34
Richter Rohadi, 2006. Metode ini mengelompokan daerah studi menjadi tiga bagian yang lebih kecil dengan increment 1
o
1
o
x 1
o
. Metode fraktal ditentukan berdasarkan hubungan antara jumlah kejadian gempa N dengan magnitude
gempanya m. Hubungan ini dijelaskan oleh persamaan yang dirumuskan oleh Guternberg dan Richter sebagai berikut Rohadi, 2006 :
a m
b N
. log
.................................................................................. 13 dimana a dan b adalah parameter seismotektonik dan N adalah jumlah gempa
bumi dengan magnitude lebih besar dari m. Setelah itu digunakan metode grafik dari Turcotte. Turcotte melakukan penurunan rumus sederhana sehingga didapat
besaran dimensi fraktal D sebagai berikut Galih dan Handayani, 2007 :
b D
. 2
.................................................................................................... 14 dimana b adalah parameter tektonik yang didapat dari hukum Guternberg dan
Richter Rohadi, 2006. Analisis seismisitas dengan menggunakan metode fraktal akan membawa pada wilayah tsunamigenik sebagai zona yang berpotensi sebagai
sumber tsunami.
3.5.3 Pemodelan tsunami
Pemodelan tsunami pada penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan perangkat lunak Turmina Iterface yang terdiri dari Earthquake Analysis dan
Tsunami Run-up Modelling. Perangkat lunak ini dapat menyelesaikan persamaan numerik pemodelan tsunami sehingga menghasilkan keluaran berupa waktu
tempuh penjalaran tsunami, tinggi tsunami serta run-up tsunami. Perangkat lunak ini merupakan hasil pengembangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
35
BPPT. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menjalankan program simulasi pemodelan tsunami adalah sebagai berikut :
1 Desain model simulasi tsunami Desain simulasi penjalaran gelombang tsunami didesain sebagai model
bersarang nested model. Metode ini digunakan atas pertimbangan efisiensi waktu pada saat running model. Metode model bersarang ini menggunakan empat
tipe desain grid spasial yang berbeda dimana terdiri dari domain A, domain B, domain C dan domain D. Domain A merupakan domain yang paling besar dan
memiliki batas koordinat 104,75
o
E – 112,50
o
E dan 11,00
o
S – 7,00
o
S. Domain B dan C adalah area yang lebih kecil dari area domain A dan berada pada domain A.
Domain B memiliki batas 108,05
o
E – 109,20
o
E dan 8,30
o
S – 7,55
o
S, sedangkan domain C memiliki batas 108,35
o
E – 108,90
o
E dan 7,95
o
S – 7,60
o
S. Domain D merupakan daerah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini Pangandaran,
dimana memiliki batas 108,55
o
E – 108,70
o
E dan 7,75
o
S – 7,65
o
S. Desain model bersarang diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Domain model bersarang nested model : a domain A; b domain B; c domain C dan d domain D
36
Penentuan domain A harus mengikutsertakan domain B, domain C dan domain D, sehingga domain A merupakan domain terbesar yang mengandung
keseluruhan domain. Sumber gempa yang menjadi pemicu tsunami harus berada pada wilayah domain sehingga penjalarannya dapat diperhitungkan. Setiap
domain memiliki karakteristik grid yang berbeda. Grid untuk Domain A sampai D memiliki ukuran grid yang semakin mengecil. Domain D merupakan domain yang
memiliki resolusi grid paling halus jarak grid lebih kecil. Keterangan selengkapnya mengenai ukuran spasial ukuran grid dan jarak grid dari setiap
domain yang dibangun disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik ukuran spasial dalam model bersarang
Domain Jarak Grid
dx=dy Ukuran
Grid Koordinat
A 810 m
1057 x 546 104,75
o
E – 112,50
o
E 11,0
o
S –
7,00
o
S B
270 m 471 x 308
108,05
o
E – 109,20
o
E 8,30
o
S –
7,55
o
S C
90 m 678 x 431
108,35
o
E – 108,90
o
E 7,95
o
S –
7,60
o
S D
30 m 553 x 369
108,55
o
E – 108,70
o
E 7,75
o
S –
7,65
o
S 2 Desain skenario model pembangkit tsunami
Penghitungan besarnya tsunami yang dapat terjadi dilakukan dengan membuat skenario sumber gempa. Model sumber pembangkit tsunami dalam
penelitian ini hanya dibangkitkan oleh pergerakan dasar laut akibat gempa tektonik. Solusi mekanisme sumber gempa sebagai pembangkit tsunami
menggunakan data historis kejadian tsunami di Pangandaran 2006 dan Banyuwangi 1994, selain itu di tentukan berdasarkan analisis peneliti terhadap
tingkat seismisitas di wilayah penelitian. Kejadian tsunami di Pangandaran dan Banyuwangi mempunyai parameter gempa seperti diuraikan dalam Lampian 3.
37
3 Pre-processing modelling Tahap ini merupakan persiapan data-data masukan untuk model tsunami
yang akan dibangun. Data yang diperlukan adalah data batimetri dan data topografi. Data ini merupakan data dasar dalam model yang akan dibangun. Data
batimetri dan topografi mencakup domain A, domain B, domain C dan domain D. Pembuatan input domain D dibangun dengan menggunakan data batimetri
Dishidros TNI-AL dan data topografi hasil kompilasi beberapa sumber. Data topografi dan batimetri hasil digitasi kemudian digabungkan dan diinterpolasi
dengan interval 30 meter. Keseluruhan data disimpan dalam bentuk ekstensi .dat, kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut di perangkat lunak Transform v.3.3
sehingga input domain D menjadi susunan matriks. Agar data input domain D dalam bentuk matriks dapat terbaca pada saat perhitungan numerik di Turmina
Interface, maka data masukan domain D dikonversi kedalam bentuk ASCII dengan menggunakan Textpad v.4.6.2.
Proses pembuatan masukan untuk domain A, domain B dan domain C proses pengolahannya hampir sama seperti domain D. Perbedaanya terletak pada
sumber data, dimana pada ketiga domain tersebut hanya menggunakan data batimetri dari ETOPO 1 sebagai data dasar. Ketiga domain yang dibangun dari
data tersebut diinterpolasi dengan interval masing-masing adalah 90 meter, 270 meter dan 810 meter. Data-data tersebut bukan merupakan input model, untuk
membangun input model domain C, B dan A maka untuk input domain C adalah gabungan antara input domain D dan domain C. Pada posisi koordinat domain D
di domain C, diisi dengan semua data pada domain D. Input domain A dan domain B dibangun dengan cara yang sama seperti pada domain C.
38
4 Processing modelling Tahap processing merupakan tahap pacu model. Tahap ini adalah proses
running simulasi tsunami berdasarkan masukan parameter gempa, batimetri dan topografi. Metode yang digunakan dalam pemodelan tsunami ini diselesaikan
dengan menggunakan aplikasi Turmina interface. Tumina interface terbagi menjadi dua aplikasi yaitu Earthquake Analysis dan Tsunami Run-up Modelling.
Earthquake Analysis digunakan untuk memproses data gempa sebagai sumber tsunami. Keluaran dari perangkat lunak ini berupa nilai numerik yang
menggambarkan inisialisasi gelombang tsunami awal elevasi muka air laut awal. Parameter-parameter yang digunakan untuk simulasi awal gelombang tsunami
terdiri dari posisi sumber gempa, pajang dan lebar patahan, dislokasi deformasi, kedalaman pusat gempa hiposentrum dan geometri patahan dip, strike, slip.
Inisialisasi gelombang tsunami awal diperoleh dengan menghitung perpindahan vertikal kolom air laut di atas dasar samudera akibat gempa. Menurut
Latief 2007 sumber tsunami dalam simulasi tsunami diasumsikan sama dengan perubahan deformasi bawah laut, seperti terlihat pada Gambar 11. Tanda plus +
menyatakan terjadi kenaikan muka air laut, sedangkan tanda minus - menunjukan terjadinya penurunan muka air laut.
Gambar 11. Pencerminan lantai samudera oleh muka laut Latief, 2007
39
Tsunami Run-up Modelling memproses data keluaran yang dihasilkan oleh aplikasi Earthquake Analysis menjadi simulasi penjalaran gelombang tsunami.
Keluaran model berupa data numerik tiap langkah waktu yang menggambarkan proses penjalaran dan ketinggian gelombang tsunami di sepanjang daerah yang
dimodelkan. Model tsunami dalam penelitian ini berjenis Near Field Tsunami dimana jarak antara pembangkit tsunami dengan pantai cukup dekat yaitu kurang
dari 1000 km. Persamaan penjalaran gelombang tsunami ini dikembangkan dari
persamaan gerak gelombang linier yaitu gelombang periaran dangkal, dengan mengabaikan suku gesekan dasar laut. Sedangkan untuk pemodelan run-up
tsunami digunakan persamaan linier dan non-linier, dimana dalam hal ini pengaruh gesekan dasar diperhitungkan Imamura, 1994. Data input yang
digunakan untuk simulasi penjalaran gelombang tsunami adalah data batimetri dan topografi dalam bentuk kedalaman setiap grid dan data hasil simulasi awal
gelombang tsunami. 5 Post-processing modelling
Hasil pemodelan tsunami disajikan dalam bentuk gambar peta yang informatif. Hasil pemodelan yang diinterpretasikan hanya pada domain D.
Domain di luar domain D tidak diinterpetasikan karena di luar daerah kajian. Perangkat lunak ArcGIS 9.3 dan Xview digunakan sebagai sarana penyajian
visualisasi model tsunami. Hasil model kemudian di analisis dengan menggunakan tools pada ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan melalui proses
pengklasifikasian kedalaman rendamana tsunami flowdepth dan limpasan tsunami run-up yang dihasilkan dari pemodelan tsunami. Hal ini bertujuan untuk
40
mendapatkan informasi tingkat kerawanan tsunami dari setiap skenario yang telah dibangun.
Klasifikasi flowdepth mengacu pada klasifikasi BMKG dan GITEWS 2010. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini ketinggian rendaman
tsunami diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu : kelas kerawanan sangat rendah 0,5 m, kelas kerawanan rendah 0,5
– 1,5 m, kelas kerawanan sedang 1,5 – 2,5 m, kelas kerawanan tinggi 2,5
– 5 m dan kelas kerawanan sangat tinggi 5 m. Proses ini seluruhnya dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS. Hasil klasifikasi model tsunami ini merupakan parameter yang menjadi dasar dalam menentukan indeks kerentanan pantai.
3.5.4 Penentuan tingkat risiko tsunami