1998 16.251.052 -13,02
1999 16.564.921 1,93
2000 45.907.055 177,13
2001 47.927.182 4,40
2002 49.913.168 4,14
2003 51.968.006 4,12
2004 54.036.165 3,98
2005 56.446.451 4,46
2006 59.019.702 4,56
2007 62.013.379 5,07
2008 65.058.494 4,91
2009 68.341.130 5,05
Sumber Data : BPS 2011 Keterangan:
PDRB = PDRB Non Migas
Dari data di atas nampak bahwa pertumbuhan ekonomi pada Kawasan Andalan mengalami kontraksi dari 14,36 pada tahun 1997 dan anjlok ke tingkat
– 13,02 , fenomena tersebut dipicu adanya krisis multidimensional yang melanda Indonesia. Recovery berhasil dilakukan pada tahun 2000, dimana
pertumbuhan ekonomi mencapai 177,13 . Setelah tahun 2000 tersebut pertumbuhan stabil pada kisaran 3,98 sampai dengan 5,07 .
Pengendalian terhadap laju pertumbuhan penduduk dan diversifikasi makanan non beras merupakan faktor penting untuk menekan kebutuhan beras
kawasan. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, diketahui bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Tengah saat ini adalah sebagaimana
gambar 19 berikut ini.
Sumber data : BPS Jawa Tengah Tahun 2010.
Gambar 19 Laju pertumbuhan pendudukan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010.
Dari gambar di atas diketahui bahwa kabupaten dan kota pada Kawasan Andalan memiliki pertumbuhan penduduk yang berbeda satu sama lain. Kota
Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi, yaitu di atas 1 per tahun. Kota Magelang memiliki
pertumbuhan penduduk minus 1 per tahun. Sedang kota dan kabupaten lainnya memiliki pertumbuhan penduduk antara 0 – 1 per tahun. Pertumbuhan
tersebut lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan pada kawasan lain di Provinsi Jawa Tengah. Pertumbuhan penduduk yang terkendali memungkinkan
terkendalinya kebutuhan beras kawasan. Salah satu faktor yang bisa dilakukan untuk mengurangi kebutuhan beras
kawasan adalah dengan diversifikasi makanan non beras, dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan kalori minimum. Saat ini kebutuhan kalori minimum di Indonesia untuk aktivitas orang dewasa 1800 – 2800 kalori per hari.
Energi tersebut didapat dari makanan-makanan yang mengandung karbohidrat, diantaranya beras. Disamping beras, makanan yang mengandung karbohidrat
antara lain adalah : jagung, umbi-umbian dan sagu. Diversifikasi makanan non beras akan mengurangi konsumsi beras yang saat ini mencapai 400 gram per
orang per hari. Untuk mengukur pengaruh variabel-variabel Konversi Lahan Sawah,
Kontribusi PDRB Sektor Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap Ketercukupan Beras Kawasan digunakan model ekonometrika. Untuk menguji
kesahian model ekonomitrika yang dibangun dilakukan uji asumsi klasik.
5.2.1. Uji Asumsi Klasik 5.2.1.1.
Uji Normalitas
Salah satu syarat utama dalam statistik parametrik adalah normalitas data. Untuk menguji apakah variabel-variabel yang akan diuji telah terdistribusi
pengujian menunjukkan bahwa signifikansi hasil uji lebih besar dari 0,05 maka data yang diuji telah terdistribusi normal. Pada Tabel 18 dibawah terlihat bahwa
keempat variabel yang diuji belum terdistribusi normal. Agar data terdistribusi normal, maka data-data yang bersifat outlier dibuang dan juga dilakukan
transformasi data ke nilai logaritma naturalnya. Transformasi data ke nilai logaritma natural dilakukan pada variabel konversi lahan sawah Setelah
perbaikan, maka keempat variabel itu mempunyai p-value diatas 0,05. Dengan demikian maka variabel-variabel tersebut dinyatakan normal.
Tabel 18 Hasil Uji Kolgomorov Smirnov
Variabel Uji Kolgomorov Smirnov
sebelum perbaikan Uji Kolgomorov Smirnov
setelah perbaikan Konversi Lahan
0,00005 0.081
PDRB Sektor Pertanian 0,00095
0.069 Laju Pertumbuhan
0,002 0.052
Ketercukupan Beras Kawasan
0,00015 0.187
Sumber : Data Olahan, 2011
5.2.1.2. Uji Heteroskedastisitas
Untuk menguji apakah variabel-variabel yang dipakai pada penelitian ini terindikasi masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan uji Glejser.
Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika variabel tersebut mempengaruhi absolut residual secara
signifikan p 0,05, maka dapat dipastikan bahwa variabel tersebut terkena masalah heteroskedastisitas. Pada Tabel 19 di bawah terlihat tak satupun dari
ketiga variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai absolut residual. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ketiga variabel tersebut bebas
dari masalah heteroskedastisitas. Tabel 19 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel Signifikansi Keterangan
Konversi Lahan 0,061
Bebas heterokedastisitas
PDRB Sektoral 0,082
Bebas heterokedastisitas Laju Pertumbuhan
0,597 Bebas heterokedastisitas
Sumber : Data Olahan, 2011
5.2.1.3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 sebelumnya. Untuk menguji autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Waston DW, yaitu jika nilai DW terletak antara du dan
4 – dU atau du ≤ DW ≤ 4 – dU, berarti bebas dari autokorelasi. Rentang nilai
DW untuk n =123 dan k =4 adalah 1,673 ≤ DW ≤ 1,772. Nilai DW dari hasil
pengujian adalah sebesar 1,728 yang berarti nilai DW berada pada rentang 1,673 ≤ DW ≤ 1,772. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak terdapat masalah
autokorelasi yang serius.
5.2.1.4. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas independen. Dalam model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation
factor VIF dari hasil analisis. Apabila nilai tolerance value lebih tinggi daripada 0,10 atau VIF lebih kecil daripada 10 maka dapat disimpulkan tidak terjadi
multikolinearitas Tabel 20 Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel Tolerance VIF
Keterangan Konversi Lahan Sawah
0,931 1,075
Bebas Multikolinearitas PDRB Sektoral
0,986 1,014
Bebas Multikolinearitas Laju Pertumbuhan
0,94 1,064
Bebas Multikolinearitas Sumber : Data Olahan, 2011
Nilai VIF dan tolerance dari semua variabel yang diuji masih di bawah batas ambang yang ditentukan sehingga dengan demikian ketiga variabel
independen tersebut bebas dari masalah multikolineritas.
5.2.2. Analisa Pengaruh Konversi Lahan Sawah, PDRB Sektor Pertanian, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketercukupan Beras Kawasan
Daerah-Daerah pada Kawasan Andalan, padi dihasilkan dari lahan sawah maupun bukan lahan sawah atau tegalan. Walau demikian, hampir 97 total
produksi padi dihasilkan dari lahan sawah, sisanya dari lahan kering atau tegalan. Oleh karena itu, pengalihan fungsi lahan sawah ke penggunaan lain akan
berdampak langsung pada produksi dan ketercukupan beras kawasan. Dengan demikian, maka konversi lahan sawah akan berdampak pada kemandirian pangan,
khususnya pada aspek ketercukupan beras kawasan, aspek stabilitas ketersediaan pangan serta akses rumah tangga terhadap beras.
Ada pilihan yang dilematis bagi umat manusia, pada satu sisi manusia membutuhkan lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pangan,
khususnya beras. Namun pada sisi lain, manusia juga membutuhkan lahan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan misalnya. Untuk itu, upaya mencegah
terjadinya konversi lahan sawah adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Namun laju konversi lahan perlu dikelola agar tidak menghancurkan masa depan
umat manusia. Walaupun dalam analisis clustering terlihat bahwa anggota cluster lebih
banyak berada pada kelompok dengan tingkat konversi lahan rendah, bukan berarti bahwa tingkat konversi tersebut tidak mengkhawatirkan. Dari Tabel 11,
terlihat bahwa hampir selama 15 tahun jumlah lahan yang terkonversi ke penggunaan lain sebanyak 63.892,60 ha.
Rata-rata konsumsi beras orang Indonesia per orang setiap harinya berkisar antara 400 hingga 500 gram. Ini berarti bahwa dalam setahun, setiap orang
Indonesia dapat menghabiskan 146kg – 182,50 kg. http:www.seputar-indonesia. comedisicetakcontentview444364,http:nasional.kompas.comread2011031
9 05261280Penurunan.Konsumsi.Beras.Ditarget.7.5.Persen, http:nasional. kompas.scomread2009082408455440Konsumsi.Beras.0.54.Kg.per. Orang.per
.Hari. Jika diasumsikan bahwa rata-rata penduduk di kawasan andalan mengkonsumsi beras rata-rata 400 gram perhari untuk orang dewasa, dan 200
gram untuk anak-anak dan orang tua 65+, maka berapa lama produksi beras di kawasan andalan ini dapat memenuhi kebutuhan penduduk kawasan?
Proses konversi dari padi hingga penggilingan pada penelitian ini mengacu pada besaran yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian. Perhitungannya dapat
dilihat pada Tabel 21, dimana proses untuk menjadi beras harus melewati beberapa konversi lebih dulu. Padi hasil langsung panen yang dikeringkan
menyusut sebesar 9,65 dari padi hasil langsung panen. Penyusutan dari padi hasil panen yang dikeringkan menjadi gabah kering giling sebesar 1,69.
Sedangkan beras merupakan hasil konversi gabah kering giling sebesar 63,2. Tabel 21 Penentuan Losses dan Rendemen Padi, Gabah Kering Panen, Gabah
Kering Giling dan Beras
Padi Gabah Kering
Panen Gabah Kering Giling
Beras
Padi Hasil Langsung
Panen P Padi hasil panen
yang telah dikeringkan BKP
Padi yang telah siap untuk digiling BKG
Beras setelah selesai digiling B
BKP = P – Lp+Rp BKP =9,65 x P
BKG = BKP – Lbkp+Rbkp BGK = 1,69 x BKP
B = BKP – Lbkg+Rbkg B = 63,2 x BGK
Keterangan : Lp :
Losses Panen
Rp : Rendemen padi hasil langsung panen
Lbkp : Losses padi hasil langsung panen yang dikeringkan Rbkp : Rendemen padi hasil langsung panen yang dikeringkan
Lbkg : Losses gabah kering giling Rbkg : Rendemen gabah kering giling
Rata-rata produksi beras di kawasan yang diteliti dalam kurun waktu 15 tahun, mulai dari 1991 sampai 2006, rata-rata sebesar 1.787.236 tontahun.
Produksi beras kawasan menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2003, sebagaimana tampak pada Tabel 22 di berikut ini.
Tabel 22 Produksi Beras pada Kawasan Andalan Tahun 1995-2009
Tahun Produksi Padi
Ton Gabah Kering
Giling Ton
Produksi Beras Ton
1995 2.730.673 2.699.707,17 1.706.214,93 1996 2.789.457 2.757.824,56 1.742.945,12
1997 2.788.128 2.756.510,63 1.742.114,72 1998 2.930.113 2.896.885,52 1.830.831,65
1999 2.754.815 2.723.575,40 1.721.299,65 2000 2.612.637 2.583.009,70 1.632.462,13
2001 2.765.413 2.734.053,22 1.727.921,63 2002 2.905.954 2.873.000,48 1.815.736,30
2003 2.272.492 2.246.721,94 1.419.928,27 2004 2.913.636 2.880.595,37 1.820.536,27
2005 2.896.059 2.863.217,69 1.809.553,58 2006 2.845.877 2.813.604,75 1.778.198,21
2007 3.028.332 2.993.990,72 1.892.202,13 2008 3.238.619 3.201.893,06 2.023.596,41
2009 3.432.926 3.393.996,62 2.145.005,86 Sumber : Data Olahan, 2011
Keterangan : Produksi Beras = Gabah Kering Giling x 63,2
Ketercukupan beras kawasan KTBK sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan bagaimana produksi padi mampu menyangganya. Kebutuhan
penduduk akan beras sebesar 400 gram buat orang dewasa dan 200 gram bagi anak-anak dan orang tua. Cerminan akan mampu tidaknya produksi beras
menyangga kebutuhan suatu kawasan terlihat dari rasio ketercukupan beras kawasan. Rasio kecukupan beras kawasan yang lebih besar dari 1 menunjukkan
bahwa produksi beras kawasan mengalami surplus. Sebaliknya jika rasio kecukupan beras kawasan lebih kecil dari 1 maka produksi beras kawasan
mengalami defisit terhadap kebutuhan. Rasio kecukupan beras di kawasan andalan mulai dari tahun 1995-2009 dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini.
Tabel 23 Rasio Ketercukupan Beras pada Kawasan Andalan Tahun 1995-2009
Tahun Produksi Beras
Ton Kebutuhan Beras
Kawasan Ton
Jumlah Penduduk
Kawasan Rasio
Ketercukupan Beras
1995 1.706.214,93 1.305.316 10.967.184 1,31
1996 1.742.945,12 1.300.318 10.880.334 1,34
1997 1.742.114,72 1.318.663 10.954.016 1,32
1998 1.830.831,65 1.341.504 11.125.494 1,36
1999 1.721.299,65 1.358.874 11.259.049 1,27
2000 1.632.462,13 1.372.181 11.269.591 1,19
2001 1.727.921,63 1.380.504 11.374.509 1,25
2002 1.815.736,30 1.424.790 11.724.150 1,27
2003 1.419.928,27 1.429.519 11.741.461 0,99
2004 1.820.536,27 1.446.282 11.892.286 1,26
2005 1.809.553,58 1.479.624 12.114.864 1,22
2006 1.778.198,21 1.465.675 11.950.842 1,21
2007 1.892.202,13 1.484.437 12.052.171 1,27
2008 2.023.596,41 1.483.741 12.170.283 1,36
2009 2.145.005,86 1.495.282 12.285.849 1,43
Sumber : Data Olahan, 2011. Keterangan : Kebutuhan Beras Kawasan =jumlah anak + jumlah orang tua x 200
gr+jumlah dewasa x 400 gr Rasio KBK = Produksi Beras Kawasan Kebutuhan Beras Kawasan
Tabel 23 diatas menunjukkan bahwa dalam periode 11 tahun sejak 1995- 2006, produksi beras kawasan dapat menopang kebutuhan penduduk akan beras,
kecuali pada tahun 2003. Tapi kondisi ini tidak akan berlangsung seterusnya, akan ada titik jenuh dimana produksi beras takkan mampu lagi menopang kebutuhan
beras kawasan akibat konversi lahan yang terjadi. Berdasar hasil uji regresi berganda diperoleh persamaan sebagai berikut:
KBK = 0,352 - 0,01 Ln Konversi + 3,696 PDRB Sektor + 0,024 Laju Pertumbuhan R
2
= 0,523 Persamaan di atas menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian dan
Pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh positif terhadap ketercukupan beras kawasan, sedangkan konversi lahan berpengaruh negatif terhadap ketercukupan
beras kawasan. Ketiganya secara signifikan berpengaruh terhadap ketercukupan beras kawasan karena p-value dari ketiga variabel ini lebih kecil dari 0,05.
Sumbangan pengaruh nyata dari ketiga variabel ini terhadap ketercukupan beras kawasan andalan sebesar 52,3.
Persamaan di atas mengandung arti bahwa semakin tinggi konversi lahan dan laju pertumbuhan maka ketercukupan beras kawasan akan turun. Di lain pihak
semakin tinggi PDRB sektoral maka semakin tinggi pula ketercukupan beras kawasan.
Dari uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya, diketahui bahwa setiap tahun terjadi laju konversi di kawasan, dengan akumulasi laju konversi selama kurang
lebih 15 tahun 1991-2006 adalah 63,892.60 ha. Ini berarti bahwa tingkat ketercukupan beras di kawasan andalan yang diteliti ini semakin berkurang.
Pertanyaannya adalah, sampai titik mana produksi beras di kawasan andalan dapat memenuhi kebutuhan penduduk di kawasan tersebut?
Rasio KTBK yang semakin kecil 1 mengindikasikan bahwa produksi beras suatu kawasan sudah tidak dapat menyangga kebutuhan beras kawasan. Ini
artinya bahwa kawasan tersebut harus menyuplai beras daerah lain. Rasio KTBK juga sangat dipengaruhi jumlah penduduk sehingga rasio ini cenderung turun jika
jumlah penduduk bertambah.
5.3. Pengaruh Konversi Lahan Sawah, PDRB Sektor Pertanian dan
Pertumbuhan Ekonomi terhadap Transformasi Mata Pencaharian dari Petani ke Non Petani
Sebagaimana halnya pengaruh variabel konversi lahan sawah terhadap ketercukupan beras kawasan disertai oleh variabel Kontribusi PDRB Sektor
Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi, maka variabel-variabel lain yang mempengaruhi transformasi mata pencaharian selain konversi lahan sawah adalah
variabel-variabel: Kontribusi PDRB Sektor Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi. Untuk mengukur pengaruh variabel-variabel Konversi Lahan Sawah,
Kontribusi PDRB Sektor Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap Transformasi Mata Pencaharian Petani kepada Non Petani digunakan model
ekonometrika. Untuk menguji kesahian model ekonomitrika yang dibangun dilakukan uji asumsi klasik.
5.3.1. Uji Asumsi Klasik
5.3.1.1. Uji Normalitas
Salah satu syarat utama dalam statistik parametrik adalah normalitas data. Untuk menguji apakah variabel-variabel yang akan diuji telah terdistribusi normal
atau tidak maka dilakukan uji Kolgomorov Smirnov. Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi
dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Jika hasil
pengujian menunjukkan bahwa signifikansi hasil uji lebih besar dari 0,05 maka data yang diuji telah terdistribusi normal.
Hasil uji Kolgomorov Smirnov seperti yang tampak pada Tabel 24 menunjukkan bahwa pada mulanya variabel-variabel yang akan diuji tidak
terdistribusi normal. Setelah perbaikan dilakukan dengan cara membuang data outlier
dan melakukan transformasi logaritma natural, maka variabel-variabel tersebut menjadi normal, seperti pada Tabel 24 berikut ini.
Tabel 24 Hasil Uji Kolgomorov Smirnov
Variabel Uji Kolgomorov Smirnov
sebelum perbaikan Uji Kolgomorov Smirnov
setelah perbaikan Konversi Lahan
0,00005 0.081
PDRB Sektor Pertanian 0,00095
0.069 Laju Pertumbuhan
0,002 0.052
Transformasi mata pencaharian
0,003 0.126
Sumber : Data Olahan, 2011
5.3.1.2 Uji Heteroskedastisitas
Agar persamaan regresi yang diuji bebas dari masalah heteroskedastisitas maka pengujian heteroskedastisitas mutlak dilakukan. Untuk menguji apakah
variabel-variabel yang dipakai pada penelitian ini terindikasi masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan
dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika variabel tersebut mempengaruhi absolut residual secara signifikan p 0,05,
maka dapat dipastikan bahwa variabel tersebut terkena masalah heteroskedastisitas. Pada Tabel 25 di bawah terlihat tak satupun dari ketiga
variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai absolut residual. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ketiga variabel tersbut bebas dari
masalah heteroskedastisitas. Tabel 25 Hasil uji Heteroskedastisitas
Variabel Signifikansi Keterangan
Konversi Lahan 0,912
Bebas heterokedastisitas
PDRB Sektoral 0,087
Bebas heterokedastisitas Laju Pertumbuhan
0,665 Bebas heterokedastisitas
5.3.1.3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 sebelumnya. Untuk menguji autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Waston DW, yaitu jika nilai DW terletak antara du dan
4 – dU atau du ≤ DW ≤ 4 – dU, berarti bebas dari autokorelasi. Rentang nilai
DW untuk n =123 dan k =4 adalah 1,673 ≤ DW ≤ 1,772. Nilai DW dari hasil
pengujian adalah sebesar 1,681 yang berarti nilai DW berada pada rentang 1,673 ≤ DW ≤ 1,772. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak terdapat masalah
autokorelasi yang serius.
5.3.1.4. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas independen. Dalam model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation
factor VIF dari hasil analisis. Apabila nilai tolerance value lebih tinggi daripada
0,10 atau VIF lebih kecil daripada 10 maka dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel 26 Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel Tolerance VIF Keterangan
Konversi Lahan Sawah 0,931
1,075 Bebas Multikolinearitas
PDRB Sektoral 0,986
1,014 Bebas Multikolinearitas
Laju Pertumbuhan 0,94
1,064 Bebas Multikolinearitas
Nilai VIF dan tolerance dari semua variabel yang diuji masih di bawah batas ambang yang ditentukan sehingga dengan demikian ketiga variabel
independen tersebut bebas dari masalah multikolineritas.
5.3.2. Analisa Pengaruh Konversi Lahan Sawah, PDRB Sektor Pertanian, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Transformasi Mata Pencaharian
Petani ke Non Petani
Ratio petani dan non petani merupakan cerminan komposisi mata pencaharian masyarakat desa. Ratio ini juga dapat dipakai sebagai pendekatan
untuk mengetahui kecenderungan terjadinya transformasi mata pencaharian dari petani ke non petani, atau permindahan mata pencaharian dari sektor pertanian ke
sektor lain. Dari hasil analisis diketahui bahwa pada Kawasan Andalan cenderung
terjadi penurunan mulai dari tahun 1995-2009. Rasio transformasi mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 27 di bawah ini.
Tabel 27 Rasio transformasi mata pencaharian kawasan andalan tahun 1995-2009 Tahun
Petani Non Petani Rasio TMP
1995 2.175.393 3.055.832
0,71 1996 2.077.505
3.141.188 0,66
1997 2.059.007 3.081.858
0,67 1998 2.079.292
3.240.532 0,64
1999 2.230.388 3.279.449
0,68 2000 2.153.304
3.201.397 0,67
2001 2.366.010 3.289.039
0,72 2002 2.175.809
3.477.517 0,63
2003 2.386.484 3.375.098
0,71 2004 2.171.278
3.458.759 0,63
2005 2.139.223 3.872.055
0,55 2006 1.970.284
3.967.099 0,50
2007 2.153.903 4.168.603
0,52 2008 1.995.849
4.035.076 0,49
2009 2.075.618 4.453.341
0,47
Sumber : Data Olahan, 2011
Berdasar hasil uji regresi berganda terhadap transformasi mata pencaharian petani, maka persamaan regresi sebagai berikut.
TMP = -0,344 – 0,027 Ln Konversi + 2,316 PDRB – 0,000096 Pertumbuhan R
2
= 0,536 Dari hasil uji regresi di atas, ketiga variabel independen secara signifikan
berpengaruh terhadap transformasi mata pencaharian, karena p-value ketiga variabel ini lebih kecil dari 0,05. Konversi lahan sawah dan pertumbuhan ekonomi
mempengaruhi transformasi mata pencaharian secara negatif. Jika konversi lahan dan pertumbuhan meningkat, maka transformasi mata pencaharian akan turun.
Setiap kenaikan konversi sebesar 1 ha, akan menurunkan transformasi mata pencaharian sebesar 0,027. Begitu juga setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi
sebesar 1 akan menurunkan transformasi mata pencaharian sebesar 0,000096. Sebaliknya, PDRB sektor pertanian berpengaruh positif pada transformasi mata