Penentuan tingkat risiko tsunami

40 mendapatkan informasi tingkat kerawanan tsunami dari setiap skenario yang telah dibangun. Klasifikasi flowdepth mengacu pada klasifikasi BMKG dan GITEWS 2010. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini ketinggian rendaman tsunami diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu : kelas kerawanan sangat rendah 0,5 m, kelas kerawanan rendah 0,5 – 1,5 m, kelas kerawanan sedang 1,5 – 2,5 m, kelas kerawanan tinggi 2,5 – 5 m dan kelas kerawanan sangat tinggi 5 m. Proses ini seluruhnya dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Hasil klasifikasi model tsunami ini merupakan parameter yang menjadi dasar dalam menentukan indeks kerentanan pantai.

3.5.4 Penentuan tingkat risiko tsunami

Analisis kerentanan yang dikaji pada penelitian ini adalah kerentanan lingkungan pantai dan pesisir terhadap limpasan tsunami run-up dan ketinggian genangan tsunami flow depth. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan lingkungan pantai dan pesisir terhadap tsunami adalah : elevasi daratan topografi, kemiringan daratan slope, tata guna lahanpenutupan lahan, jarak dari garis pantai, jarak dari sungai dan model tsunami. Dasar pengambilan parameter tersebut ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan melihat parameter penentu tingkat kerentanan di suatu wilayah yang kemudian di modifikasi sesuai dengan konsultasi pakar dan pembimbing berdasarkan kondisi di daerah penelitian. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh 41 GITEWS 2010, Oktariadi 2009a, Oktariadi 2009b, Sengaji 2009, Hajar 2006 dan Diposaptono dan Budiman 2006. Setiap parameter memiliki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kerentanan dan risiko bencana tsunami. Pemberian skor dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter, sedangkan pembobot setiap parameter didasarkan pada dominannya suatu parameter terhadap tingkat risiko tsunami. Penentuan bobot dan skor untuk masing-masing parameter dilakukan untuk mengetahui parameter yang dianggap memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat kerentanan pantai. Semakin besar bobot parameter kerentanan pantai terhadap bencana tsunami maka semakin besar kontribusinya terhadap risiko bencana tsunami dan begitupula sebaliknya. Bobot dan skor yang diberikan untuk setiap parameter mengacu pada konsultasi dengan pakar dan penelitian terdahulu. Penjelasan masing-masing parameter dalam menentukan indeks kerentanan pantai adalah sebagai berikut : 1 Model run-up dan flowdepth tsunami Model tsunami merupakan parameter penting dalam analisis risiko bencana tsunami karena dijadikan sebagai masukan utama dalam parameter kerawanan dan kerentanan pantai terhadap bencana tsunami. Berdasarkan hal tersebut maka bobot parameter ini dalam penentuan indeks kerentanan pantai memiliki bobot yang paling besar yaitu 25 Sengaji, 2009. Model tsunami yang digunakan untuk menentukan indeks kerentanan pantai adalah model tsunami pada skenario ke-4. Hal ini dikarenakan model skenario ke-4 meupakan model yang dibangun bedasarkan prediksi kejadian kasus terburuk yang kemungkinan terjadi 42 2 Elevasi daratan topografi Kelas ketinggian daratan menurut Bappeda Kabupaten Ciamis 2004 adalah 0 – 25 m, 25 – 100 m, 100 – 500 m, 500 – 1000 m, dan 1000 m. Kelas ketinggian tersebut tidak digunakan dalam penelitian ini, sehingga dilakukan klasifikasi ulang menjadi sebagai berikut : 10 m; 10 – 25 m; 25 – 50 m; 50 – 100 m dan 100 m. Elevasi daratan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 20 Hajar, 2006. 3 Kemiringan daratan slope Pengkelasan serta pembobotan kemiringan pantai dalam penelitian ini mengacu pada pembagian kemiringan wilayah Pangandaran oleh Bappeda Kabupaten Ciamis 2004 yang dimodifikasi yaitu 2; 2 – 10; 10 – 15; 15 – 40 dan 40. Kemiringan daratan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 20 Sengaji, 2009. Satuan kemiringan daratan yang digunakan pada penelitian ini adalah dalam persentase . Menurut Earth Resource Mapping 2010, nilai kemiringan 0 megindikasikan daratan berbentuk datar, nilai kemiringan 100 mengindikasikan kemiringan daratan 45 o dan nilai kemiringan 200 mengindikasikan kemiringan daratan berupa vertikal slope. 4 Jarak dari garis pantai Tsunami merupakan fenomena alam yang bersifat merusak, sehingga perlu memperhatikan adanya kawasan penyangga buffer zone. Pembangunan kawasan untuk permukimam dan pusat-pusat kegiatan penting tentunya harus memperhatikan jarak dari garis pantai guna mengurangi risiko tsunami. Acuan dasar untuk pembuatan jarak buffer merujuk pada UU RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu sempadan pantai 43 Sengaji, 2009. Selain itu klasifikasi parameter ini merujuk juga pada klasifikasi yang dilakukan oleh GITEWS 2010 dalam membangun peta dasar bahaya tsunami untuk wilayah Pangandaran Kab. Ciamis. Pada penelitian ini jarak dari garis pantai diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu 500 m; 500 – 1000 m; 1000 – 1500 m; 1500 – 3000 m dan 3000 m. Jarak dari garis pantai pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 15. 5 Jarak dari sungai Jarak dari sungai merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat risiko tsunami. Tsunami yang memasuki kanal banjirsungai akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena adanya pemusatan energi tsunami sehingga semakin mendorong tsunami masuk lebih jauh ke daratan. Merujuk pada permasalahan tersebut maka perlu dilakukan buffer dari sungai. Pada penelitian ini buffer dari sungai dilakukan pada jarak 100 m; 200 – 300 m; 300 – 500 m dan 500 m. Jarak dari sungai pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 10 Hajar, 2006. 6 Bentuk pemanfaatan lahan Tsunami dapat menyebabkan perubahan tata guna lahan, oleh karena itu perlu penataan ruang dengan baik dalam rangka mengurangi risiko tsunami. Acuan penggunaan lahan pada penelitian ini dibagi berdasarkan klasifikasi Oktariadi 2009a serta Diposaptono dan Budiman 2006. Bentuk pemanfaatan lahan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 10 Sengaji, 2009. Lima kelas yang diklasifikasikan pada peneletian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 5. 44 Tabel 5. Matriks risiko bencana tsunami No Kriteria Kelas Bobot Skor 1 Model run-up dan flowdepth tsunami skenario ke-4 Kerawanan sangat rendah 25 1 Kerawanan rendah 2 Kerawanan sedang 3 Kerawanan tinggi 4 Kerawanan sangat tinggi 5 2 Elevasi daratan Topografi 100 m 20 1 50 – 100 m 2 25 – 50 m 3 10 – 25 m 4 10 m 5 3 Kemiringan daratan Slope 45 20 1 15 – 40 2 10 – 15 3 2 – 10 4 2 5 4 Jarak dari garis pantai 3000 m 15 1 1500 – 3000 m 2 1000 – 1500 m 3 500 – 1000 m 4 500 m 5 5 Tata guna lahan Vegetasi daratHutan 10 1 Semak belukar, Lahan kosong 2 LadangTeggalan 3 Perkebunan, EmpangTambak, Danau 4 PermukimanLahan terbangun dan Sawah 5 6 Jarak dari sungai 500 m 10 1 300 – 500 m 2 200 – 300 m 3 100 – 200 m 4 100 m 5 Sumber : Bappeda Kab. Ciamis 2004; Diposaptono dan Budiman 2006; GITEWS 2010; Hajar 2006; Oktariadi 2009a; Oktariadi 2009b; Sengaji 2009; UU RI No.27 Tahun 2007 Parameter-parameter yang telah di jelaskan di atas merupakan parameter utama dalam kaitannya terhadap tingkat kerentanan bencana tsunami di wilayah pesisir. Selain parameter tersebut, terdapat parameter lain yang tentunya 45 mempengaruhi tingkat risiko tsunami seperi kemiringan dasar perairan dan morfometri pantai. Kedua parameter tersebut tidak dibobotkan dalam matriks sehingga tidak dioverlay pada pemodelan spasial tingkat risiko tsunami. Pada penelitian ini kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan tidak dibobotkan kedalam matriks risiko tsunami. Hal ini dikarenakan parameter tersebut sudah terintegrasi di dalam hasil model. Pada dasarnya model tsunami yang dibangun sudah memperhitungkan kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan sehingga proses pembobotanya dilakukan terhadap hasil model.

3.5.5 Analisis tingkat kerentanan pantai