpang dari konsep dasar yang telah dirumuskan, sehingga banyak lahan pertanian subur dan produktif di beberapa perdesaan telah beralih fungsi. Menurut Steigenga, sebagaimana dikemukakan Jayadinata 1999, dalam penggunaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan ia berkesimpulan bahwa ruang dapat merupakan lambang bagi nilai- nilai sosial Misalnya: penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah. Sehubungan dengan nilai tanah, Jayadinata 1999 menggolongkan nilai tanah dalam 3 tiga kelompok, yaitu yang mempunyai: 1 Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasaran bebas; 2 Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat; 3 Nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya, dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

2.2.2.1. Land rent sebagai penyebab konversi lahan sawah Penyebab

Ekonomi Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumberdaya lahan. Menurut Heady dan Jensen 2001 penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah hasil maksimal yang dapat diperoleh dari tingkat penggunaan lahan. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengalokasikan lahan bagi penggunaan yang mempunyai nilai lebih atau surplus rent dari satuan lahan marginal unit, dari berbagai keperluan yang bersaing diantara berbagai alternatif penggunaan lahan. Lahan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi relatif lebih