59
Tabel 9. Luas daerah tingkat kerentanan penggunaan lahan No
Tingkat kerentanan
Tipe Penggunaan lahan Luas Ha
1 Sangat Tinggi
Permukiman dan Sawah 1.773,03
2 Tinggi
Perkebunan, EmpangTambak, Danau 936,00
3 Sedang
LadangTeggalan 90,55
4 Rendah
Semak belukar, Lahan kosong 846,75
5 Sangat Rendah Vegetasi daratHutan
2.580,45 Total
6.230,78
4.1.6 Kondisi batimetri wilayah pantai dan lepas pantai
Kondisi batimetri wilayah lepas pantai domain A digambarkan dengan menggunakan data batimetri ETOPO 1. Data batimetri ini dikeluarkan oleh
British Oceanographic Data Center. Data ETOPO 1 diperoleh dari hasil data satelit altimetri TOPEX. Berdasarkan pengolahan tiga dimensi dengan
menggunakan perangkat lunak Global Mapper diketahui bahwa di dasar Samudera Hindia sebelah selatan Pulau Jawa terdapat palung yang sangat curam
dengan kedalaman lereng lebih dari 7.500 meter. Palung ini memanjang dari ujung Pulau Sumatera sampai bagian timur
Pulau Jawa. Keadaan tersebut menjadikan daerah di sepanjang palung memiliki risiko yang tinggi sebagai sumber tsunami. Hal ini dikarenakan bila terjadi gempa
di daerah palung, maka ada kemungkinan hal itu mengganggu kestabilan lereng dan bila sampai roboh akan menimbulkan tsunami besar. Bagian selatan palung
terlihat kondisi dasar laut yang hampir homogen membentuk basin dengan kedalaman yang besar. Hal ini akan megakibatkan gelombang tsunami akan
mempunyai kecepatan tinggi apabila melitas di daerah tersebut. Kondisi batimetri di wilayah lepas pantai Pangandaran diperlihatkan pada Gambar 18.
60
Gambar 18. Profil tiga dimensi batimetri wilayah lepas pantai Pangandaran
Profil batimetri untuk wilayah penelitian Pangandaran mengacu pada peta batimetri Dishidros TNI-AL. Hasil pemetaan batimetri wilayah penelitian
menunjukan bahwa kedalaman dekat pantai umumnya dangkal dan semakin ke tengah laut kedalaman perairan semakin bertambah Gambar 19.
Gambar 19. Profil tiga dimensi batimetri wilayah pantai Pangandaran
61
Kondisi batimetri perairan Pangandaran memperlihatkan bahwa semakin mendekati pantai maka kondisi batimetri semakin dangkal dan hampir homogen.
Kisaran kedalaman perairan di wilayah penelitian berkisar 0 – 40 m sehingga
kondisi batimetri tergolong dangkal. Kondisi batimetri di sebelah barat Desa Sukaresik dan Desa Cikembulan relatif lebih dangkal. Keadaan ini terjadi karena
di daerah tersebut terdapat muara Citonjong sehingga banyak terendapkan material sungai. Kondisi batimeti yang serupa berada di bagian timur Pangandaran
Desa Sukaresik, dimana di wilayah tersebut terdapat muara Cikidang. Kondisi batimetri yang dangkal menurut Yalciner et al. 2006 akan mempengaruhi
kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam sehingga kecepatan tsunami di laut yang lebih dalam akan lebih tinggi daripada kecepatan tsunami di laut yang
lebih dangkal. Kondisi kemiringan dasar perairan di wilayah perairan Pangandaran
didominasi oleh kemiringan dasar yang landai. Keadaan ini diketahui berdasarkan analisis profil batimetri dengan menggunakan menu 3D Path ProfileLine of Sight
Tool pada perangkat lunak Global Mapper. Profil kemiringan dasar laut untuk setiap titik observasi disajikan pada Lampiran 4.
Hasil identifikasi tersebut menunjukan bahwa kemiringan dasar perairan wilayah perairan Pangandaran berkisar antara 0,52
o
– 1,93
o
. Kemiringan dasar perairan cenderung menurun mulai dari bagian barat perairan Desa Sukaresik
sampai wilayah barat perairan Desa Pangandaran. Keadaan berbeda diperlihatkan pada wilayah perairan sebelah timur tepatnya di perairan Desa Sukaresik. Wilayah
perairan ini memiliki kemiringan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
62
perairan disekitarnya. Berikut ini disajikan kemiringan dasar perairan di wilayah kajian untuk setiap titik observasi pada Tabel 10.
Tabel 10. Kemiringan dasar perairan Pangandaran untuk setiap titik observasi No
Koordinat
o
Desa Kemiringan
dasar perairan
o
From Pos To Pos
1 108,567 E
– 7,687 S 108,567 E – 7,692 S Sukaresik 1,14
2 108,581 E
– 7,685 S 108,581 E – 7,689 S Sukaresik 0,89
3 108,593 E
– 7,684 S 108,593 E – 7,689 S Sukaresik 0,83
4 108,599 E
– 7,683 S 108,599 E – 7,688 S Cikembulan 0,77
5 108,606 E
– 7,684 S 108,606 E – 7,689 S Cikembulan 0,70
6 108,618 E
– 7,685 S 108,618 E – 7,689 S Cikembulan 0,78
7 108,626 E
– 7,685 S 108,626 E – 7,689 S Wonoharjo 0,76
8 108,634 E
– 7,687 S 108,634 E – 7,691 S Wonoharjo 0,74
9 108,638 E
– 7,687 S 108,638 E – 7,692 S Wonoharjo 0,66
10 108,642 E
– 7,688 S 108,642 E – 7,692 S Pananjung 0,59
11 108,649 E
– 7,693 S 108,649 E – 7,696 S Pananjung 0,55
12 108,655 E
– 7,702 S 108,651 E – 7,702 S Pangandaran 0,52
13 108,659 E
– 7,701 S 108,664 E – 7,701 S Pangandaran 0,66
14 108,664 E
– 7,692 S 108,667 E – 7,696 S Pangandaran 0,83
15 108,672 E
– 7,686 S 108,675 E – 7,689 S Babakan 1,29
16 108,681 E
– 7,681 S 108,683 E – 7,684 S Babakan 1,93
17 108,696 E
– 7,677 S 108,696 E – 7,681 S Babakan 1,02
Berdasarkan karakteristik batimetri dan kemiringan dasar perairan yang telah diuraikan di atas, maka gelombang tsunami akan lebih dulu tiba di wilayah
pantai sebelah barat Desa Sukaresik dan disebelah timur Desa babakan. Hal ini dikarenakan kedalaman perairan dan kemiringan dasar perairan di kedua wilayah
tersebut cenderung lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keadaan ini sesuai seperti yang dikemukan oleh Yudhicara 2008 dimana gelombang
tsunami akan memiliki kecepatan lebih besar dan lebih dulu tiba di lokasi yang memiliki kontur batimetri yang lebih dalam. Menurut Mudhari 2009 kondisi
63
batimetri demikian akan mengakibatkan jarak daerah pecah gelombang dengan pantai menjadi semakin kecil.
Pada penelitian ini kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan tidak dibobotkan kedalam matriks risiko tsunami. Hal ini dikarenakan parameter
tersebut sudah terintegrasi di dalam hasil model. Pada dasarnya model tsunami yang dibangun sudah memperhitungkan kondisi batimetri dan kemiringan dasar
perairan sehingga proses pembobotannya dilakukan terhadap hasil modelnya saja.
4.1.7 Morfometri pantai