Indeks Kerentanan Pantai Pangandaran Akibat Bencana Tsunami.

(1)

ABSTRACT

SEANDY FIRMANSYAH. Pangandaran Beach Vulnerability Index Due to Tsunami Disaster Impact. Guided by MULIA PURBA and VELLY

ASVALIANTINA.

In year 2006 an earthquake took place in coast of southern West Java, which was followed by a tsunami attacking the coast of Pangandaran. Pangandaran is one of the most probable are which can be attack by huge tsunami wave. The similar phenomenon can happen in the coasts of other southern part of West Java Province include Pangandaran, so it needs the awareness in order to minimize the tsunami risk. The purposes of this research are to discus determine the vulnerability index coast of Pangandaran due to tsunami disaster impact. Boundary location of research in 7,75oS – 7,65oS and 108,55oE– 108,70oE. These research cover identifying characteristics coast of Pangandaran, seismic identification, tsunami modeling, and determination the vulnerability index. Seismic identification is determined by fractal method, tsunami numerical modeling is done through Imamura (1994) by wearing a long wave hydrodynamics mathematical equations, while determining the vulnerability index is determined by the method of Cell Based Modelling (CBM). The Pangandaran coasts have five zone of tsunami vulnerability, i.e. very high includes the coast of Babakan and Pangandaran Village (Pangandaran Subdistrict) then the coast of Cikembulan Village (Sidamulih Subdistrict). The high tsunami vulnerability zone includes the coast of Sukaresik Village (Sidamulih Subdistrict) and the coast of Pananjung Village (Pangandaran Subdistrict). The moderate tsunami vulnerability zone include the coast of Wonoharjo Village (Pangandaran Subdistrict). Zone of low and very low vulnerability are far enough away from the coastline, where its territory not bordering the sea. This zone includes the villages of Sidamulih, Cikalong, Pejanten, Purbahayu, Sidomulyo and Sukahurip. the village of Pangandaran located on the mainland which connects the mainland island of Java with Cape Pangandaran (isthmus) in place as the most dangerous zones. This is because the characteristics of the area provide a great influence to the hazard vulnerability tsunami.

Keywords : Tsunami vulnerability zone factor, Tsunami prone zonation, Coastal characteristics


(2)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir Pangandaran merupakan satu sistem rangkaian sisi selatan Busur

Sunda (Sunda Arc). Daerah ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Di bawah

dasar laut Samudera Hindia terdapat daerah pertemuan antara lempeng Indo-Australia

dengan lempeng Eurasia. Daerah tersebut merupakan salah satu zona utama tumbukan

lempeng tektonik bumi (zona subduksi) yang dapat berkembang menjadi bencana alam,

khususnya bencana gempa bumi dan tsunami (Rahardjo, 2003). Wilayah pesisir

Pangandaran merupakan daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap bahaya

tsunami. Hal ini terjadi karena dekatnya jarak ke zona subduksi (Mardiantno,

2006).

Pangandaran telah mengalami gempa bumi disertai tsunami beberapa

tahun yang lalu. Pada tanggal 17 Juli 2006, perairan selatan Jawa Barat diguncang

gempa dangkal dengan kekuatan 7,7 Skala Magnitude (SM). Gempa ini berpusat di

Samudera Hindia, tepatnya pada koordinat 9,295o LS – 107,347o BT (NEIC-USGS, 2006a). PSG (2006) menambahkan bahwa gempa ini terjadi di sekitar zona subduksi

pada lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Gempa ini menimbulkan

tsunami yang memporak-porandakan pantai Pangandaran dan sekitarnya. Bencana

tsunami ini secara keseluruhan melanda sepanjang pantai selatan Jawa Barat hingga

Yogyakarta dan menelan korban jiwa sekitar 700 orang. Dekatnya jarak pantai

terhadap zona subduksi dan sejarah gempa serta tsunami menjadi ancaman daerah ini terhadap bencana tsunami.

Kejadian gempa bumi yang disertai tsunami di wilayah pesisir


(3)

2

wilayah pesisir selatan Jawa Barat, khususnya Pangandaran dalam menghadapi bencana tsunami. Bencana tsunami di Pangandaran dan wilayah di sekitar pesisir selatan Jawa kemungkinan bisa saja terulang. Natawidjaja (2007) menjelaskan

bahwa zona subduksi Jawa merupakan daerah yang berpeluang menghasilkan

gempa-gempa besar. Segmen zona subduksi Jawa yang belum melepaskan akumulasi regangan tektoniknya merupakan sumber gempa dan tsunami yang potensial di masa datang.

Kejadian gempa bumi yang diikuti tsunami di Pangandaran serta beberapa bagian wilayah Indonesia telah menyadarkan sebagian besar penduduk Indonesia akan bencana tsunami. Rencana terpadu mitigasi bencana tsunami sudah

selayaknya dilakukan. Unsur kunci pendukung yang menjadi dasar dalam perencanaan mitigasi

bencana tsunami yaitu melakukan penelitian yang terkait. Penentuan indeks kerentanan pantai merupakan salah satu langkah awal yang dapat dijadikan informasi dasar dalam perencanaan mitigasi bencana tsunami. Penelitian mengenai indeks kerentanan pantai merupakan bagian dari analisis risiko bahaya tsunami yang penting dalam kerangka mitigasi bencana alam. Langkah mitigasi baru akan diambil setelah diketahui tingkat risikonya.

Wilayah pantai dan pesisir Pangandaran memiliki berbagai aktivitas kepesisiran mulai dari permukiman, perdagangan, pariwisata, pengembangan sektor industri dan berbagai sektor lainnya. Dekatnya jarak pantai terhadap zona subduksi dan sejarah gempa serta tsunami menjadi ancaman kawasan ini terhadap bencana tsunami. Maka dari itu wilayah pesisir Pangandaran merupakan suatu kawasan yang penting dalam kegiatan mitigasi bencana alam pesisir.


(4)

3

1. 2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengkaji karakteristik pantai dan pesisir Pangandaran sebagai salah satu

faktor yang mempengaruhi intensitas bencana tsunami dan risiko yang mungkin ditimbulkan

2) Menelaah penjalaran gelombang tsunami menuju pantai dan memprediksi

capaian run-up tsunami yang mencapai daratan Pangandaran

3) Menentukan indeks kerentanan pantai akibat bencana tsunami berdasarkan

parameter karakteristik pesisir Pangandaran, lereng dasar perairan dan karakter gelombang tsunami.


(5)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108°2’0” –108°40’0”

Bujur Timur dan 7°40’20”–7°41’20’’ Lintang Selatan. Wilayah sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah timur dengan Kota Banjar dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah), dan sebelah selatan dengan Samudera Hindia. Luas wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai 244.479 Ha (Bappeda Kabupaten Ciamis, 2009).

Wilayah selatan Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan garis pantai Samudera Hindia yang membentang di enam kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.340 Ha. Kabupaten Ciamis memiliki pantai Pangandaran yang sangat indah sehingga menjadi primadona wisatawan domestik dan mancanegara (Bappeda Kabupaten Ciamis, 2009).

Pangandaran merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kecamatan ini terletak di bagian paling selatan Kabupaten Ciamis dan merupakan daerah wisata utama di Ciamis. Kecamatan Pangandaran

secara geografis terletak pada 7o34’50’’ – 7o44’00’’ LS dan 108o36’26’’ –

108o42’10’’ BT dengan luas wilayah 687,22 Ha (Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Ciamis, 2004).

Kecamatan Pangandaran berbatasan di sebelah timur dengan Kecamatan Kalipucang, di sebelah barat dengan Kecamatan Sidamulih, di sebelah utara


(6)

5

dengan Kecamatan Padaherang dan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia (Bappeda Kabupaten Ciamis, 2009).

Pantai Pangandaran terletak pada peninsular atau tanjung yang masuk ke

Samudera Hindia. Bagian ujung selatan tanjung merupakan Cagar Alam

berbentuk air mata (teardrop). Daerah ini adalah hutan lindung yang terdiri dari

lahan perbukitan dan lahan daratan, sedangkan sekitar 142,87 Ha lahan yang lain

di wilayah ini adalah dataran yang secara geologi dapat disebut beach ridge dan

berbentuk genting tanah (isthmus) yang menghubungkan Tanjung Pangandaran

dengan Pulau Jawa (Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Ciamis, 2004).

2.2. Gelombang Tsunami

2.2.1 Karakteristik gelombang tsunami

Istilah Tsunami berasal dari bahasa Jepang. Tsuberarti “pelabuhan” dan

nami berarti “gelombang,” secara harafiah berarti gelombang pelabuhan.

Pengertian tsunami menurut NTHMP (2001) didefinisikan sebagai serangkaian gelombang tinggi yang disebabkan oleh perpindahan sejumlah besar air laut secara tiba-tiba. Tsunami merupakan sebuah gelombang yang terjadi setelah sebuah gempa bumi, meletusnya gunung berapi, longsoran atau hantaman meteor yang semuanya terjadi di laut.

Tsunami memiliki karakteristik yang berbeda dengan gelombang pasang (tidal wave) atau gelombang permukaan (surface wave) yang biasa dijumpai di

pantai (Diposaptono dan Budiman, 2006). Tsunami bersifat transient dan implusif,

artinya semakin melemah dengan bertambahnya waktu dan mempunyai umur sesaat (Mudhari, 2009). Gelombang permukaan bersifat kontinyu dan berlangsung


(7)

6

dalam waktu yang lama dengan periode gelombang hanya beberapa detik (Marchuk dan Kagan, 1989). Mudhari (2009) menambahkan bahwa perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang yang dibangkitkan oleh angin adalah terletak pada gerakan airnya. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin hanya menggerakan partikel air laut di permukaan air laut bagian atas, namun pada gelombang tsunami menggerakan seluruh kolom air dari permukaan sampai mencapai dasar laut.

Tsunami diklasifikasikan sebagai gelombang perairan dangkal (gelombang panjang), karena panjang gelombangnya lebih besar daripada kedalaman

perairannya. Gelombang ini merambat dengan kecepatan yang berbanding lurus dengan akar kedalaman perairan. Kecepatan gelombang tsunami akan berkurang seiring dengan semakin dangkalnya kedalaman air (Marchuk dan Kagan, 1989).

gd

C ... (1)

keterangan :

C : kecepatan gelombang perairan dangkal (m2/detik)

g : percepatan gravitasi (m/detik2) = 9,8 m/detik2

d : kedalaman perairan (m)

Menurut Yalciner et al. (2006), ketika gelombang tsunami mendekati

pantai maka ketinggian gelombang membesar yang diikuti dengan melambatnya kecepatan rambat gelombang. Hal ini terjadi karena pengaruh dasar laut yang

semakin mendangkal (shoaling). Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada

kedalaman laut sehingga gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan ketika melintasi kedalaman yang berbeda-beda. Ketika memasuki perairan pantai (perairan dangkal), tsunami akan mengalami perlambatan.


(8)

7

mendangkal dan gesekan dasar laut. Gelombang yang tertahan karena

perlambatan ini akan menumpuk dengan gelombang-gelombang yang datang berikutnya, sehingga tinggi gelombang bertambah tinggi. Gambaran mengenai perubahan ketinggian gelombang tsunami dari laut dalam menuju laut dangkal diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Karakteristik umum perubahan ketinggian gelombang tsunami

(UNESCO-IOC, 2006)

Gelombang tsunami bergerak dengan kecepatan tinggi dan dapat

merambat menyeberangi samudera tanpa banyak kehilangan energi. Energi dari tsunami merupakan perkalian antara tinggi gelombang dengan kecepatannya. Nilai energi ini selalu konstan, yang berarti tinggi tsunami berbanding terbalik terhadap kecepatannya. Energi yang dikandung gelombang tsunami tidak berkurang banyak. Hal ini sesuai dengan hubungan laju energi yang hilang pada gelombang berjalan berbanding terbalik dengan panjang gelombangnya, dengan kata lain semakin besar panjang gelombang maka semakin sedikit energi yang yang hilang, sehingga energi tsunami bisa dianggap konstan (Wiegel, 1970).


(9)

8

Gelombang akan pecah apabila puncak gelombang membentuk sudut 120o

atau pada saat kecepatan partikel pada bagian puncak lebih besar daripada kecepatan gelombang sehingga gelombang menjadi tidak stabil dan pecah. Gelombang tsunami yang pecah akan menghamburkan energinya ke atas

permukaan pantai. Pecahan gelombang tergantung pada derajat kemiringan dasar laut (Gross, 1990). UNESCO-IOC (2006) mengelompokan tipe pecah gelombang tsunami menjadi tiga macam yaitu : a) Pecahan tumpah (di atas dasar laut yang hampir rata) yang membentuk suatu petak berbuih pada puncak dan berangsur-angsur pecah berserakan cukup jauh; b) Pecahan hunjam (di atas dasar laut yang agak curam) yang memuncak, meliuk bagai payung raksasa terkembang kemudian pecah bagai piring kaca jatuh ke lantai; c) Pecahan gulung (di atas dasar laut sangat curam) yang tidak pecah atau menghunjam melainkan mengombak bergulung-gulung ke muka pantai. Gelombang-gelombang juga pecah dalam perairan yang dalam jika gelombang menjulang terlalu tinggi karena disebabkan oleh angin, tetapi gelombang itu biasanya berpuncak rendah dan dinamai

gelombang jambul putih berbuih atau pecah-pecah.

2.2.2 Pembangkit gelombang tsunami

Pada umumnya kejadian tsunami di dunia dominan disebabkan oleh kejadian gempa bumi di dasar laut. Mardiatno (2006) menyatakan bahwa

berdasarkan katalog gempa (1629 – 2002) di Indonesia pernah terjadi tsunami

sebanyak 109 kali dengan perincian yakni 1 kali akibat longsoran (landslide), 9


(10)

9

menambahkan bahwa lebih dari 90 % tsunami di dunia disebabkan oleh gempa tektonik di dasar laut.

Tsunami disebabkan oleh gempa bumi di pusat yang dangkal sepanjang daerah subduksi (Gambar 2). Gempa bumi tersebut mengakibatkan terjadinya

pergeseran lempeng tektonik. Lempeng kerak bumi (crustal blocks) memberi

energi potensial pada massa air ke atas dan ke bawah. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan drastis pada permukaan air laut di daerah tersebut. Energi yang dilepas ke dalam massa air tersebut menyebabkan timbulnya tsunami (UNESCO-IOC, 2006).

Gambar 2. Posisi daerah sumber gempa tektonik (UNESCO-IOC, 2006)

UNESCO-IOC (2006) menjelaskan bahwa pergerakan lempeng samudera

yang slip di bawah lempeng benua akan melambat akibat gesekan yang semakin

membesar. Suatu saat pergerakan kedua lempeng tersebut akan berhenti (tertahan) dan terdapat akumulasi energi di daerah pertemuan kedua lempeng. Ketika daerah


(11)

10

tersebut maka akhirnya lempeng menjadi patah dan terlepas. Keadaan ini mengakibatkan deformasi dasar laut. Deformasi ini akan menaikan dan menurunkan air laut dalam skala besar mulai dari lantai samudera sampai ke permukaan. Massa air di atasnya mengikuti bentuk deformasi lantai samudera untuk mencapai setimbang, dengan begitu maka terjadi pergerakan gelombang yang membawa energi merambat ke perairan pantai (Gambar 3).

Gambar 3. Mekanisme terjadinya tsunami akibat gempa tektonik di dasar laut (UNESCCO-IOC, 2006)

Bila lempeng samudra bergerak turun atau naik, di wilayah pantai air laut akan surut sebelum datangnya tsunami. Selanjutnya gelombang tsunami akan datang menerjang pantai (Slawson dan Savage, 1979). Meskipun sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di bawah laut, namun tidak setiap gempa bumi di bawah laut bisa menyebabkan terjadinya tsunami. Menurut Shuto (1993) syarat terjadinya tsunami adalah magnitude gempa harus lebih besar dari 6 Skala Richter (SR) dan kedalaman pusat gempa (hiposentrum) kurang dari


(12)

11

33 km (< 48 km versi USGS) serta gempa dengan pola mekanisme dominan

adalah sesar naik (thrust) atau sesar turun (normal).

2.3. Faktor-faktor Kerentanan Pantai Terhadap Tsunami 2.3.1 Morfologi dasar laut

Tsunami yang menjalar ke pantai (perairan dangkal) akan megalami beberapa perubahan ketinggian gelombang sebagai akibat dari proses

pendangkalan (shoaling), refraksi, difraksi,dan refleksi sebelum akhirnya

gelombang tersebut pecah. Proses shoaling sebagai proses berkuranganya tinggi

gelombang untuk pertama kalinya sewaktu memasuki perairan yang dangkal,

kemudian secara bertahap akan meningkat kembali dengan bagian muka (front)

gelombang tetap simetris (Horikawa, 1998).

Horikawa (1998) menjelaskan kedalaman perairan yang semakin berkurang menyebabkan tinggi gelombang bertambah kembali secara cepat sehingga mengakibatkan profil gelombang menjadi tidak simetris dan pada akhirnya pecah. Kecepatan gerak gelombang juga berkurang dengan

berkurangnya kedalaman dasar laut, sehingga menyebabkan puncak gelombang pada daerah yang lebih dangkal bergerak lebih lambat daripada puncak pada perairan yang lebih dalam. Selanjutnya tejadi pembelokan arah gerak puncak gelombang mengikuti bentuk kontur kedalaman laut (refraksi).

Shoaling dan refraksi disebabkan oleh proses pendangkalan perairan.

Shoaling lebih ditekankan pada perubahan tinggi gelombang secara langsung akibat kedalaman perairan yang semakin berkurang, sedangkan refraksi


(13)

12

ditekankan pada pembelokan arah puncak gelombang. Refraksidapat terjadi pada

perairan transisi ataupun perairan dangkal (USACE, 1984).

Ketinggian tsunami sepanjang pantai berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini bergantung pada morfologi, batimetri, dan topografi pantai, sehingga indikator kelerengan pantai dan dasar perairan pantai memiliki peranan penting dalam menentukan besar-kecilnya tsunami di suatu wilayah (Oktariadi, 2009a). Menurut Oktariadi (2009b) kondisi lereng pantai yang landai akan menyebabkan jarak daerah pecah gelombang dengan pantai semakin jauh. Sedangkan bila kondisi lereng pantai curam maka jarak daerah pecah gelombang dengan pantai menjadi semakin dekat (Gambar 4).

Gambar 4. Hubungan antara ketinggian tsunami dengan geometri pantai : (a) Kelerengan pantai landai dan (b) Kelerengan pantai curam (UNESCO-IOC, 2006)


(14)

13

2.3.2 Morfometri pantai

Morfometri pantai menunjukkan bentuk garis pantai. Morfometri pantai merupakan parameter yang sangat penting untuk dikaji karena menentukan daerah pemusatan atau penyebaran energi gelombang tsunami. Menurut USACE (1984) perubahan arah gelombang karena proses refraksi akan menghasilkan suatu daerah

energi gelombang penguncupan (konvergen) dan penyebaran (divergen) yang

berpengaruh tehadap struktur pantai yaitu morfometri pantai. Morfometri pantai sangat berpengaruh besar terhadap tingkat energi gelombang yang akan

menghempas ke daratan.

Bentuk garis pantai (shore line) dapat memberikan berbagai pengaruh

ketika gelombang tsunami mencapai daratan. Teluk, tanjung, inlet dan muara sungai dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Daerah-daerah pantai yang cekung menghadap ke laut seperti selat dan teluk akan menyebabkan

gelombang mengalami refleksi. Energi gelombang tsunami menjadi terfokus pada wilayah cekungan dan pada akhirnya mampu meningkatkan ketinggian

gelombang tsunami yang sampai di pantai (NTHMP, 2001). Perubahan ketinggian tersebut sebagaimana dijelaskan Diposaptono dan Budiman (2005) bahwa tsunami akan mengalami peningkatan ketinggian ketika melewati pantai yang menyempit dan dangkal.

Lebih lanjut Diposaptono dan Budiman (2006) menjelaskan bahwa secara umum wilayah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang sangat banyak dan berderet satu dengan yang lainnya

sehingga menyerupai gigi gergaji (sawtooth). Pantai dengan bentuk menyerupai


(15)

14

selatan Banyuwangi (Jawa Timur) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5. Morfometri pantai yang berbentuk demikian akan mempengaruhi refraksi gelombang dan menyebabkan gelombang tsunami tidak dapat keluar lagi karena sebagian atau seluruh gelombang tersebut dipantulkan oleh dinding teluk.

Akibatnya gelombang tsunami akan meningkat dan interaksi gelombang tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Kondisi tersebut dapat menjadikan wilayah pesisir tersebut mempunyai tingkat kerusakan yang lebih parah jika terjadi bencana tsunami.

Gambar 5. Pantai dengan bentuk menyerupai gigi gergaji (sawtooth) :

a) Pantai barat Sumatera dan b) Pantai selatan Jawa Timur (Subandono, 2007)

2.3.3 Topografi dan kemiringan daratan pantai dan pesisir

Menurut Oktariadi (2009b) jarak jangkauan tsunami ke daratan sangat ditentukan oleh tinggi dan rendahnya suatu daratan. Terjal atau landainya

morfologi pantai juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap jangkauan a)


(16)

15

gelombang tsunami. Semakin tinggi letak suatu daerah maka semakin aman dari terpaan gelombang tsunami.

Pada daratan pantai yang terjal, tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sementara di daratan pantai yang landai, landaan tsunami dapat menerjang sampai beberapa kilometer masuk ke daratan. Keadaan ini seperti yang terjadi di Banda Aceh. Pada saat tsunami melanda Banda Aceh gelombang dapat menerjang masuk sejauh 5 km dari garis pantai (Oktariadi, 2009b). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kelerengan pantai menurut USDA-NRCS (1986) dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator kelerengan pantai (USDA-NRCS, 1986)

No Jenis Kelerengan Pantai Kepekaan Terhadap Tsunami

1 Datar Sangat peka

2 Landai Peka

3 Agak curam Agak peka

4 Curam Kurang peka

5 Sangat curam Tidak peka

2.3.4 Sungai-sungai dan kanal pengendali banjir

Sungai-sungai dan kanal pengendali banjir dapat memberikan berbagai pengaruh terhadap rambatan gelombang tsunami. Tsunami yang merambat melalui sungai atau kanal dapat menimbulkan kerusakan yang lebih hebat dari yang diperkirakan. Keadaan ini terjadi karena dengan adanya sungai atau kanal maka akan semakin mendorong tsunami untuk melintas lebih jauh ke daratan. Sebagai contoh, bahwa tsunami yang memasuki California lewat sungai dan kanal-kanal pengendali banjir dapat memasuki daratan sejauh satu mil (1,609 km)


(17)

16

atau lebih, terutama jika terjadi pada saat pasang (NTHMP, 2001). Klasifikasi daerah terhadap jarak dari sungai adalah membagi daerah kedalam kelas-kelas berdasarkan jarak dari sungai. Klasifikasi tersebut menjelaskan tingkat kerentanan pantai terhadap bencana tsunami berdasarkan jauh dekatnya daerah tersebut dari sungai.

2.3.5 Ekosistem pesisir

Ekosistem pesisir terutama mangrove dan hutan pantai memegang peranan

sebagai greenbelt pelindung pantai dalam mereduksi energi gelombang tsunami.

Mangrove dan hutan pantai mempunyai sistem perakaran yang dapat meredam ombak, arus serta menahan sedimentasi. Hutan pantai sangat efektif dalam

meredam energi gelombang tsunami seperti yang dilaporkan Harada dan Imamura (2003). Hasil penelitian yang dilakukan Harada dan Imamura disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Efektivitas peredaman tsunami oleh hutan pantai (Harada dan Immura, 2003)

Parameter Lebar hutan Ketinggian tsunami

1 m 2 m 3 m

Jarak run-up

50 m 98% 86% 81%

100 m 83% 80% 71%

200 m 79% 71% 64%

400 m 78% 65% 57%

Tinggi genangan

50 m 86% 86% 82%

100 m 76% 74% 66%

200 m 46% 55% 50%

400 m - 11% 18%

Arus

50 m 71% 58% 54%

100 m 57% 47% 44%

200 m 56% 39% 34%

400 m - 31% 24%


(18)

17

Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa semakin lebar hutan (kondisi kerapatan konstan) maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang melanda hutan pantai

yang memiliki lebar 50 m menghasilkan jarak run-up ke daratan tinggal 81%

dengan tinggi genangan tinggal 82%. Berbeda halnya apabila lebar hutan

pantainya mencapai 400 m, maka jarak run-up ke daratan tinggal 57% dengan

tinggi genangan tinggal 18%.

Keberadaan terumbu karang di wilayah pantai juga sangat penting. Pada dasarnya selain mempunyai fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gelombang yang datang pada daerah yang terdapat terubu karang energinya akan melemah. Hal ini disebabkan

gelombang tertahan oleh adanya terumbu karang sehingga gaya hidrolis

gelombang semakin mengecil (Kotani et al., 1998).

2.4. Sejarah Tsunami Pangandaran

Pada tanggal 17 Juli 2006, terjadi sebuah gempa bumi pada pukul

08:19:28 Universal Time Coordinate (UTC) atau sekitar pukul 15:19:28 WIB di

pantai selatan Jawa Barat, Indonesia. Menurut Harvard Centroid Moment Tensor

(Harvard CMT) gempa tersebut memiliki kekuatan 7,7 SM atau 4,0 x 1027

dyne.cm dengan pola mekanisme sesar naik. USGS menjelaskan posisi pusat

gempa berada pada koordinat 9,295o LS dan 107,347o BT dengan kedalaman

pusat gempa 6 km. Gempa ini mengakibatkan tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa, khususnya dari Pantai Pameungpeuk (Garut), Pantai Pangandaran (Ciamis),


(19)

18

Pantai Cilacap, Pantai Kebumen dan sampai ke Pantai Parangtritis (NEIC-USGS, 2006a).

Hasil survei yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Dinamika Pantai (DPDP-BPPT) bersama ITS menjelaskan bahwa gelombang tsunami pada saat

tsunami Pangandaran 2006 memiliki ketinggian run-up maksimum sebesar 4,6 m.

Ketinggian run-up maksimum terjadi di pesisir Cilacap yaitu tepatnya di daerah

Widarapayung. Ketinggian run-up tsunami terendah adalah 1,1 m, dimana terletak

di pantai Suwuk (Kebumen). Daerah pesisir Pangandaran yang menjadi kajian

dalam penelitian ini memiliki ketinggian run-up tsunami sebesar 2,7 m – 2,9 m

dan di daerah Cikembulan (Pangandaran sebelah barat) mencapai 3,1 – 3,6 m

(Kongko et al., 2006). Peta ketinggian run-up tsunami hasil pengukuran lapang

tim DPDP-BPPT bersama ITS disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Ketinggian run-up tsunami Pangandaran 17 Juli 2006 di berbagai


(20)

19

Berbeda halnya dengan hasil survei yang dilakukan oleh tim Pusat Survei

Geologi, ketinggian run-up maksimum yang terukur mencapai 3,3 m. Adanya

perbedaan ketinggian run-up tsunami dari hasil pengukuran tersebut disebabkan

oleh faktor waktu pelaksanaan pengukuran. Pada dasarnya metode pengukuran

ketinggian run-up tsunami diukur menurut tanda dari ketinggian air yang

membekas di pepohonan atau di dinding bangunan-bangunan lainnya. Adanya perbedaan pelaksanaan waktu pengukuran antar lembaga terkait mengakibatkan hasil pengukuran yang berbeda. Hal ini mengingat tanda dari ketinggian air yang

membekas akan semakin pudar seiring dengan bertambahnya waktu (Lavigne et

al., 2007). Pada kejadian tsunami Pangandaran 2006, wilayah yang paling luas

terkena limpasan tsunami adalah Desa Cikembulan dan Desa Pangandaran. Menurut hasil pengukuran lapang diketaui bahwa jarak limpasan tsunami ke

daratan mencapai 300 – 500 m (Kongko et al., 2006).

2.5. Persamaan Gerak Gelombang Tsunami

Gerak gelombang tsunami didekati dengan teori perairan dangkal. Teori ini mengasumsikan kedalaman perairan relatif kecil dibandingkan panjang

gelombang (Imamura, 1994). Dalam teori ini percepatan vertikal partikel air dapat diabaikan karena besarnya jauh lebih kecil dari percepatan gravitasi. Berdasarkan pendekatan ini, gerak gelombang tsunami diekspresikan dengan teori gelombang perairan dangkal. Simulasi penjalaran gelombang tsunami menggunakan model hidrodinamika dua dimensi dari persamaan gerak gelombang linier. Persamaan penjalaran gelombang suku linier diperlihatkan pada persamaan (2) di bawah ini (Imamura, 1994) :


(21)

20 0 y N x M t 0 x gh t M 0 y gh t N

... (2)

Simulasi limpasan tsunami (run-up) menggunakan teori perairan dangkal

linier dan non-linier. Persamaan di bawah ini merupakan persamaan yang menjadi dasar untuk model saat ini (Imamura, 1994) :

0 y N x M t 2 2 2 2 2 y M x M A x gD D MN y D M x t M x 2 2 2 2 2 y N x N A y gD D N y D MN x t N y

... (3) dimana, uD h u udz M h

... (4)

vD h v vdz N h

... (5) Keterangan :

: elevasi permukaan air terhadap Mean Sea Level (m)

h : kedalaman air dari dasar sampai Mean Sea Level (m)

t : waktu (detik)

g : percepatan gravitasi bumi (m/detik2)

A : Viskositas Eddy horizontal (diasumsikan konstan terhadap ruang)

M : debit dalam arah x- (m3/detik)

N : debit dalam arah y- (m3/detik)

D : kedalaman total perairan yang diberikan oleh h (m)

: densitas (kg/m3)

v

u, : kecepatan partikel dalam arah x- dan

y-y

x, : gesekan dasar pada arah x- dan y-

z y


(22)

21

2.6. Deformasi Dasar Laut

Pemodelan sumber tsunami yang ditimbulkan oleh deformasi dasar laut akibat gempa menggunakan metode Mansinha dan Smylie (1971) dengan masukan parameter gempa seperti pada Gambar 7. Parameter gempa berupa patahan dalam hubungannya terhadap pembentukan tsunami terdiri dari : momen

seismik (Mo), lokasi dan kedalaman pusat gempa (episentrum dan hiposentrum),

panjang patahan (L), lebar patahan (W), dislokasi (D), dan geometri sesesar (Dip,

Strike, Slip). Dip ( ) adalah sudut yang menjelaskan kemiringan dari permukaan

patahan. Strike ( ) merupakan sudut yang digunakan untuk menjelaskan patahan

dan dihitung searah jarum jam dari utara, sedangkan Slip ( ) adalah parameter

yang menjelaskan pergerakan dari satu sisi ke sisi lainnya.

Gambar 7. Desain parameter sesar (Imamura et al., 2006)

Hanks dan Kanamori (1979) dalam Latief (2000) menjelaskan bahwa

deformasi dasar laut dapat dihasilkan apabila mempunyai momen seismik (Mo)

yang besar. Momen seismik digunakan untuk menentukan momen magnitude


(23)

22 ) 1 , 16 (log 3 2 10 Mo

Mw ... (6)

Jika momen seismik gempa telah diketahui dan dibuat sebagai suatu skenario yang mungkin dapat terjadi dengan episentrum di masing-masing daerah studi, maka parameter yang lain seperti panjang dan lebar patahan serta dislokasi (deformasi) patahan dapat diperhitungkan dengan formula Emile A. Okal sebagai berikut (Mansinha dan Smylie, 1971) :

7 3 1 10 935 , 1 x Mo

L ... (7)

7 3 1 10 87 , 13 x Mo

W ... (8)

8 3 1 10 68 , 6 x Mo

D ... (9)

dimana,

Mw = momen magnitude (Skala Magnitude/SM)

Mo = momen seismik gempa (dyne.cm)

L = panjang patahan (km)

W = lebar patahan (km)

D dislokasi atau deformasi (m)

2.7. Kajian Risiko Bencana Tsunami

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa bencana seperti gempa bumi dan tsunami hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat mengenai waktu dan seberapa besar kekuatannya. Kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materil. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman


(24)

23

adalah interaksi antara kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Kerentanan merupakan aspek yang relatif dapat dilakukan perubahan. Tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Secara umum risiko dapat dirumuskan sebagai berikut (GTZ SEQIP, 2008) :

Risk = Hazard x vulnerability ... (10) Pengurangan risiko bencana adalah suatu konsep dalam mengurangi risiko bencana melalui kegiatan dalam mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana (Mudhari, 2009). Tingkat kerentanan adalah suatu hal yang penting untuk

diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Hal ini dikarenakan bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik


(25)

48

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian terletak di wilayah pantai dan pesisir Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Batas koordinat wilayah penelitian berada pada

7,75o– 7,65o LS dan 108,55o– 108,70o BT. Wilayah Pangandaran dalam

penelitian ini mencakup pantai dan pesisir di Kecamatan Pangandaran dan

Kecamatan Sidamulih. Daerah yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kedua kecamatan tersebut. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta lokasi penelitian (Kecamatan Pangandaran sampai Kecamatan Sidamulih)

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada awal bulan Mei 2011 sampai

Agustus 2011 yang bertempat di Laboratorium Data Processing Oseanografi,


(26)

25

Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Balai Pengkajian Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta Pusat.

3.2. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari

berbagai macam perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware).

Penelitian ini merupakan model penelitian laboratorium menggunakan model

komputasi. Perangkat keras berupa Personal Computer (PC) merupakan

komponen utama dalam penelitian ini, dimana beberapa perangkat lunak

(software) sebagai penunjang terpasang di dalamnya. Secara rinci alat penelitian dalam penelitian ini ditabulasikan pada Tabel 3 beriku ini :

Tabel 3. Spesifikasi peralatan penelitian (perangkat lunak dan perangkat keras)

No Peralatan penelitian Perusahaan pembuat Keterangan

1 Personal Computer

(PC)

Zyrex Corp. Sistem operasi Windows dan Java, Intel Pentium T5550 CPU 1,83 GHz 2 ER Mapper v.7.0 Earth Resource

Mapping Inc.

Data processing

3 Global Mapper v.9.0

Global Mapper Ltd. Data processing

4 Map Source v.3.2 Garmin Corp. Data processing

5 Surfer v.9.0 Golden Software Inc. Data processing

6 Transform v.3.3 Forther Research Inc. Data processing

7 Textpad v.4.6.2 Wintertree Inc. Data processing

8 Turmina interface BPPT Sistem operasi Java

Data processing

9 ArcGIS 9.3 ESRI Inc. Data processing

10 Xview - Data processing

11 GPS Garmin 60i handheld

Garmin Corp. Ketelitian 5 – 15 m 12 Sony Digital

Camera


(27)

26

Personal Computer (PC) yang dilengkapi dengan berbagai macam

perangkat lunak digunakan untuk memproses data-data. Global Positioning

System (GPS) digunakan sebagai alat navigasi dan penanda titik sampling di lapangan, sedangkan kamera digital digunakan sebagai alat dokumentasi pada saat survei lapangan.

3.3. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini mencakupbeberapa

kelompok data sebagai berikut :

1) Citra Landsat wilayah Pangandaran

Citra Landsat yang digunakan merupakan Landsat TM path/row 121/65 (resolusi 30 m) yang direkam pada bulan Juni 2003, Oktober 2006 dan Maret 2009

2) Data batimetri

Data batimetri yang digunakan adalah ETOPO 1. Data ini memiliki resolusi satu menit per satu grid dengan luasan 1,85 km. Data ini di unduh dari : http://www.ngdc.noaa.gov/mgg/gdas/gd_designagrid.html pada bulan Maret 2011

3) Peta dasar untuk bahaya tsunami Kabupaten Ciamis dari German Indonesia

Tsunami Early Warning System (GITEWS) skala 1 : 25.000 tahun 2010

4) Peta penutupan/penggunaan lahan Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan

Sidamulih skala 1 : 25.000 tahun 2004 dari Bappeda Kabupaten Ciamis

5) Peta batimetri Dishidros TNI-AL skala 1 : 500.000 nomor peta 69 tahun 2004


(28)

27

7) Data kegempaan dan historis kejadian tsunami

Data ini diperoleh dari Nasional Earthquake Information Center – United

States Geological Survei (NEIC-USGS). Data ini di unduh dari :

http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqarchives/epic/epic_rect.php pada bulan Maret 2011

3.4. Survei Lapang

Survei lapang dilakukan pada bulan Juli 2011 bertempat di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih. Survei lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian secara langsung sekaligus verifikasi dan validasi data. Hasil pengolahan geomorfologi pesisir dari citra satelit, peta penutupan/penggunaan lahan serta data pendukung lainnya divalidasi dengan kenampakan yang sebenarnya di lapangan.

Survei dilakukan pada 20 titik observasi mulai dari barat sampai ke timur.

Pengambilan titik observasi menggunakan teknik Random Sampling, yaitu

pengambilan titik sampling secara acak terhadap kategori-kategori penutupan lahan yang sudah disesuaikan dengan kategori pada citra hasil klasifikasi dan peta penutupan lahan yang tersedia. Data ini digunakan sebagai referensi lapang untuk menentukan akurasi citra dari hasil kasifikasi dan perubahan-perubahan yang terjadi pada peta penutupan lahan tahun 2004. Posisi koordinat titik observasi disajikan pada Lampiran 1.

Pelaksanaan survei lapang dilakukan dengan menyusuri sepanjang wilayah pantai dan pesisir dengan cara sejajar garis pantai. Data yang dihimpun meliputi kenampakan fitur pantai dan pesisir. Pengamatan fitur pantai dan pesisir dilakukan


(29)

28

secara visual di sepanjang daerah penelitian dengan mengamati antara lain bentuk garis pantai, vegetasi penutup, tata guna lahan/penutupan lahan, keberadaan proteksi pantai baik alami maupun buatan. Pengukuran jarak dari pantai terhadap permukiman dan bangunan-bangunan lainnya dilakukan dengan pengukuran secara horizontal dari garis pantai menuju daratan dengan menggunakan roll meter. Parameter yang diamati dalam kegiatan survei lapang selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran 2.

3.5. Metode Pengolahan Data

Pada penelitian ini dilakukan pengintegrasian data penginderaan jauh dengan model tsunami. Alur penelitian ini meliputi input data (data citra dan peta, survei lapang dan data sekunder yang terkumpul), pemrosesan dan analisis.

Adapun alur pengolahan atau pemrosesan data penelitian ini meliputi beberapa tahapan yaitu : (1) pemetaan karakteristik pantai dan pesisir, (2) identifikasi seismisitas, (3) pemodelan tsunami, (4) penentuan indeks kerentanan pantai. Analisis data untuk menentukan tingkat kelas kerentanan pantai akibat bencana

tsunami ditentukan dengan menggunakan metode Cell Based Modelling. Alur


(30)

48

Gambar 9. Bagan alir penelitian

29

Indeks kerentanan pantai akibat bencana tsunami Overlay :

- Topografi

- Kemiringan (Slope) - Jarak dari garis pantai - Jarak dari sungai - Penutupan lahan

Indektifikasi seismisitas Data historis kegempaan dan sejarah tsunami Parameter gempa Citra Landsat TM

121/65 tahun 2003, 2006, 2009

Cropping citra

Komposit citra

Ekstraksi data citra : - Penggunaan lahan - Jaringan sungai - Morfometri pantai - Ekosistem pesisir

Verifikasi dan editing

Basis data spasial

Gabung data Tsunami Inundation Modelling Data numerik genangan tsunami Daerah prediksi genangan Parameter risiko tsunami Konsultasi pakar Pemodelan spasial Cell Based Modelling

Data batimetri ETOPO 1 - Peta dasar untuk bahaya tsunami

- Peta penutupan lahan - Peta topografi - Peta batimetri


(31)

30

3.5.1 Identifikasi karakteristik pantai dan pesisir

Struktur kajian dalam identifikasi karakteristik pantai meliputi kajian tipologi pesisir, mencakup liputan lahan dan bentuk lahan. Tipologi pesisir menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi bencana tsunami. Kajian tipologi

pesisir menurut Suprajaka et al. (2005) ditetapkan dengan menggunakan tiga

komponen yaitu abiotik (fisik), biotik (hayati) dan kultural (sosial-ekonomi). Identifikasi karakteristik pantai dilakukan dengan melakukan ekstraksi data spasial dari hasil interpretasi citra penginderaan jaut (Landsat TM), peta-peta dan data-data pendukung lainnya serta melakukan survei lapang. Ekstraksi data tersebut berupa pemetaan karakteristik daerah pantai dan pesisir Pangandaran yang meliputi :

1) Pemetaan topografi

Pemetaan topografi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil survei lapang tim pemetaan Kabupaten Ciamis bersama GITEWS yang dituangkan pada peta dasar untuk bencana tsunami Kabupaten Ciamis. Data ini dikompilasikan dengan data topografi dari peta-peta yang tersedia. Identifikasi kenampakan topografi dimulai dengan melakukan proses digitasi. Langkah ini merupakan proses perubahan data ke dalam bentuk digital. Data hasil digitasi

kemudian diinterpolasi (gridding) dengan interval 30 meter.

2) Pemetaan batimetri

Pemetaan batimetri menggunakan dua buah kelompok data yaitu peta batimetri Dishidros TNI-AL dan data batimetri ETOPO 1. Peta batimetri Dishidros TNI-AL digunakan untuk menggambarkan keadaan batimetri Pangandaran, sedangkan data batimetri ETOPO 1 digunakan untuk


(32)

31

menggambarkan keadaan batimetri perairan lepas pantai selatan Jawa. Pengolahan data batimetri Dishidros TNI-AL dilakukan dengan proses digitasi kemudian dilakukan interpolasi dengan interval 30 meter. Pengolahan data batimetri dari ETOPO 1 tidak dilakukan digitasi terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan data batimetri ETOPO 1 sudah berbentuk data numerik dalam format digital sehingga dapat langsung dilakukan interpolasi. Data batimetri ETOPO 1 diinterpolasi dengan interval 810 meter.

3) Pemetaan kemiringan daratan (slope)

Pemetaan kemiringan daratan (slope) dilakukan berdasarkan data

topografi. Data kemiringan daratan merupakan data yang diturunkan dari data topografi. Penurunan data topografi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak

ArcGIS 9.3. Fungsi yang digunakan adalah surface analyst pada menu spatial analyst. Data topografi dijadikan masukan dalam algoritma matematis pada waktu

processing data. Algoritma tersebut dapat mengubah setiap nilai topografi menjadi sebuah nilai baru. Nilai baru inilah yang menggambarkan kemiringan lahan daratan. Satuan kemiringan daratan yang digunakan pada penelitian ini adalah dalam persentase (%).

4) Pemetaan jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai

Pemetaan jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai dilakukan dengan

melakukan proses buffering melalui perangkat lunak ArcGIS 9.3. Proses buffering

dilakukan dengan menggunakan data spasial garis pantai dan kemudian diklasifikasikan berdasarkan matriks risiko tsunami. Data spasial garis pantai

didapatkan dengan melakukan digitasi (digitize on screen) pada peta dasar


(33)

32

teknik buffering sejauh 3000 m dari garis pantai sedangkan untuk pemetaan jarak

dari sungai teknik buffering dilakukan sejauh 500 m dari sungai.

5) Pemetaan tata guna lahan dan ekosistem pesisir

Pemetaan tata guna lahan dan ekosistem pesisir dilakukan berdasarkan analisis melalui interpretasi citra satelit Landsat dan peta penutupan lahan dari Bappeda Kab. Ciamis. Pada penelitian ini dilakukan proses digitasi terhadap peta penutupan lahan untuk mendapatkan data digital penggunaan lahan serta

ekosistem pesisir. Hasil digitasi dari peta penutupan lahan tersebut kemudian di

lengkapi dengan data hasil interpretasi citra satelit dan foto udara dari Google

Earth. Keseluruhan hasil pengolahan tersebut kemudian divalidasi dengan data-data hasil survei lapang. Hal ini dilakukan untuk memastikan data-data hasil

pengolahan sesuai dengan kenampakan yang sebenarnya di lapangan.

Identifikasi ekosistem pantai dan pesisir difokuskan pada ekosistem yang berpengaruh terhadap limpasan gelombang tsunami. Ekosistem tersebut yaitu ekosistem mangrove dan terumbu karang. Kedua ekosistem ini dianalisis

berdasarkan citra satelit Landsat dengan proses penajaman citra (Image

Enhancement). Pengolahan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ER Mapper v.7.0. Metode yang digunakan dalam kajian vegatasi mangrove menggunakan komposit warna 453. Pada komposit tersebut mangrove akan teridentifikasi sebagai lahan yang berwarna merah tua. Hal ini karena klorofil dalam daun mengrove menyerap dengan kuat sinar merah dan memantulkan kuat

sinar inframerah (Earth Observatory, 2007).

Identifikasi terumbu karang dilakukan dengan pendekatan algoritma


(34)

33

band ini diasumsikan memiliki penentrasi yang baik terhadap kolom air.

Persamaan algoritma Lyzenga dirumuskan sebagai berikut (Siregar et al., 1995) :

2 1 ln ln TM k k TM Y j i

... (11)

dimana, Y = citra hasil ekstraksi; TM1 = band 1 Landsat TM; TM2 = band 1

Landsat TM; dan ki/kj = koefisien antenuasi (a) yang diperoleh dari :

1 2 a a dengan, 2 1 2 1 cov 2 var var TM TM ar TM TM

a ... (12)

3.5.2 Identifikasi seismisitas

Kaitan kajian gempa bumi pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi gempa bumi sebagai pemicu terjadinya tsunami di wilayah penelitian (zona tsunamigenik). Menurut Galih dan Handayani (2007) aktifitas gempa bumi bisa ditinjau dari bermacam cara, diantaranya adalah dengan peta distribusi gempa bumi (peta seismisitas). Setiap gempa bumi melepaskan energi gelombang

seismik, sehingga kumpulan gempa bumi pada periode tertentu di suatu area merupakan suatu cara untuk menggambarkan konsentrasi aktifitas gempa bumi.

Identifikasi seismisitas pada penelitian ini dibangun berdasarkan katalog

NEIC-USGS. Wilayah kajian identifikasi seismisitas di batasi pada koordinat 8o–

11o LS dan 107o– 110o BT. Data catatan gempa bumi meliputi semua gempa di

kedalaman kurang dari 40 km (gempa dangkal) yang terjadi di daerah penelitian

selama kurun waktu 1974 – Mei 2011.

Pendeskripsian wilayah tsunamigenik ditentukan dengan metode fraktal


(35)

34

Richter (Rohadi, 2006). Metode ini mengelompokan daerah studi menjadi tiga

bagian yang lebih kecil dengan increment 1o (1o x 1o). Metode fraktal ditentukan

berdasarkan hubungan antara jumlah kejadian gempa (N) dengan magnitude

gempanya (m). Hubungan ini dijelaskan oleh persamaan yang dirumuskan oleh

Guternberg dan Richter sebagai berikut (Rohadi, 2006) :

a m b

N) .

log( ... (13)

dimana a dan b adalah parameter seismotektonik dan N adalah jumlah gempa

bumi dengan magnitude lebih besar dari m. Setelah itu digunakan metode grafik

dari Turcotte. Turcotte melakukan penurunan rumus sederhana sehingga didapat

besaran dimensi fraktal (D) sebagai berikut (Galih dan Handayani, 2007) :

b

D 2. ... (14)

dimana b adalah parameter tektonik yang didapat dari hukum Guternberg dan

Richter (Rohadi, 2006). Analisis seismisitas dengan menggunakan metode fraktal

akan membawa pada wilayah tsunamigenik sebagai zona yang berpotensi sebagai sumber tsunami.

3.5.3 Pemodelan tsunami

Pemodelan tsunami pada penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan

perangkat lunak Turmina Iterface yang terdiri dari Earthquake Analysis dan

TsunamiRun-up Modelling. Perangkat lunak ini dapat menyelesaikan persamaan numerik pemodelan tsunami sehingga menghasilkan keluaran berupa waktu

tempuh penjalaran tsunami, tinggi tsunami serta run-up tsunami. Perangkat lunak


(36)

35

(BPPT). Langkah-langkah yang dilakukan dalam menjalankan program simulasi pemodelan tsunami adalah sebagai berikut :

1) Desain model simulasi tsunami

Desain simulasi penjalaran gelombang tsunami didesain sebagai model

bersarang (nested model). Metode ini digunakan atas pertimbangan efisiensi

waktu pada saat running model. Metode model bersarang ini menggunakan empat

tipe desain grid spasial yang berbeda dimana terdiri dari domain A, domain B, domain C dan domain D. Domain A merupakan domain yang paling besar dan

memiliki batas koordinat 104,75o E – 112,50o E dan 11,00o S – 7,00o S. Domain B

dan C adalah area yang lebih kecil dari area domain A dan berada pada domain A.

Domain B memiliki batas 108,05o E – 109,20o E dan 8,30o S – 7,55o S, sedangkan

domain C memiliki batas 108,35o E – 108,90o E dan 7,95o S – 7,60o S. Domain D

merupakan daerah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini (Pangandaran),

dimana memiliki batas 108,55o E – 108,70o E dan 7,75o S – 7,65o S. Desain model

bersarang diperlihatkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Domain model bersarang (nested model) : a) domain A; b) domain


(37)

36

Penentuan domain A harus mengikutsertakan domain B, domain C dan domain D, sehingga domain A merupakan domain terbesar yang mengandung keseluruhan domain. Sumber gempa yang menjadi pemicu tsunami harus berada pada wilayah domain sehingga penjalarannya dapat diperhitungkan. Setiap

domain memiliki karakteristik grid yang berbeda. Grid untuk Domain A sampai D memiliki ukuran grid yang semakin mengecil. Domain D merupakan domain yang memiliki resolusi grid paling halus (jarak grid lebih kecil). Keterangan

selengkapnya mengenai ukuran spasial (ukuran grid dan jarak grid) dari setiap domain yang dibangun disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik ukuran spasial dalam model bersarang

Domain Jarak Grid

dx=dy

Ukuran

Grid Koordinat

A 810 m 1057 x 546 104,75

o

E – 112,50o E 11,0o S –

7,00o S

B 270 m 471 x 308 108,05

o

E – 109,20o E 8,30o S –

7,55o S

C 90 m 678 x 431 108,35

o

E – 108,90o E 7,95o S –

7,60o S

D 30 m 553 x 369 108,55

o

E – 108,70o E 7,75o S –

7,65o S

2) Desain skenario model pembangkit tsunami

Penghitungan besarnya tsunami yang dapat terjadi dilakukan dengan membuat skenario sumber gempa. Model sumber pembangkit tsunami dalam penelitian ini hanya dibangkitkan oleh pergerakan dasar laut akibat gempa tektonik. Solusi mekanisme sumber gempa sebagai pembangkit tsunami menggunakan data historis kejadian tsunami di Pangandaran (2006) dan

Banyuwangi (1994), selain itu di tentukan berdasarkan analisis peneliti terhadap tingkat seismisitas di wilayah penelitian. Kejadian tsunami di Pangandaran dan Banyuwangi mempunyai parameter gempa seperti diuraikan dalam Lampian 3.


(38)

37

3) Pre-processing modelling

Tahap ini merupakan persiapan data-data masukan untuk model tsunami yang akan dibangun. Data yang diperlukan adalah data batimetri dan data

topografi. Data ini merupakan data dasar dalam model yang akan dibangun. Data batimetri dan topografi mencakup domain A, domain B, domain C dan domain D.

Pembuatan input domain D dibangun dengan menggunakan data batimetri Dishidros TNI-AL dan data topografi hasil kompilasi beberapa sumber. Data topografi dan batimetri hasil digitasi kemudian digabungkan dan diinterpolasi

dengan interval 30 meter. Keseluruhan data disimpan dalam bentuk ekstensi *.dat,

kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut di perangkat lunak Transform v.3.3

sehingga input domain D menjadi susunan matriks. Agar data input domain D

dalam bentuk matriks dapat terbaca pada saat perhitungan numerik di Turmina

Interface, maka data masukan domain D dikonversi kedalam bentuk ASCII

dengan menggunakan Textpad v.4.6.2.

Proses pembuatan masukan untuk domain A, domain B dan domain C proses pengolahannya hampir sama seperti domain D. Perbedaanya terletak pada sumber data, dimana pada ketiga domain tersebut hanya menggunakan data batimetri dari ETOPO 1 sebagai data dasar. Ketiga domain yang dibangun dari data tersebut diinterpolasi dengan interval masing-masing adalah 90 meter, 270 meter dan 810 meter. Data-data tersebut bukan merupakan input model, untuk membangun input model domain C, B dan A maka untuk input domain C adalah gabungan antara input domain D dan domain C. Pada posisi koordinat domain D di domain C, diisi dengan semua data pada domain D. Input domain A dan domain B dibangun dengan cara yang sama seperti pada domain C.


(39)

38

4) Processing modelling

Tahap processing merupakan tahap pacu model. Tahap ini adalah proses

running simulasi tsunami berdasarkan masukan parameter gempa, batimetri dan topografi. Metode yang digunakan dalam pemodelan tsunami ini diselesaikan

dengan menggunakan aplikasi Turmina interface. Tumina interface terbagi

menjadi dua aplikasi yaitu Earthquake Analysis dan TsunamiRun-up Modelling.

Earthquake Analysis digunakan untuk memproses data gempa sebagai sumber tsunami. Keluaran dari perangkat lunak ini berupa nilai numerik yang menggambarkan inisialisasi gelombang tsunami awal (elevasi muka air laut awal). Parameter-parameter yang digunakan untuk simulasi awal gelombang tsunami terdiri dari posisi sumber gempa, pajang dan lebar patahan, dislokasi (deformasi),

kedalaman pusat gempa (hiposentrum) dan geometri patahan (dip, strike, slip).

Inisialisasi gelombang tsunami awal diperoleh dengan menghitung

perpindahan vertikal kolom air laut di atas dasar samudera akibat gempa. Menurut Latief (2007) sumber tsunami dalam simulasi tsunami diasumsikan sama dengan perubahan deformasi bawah laut, seperti terlihat pada Gambar 11. Tanda plus (+) menyatakan terjadi kenaikan muka air laut, sedangkan tanda minus (-)

menunjukan terjadinya penurunan muka air laut.


(40)

39

TsunamiRun-up Modelling memproses data keluaran yang dihasilkan oleh

aplikasi Earthquake Analysis menjadi simulasi penjalaran gelombang tsunami.

Keluaran model berupa data numerik tiap langkah waktu yang menggambarkan proses penjalaran dan ketinggian gelombang tsunami di sepanjang daerah yang

dimodelkan. Model tsunami dalam penelitian ini berjenis Near Field Tsunami

dimana jarak antara pembangkit tsunami dengan pantai cukup dekat yaitu kurang dari 1000 km.

Persamaan penjalaran gelombang tsunami ini dikembangkan dari persamaan gerak gelombang linier yaitu gelombang periaran dangkal, dengan

mengabaikan suku gesekan dasar laut. Sedangkan untuk pemodelan run-up

tsunami digunakan persamaan linier dan non-linier, dimana dalam hal ini pengaruh gesekan dasar diperhitungkan (Imamura, 1994). Data input yang digunakan untuk simulasi penjalaran gelombang tsunami adalah data batimetri dan topografi dalam bentuk kedalaman setiap grid dan data hasil simulasi awal gelombang tsunami.

5) Post-processing modelling

Hasil pemodelan tsunami disajikan dalam bentuk gambar peta yang informatif. Hasil pemodelan yang diinterpretasikan hanya pada domain D. Domain di luar domain D tidak diinterpetasikan karena di luar daerah kajian.

Perangkat lunak ArcGIS 9.3 dan Xview digunakan sebagai sarana penyajian

visualisasi model tsunami. Hasil model kemudian di analisis dengan

menggunakan tools pada ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan melalui proses

pengklasifikasian kedalaman rendamana tsunami (flowdepth) dan limpasan


(41)

40

mendapatkan informasi tingkat kerawanan tsunami dari setiap skenario yang telah dibangun.

Klasifikasi flowdepth mengacu pada klasifikasi BMKG dan GITEWS

(2010). Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini ketinggian rendaman tsunami diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu : kelas kerawanan sangat rendah

(< 0,5 m), kelas kerawanan rendah (0,5 – 1,5 m), kelas kerawanan sedang (1,5 –

2,5 m), kelas kerawanan tinggi (2,5 – 5 m) dan kelas kerawanan sangat tinggi (> 5

m). Proses ini seluruhnya dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

ArcGIS. Hasil klasifikasi model tsunami ini merupakan parameter yang menjadi dasar dalam menentukan indeks kerentanan pantai.

3.5.4 Penentuan tingkat risiko tsunami

Analisis kerentanan yang dikaji pada penelitian ini adalah kerentanan

lingkungan pantai dan pesisir terhadap limpasan tsunami (run-up) dan ketinggian

genangan tsunami (flow depth). Parameter yang digunakan untuk menentukan

tingkat kerentanan lingkungan pantai dan pesisir terhadap tsunami adalah : elevasi

daratan (topografi), kemiringan daratan (slope), tata guna lahan/penutupan lahan,

jarak dari garis pantai, jarak dari sungai dan model tsunami.

Dasar pengambilan parameter tersebut ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan melihat parameter penentu tingkat kerentanan di suatu wilayah yang kemudian di modifikasi sesuai dengan konsultasi pakar dan pembimbing berdasarkan kondisi di daerah penelitian. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh


(42)

41

GITEWS (2010), Oktariadi (2009a), Oktariadi (2009b), Sengaji (2009), Hajar (2006) dan Diposaptono dan Budiman (2006).

Setiap parameter memiliki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kerentanan dan risiko bencana tsunami. Pemberian skor dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter, sedangkan pembobot setiap parameter didasarkan pada dominannya suatu parameter terhadap tingkat risiko tsunami. Penentuan bobot dan skor untuk masing-masing parameter dilakukan untuk mengetahui parameter yang dianggap memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat kerentanan pantai. Semakin besar bobot parameter kerentanan pantai terhadap bencana tsunami maka semakin besar kontribusinya terhadap risiko bencana tsunami dan begitupula sebaliknya. Bobot dan skor yang diberikan untuk setiap parameter mengacu pada konsultasi dengan pakar dan penelitian terdahulu. Penjelasan masing-masing parameter dalam menentukan indeks kerentanan pantai adalah sebagai berikut :

1) Model run-up dan flowdepth tsunami

Model tsunami merupakan parameter penting dalam analisis risiko bencana tsunami karena dijadikan sebagai masukan utama dalam parameter kerawanan dan kerentanan pantai terhadap bencana tsunami. Berdasarkan hal tersebut maka bobot parameter ini dalam penentuan indeks kerentanan pantai memiliki bobot yang paling besar yaitu 25% (Sengaji, 2009). Model tsunami yang digunakan untuk menentukan indeks kerentanan pantai adalah model tsunami pada skenario ke-4. Hal ini dikarenakan model skenario ke-4 meupakan model yang dibangun bedasarkan prediksi kejadian kasus terburuk yang kemungkinan terjadi


(43)

42

2) Elevasi daratan (topografi)

Kelas ketinggian daratan menurut Bappeda Kabupaten Ciamis (2004)

adalah 0 – 25 m, 25 – 100 m, 100 – 500 m, 500 – 1000 m, dan > 1000 m. Kelas

ketinggian tersebut tidak digunakan dalam penelitian ini, sehingga dilakukan

klasifikasi ulang menjadi sebagai berikut : < 10 m; 10 – 25 m; 25 – 50 m; 50 –

100 m dan > 100 m. Elevasi daratan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 20% (Hajar, 2006).

3) Kemiringan daratan (slope)

Pengkelasan serta pembobotan kemiringan pantai dalam penelitian ini mengacu pada pembagian kemiringan wilayah Pangandaran oleh Bappeda

Kabupaten Ciamis (2004) yang dimodifikasi yaitu < 2%; 2 – 10%; 10 – 15%; 15 –

40% dan > 40%. Kemiringan daratan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 20% (Sengaji, 2009). Satuan kemiringan daratan yang digunakan pada penelitian

ini adalah dalam persentase (%). Menurut Earth Resource Mapping (2010), nilai

kemiringan 0% megindikasikan daratan berbentuk datar, nilai kemiringan 100%

mengindikasikan kemiringan daratan 45o dan nilai kemiringan 200%

mengindikasikan kemiringan daratan berupa vertikal slope.

4) Jarak dari garis pantai

Tsunami merupakan fenomena alam yang bersifat merusak, sehingga perlu

memperhatikan adanya kawasan penyangga (buffer zone). Pembangunan kawasan

untuk permukimam dan pusat-pusat kegiatan penting tentunya harus

memperhatikan jarak dari garis pantai guna mengurangi risiko tsunami. Acuan

dasar untuk pembuatan jarak (buffer) merujuk pada UU RI No. 27 tahun 2007


(44)

43

(Sengaji, 2009). Selain itu klasifikasi parameter ini merujuk juga pada klasifikasi yang dilakukan oleh GITEWS (2010) dalam membangun peta dasar bahaya tsunami untuk wilayah Pangandaran (Kab. Ciamis). Pada penelitian ini jarak dari

garis pantai diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu 500 m; 500 – 1000 m; 1000

– 1500 m; 1500 – 3000 m dan > 3000 m. Jarak dari garis pantai pada penelitian ini

diberikan bobot sebesar 15%.

5) Jarak dari sungai

Jarak dari sungai merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat risiko tsunami. Tsunami yang memasuki kanal banjir/sungai akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena adanya pemusatan energi tsunami sehingga semakin mendorong tsunami masuk lebih jauh ke daratan. Merujuk pada

permasalahan tersebut maka perlu dilakukan buffer dari sungai. Pada penelitian ini

buffer dari sungai dilakukan pada jarak 100 m; 200 – 300 m; 300 – 500 m dan > 500 m. Jarak dari sungai pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 10% (Hajar, 2006).

6) Bentuk pemanfaatan lahan

Tsunami dapat menyebabkan perubahan tata guna lahan, oleh karena itu perlu penataan ruang dengan baik dalam rangka mengurangi risiko tsunami. Acuan penggunaan lahan pada penelitian ini dibagi berdasarkan klasifikasi Oktariadi (2009a) serta Diposaptono dan Budiman (2006). Bentuk pemanfaatan lahan pada penelitian ini diberikan bobot sebesar 10% (Sengaji, 2009). Lima kelas yang diklasifikasikan pada peneletian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 5.


(45)

44

Tabel 5. Matriks risiko bencana tsunami

No Kriteria Kelas Bobot Skor

1 Model run-up dan flowdepth tsunami skenario ke-4

Kerawanan sangat rendah

25

1

Kerawanan rendah 2

Kerawanan sedang 3

Kerawanan tinggi 4

Kerawanan sangat tinggi 5

2 Elevasi daratan (Topografi)

> 100 m

20

1

50 – 100 m 2

25 – 50 m 3

10 – 25 m 4

< 10 m 5

3 Kemiringan daratan (Slope)

> 45%

20

1

15 – 40% 2

10 – 15% 3

2 – 10% 4

< 2% 5

4 Jarak dari garis pantai

> 3000 m

15

1

1500 – 3000 m 2

1000 – 1500 m 3

500 – 1000 m 4

< 500 m 5

5 Tata guna lahan

Vegetasi darat/Hutan

10

1 Semak belukar, Lahan kosong 2

Ladang/Teggalan 3

Perkebunan, Empang/Tambak,

Danau 4

Permukiman/Lahan terbangun

dan Sawah 5

6 Jarak dari sungai

> 500 m

10

1

300 – 500 m 2

200 – 300 m 3

100 – 200 m 4

< 100 m 5

Sumber : Bappeda Kab. Ciamis (2004); Diposaptono dan Budiman (2006); GITEWS (2010); Hajar (2006); Oktariadi (2009a); Oktariadi (2009b); Sengaji (2009); UU RI No.27 Tahun 2007

Parameter-parameter yang telah di jelaskan di atas merupakan parameter utama dalam kaitannya terhadap tingkat kerentanan bencana tsunami di wilayah pesisir. Selain parameter tersebut, terdapat parameter lain yang tentunya


(46)

45

mempengaruhi tingkat risiko tsunami seperi kemiringan dasar perairan dan morfometri pantai. Kedua parameter tersebut tidak dibobotkan dalam matriks sehingga tidak dioverlay pada pemodelan spasial tingkat risiko tsunami.

Pada penelitian ini kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan tidak dibobotkan kedalam matriks risiko tsunami. Hal ini dikarenakan parameter tersebut sudah terintegrasi di dalam hasil model. Pada dasarnya model tsunami yang dibangun sudah memperhitungkan kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan sehingga proses pembobotanya dilakukan terhadap hasil model.

3.5.5 Analisis tingkat kerentanan pantai

Indeks kerentanan pantai terhadap bencana tsunami ditentukan melalui

fungsi analisis dengan menggunakan metode Cell Base Modeling (CBM). Metode

CBM didasarkan pada proses individu dari tiap sel yang digunakan sebagai sarana untuk menganalisis obyek di atas permukaan bumi. Setiap sel tersebut memuat parameter dan memiliki format data grid. Setiap sel yang dimaksud memiliki nilai tertentu yang besarnya tergantung dari besarnya nilai masing-masing parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan bencana tsunami. Hasil pemodelan tsunami dan parameter-parameter kerentanan lingkungan yang sudah dijabarkan sebelumnya harus dikonversi ke dalam bentuk raster.

Setiap parameter yang sudah berfomat raster direklasifikasi menjadi kelas kerawanan dan kerentanan. Pengelompokan setiap parameter tersebut mengikuti

zonal fuction karena setiap parameter akan mengelompok berdasarkan kesamaan sel tersebut. Sel akan dikodekan berdasarkan kriteria yang membentuk suatu zona. Setiap zona akan memiliki kisaran nilai parameter sebagaimana yang terdapat


(47)

46

pada Tabel 5 di atas. Pengkodean sel (calculation) dilakukan secara otomatis oleh

perangkat lunak ArcGIS.

Pada penelitian ini akan dikelompokan berdasarkan lima kelas (zona) yakni kelas kerentanan sangat tinggi, kerentanan tinggi, kerentanan sedang, kerentanan rendah dan kerentanan sangat rendah. Nilai tiap-tiap kelas didasarkan pada perhitungan dengan rumus model sebagai berikut (Pasek, 2007) :

i i S

B

N ... (15)

dimana, N = total bobot nilai; Bi = bobot pada tiap kriteria dan Si = skor pada tiap

kriteria.

Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum dari tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya, kemudian dibagi dengan jumlah parameter yang digunakan. Secara matematis selang kelas dituliskan dengan rumus sebagai berikut (Pasek, 2007) :

n

S B S

B

L i i max i i min ... (16)

dimana, L = lebar selang kelas; Bi = bobot pada tiap kriteria; Si = skor pada tiap

kriteria (Tabel 5) dan n = jumlah kelas.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, dihasilkan

lebar selang kelas tingkat risiko tsunami sebesar 0,800 dengan nilai Nminimum

sebesar 1 dan nilai Nmaksimum sebesar 5. Nilai tersebut kemudian digunakan dalam

penentukan kelas kerentanan pantai akibat bencana tsunami. Kelas kerentanan sangat rendah (K1) didapat dari 1 ditambah dengan 0,800. Nilai kelas kerentanan rendah (K2) didapat dari selang kelas maksimum K1 yaitu 1,800 ditambah 0,800. Nilai selang kelas kerentanan sedang (K3) didapatkan dari selang maksimum K2 yaitu 2,600 ditambah dengan 0,800. Nilai selang kelas kerentanan tinggi (K4)


(48)

47

didapatkan dari selang maksimum K3 yaitu 3,400 ditambah dengan 0,800. Nilai selang kelas kerentanan sangat tinggi (K5) didapatkan dari selang maksimum K4 yaitu 4,200 ditambah dengan 0,800. Secara singkat selang kelas masing-masing kelas risiko dapat ditetapkan sebagai berikut (Tabel 5) :

Kelas kerentanan sangat rendah (K1) : jika 1,000 ≤ N ≤ 1,800

Kelas kerentanan rendah (K2) : jika 1,801 ≤ N ≤ 2,600

Kelas kerentanan sedang (K3) : jika 2,601 ≤ N ≤ 3,400

Kelas kerentanan tinggi (K4) : jika 3,401 ≤ N ≤ 4,200

Kelas kerentanan sangat tinggi (K5) : jika 4,201 ≤ N ≤ 5,000

Nilai-nilai pada masing-masing kelas seperti yang sudah dijabarkan di atas akan dideskripsikan secara otomatis berupa klasifikasi wilayah pantai dan pesisir Pangandaran berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami. Hasil model yang berhasil dibangun, baik itu model penjalaran gelombang tsunami ataupun model klasifikasi tingkat kerentanan pantai terhadap bencana tsunami untuk wilayah pantai dan pesisir Pangandaran dapat dibuat peta tematiknya.


(49)

48

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Pantai dan Pesisir Pangandaran 4.1.1 Elevasi daratan (Topografi)

Hasil pemetaan topografi daratan menunjukan bawa kondisi topografi pesisir Pangandaran terdiri dari dataran rendah yang luas di sepanjang pantai dan pesisir. Dataran rendah nampak mulai dari Desa Sukaresik sampai Desa Babakan. Hal ini ditandai dengan warna ketinggian rendah yang hampir homogen

disepanjang pesisir daerah tersebut. Dataran rendah pada umumnya membentang dalam radius 1500 m dari garis pantai.

Daerah perbukitan berada di bagian selatan Desa Pangandaran dan

menghadap langsung dengan Samudera Hindia. Pada jarak 500 m dari garis pantai

wilayah ini didominasi oleh ketinggian 25 – 50 m, sedangkan pada jarak 1000 m

dari garis pantai kondisi topografi didominasi oleh ketinggian 50 – 100 m.

Perbukitan yang membentuk tanjung ini merupakan kawasan Cagar Alam. Berdasarkan survei lapang, perbukitan ini merupakan daerah kars

(gamping/kapur). Di area ini banyak ditemukan cekungan-cekungan dan memiliki ketinggian lebih dari 100 m, selain itu daerah ini merupakan pantai berbatu/tebing batu.

Wilayah pantai dan pesisir Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih memiliki topografi yang kompleks mulai dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Wilayah bagian utara-timur Pangandaran merupakan wilayah berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Klasifikasi topografi daratan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 12.


(50)

49

Gambar 12. Kelas elevasi daratan (topografi) wilayah pesisir Pangandaran berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami

Berdasakan hasil pemetaan klasifikasi elevasi daratan menurut matriks risiko tsunami, dapat diketahui bahwa daerah dengan ketinggian daratan kurang dari 10 m memiliki jarak yang sangat dekat dengan laut. Luas area untuk kelas ini

memiliki luas 3.044,92 Ha. Wilayah dengan ketinggian 10 – 25 m memiliki luas

1.979,02 Ha, daerah dengan ketinggian tersebut masih dominan berada di bagian utara Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih (Tabel 6). Daerah yang memiliki topografi lebih tinggi berada pada jarak yang lebih jauh dari garis pantai.

Tabel 6. Luas daerah kelas elevasi daratan (topografi)

No Tingkat kerentanan Kelas elevasi Luas (Ha)

1 Sangat Tinggi 0 – 10 m 3.044,92

2 Tinggi 10 – 25 m 1.979,02

3 Sedang 25 – 50 m 657,34

4 Rendah 50 – 100 m 305,15

5 Sangat Rendah > 100 m 244,35


(51)

50

Mengacu pada Tabel 6 di atas, dapat diketahui bahwa pada umumnya topografi pangandaran memiliki ketinggian kurang dari 10 m. Luas area untuk kelas ini lebih besar dari kelas-kelas yang lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah pantai dan pesisir di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih memiliki tingkat kerentanan tsunami yang sangat tinggi apabila dilihat dari segi elevasi daratannya.

Elevasi daratan yang relatif rendah merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Hal ini menurut Oktariadi (2009b) akan lebih berpotensi untuk terkena limpasan tsunami dalam skala luas di bandingkan daerah yang memiliki topografi lebih tinggi. Rendahnya topografi daratan mempengaruhi seberapa luas masuknya tsunami ke daratan.

4.1.2 Kemiringan daratan (Slope)

Kondisi kemiringan daratan pesisir Pangandaran terdiri dari dataran landai yang luas di sepanjang pantai dan pesisir. Sebaran dataran yang landai tersebut terlihat sama seperti sebaran topografi dimana dataran landai nampak mulai dari Desa Sukaresik sampai Desa Babakan. Daerah dengan kondisi kemiringan daratan yang landai pada umumnya membentang dalam radius 3000 m dari garis pantai.

Daerah yang memiliki kemiringan daratan di atas 2% cenderung dominan di bagian utara mulai dari sebelah timur Desa Sukahurip sampai bagian barat Desa Cikalong. Daratan di atas 2% juga ditemukan di bagian selatan Desa Pangandaran (Tanjung Pangandaran). Daratan yang memiliki kemiringan di atas 2% berada pada jarak lebih dari 3000 m dari garis pantai kecuali untuk bagian selatan Desa


(52)

51

Pangandaran, kemiringan daratan di atas 2% berada pada jarak 500 – 1000 m

(Gambar 13).

Kemiringan daratan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas kurang dari 2 % dengan luas mencapai 4.155,45 Ha. Kelas kemiringan daratan paling rendah berada pada kelas kemiringan daratan lebih besar 40 % dengan luas area hanya 293,78 Ha (Tabel 7). Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa wilayah pantai dan pesisir di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana tsunami apabila dilihat dari segi kemiringan daratannya. Daerah yang memiliki kemiringan landai akan berpotensi mengalami genangan gelombang tsunami lebih jauh ke arah darat. Pada pantai yang terjal atau curam, tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai (Oktariadi, 2009a).

Gambar 13. Kelas kemiringan daratan (slope) wilayah pesisir Pangandaran


(53)

52

Tabel 7. Luas daerah kelas kemiringan daratan (slope)

No Tingkat kerentanan Kelas slope Luas (Ha)

1 Sangat Tinggi 0 – 2% 4.155,45

2 Tinggi 2 – 10% 912,50

3 Sedang 10 – 15% 520,65

4 Rendah 15 – 40% 348,50

5 Sangat Rendah > 40% 293,68

Total 6.230,78

4.1.3 Jarak dari garis pantai

Berdasarkan pengamatan di lapangan pada umumnya sarana-sarana penting seperti permukiman di lokasi penelitian memiliki jarak yang relatif dekat dengan garis pantai. Desa Pangandaran digolongkan sebagai daerah yang paling rentan karena berada pada dataran sempit diantara dua sisi teluk yang saling berhadapan (tanah genting). Desa Pangandaran merupakan lokasi wisata yang terkenal di Kabupaten Ciamis, sehingga tidak heran karena potensi daerahnya tersebut maka daerah ini menjadi kawasan padat penduduk. Masyarakat umumnya menempati bangunan yang sangat dekat dengan garis pantai, yaitu dalam jarak antara 100 m hingga 200 m dari garis pantai. Keadaan ini menjadikan

permukiman di Desa Pangandaran tergolong sangat rentan terkena gelombang tsunami.

Areal permukiman di daerah pesisir Pangandaran semakin lama semakin bertambah banyak dan semakin menjorok ke laut. Berdasarkan hal tersebut maka sangat penting sekali menerapkan penataan ruang yang baik untuk mengurangi risiko tsunami, khususnya di daerah pesisir. Jarak dari garis pantai menunjukan informasi jauh dekatnya suatu wilayah terhadap laut. Daerah yang berada pada jarak kurang dari 500 m dari garis pantai menunjukan daerah yang paling rentan


(54)

53

terhadap tsunami. Semakin dekat suatu wilayah terhadap laut maka semakin tinggi tingkat kerentanan dan risiko wilayah tersebut terkena dampak tsunami (NTHMP, 2001). Kelas jarak dari garis pantai wilayah pesisir Pangandaran diperlihatkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Kelas jarak dari garis pantai wilayah pesisir Pangandaran berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami

4.1.4 Jarak dari sungai

Wilayah Pangandaran yang mencakup Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih merupakan wilayah yang memiliki sungai-sungai besar yang sangat dekat dengan muaranya. Berdasarkan survei lapang dan analisis dari citra satelit Landsat TM diketahui setidaknya terdapat empat buah sungai besar yang melintasi wilayah penelitian. Sungai tersebut adalah Sungai Cikidang bagian barat, Sungai Cikidang bagian timur, Sungai Cikambulan dan Sungai


(55)

54

Sungai Cikidang terletak di sebelah barat dan timur Desa Babakan (Kecamatan Pangandaran) dan bermuara di muara Cikidang. Sungai Cikidang melewati beberapa desa mulai dari Desa Sukahurip, Desa Babakan, bagian utara Desa Wonoharjo, Desa Pananjung dan Desa Pangandaran. Sungai Cikambulan berada di sebelah timur Desa Cikembulan dan Sungai Ciambulungan berada di Desa Sukaresik, kedua sungai ini bermuara di muara Citonjong yang berada di Desa Sukaresik.

Desa Sukaresik, Desa Cikembulan dan bagian timur Desa Pangandaran serta Desa Babakan dapat diklasifikasikan sebagai daerah yang memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi karena di daerah-daerah tersebut terlihat adanya sungai-sungai besar yang dekat dengan muaranya. Sungai-sungai tersebut saling berhadapan antara satu dengan yang lainnya. Kondisi sungai yang demikian akan menyebabkan daerah yang terletak di antara sungai tersebut akan mempunyai tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana tsunami.

Tsunami yang merambat melalui sungai dapat menimbulkan kerusakan yang lebih hebat dari yang diperkirakan. Keadaan ini terjadi karena dengan adanya sungai maka akan semakin mendorong tsunami untuk melintas lebih jauh ke daratan. Pada daerah yang menyempit seperti sungai dan kanal pengendali banjir akan terjadi peningkatan kecepatan dan ketinggian muka air. Hal ini disebabkan debit massa air yang sama harus menjalar melalui celah yang sempit

(

NTHMP, 2001). Berdasarkan hal tersebut maka penempatan daerah aman harus

berada jauh dari sungai yang dekat dengan muarannya. Klasifikasi jarak dari sungai di wilayah penelitian diperlihatka pada Gambar 15.


(56)

55

Gambar 15. Kelas jarak dari sungai wilayah pesisir Pangandaran berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami

4.1.5 Penggunaan lahan (Landuse)

Wilayah pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Wilayah yang bisa dikategorikan rentan tsunami yaitu berdasarkan penggunaan lahannya bagi kepentingan masyarakat yang menempati wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil pemetaan dapat diketahui bahwa tipe penggunaan lahan di wilayah penelitian didominasi oleh vegetasi darat/hutan dan area permukiman. Penggunaan lahan berupa permukiman terlihat berada cukup padat di wilayah pesisir Kecamatan Pangandaran, khususnya Desa Pangandaran dan Desa Babakan (Gambar 16). Hasil survei lapang menunjukan bahwa jenis penutupan lahan untuk wilayah pesisir Pangandaran tidak mengalami banyak perubahan bila


(57)

56

dibandingkan dengan kondisi yang tergambar pada peta penutupan lahan pesisir Pangandaran dari Bappeda tahun 2004.

Jenis penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti permukiman,perkebunan dan sawah memiliki luas area yang cukup luas. Hal ini akan berdampak pada kerugian yang besar apabila gelombang tsunami melanda daerah tersebut. Luas area permukiman mencapai 1.285,50 Ha, keadaan ini menandakan bahwa wilayah pesisir Pangandaran tergolong daerah padat

penduduk. Permukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian jiwa maupun harta benda. Luasan dari masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 8.


(1)

Harvard Moment Tensor Solution

Magnitude 7.7 SOUTH OF JAVA, INDONESIA Monday, July 17, 2006 at 08:19:28 UTC

July 17, 2006, SOUTH OF JAVA, INDONESIA, MW=7.7

[This earthquake has a larger moment and centroid-time shift than would have been predicted from initial reported magnitudes. Its source mechanism may be similar to that of the September 1992, Nicaragua, tsunami earthquake.]

CENTROID, MOMENT TENSOR SOLUTION HARVARD EVENT-FILE NAME M071706A DATA USED: GSN

MANTLE WAVES: 73S,194C, T=150 CENTROID LOCATION:

ORIGIN TIME 08:20:39.1 0.2 Epicenter: -9.295 107.347 DEP 20.4 0.7;HALF-DURATION 50.0 MOMENT TENSOR; SCALE 10**27 D-CM MRR= 1.49 0.01; MTT=-1.21 0.01 MPP=-0.28 0.01; MRT= 3.60 0.14 MRP=-0.90 0.07; MTP= 0.32 0.01 PRINCIPAL AXES:

1.(T) VAL= 4.06;PLG=55;AZM= 13 2.(N) -0.19; 1; 104 3.(P) -3.87; 35; 195 BEST DOUBLE COUPLE:M0=4.0*10**27 NP1:STRIKE=289;DIP=10;SLIP= 95 NP2:STRIKE=104;DIP=80;SLIP= 89

USGS Fast Moment Tensor Solution

06/07/17 08:19:30.73

SOUTH OF JAVA, INDONESIA Epicenter: -9.295 107.347 MW 7.2

USGS MOMENT TENSOR SOLUTION Depth 6 No. of sta: 34 Moment Tensor; Scale 10**19 Nm Mrr= 1.30 Mtt=-1.54 Mpp= 0.23 Mrt= 7.27 Mrp=-3.14 Mtp= 1.01 Principal axes:

T Val= 7.74 Plg=51 Azm= 23 N 0.69 0 113 P -8.43 39 204 Best Double Couple:Mo=8.1*10**19 NP1:Strike=297 Dip= 6 Slip= 93


(2)

136

Lampiran 4. Profil kemiringan dasar perairan Pangandaran untuk setiap titik observasi

a) Sukaresik

Pos 1 Pos 2

Pos 3 b) Cikembulan

Pos 1 Pos 2


(3)

observasi (Lanjutan) c) Wonoharjo

Pos 1 Pos 2

Pos 3 d) Pangandaran

Pos 1 Pos 2


(4)

138

Lampiran 4. Profil kemiringan dasar perairan Pangandaran untuk setiap titik observasi (Lanjutan)

e) Pananjung

Pos 1 Pos 2

f) Babakan

Pos 1 Pos 2


(5)

Bencana Tsunami. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan VELLY ASVALIANTINA.

Wilayah pesisir Pangandaran dikelompokan sebagai daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap bahaya tsunami. Dekatnya jarak pantai terhadap zona Subduksi Jawa (zona pertemuan lempeng tektonik bumi yaitu lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia) dan sejarah tsunami menjadi ancaman kawasan ini terhadap bencana tsunami.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji karakteristik pantai dan pesisir Pangandara, menelaah penjalaran gelombang tsunami menuju pantai dan memprediksi capaian run-up tsunami yang mencapai daratan Pangandaran serta menentukan indeks kerentanan pantai Pangandaran terhadap bencana tsunami.

Lokasi penelitian terletak di wilayah pantai dan pesisir Pangandaran

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, batas koordinat berada pada 7,75o– 7,65o LS dan 108,55o– 108,70o BT. Penelitian ini meliputi identifikasi karakteristik pantai dan pesisir, identifikasi seismisitas, pemodelan tsunami, dan penentuan indeks

kerentanan pantai akibat bencana tsunami. Identifikasi seismisitas ditentukan dengan metode fraktal, pemodelan tsunami dilakukan melalui pemodelan numerik Imamura (1994) yaitu dengan memakai persamaan matematika hidrodinamika gelombang panjang, sedangkan penentuan indeks kerentanan pantai akibat bencana tsunami ditentukan dengan metode Cell Based Modelling (CBM). Secara umum pesisir Pangandaran memiliki karakteristik pantai dan pesisir yang rentan terhadap limpasan gelombang tsunami. Faktor kerentanan yang dimiliki antara lain kondisi topografi rendah dan landai yang luas dan membentang pada jarak 1500 m dari garis pantai, jenis penggunaan lahan berupa permukiman dominan berada dekat dengan laut serta berada diantara sungai-sungai besar (Sungai Ciambulungan, Sungai Cikidang, Sungai Citonjong). Hasil identifikasi seismisitas menunjukan bahwa wilayah bagian timur lepas pantai Pangandaran (koordinat 109o– 110o BT dan 8o– 11o LS) memiliki intensitas kegempaan yang rendah dibandingkan dengan wilayah bagian barat. Keadaan tersebut menjelaskan bahwa wilayah dengan intensitas gempa yang rendah memiliki tingkat stress yang tinggi. Hal ini berarti bahwa wilayah tersebut berpotensi lebih besar terjadi gempa bumi berkekuatan tinggi.

Hasil model penjalaran gelombang tsunami untuk kasus skenario 1 sampai skenario 4 memperlihatkan bahwa waktu tempuh penjalaran gelombang tsunami untuk mencapai daratan Pangandaran memerlukan waktu kurang dari satu jam setelah terjadinya gempa. Semakin dekat sumber gempa terhadap daratan maka waktu tempuh gelombang tsunami semakin cepat. Pada umumnya daerah yang pertama kali terkena limpasan gelombang tsunami adalah Tanjung Pangandaran yang letaknya di bagian paling selatan Pangandaran. Hal ini disebabkan daerah tersebut merupakan daerah yang paling depan dan menjorok ke laut lepas. Daerah yang selanjutnya paling awal terkena gelombang tsunami adalah pesisir barat Pangandaran (Desa Sukaresik) serta pesisir timur Pangandaran (Desa Babakan). Hal ini disebabkan perairan yang berbatasan dengan daerah tersebut memiliki


(6)

kedalaman yang lebih besar dengan kelerengan dasar yang lebih curam jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Hasil model limpasan (run-up) gelombang tsunami untuk kasus skenario 1 sampai skenario 4 memperlihatkan bahwa besarnya kekuatan gempa

menghasilkan limpasan gelombang tsunami yang berbeda-beda. Jarak limpasan tsunami untuk skenario 1 (7,7 SM) berkisar antara 100 – 200 m dari garis pantai, untuk skenario 2 dan 3 (8,5 SM) limpasan tsunami berkisar antara 1000 – 1500 m dari garis pantai, sedangka pada skenario ke 4 (8,9 SM) limpasan tsunami berkisar antara 2000 – 2500 m dari garis pantai. Setiap wilayah memiliki luas limpasan gelombang tsunami yang berbeda-beda. Pada umunya desa-desa yang berada di sepanjang pesisir Kecamatan Pangandaran (Babakan, Pangandaran, Pananjung dan Wonoharjo) serta pesisir Kecamatan Sidamulih (Cikembulan dan Sukaresik) terkena dampak yang paling parah dibandingkan daerah-daerah yang lainnya. Hal ini disebabkan keadaan topografi dan kemiringan daratannya rendah dan landai.

Berdasarkan analisis kerentanan pantai akibat bencana tsunami diketahui zona kerentanan sangat tinggi mencakup Desa Babakan dan Desa Pangandaran (Kecamatan Pangandaran selatan bagian timur) serta Desa Cikembulan

(Kecamatan Sidamulih selatan bagian timur). Zona kerentanan tinggi meliputi Desa Sukaresik (Kecamatan Sidamulih selatan bagian barat) dan Desa Pananjung (Kecamatan Pangandaran selatan bagian barat). Zona kerentanan sedang berada di Desa Wonoharjo (Kecamatan Pangandaran selatan bagian barat). Zona kerentanan rendah dan sangat rendah berada cukup jauh dari garis pantai, dimana wilayahnya tidak berbatasan langsung dengan laut. Zona ini meliputi Desa Cikalong, Desa Sidamulih, Desa Pejanten, Desa Sidomulyo, Desa Purbahayu dan Desa Sukahurip. Secara keluruhan, Desa Pangandaran yang terletak di bagian daratan yang

menghubungkan daratan Pulau Jawa dengan Tanjung Pangandaran (tanah genting) di tempatkan sebagai zona yang paling berbahaya. Hal ini disebabkan karena karakteristik daerah tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kerentanan bahaya tsunami mulai dari daerah dengan permukiman terpadat, daerah yang sangat dekat dengan laut dan kondisi topografinya rendah dan landai.