Kejadian Gempa Tektonik HASIL DAN PEMBAHASAN

66

4.2. Kejadian Gempa Tektonik

Berdasarkan catatan sejarah yang terangkum dalam katalog NEIC-USGS selama kurun waktu 1974 – Mei 2011 diketahui bahwa di wilayah lepas pantai Pangandaran umumnya terjadi gempa bumi berkekuatan 5 – 6 SM, gempa dengan kekuatan lebih kecil dari 5 SM lebih sering terjadi. Gempa terbesar yang pernah terjadi berkekuatan 7,7 SM. Gempa tersebut menimbulkan bencana tsunami yang melanda kawasan Pangandaran dan wilayah pesisir sekitarnya pada tahun 2006. Jumlah kejadian gempa yang terekam di wilayah penelitian pada rentang tahun 1974 – Mei 2011 terjadi sebanyak 683 kejadian dengan rentang kekuatan 3 – 7,7 SM. Pada rentang tahun ini gempa dengan kekuatan lebih kecil dari 5 SM terjadi sebanyak 585 kali, gempa berkekuatan 5,1 – 6 SM terjadi 94 kali, gempa berkekuatan 6,1 – 7 SM terjadi sebanyak 3 kali dan gempa dengan kekuatan di atas 7 SM hanya terjadi sekali. Bedasarkan hasil pemetaan pusat-pusat gempa episentrum yang terjadi di lepas pantai Pangandaran diketahui tipe sebaran pusat gempa-gempa dangkal terlihat rapat dan berkumpul di sekitar pusat gempa Pangandaran. Episentrum tersebut berada hampir tegak lurus dengan kawasan pesisir Pangandaran. Wilayah sebelah barat dari pusat gempa pangandaran memiliki frekuensi kegempaan yang lebih tinggi . Wilayah lepas pantai sebelah timur Pangandaran terlihat intensitas kegempaanya jauh lebih sedikit. Menurut Natawidjaja 2007 wilayah tersebut merupakan zona seismic gap yang membentang sepanjang 400 km. Seismic gap merupakan kawasan sepi gempa yang sangat berpotensi menjadi sumber gempa kuatbesar dan tsunami dimasa yang akan datang. Peta seismisitas di wilayah kajian diperlihatkan oleh Gambar 20. 67 Gambar 20. Tingkat seismisitas di wilayah kajian selang waktu 1974 – Mei 2011 NEIC-USGS, 2011 Gempa-gempa yang terlihat pada peta seismisitas di atas merupakan gempa- gempa dangkal ≤ 40 km yang terjadi di wilayah lepas pantai Pangandaran. Pusat gempa di perairan tersebut walaupun tergolong gempa-gempa dangkal belum tentu menjadi sumber pembangkit tsunami. Menurut Shuto 1993 tsunami akan terbentuk apabila terjadi gempa dangkal dengan kedalaman pusat gempa kurang dari 33 km versi USGS 48 km, magnitude gempa harus lebih besar dari 6 SR dan dan gempa menghasilkan deformasi vertikal yang besar di dasar laut, sehingga patahan sumber gempa berupa patahan naik thrust fault atau patahan turun normal fault. Gempa Pangandaran serta gempa-gempa yang sering terjadi di selatan Jawa pada umumnya terjadi pada zona subduksi Jawa. Zona subduksi ini secara 68 kasat mata nampak sebagai palung Jawa yang memanjang dari barat ke timur. Natawidjaja 2007 menjelaskan bahwa subduksi Jawa memiliki umur cukup tua yakni lebih dari 150 juta tahun sehingga sempat dianggap bersifat aseismik atau tidak menghasilkan gempa. Adanya peristiwa gempa Pancer 1994 dan Pangandaran 2006 dimana keduanya sama-sama memiliki momen magnitude lebih besar 7 SM, menunjukkan subduksi ini tetap harus diperhitungkan sebagai sumber potensial gempa besar di masa yang akan datang. Proses subduksi ini akan terus berlangsung dan terus menekan sehingga mengakibatkan terakumulasinya energi tekanan di daerah ini. Apabila batuan sedimen yang tertekan di wilayah tersebut sudah tidak kuat lagi menahan energi, maka energi tersebut akan dilepaskan berupa kejadian gempa bumi. Analisis parameter seismik pada penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk menentukan zona tsunamigenik sumber tsunami. Selain itu parameter seismik merupakan hal yang penting karena perubahan tingkat seimisitas suatu wilayah berhubungan erat dengan perubahan stress dan tekanan di bawah permukaan wilayah tersebut Soehaimi, 2008. Hubungan antara jumlah kejadian gempa dan magnitude gempa untuk setiap wilayah kajian ditampilkan pada Gambar 21. Hasil analisis regresi linier menunjukan bahwa frekuensi kejadian gempa menurun secara eksponensial dengan meningkatnya kekuatan gempa. Berdasarkan hasil pengolahan regresi linier maka diperoleh nilai-b yang akan menentukan angka dimensi fraktal. Angka dimensi fraktal digunakan untuk melihat tingkat stress dan tekanan di bawah permukaan yang terjadi disuatu wilayah Galih dan Handayani, 2007. 69 Gambar 21. Hubungan jumlah kejadian gempa dan magnitude gempa: a 107 o – 108 o BT dan 8 o – 11 o LS; b 108 o – 109 o BT dan 8 o – 11 o LS; c 109 o – 110 o BT dan 8 o – 11 o LS y = -0,898x + 4,367 R² = 0,893 -2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 2 4 6 8 Lo g N Magnitude SM 107 o に 108 o BT dan 8 o に 11 o LS y = -0,858x + 4,206 R² = 0,952 -2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 2 4 6 8 Lo g N Magnitude SM 108 o に 109 o BT dan 8 o に 11 o LS y = -0,579x + 2,185 R² = 0,866 -2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 2 4 6 8 Lo g N Magnitude SM 109 o に 110 o BT dan 8 o に 11 o LS a b c 70 Wilayah sebelah barat lepas pantai Pangandaran 107 o – 108 o BT dan 8 o – 11 o LS memiliki angka dimensi fraktal sebesar 1,79. Nilai tersebut masih lebih besar apabila dibandingkan dengan angka dimensi fraktal untuk wilayah di bagian tengah 108 o – 109 o BT dan 8 o – 11 o LS dan timur lepas pantai Pangandaran 109 o – 110 o BT dan 8 o – 11 o LS dimana nilainya masing-masing adalah 1,71 dan 1,15. Perairan sebelah barat lepas pantai Pangandaran memiliki angka dimensi fraktal paling besar. Keadaan ini menjelaskan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah paling aktif gempa dibandingkan wilayah kajian lainnya. Hal ini sesuai dengan tingginya kejadian gempa di wilayah tersebut. Intensitas kejadian gempa yang rendah berada di bagian timur lepas pantai Pangandaran. Rohadi 2006 menyatakan bahwa bagian wilayah dengan intensitas gempa yang rendah biasanya berkorelasi dengan tingkat stress yang tinggi. Hal ini berarti bahwa wilayah tersebut berpotensi lebih besar terjadi gempa bumi berkekuatan tinggi. Berdasarkan asumsi tersebut maka di sebelah timur lepas pantai Pangandaran pada saat ini tengah mengakumulasi energi tegangan akibat proses subduksi yang sewaktu-waktu akan dilepaskan berupa gempa bumi berkekuatan besar.

4.3. Hasil Pemodelan Tsunami