Sejarah Tsunami Pangandaran TINJAUAN PUSTAKA

17 Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa semakin lebar hutan kondisi kerapatan konstan maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang melanda hutan pantai yang memiliki lebar 50 m menghasilkan jarak run-up ke daratan tinggal 81 dengan tinggi genangan tinggal 82. Berbeda halnya apabila lebar hutan pantainya mencapai 400 m, maka jarak run-up ke daratan tinggal 57 dengan tinggi genangan tinggal 18. Keberadaan terumbu karang di wilayah pantai juga sangat penting. Pada dasarnya selain mempunyai fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut Diposaptono dan Budiman, 2006. Gelombang yang datang pada daerah yang terdapat terubu karang energinya akan melemah. Hal ini disebabkan gelombang tertahan oleh adanya terumbu karang sehingga gaya hidrolis gelombang semakin mengecil Kotani et al., 1998.

2.4. Sejarah Tsunami Pangandaran

Pada tanggal 17 Juli 2006, terjadi sebuah gempa bumi pada pukul 08:19:28 Universal Time Coordinate UTC atau sekitar pukul 15:19:28 WIB di pantai selatan Jawa Barat, Indonesia. Menurut Harvard Centroid Moment Tensor Harvard CMT gempa tersebut memiliki kekuatan 7,7 SM atau 4,0 x 10 27 dyne.cm dengan pola mekanisme sesar naik. USGS menjelaskan posisi pusat gempa berada pada koordinat 9,295 o LS dan 107,347 o BT dengan kedalaman pusat gempa 6 km. Gempa ini mengakibatkan tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa, khususnya dari Pantai Pameungpeuk Garut, Pantai Pangandaran Ciamis, 18 Pantai Cilacap, Pantai Kebumen dan sampai ke Pantai Parangtritis NEIC-USGS, 2006a. Hasil survei yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Dinamika Pantai DPDP-BPPT bersama ITS menjelaskan bahwa gelombang tsunami pada saat tsunami Pangandaran 2006 memiliki ketinggian run-up maksimum sebesar 4,6 m. Ketinggian run-up maksimum terjadi di pesisir Cilacap yaitu tepatnya di daerah Widarapayung. Ketinggian run-up tsunami terendah adalah 1,1 m, dimana terletak di pantai Suwuk Kebumen. Daerah pesisir Pangandaran yang menjadi kajian dalam penelitian ini memiliki ketinggian run-up tsunami sebesar 2,7 m – 2,9 m dan di daerah Cikembulan Pangandaran sebelah barat mencapai 3,1 – 3,6 m Kongko et al., 2006. Peta ketinggian run-up tsunami hasil pengukuran lapang tim DPDP-BPPT bersama ITS disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Ketinggian run-up tsunami Pangandaran 17 Juli 2006 di berbagai lokasi pesisir selatan Jawa IOC-ITIC, 2006 19 Berbeda halnya dengan hasil survei yang dilakukan oleh tim Pusat Survei Geologi, ketinggian run-up maksimum yang terukur mencapai 3,3 m. Adanya perbedaan ketinggian run-up tsunami dari hasil pengukuran tersebut disebabkan oleh faktor waktu pelaksanaan pengukuran. Pada dasarnya metode pengukuran ketinggian run-up tsunami diukur menurut tanda dari ketinggian air yang membekas di pepohonan atau di dinding bangunan-bangunan lainnya. Adanya perbedaan pelaksanaan waktu pengukuran antar lembaga terkait mengakibatkan hasil pengukuran yang berbeda. Hal ini mengingat tanda dari ketinggian air yang membekas akan semakin pudar seiring dengan bertambahnya waktu Lavigne et al., 2007. Pada kejadian tsunami Pangandaran 2006, wilayah yang paling luas terkena limpasan tsunami adalah Desa Cikembulan dan Desa Pangandaran. Menurut hasil pengukuran lapang diketaui bahwa jarak limpasan tsunami ke daratan mencapai 300 – 500 m Kongko et al., 2006.

2.5. Persamaan Gerak Gelombang Tsunami