4.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung di lokasi penelitian, yakni dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung dengan
berbagai pihak yang terkait di sekitar lokasi penelitian dan juga pihak atau instansi terkait dengan penelitian mengenai proyek pengembangan reaktor biogas. Selain
itu, data juga dikumpulkan melalui penelurusan pustaka ataupun literatur di perpustakaan IPB, instansi terkait dan media internet.
Populasi dari penelitian ini merupakan peternak sapi perah berskala usaha besar dan memiliki satu unit reaktor biogas dengan skala 7 m
3
yang berjumlah lima orang. Pengumpulan data pun dilakukan dengan menghitung seluruh
populasi yang ada atau dengan metode sensus complete enumeration.
4.4. Metode Pengolahan Data
Data serta informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2007. Data dan
informasi tersebut sebelumnya dikelompokan kedalam biaya dan manfaat, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya, serta lingkungan. Untuk
mengetahui apakah usaha peternakan tersebut layak atau tidak secara non- finansial. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kelayakan usaha
peternakan sapi perah dengan pemanfaatan biogas secara finansial, yakni dengan melakukan perhitungan kriteria investasi.
4.5. Definisi Operasional
4.5.1. Analisis Kelayakan Non Finansial
Penelitian ini akan membahas kelayakan usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan biogas secara non finansial. Analisis non finansial mencakup
aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya serta lingkungan. Aspek pasar akan mengkaji pemasaran dari produk yang dihasilkan
oleh usaha peternakan skala besar, dengan menganalisis jumlah permintaan dan
penawaran. Aspek teknis akan membahas mengenai prosedur produksi susu segar seperti pemerahan susu, pemberian pakan hingga proses pembuatan biogas. Aspek
manajemen dan hukum akan membahas mengenai bentuk usaha dari peternakan, jumlah pekerja, pemilik usaha, susunan organisasi usaha hingga pembagian tugas
masing-masing pekerja. Aspek sosial-ekonomi-budaya akan mengkaji dampak dari adanya usaha peternakan terhadap masyarakat sekitar, apakah usaha
peternakan mampu membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar atau tidak. Aspek terakhir adalah lingkungan dimana akan
dikaji dampak usaha peternakan sapi perah bagi kondisi dan kelestarian lingkungan di sekitar lokasi usaha peternakan.
4.5.2. Analisis Kelayakan Finansial
Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan secara finansial untuk mengetahui kelayakan usaha secara privat, dalam hal ini
kelayakan yang dilihat dari sudut pandang individu atau pelaku usaha peternakan. Perhitungan secara finansial ini menggunakan komponen biaya dan manfaat untuk
memudahkan pengelompokkan kedua bagian tersebut dan juga menggunakan kriteria investasi untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha secara kuantitatif.
4.5.3. Komponen Biaya dan Manfaat
Analisis dilakukan dengan mengelompokkan data yang didapat kedalam komponen biaya dan manfaat. Komponen biaya adalah segala bentuk pengeluaran
yang dilakukan oleh usaha peternakan sapi perah yang memanfaatkan biogas. Pengeluaran ini terdiri dari beberapa bagian yaitu biaya investasi, biaya tetap, dan
biaya variabel. Sedangkan yang termasuk kedalam komponen manfaat adalah segala bentuk pemasukan yang berasal dari produksi, baik itu berupa produk
langsung seperti susu segar ataupun produk pendukung seperti biogas dan limbah biogas.
4.5.4. Kriteria Investasi
Menurut Nurmalina, dkk 2009 metode yang dapat dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, atau yang biasa disebut dengan kriteria
investasi, yaitu : 1.
Net Present Value NPV Net Present Value NPV
dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Secara matematis,
perhitungan NPV dapat dirumuskan sebagai berikut :
NPV = ∑
Keterangan : NPV = Net Present Value Rp
Bt = Benefit
atau manfaat pada tahun ke-t Ct =
Cost atau biaya pada tahun ke-t
i = Suku Bunga yang digunakan
t = Tahun ke-
2. Internal Rate of Return IRR
Internal Rate of Return IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat
dibayar oleh suatu usaha untuk sumberdaya yang digunakan, karena usaha tersebut memerlukan dana untuk pemenuhan biaya-biaya operasi dan
investasi dari usaha baru sampai tingkat pengembalian modal. Secara matematis, perhitungan IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
IRR NPV
NPV NPV
Keterangan : IRR =
Internal Rate of Return i
1
= Suku Bunga yang menghasilkan NPV positif i
2
= Suku Bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV
1
= NPV positif NPV
2
= NPV negatif
3. Net Benefit Cost Ratio Net BC Ratio
Rasio ini diperoleh dengan membagi nilai sekarang arus manfaat PV dengan nilai sekarang arus biaya, yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan
antara jumlah biaya yang dikeluarkan pada suatu usaha terhadap manfaat yang akan diperolehnya. Secara matematis, perhitungan Net BC Ratio dapat
dirumuskan sebagai berikut : Net BC
∑ ∑
Bt Ct Bt Ct
Keterangan : Net BC = Net Benefit Cost Ratio
Bt = Benefit
atau manfaat pada tahun ke-t Ct =
Cost atau biaya pada tahun ke-t
i = Suku Bunga yang digunakan
t = tahun ke-1 sampai tahun ke-15
4. Payback Period PP
Payback Period adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Perhitungan Payback Period
secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Discounted
I
Tahun
Keterangan : I = Nilai Investasi
Ab = Kas Masuk Bersih yang telah di diskonto 5.
Perhitungan Incremental Net Benefit Perhitungan incremental net benefit dilakukan untuk mengetahui besarnya
manfaat yang diperoleh pada usaha peternakan sapi perah skala besar, ketika limbah yang dihasilkan oleh ternak sapi perah dimanfaatkan untuk
menghasilkan biogas. Perhitungan secara matematis dari incremental net benefit
adalah sebagai berikut :
Incremental Net Benefit = Manfaat bersih dengan bisnis - Manfaat bersih tanpa bisnis
Usaha dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dikatakan layak ketika perhitungan kriteria investasi dengan menggunakan nilai
incremental net benefit menunjukkan tingkat layak, yakni NPV 0, IRR
≥ discount rate
, Net BC ≥ 1 serta Payback Periode kurang dari umur usaha.
6. Perhitungan Risiko dengan Analisis Skenario
Analisis ini dilakukan untuk melihat tingkat risiko dari usaha peternakan yang memanfaatkan biogas apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
terdapat pada usaha. Perhitungan risiko dilakukan dengan menggunakan tiga skenario kondisi, yakni skenario terbaik tertinggi, skenario terburuk
terendah, dan skenario normal pada dua variabel utama yang mempengaruhi usaha peternakan skala besar yaitu variabel harga jual susu segar dan jumlah
produksi susu segar. Nilai-nilai variabel dalam skenario terburuk dipergunakan untuk memperoleh
NPV terburuk, nilai-nilai dalam skenario terbaik dipergunakan untuk memperoleh NPV terbaik, serta nilai-nilai dalam skenario dasar atau normal
yang paling memungkinkan untuk memperoleh NPV normal. Dengan nilai NPV berdasarkan ketiga skenario tersebut, dapat dilakukan perhitungan
mengenai : a
NPV yang diharapkan NPV yang diharapkan [E NPV] merupakan suatu nilai yang
diharapkan oleh pelaku usaha dari suatu investasi yang ditanamkan pada usaha tersebut. Perhitungan NPV yang diharapkan dapat
dirumuskan sebagai berikut : E NPV
Pi NPVi Keterangan :
E NPV = NPV yang diharapkan
Pi = Probabilitas terjadinya ketiga skenario
NPVi = NPV dari setiap skenario
b Standar Deviasi σ
NPV
Standar deviasi merupakan ukuran satuan risiko terkecil yang menggambarkan penyimpangan yang terjadi dari suatu proyek
investasi. Standar deviasi memiliki makna bahwa semakin kecil nilai standar deviasi maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam
kegiatan usaha. Perhitungan standar deviasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
σ
NPV
∑ Pi NPVi E NPV Keterangan :
σ
NPV
= Standar Deviasi Pi
= Probabilitas terjadinya ketiga skenario NPVi
= NPV dari setiap skenario E NPV
= NPV yang diharapkan c
Koefisien Variasi CV
NPV
Koefisien variasi juga merupakan alat untuk mengukur tingkat risiko yang dihadapi, dimana pengambil keputusan dapat memilih alternatif
dari beberapa kegiatan usaha yang dijalankan dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi di setiap usaha untuk setiap
return yang diperoleh. Semakin kecil niali koefisien variasi maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Perhitungan koefisien variasi
dapat dirumuskan sebagai berikut : CV
NPV
σ
NPV
E NPV Keterangan :
CV
NPV
= Koefisien Variasi E NPV
= NPV yang diharapkan σ
NPV
= Standar Deviasi Perhitungan terhadap setiap skenario dilakukan dengan menggunakan data
harga jual susu dan jumlah produksi dari ketiga skenario yang ada, dengan menggunakan time frame dua tahun yakni dimulai dari para peternak yang
tergabung kedalam KUD Giri Tani memasarkan susu segar ke Cimory serta
saat peternak mulai memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk menghasilkan biogas.
4.5.5. Asumsi Dasar
Analisis kelayakan usaha peternakan sapi perah skala besar dengan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas, menggunakan asumsi :
1. Seluruh modal yang digunakan dalam usaha peternakan sapi perah adalah
modal sendiri. 2.
Reaktor biogas yang digunakan merupakan bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga peternak tidak mengeluarkan biaya dalam
pembangunannya. Namun, pada perhitungan secara finansial, reaktor biogas dimasukkan kedalam komponen biaya dengan memperhitungkan nilai
opportunity cost .
3. Data yang digunakan dalam analisis merupakan data rata-rata yang
didapatkan dari lima orang peternak yang menjadi responden pada penelitian 4.
Harga seluruh peralatan dan biaya-biaya yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari survei lapang kepada pihak KUD Giri Tani, Cimory,
Kementrian Lingkungan Hidup, serta peternak dimana digunakan harga yang berlaku saat penelitian dilakukan, yakni Desember 2009 – Februari 2010.
5. Umur teknis dari proyek ditetapkan selama 15 tahun. Umur ini ditetapkan
berdasarkan umur teknis kandang. 6.
Harga seluruh input dan output yang digunakan dalam analisis ini adalah konstan, yang berlaku pada akhir tahun 2009 hingga awal tahun 2010.
7. Dalam satu bulan diasumsikan 30 hari dan satu tahun 12 bulan.
8. Tanah merupakan modal investasi yang diperlukan sebagai tempat,
pembuatan kandang, gudang, dan pembangunan reaktor biogas. Maka dalam perhitungan perlu diperkirakan harga jual tanah yaitu Rp 100.000,00m
2
. 9.
Pembangunan kandang dan reaktor biogas dilakukan pada tiga bulan pertama di tahun pertama usaha dijalankan. Biaya tetap dan operasional pada tahun
pertama diasumsikan dikeluarkan, pada bulan ke-4 dimana produksi dimulai, namun belum mencapai titik optimal.
10. Output yang dihasilkan diasumsikan laku terjual dan habis terpakai dalam
satu tahun, baik susu segar, biogas, dan limbah biogas sludge. 11.
Produksi susu segar yang dihasilkan oleh laktasi pada tahun pertama telah optimal. Sapi dara baru menghasilkan pada tahun ke-2, dimana selanjutnya
disebut sebagai sapi laktasi. 12.
Limbah sisa biogas yang dihasilkan tidak mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi pupuk organik.
13. Biogas yang dihasilkan dikonversikan dari jumlah penggunaan elpiji sebelum
dan sesudah pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas, dimana elpiji yang digunakan adalah tabung 3 kg dengan harga jual Rp 5.000,00 per kilogram.
14. Diasumsikan limbah biogas yang dihasilkan adalah sebesar 70 dari total
kotoran ternak yang menjadi input biogas. 15.
Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, pembelian sapi laktasi betina dewasa yang pernah melahirkan adalah Rp 15.000.000,00, sapi dara belum
pernah melahirkan Rp 11.000.000,00, sapi jantan dewasa Rp 10.000.000,00. Sedangkan harga penjualan pedet anak sapi adalah Rp 5.000.000,00, dimana
diasumsikan umur pedet yang dijual 2 bulan. 16.
Diasumsikan awal investasi, sapi dara dibeli pada umur 1 tahun dan belum pernah melahirkan, sapi laktasi dibeli pada umur dua tahun atau pada laktasi
ke-1, sedangkan sapi jantan dibeli pada umur 1 tahun. 17.
Diasumsikan setiap tahun seluruh sapi betina melahirkan satu ekor anak sapi pedet.
18. Umur optimal produktivitas sapi perah betina sampai pada umur 6 tahun atau
setelah laktasi ke-5, lebih dari itu sapi dianggap telah afkir dan kemudian dijual dengan harga Rp 5.000.000,00. Demikian halnya pada sapi jantan.
19. Susu segar yang dipasarkan melalui KUD Giri Tani kepada Cimory, dengan
harga jual Rp 3.900,00 per kilogram. 20.
Pengkonversian satuan liter susu ke kilogram susu adalah dengan asumsi berat jenis susu 1,0135 KgL, sehingga setiap 1 liter susu sama dengan 1,0135
kilogram susu. 21.
Penyusutan investasi dihitung berdasarkan metode garis lurus.
22. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga deposito rata-rata dari
34 bank yang ada di Indonesia, yang berlaku pada saat penelitian dilaksanakan, yaitu sebesar 6,99 per 12 bulan dan diasumsikan konstan.
23. Pajak pendapatan yang digunakan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 36 tahun 2008, pasal 17 ayat 2 a, yang merupakan perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan,
yaitu : Pasal 17 ayat 1 b.
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28 dua puluh delapan persen.
Pasal 17 ayat 2 a. Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b menjadi 25 dua puluh
lima persen yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
V GAMBARAN UMUM USAHA
5.1. Gambaran Umum KUD Giri Tani
5.1.1. Sejarah dan Perkembangan KUD Giri Tani
KUD Giri Tani didirikan pada tanggal 26 maret 1973 oleh Alm. H. Dulbari, yang menjabat sebagai Kepala Desa Tugu Selatan pada saat itu. Secara
geografis KUD Giri Tani berada di kaki Gunung Pangrango dengan ketinggian ± 1000 meter dpl. Kantor sekretariat dari koperasi ini terletak di Kampung Baru
Tegal, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Gambar 5.
Gambar 5. KUD Giri Tani
Hasil produksi susu dari peternakan yang menjadi anggota koperasi mulai dipasarkan secara langsung ke PT. Indomilk pada tahun 1990. Saat itu susu yang
dipasarkan berjumlah 3000 liter. Namun, pada tahun 1997, KUD Giri Tani memindahkan seluruh produksi susunya ke PT. Diamond Cold Storage, yang
bertempat di Daerah Ibu Kota Jakarta. Pada akhir tahun 2005 KUD Giri Tani memiliki terobosan baru, dengan menerima tawaran kerjasama dari PT. Cisarua
Mountain Dairy Cimory yang terletak di Jalan Raya Puncak Leuwimalang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
5.1.2. Struktur Organisasi
Struktur organisasi yang dimiliki KUD Giri Tani bertujuan agar koperasi ini dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dimana struktur organisasi ini terdiri
dari pengurus-pengurus koperasi yang terpilih melalui Rapat Umum Anggota. Susunan kepengurusan KUD Giri Tani dalam satu periodenya berlaku untuk masa
bakti lima tahun. Kepengurusan untuk periode saat ini, yaitu masa bakti 2006- 2011 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Organisasi KUD Giri Tani
Berdasarkan bagan tersebut dapat terlihat bahwa, struktur kepengurusan KUD Giri Tani terdiri dari ketua yang dijabat oleh Heru Susanto, SE dan dibantu oleh
Bendahara dan Sekretaris yang masing-masing dijabat oleh H. Bunyamin dan Cipto Budi Utomo. Selain itu, dibantu pula oleh bagian kasir, kredit, dan
administrasi umum. KUD Giri Tani memiliki beberapa unit usaha, diantaranya adalah :
1. Unit Persusuan
Unit ini bertugas untuk menerima dan mengirim susu dari peternak anggota KUD Giri Tani. Susu yang telah diterima kemudian di uji secara klinis melalui
Badan Pengawas
Ketua H. Ilyas
H. Deden H. Makmur
Ketua Heru
Unit Persusuan
Maman Mamduh
Junaedi H.
Karomujid Unit Pakan
Ternak M.
Yusuf Saepdin
Syamsia h
Unit Pelayanan Keswan IB
Agus Unit Simpan
Pinjam Unit Pengolahan
Susu Nana
Yayat Endang
Yuyun Unit Pengolahan
Limbah Bendahara
H. Bunyamin H. Marwan
Sekretaris Cipto Budi Utomo
Bagian Kasir Hj. Nunuy
Bagian Kredit Ahmad
Bagian Administrasi Umum
Dede
uji alkohol 70 , uji berat jenis, uji karbonat, dan uji rasa. Setelah itu, susu yang lolos uji dikirim ke PT. Cisarua Mountain Dairy Cimory.
2. Unit Pakan Ternak
Unit pakan ternak bertugas menyediakan dan menyalurkan pakan ternak ke anggota maupun masyarakat, hal itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pakan ternak sehari-hari. Pakan ternak yang kurang baik kualitasnya akan mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan.
3. Unit Pelayanan Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan
Unit ini bertugas memberikan pelayanan kesehatan hewan serta inseminasi buatan kepada ternak yang dimiliki para anggota. Selain itu, unit ini juga
menyediakan obat-obatan yang diperlukan oleh ternak, seperti : antibiotik, analgetic, anthisitamin, obat cacing, obat kering kandang, vitamin, dan
desinfektan. 4.
Unit Simpan Pinjam Unit simpan pinjam berperan sebagai sarana pendukung permodalan bagi
anggota KUD Giri Tani yang bersifat berjangka. Dana yang disalurkan berasal dari simpanan anggota dan pihak perbankan.
5. Unit Pengolahan Susu
Unit ini didirikan atas bantuan dan binaan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Ditjen P2HP, Departemen Pertanian Republik
Indonesia Deptan RI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LPPM IPB serta Dinas Peternakan Disnakkan Kabupaten Bogor. Pada unit
ini, dilakukan pengolahan susu segar menjadi produk turunan, yaitu yoghurt dengan nama jual Puncak Milk. Hingga saat ini, pemasaran yoghurt telah
dilakukan ke beberapa wilayah, seperti : Cibinong, Citeureup, Caringin, serta Kota Bogor.
6. Unit Pengolahan Limbah
Unit pengolahan limbah didirikan dengan tujuan mengatasi permasalahan limbah yang kerap kali dialami peternak anggota. Pada unit ini dilakukan
pengolahan lebih lanjut dari limbah ternak menjadi pupuk organik, yang kemudian dijual kepada masyarakat umum.
5.2. Gambaran Umum Kecamatan Cisarua
KUD Giri Tani, yang menjadi objek penelitian, terdapat di Kecamatan Cisarua, yang merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor
Jawa Barat. Kecamatan ini terletak 650 – 1400 meter dari permukaan laut, dengan letak geografis 06
○
42
΄
LS dan 106
○
56
΄
. Kecamatan Cisarua terletak di daerah pegunungan, sehingga memiliki suhu yang relatif rendah, yaitu suhu minimum
17,17
○
C dan suhu maksimum 23,91
○
C. Curah hujan di wilayah ini pun tergolong tinggi, yaitu mencapai 3178 mmt dengan jumlah hari dengan curah hujan
terbanyak mencapai 40 hari. Berdasarkan kondisi fisik, suhu, serta curah hujan tersebut, Kecamatan Cisarua sesuai digunakan sebagai kawasan peternakan sapi
perah. Kecamatan Cisarua memiliki luas wilayah sebesar 5374,17 Ha. Dari luas
wilayah tersebut sebanyak 264 Ha digunakan sebagai tanah sawah, 1073 Ha digunakan sebagai tanah kering, 713,60 Ha sebagai hutan heterogen, 2004,1 Ha
sebagai wilayah perkebunan baik perkebunan negara atau perkebunan milik swasta, serta sebanyak 1296 Ha dimanfaatkan sebagai fasilitas umum, seperti
pemukiman dan tanah makam. Jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua mencapai 113.710 orang, yang
mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Mayoritas mata pencaharian penduduk di kecamatan ini adalah sebagai petani, pedagang, dan perkebunan yang masing-
masing berjumlah 12.431, 5.782, dan 2.258 orang. Kecamatan Cisarua memiliki Sembilan buah desa dan satu kelurahan, yaitu Kelurahan Cisarua, Desa Tugu
Selatan, Desa Tugu Utara, Desa Batulayang, Desa Cibeureum, Desa Citeko, Desa Kopo, Desa Leuwimalang, Desa Jogjogan, dan Desa Cilember.
Namun, Desa yang tergabung di KUD Giri Tani hanyalah dua desa, yaitu Desa Tugu Selatan dan Desa Cibeureum. Desa tersebut memiliki reaktor biogas
yang memiliki skala bervariasi, yaitu 5, 7, dan 17 meter
3
.
5.2.1. Desa Cibeureum
Desa Cibeureum memiliki luas wilayah sebesar 1.128,62 Ha, dengan ketinggian 925 m dari permukaan laut. Ketinggian tersebut mempengaruhi suhu
dari desa ini, yang berada 18
○
C pada titik minimum dan 22
○
C pada titik
maksimum. Curah hujan dari desa ini mencapai 90-100 milimeterhari dan 2600- 4600 milimeter pertahun.
Batas wilayah dari Desa Cibeureum adalah : • Utara : Kelurahan Cisarua dan Desa Batu Layang
• Timur : Desa Tugu Selatan • Selatan : Kabupaten Cianjur
• Barat : Desa Citeko
Pemanfaatan lahan dari Desa Cibeureum mayoritas digunakan sebagai kebunladangtegalan yaitu sebesar 169, 12 Ha, pemukiman sebesar 101 Ha,
sawah sebesar 2 Ha, dan sisanya digunakan sebagai fasiltas umum, seperti sarana pendidikan, perkuburan, dan peribadatan.
Jumlah penduduk dari desa ini sebanyak 14.163 orang, yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, buruh tani dan pegawai swasta,
dengan jumlah masing-masing 1.733, 813 dan 751 orang. Desa Cibeureum memiliki tiga kelompok peternak yang merupakan
anggota KUD Giri Tani, yaitu Kelompok Peternak Baru Tegal, Kelompok Peternak Baru Sireum dan Kelompok Peternak Bina Warga. Setiap kelompok
ternak tersebut telah mendapatkan bantuan biogas.
5.2.2. Desa Tugu Selatan
Desa Tugu Selatan memilih luas wilayah 1.712,616 Ha, yang antara lain dimanfaatkan sebagai pemukimanperumahan, pekarangan, pervilaan,
perladangan, pertokoanperdagangan, tegalan, empang, pekuburan, tanah wakaf, jalan desa, sekolah, jalur hijau, perkebunan negara yang masing-masing seluas
177,200; 425,606; 531,118; 50; 5; 21,265; 1,940; 10,160; 0, 560; 2,460; 0, 960; 32,215; dan 454,132 Hektar.
Desa yang terletak di Kecamatan Cisarua ini, berbatasan langsung dengan: • Utara : Desa Tugu Utara
• Timur : Kabupaten Cianjur • Selatan : Kabupaten Cianjur
• Barat : Desa Cibeureum
Desa Tugu Selatan berada terletak di daerah dengan relief perbukitan atau pegunungan, yaitu dengan ketinggian 1000 - 1025 meter dari permukaan laut.
Curah hujan setiap tahunnya mencapai 33 mm dengan tingkat suhu rata-rata harian yaitu 20-24
C. Jumlah penduduk Desa Tugu Sekatan berjumlah 15.192 orang, dengan
jumlah Kepala Keluarga sebanyak 3.898 KK. Mayoritas mata pencaharian penduduk desa adalah sebagai pertukangan 865 orang, Buruh tani 670, serta
pegawai swasta 640 orang. Sedangkan sisanya memiliki jenis pekerjaan yang bervariasi, seperti PNS, petani, pedagang, dan pensiunan.
5.3. Gambaran Umum Kecamatan Megamendung
Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor merupakan salah satu kecamatan dimana para peternak sapi perah nya menjadi anggota KUD Giri Tani.
Kecamatan ini terletak di wilayah pembangunan Bogor Selatan. Dengan luas wilayah sebesar 5350,1 Ha, yang digunakan untuk persawahan 663 Ha, lahan
kering 1697 Ha, lahan basah 25 Ha, hutan 1.200 Ha, perkebunan 10.18 Ha serta fasilitas umum 8 Ha dan pemakaman 17,5 Ha.
Kecamatan Megamendung memiliki batasan-batasan wilayah sebagai berikut :
• Selatan : Kecamatan Sukaraja
• Utara : Kecamatan Ciawi
• Barat : Kecamatan Ciawi
• Timur : Kecamatan Cisarua
Relief dari kecamatan ini adalah dataran rendah, berbukit, bergunung- gunung dengan kemiringan 21 derajat dan ketinggian 650-1.100 meter diatas
permukaan laut. Kecamatan Megamendung memiliki curah hujan sebanyak 3.178,8 mm per tahunnya dan kelembaban suhu rata-rata yang mencapai 17,8
o
C sampai dengan 23,91
o
C. Dengan kondisi tersebut, wilayah ini pun sesuai untuk dijadikan tempat usaha peternakan sapi perah.
Jumlah penduduk Kecamatan Megamendung berjumlah 91.106 orang dan sebanyak 33.745 orang merupakan angkatan kerja yang produktif dengan mata
pencaharian utama bertani, yang terbagi kedalam tiga bagian yaitu sebagai
pemilik tanah 1.268 orang, petani penggarap 5.154 orang dan buruh tani 1.190 orang. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang pun cukup banyak
jumlahnya, yaitu mencapai 3.046 orang. Sedangkan, penduduk lainnya bermata pencaharian sebagai pengusaha, buruh, pengrajin, PNS, pengemudi, TNIPOLRI,
dan anggota DPRDPRD. Kecamatan Megamendung memiliki 11 desa yang tersebar di seluruh
wilayahnya, yaitu : Desa Cipayung Datar, Cipayung Girang, Gadog, Kuta, Megamendung, Sukagalih, Sukakarya, Sukamahi, Sukamaju, Sukamanah
,
dan Sukaresmi. Namun, peternak di kecamatan ini yang menjadi anggota KUD Giri
Tani serta mendapatkan bantuan reaktor biogas, hanya berada di Desa Cipayung.
5.3.1. Desa Cipayung
Desa Cipayung memiliki luas wilayah sebesar 775 Ha, dengan ketinggian yang berkisar antara 550 sampai dengan 600 meter diatas permukaan laut. Desa
ini memiliki suhu yang berkisar antara 23
o
C sampai dengan 27
o
C. Kondisi relief dari Desa Cipayung terdiri dari 45 dataran dan 55 perbukitan.
Batas wilayah dari Desa Cipayung adalah : • Selatan
: Desa Gadog dan Desa Kopo • Utara
: Desa Gunung Geulis • Barat
: Desa Pandansari dan Desa Cibanon • Timur
: Desa Cipayung Girang Penggunaan lahan Desa Cipayung terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu
digunakan sebagai sawah, pemukiman, pekarangan, tegal, dan ladang yang masing-masing seluas 0,150; 271,025; 0,007; 17; dan 217 Hektar. Sedangkan
sisanya digunakan sebagai fasilitas umum seperti pemakaman. Jumlah penduduk Desa Cipayung berjumlah 22.955 orang, dengan total
penduduk laki-laki sebanyak 11.784 orang dan penduduk perempuan sebanyak 11.171 orang. Berdasarkan mata pencahariannya, sebanyak 580 orang bekerja
sebagai pedagang,
b
uruh bangunan sebanyak 521 orang, petani penggarap sebanyak 210 orang, dan sisanya memiliki pekerjaan yang bervariasi seperti
sebagai pengemudi, pegawai sipil, pengusaha, dan lain sebagainya.
Kelompok peternak di desa ini yang bergabung dengan KUD Giri Tani, berjumlah satu kelompok, yaitu Kelompok Peternak Mekar Jaya, yang diketuai
oleh Bapak Musriyanto. Kelompok peternak ini pun telah menerima bantuan reaktor biogas untuk mengatasi permasalahan limbah ternak.
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Aspek Non Finansial
Analisis mengenai aspek non finansial, dilakukan untuk mengetahui sejauh mana usaha peternakan sapi perah yang memanfaatkan kotoran ternak
sebagai penghasil biogas di KUD Giri Tani, Kecamatan Cisarua dan Megamendung layak untuk dilaksanakan. Aspek non finansial yang akan dikaji
lebih dalam antara lain adalah aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial- ekonomi-budaya, serta lingkungan.
6.1.1. Aspek Pasar
Aspek pasar memegang peranan penting dalam menentukan kelayakan suatu usaha. Hal ini disebabkan, aspek pasar menganalisis pemasaran dari output
yang dihasilkan. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai komponen- komponen dari aspek pasar :
1. Permintaan dan penawaran
Konsumen tunggal dari produk yang dihasilkan oleh peternak adalah Cimory. Permintaan susu segar dari Cimory, mencapai 10 ton per hari atau jika
dikonversi ke dalam satuan liter maka kebutuhan Cimory mencapai 9866,79 liter per hari. Untuk memenuhi keseluruhan permintaan tersebut, Cimory memasok
susu dari KUD Giri Tani, dimana terdapat kesepakatan antara Cimory dan KUD Giri Tani bahwa seluruh susu yang dihasilkan oleh KUD Giri Tani akan diserap
oleh Cimory. Namun, kebutuhan susu sebanyak 10 tonhari tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh KUD Giri Tani, yang rata-rata hanya dapat memenuhi
60 dari kebutuhan. Sehingga, Cimory memenuhi 40 kebutuhan lainnya dari para peternak yang berada di kawasan Cipanas dan Sukabumi yang masing-
masing mampu memenuhi 20 dari kebutuhan susu. Penawaran rata-rata yang mampu dihasilkan oleh KUD Giri Tani adalah
sebanyak 6 tonhari atau 6000 kg susu segar. Sedangkan peternak skala besar yang ada, rata-rata hanya mampu menghasilkan 805 Lhari atau sama dengan 815,87
kghari. Sehingga, para peternak skala besar mampu menawarkan sebanyak 13 susu segar kepada Cimory dari keseluruhan permintaan susu yang ada setiap
harinya. Dengan mengetahui jumlah permintaan dan penawaran tersebut, dapat diketahui pula market share dari peternak serta KUD Giri Tani.
Market share menunjukkan proporsi penjualan suatu usaha terhadap
penjualan industri secara keseluruhan Solihin, 2007, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
∑ Sales Revenue output usaha pada tahun t ∑ Sales Revenue output industri pada tahun t
Berdasarkan perumusan tersebut, market share dari KUD Giri tani, dengan asumsi harga jual susu per kilogram Rp 3.900,00, dan diasumsikan konstan
selama tahun 2010 maka : KUD Giri Tani
. kg X Rp. .
X hariX bulan .
kg X Rp. . X
hari X bulan Rp .
. .
, Rp .
. .
,
Dalam satu tahun, proporsi penjualan susu segar dari KUD Giri Tani ke Cimory mencapai 60 dari total industri. Sedangkan, market share dari peternak
skala besar adalah : Peternak
, kg X Rp. . X hari X bulan
. kg X Rp. .
X hari X bulan
Rp . .
. ,
Rp . .
. ,
, Market share
yang diterima peternak skala besar setiap tahunnya adalah sebesar 8,27 dari keseluruhan industri.
Untuk produk sampingan berupa biogas, permintaan dan penawaran utama berasal dari rumah tangga peternak. Hal ini disebabkan, biogas yang dihasilkan
diperuntukkan untuk skala rumah tangga. Dalam satu bulan jumlah biogas yang dapat dihasilkan setara dengan 96,6 kilogram gas elpiji. Jumlah tersebut mampu
memenuhi kebutuhan peternak dalam hal kebutuhan akan energi, khususnya
energi berupa gas. Sebelum melakukan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas, para peternak menggunakan gas elpiji ukuran 3 kg. Namun, saat ini
penggunaan gas elpiji dapat digantikan oleh biogas. Oleh karena itu, dengan pemanfaatan biogas ini, penerimaan yang diterima oleh peternak dalam
menjalankan usahanya mengalami peningkatan. Produk sampingan lain yang dihasilkan oleh usaha peternakan sapi perah
berupa limbah biogas sludge. Dalam satu harinya limbah yang dihasilkan dari proses produksi biogas mencapai 70 dari total keseluruhan kotoran ternak yang
digunakan sebagai input biogas. Jumlah kotoran yang digunakan sebagai input adalah sebesar 450 kg, Sehingga jumlah limbah biogas yang dihasilkan adalah
sebanyak 315 kg per harinya. Limbah biogas yang dihasilkan ini tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Proses pemasaran dilakukan ke masyarakat sekitar
yang datang langsung ke usaha peternakan, dan juga ke perkebunan bunga yang juga terdapat di Kecamatan Cisarua, dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 175,00
per kilogram. Limbah ini dijual dengan menggunakan karung yang berkapasitas 35-40 kilogram. Jumlah limbah yang dijual ke perkebunan dan ke masyarakat
sekitar setiap harinya, rata-rata sebanyak tujuh dan satu karung. 2.
Pemasaran output Output yang dihasilkan oleh usaha peternakan sapi perah terdiri dua
bagian utama, yaitu output utama dan output sampingan. Output utama berupa susu segar, sedangkan output sampingan berupa biogas dan limbah biogas. Pada
pemasaran output utama, para peternak menyalurkan susu segar melalui dua saluran, yaitu KUD Giri Tani dan pemasaran secara langsung kepada konsumen.
Gambar 7 merupakan saluran pemasaran susu segar ke KUD Giri Tani serta konsumen secara langsung.
Pada saluran pertama, susu segar yang dihasilkan, dipasarkan peternak melalui KUD Giri Tani. Selanjutnya, seluruh susu yang telah terkumpul di KUD,
di pasarkan ke PT. Cisarua Mountain Dairy Cimory. Susu yang diterima KUD dan dipasarkan ke Cimory adalah keseluruhan susu yang dapat diproduksi oleh
setiap peternak yang menjadi anggota KUD. Namun, susu yang diterima harus memenuhi kriteria kualitas awal yang telah ditetapkan oleh Cimory, yakni susu
tidak dalam keadaan pecah.
Gambar 7. Saluran Pemasaran Susu Segar
Uji kualitas awal dilakukan oleh petugas dari KUD yang bertugas mengantarkan susu ke Cimory, pengujian ini menggunakan alat uji susu yang
berbentuk seperti pistol dan terbuat dari besi Gambar 8.
Gambar 8. Alat Uji Susu
Susu dari masing-masing peternak yang lolos uji kualitas kemudian dicatat jumlahnya oleh petugas KUD dan kemudian di pasarkan ke Cimory Gambar 9.
Susu yang di terima Cimory, dibagi berdasarkan kelompok ternak masing-masing, kemudian dilakukan uji kualitas yang dilihat berdasarkan kriteria jumlah bakteri
yang terkandung di dalam susu grade, berat jenis serta nilai total solid-nya.
Gambar 9. Pengiriman Susu ke Cimory
Peternak KUD
Giri Tani
Konsumen Cimory
Saluran 1
Saluran 2
Uji kualitas tersebut akan membagi susu kedalam grade yang berbeda- beda, serta tingkat harga yang berbeda pula. Kualitas susu segar terbagi kedalam -
enam grade Tabel 6 :
Tabel 6. Grade Susu Segar
Sumber : Cimory, 2008
Harga susu yang diberikan oleh Cimory dihitung berdasarkan satuan kilogram susu yang diterima, bukan dengan satuan liter. Sehingga, terjadi
pengonversian satuan dari liter ke kilogram dengan asumsi berat jenis rata-rata 1,0135 KgL maka 1 liter susu segar sama dengan 1,0135 kg susu. Tingkat harga
yang diterima oleh peternak skala besar berbeda-beda, yakni antara Rp 3.450,00 – Rp 4.725,00 per kilogram nya. Sementara itu, grade yang diterima pun bervariasi,
yakni antara grade terendah hingga grade tertinggi. Namun, rata-rata grade yang yang paling sering diterima peternak adalah grade tiga dan empat.
Susu yang telah diuji secara lebih lanjut oleh Cimory, kemudian dikemas atau diolah lebih lanjut menjadi yoghurt dan panganan lainnya. Susu kemasan dan
yoghurt dipasarkan ke berbagai wilayah seperti Jabodetabek ataupun dijual secara langsung di Cimory Resto yang juga berada di Kecamatan Cisarua, Kabupaten
Bogor. Sedangkan untuk produk olahan lain berupa panganan, hanya dijual di Cimory Resto.
Untuk saluran kedua, susu yang dihasilkan oleh peternak, dijual secara langsung kepada konsumen, yaitu kepada para wisatawan yang sedang berlibur
ataupun menginap di villa yang terletak di sekitar kawasan peternakan. Namun, penjualan langsung ini tidak dilakukan secara kontinu, melainkan dalam waktu
dan jumlah pembelian yang tidak menentu. Para wisatawan tersebut, biasanya membeli pada hari libur, seperti sabtu dan minggu. Dalam satu bulan jumlah susu
Grade Jumlah Bakteri X
1 ≤ 0,25 juta
2 0,25 X
≤ 0,5 juta 3
0,5 X ≤ 1 juta
4 1 X
≤ 3 juta 5
3 X ≤ 5 juta
6 5 X
≤ 10 juta
yang dapat dijual melalui saluran dua dapat mencapai 50 L dengan harga jual berkisar antara Rp 3.500,00 – Rp 7.000,00 per liter.
Output sampingan usaha peternakan skala besar yakni biogas tidak dikomersilkan. Biogas yang dihasilkan hanya digunakan untuk keperluan rumah
tangga peternak. Sementara, output berupa limbah biogas dipasarkan kepada para pemilik usaha perkebunan yang berada di sekitar lokasi usaha peternakan. Selain
itu, pemasaran juga dilakukan secara langsung dengan menjual limbah sebagai pupuk kepada masyarakat yang datang secara langsung ke lokasi usaha
peternakan sapi perah. Berdasarkan uraian tersebut, pada aspek pasar usaha peternakan skala
besar layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan, masih terbukanya peluang untuk memasarkan susu kepada Cimory dalam kapasitas yang lebih besar. Karena
adanya kesepakatan antara Cimory dan KUD Giri Tani untuk menerima seluruh produksi susu yang dihasilkan oleh peternak yang menjadi anggota koperasi
tersebut.
6.1.2. Aspek Teknis
Aspek teknis yang dikaji berkaitan dengan sumber daya produksi yang digunakan oleh usaha peternakan baik untuk menghasilkan susu atau biogas,
teknik produksi yang dilakukan, lokasi usaha peternakan dan reaktor biogas, produksi susu, biogas, dan limbah biogas yang dihasilkan serta bentuk
pengawasan kualitas produk yang dilakukan oleh pihak atau lembaga yang terkait dengan usaha peternakan.
1. Sumber Daya Produksi
Sumber daya produksi yang digunakan pada usaha peternakan dapat terbagi kedalam empat bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber
daya modal, dan bahan baku. Sumber daya yang pertama yaitu manusia tenaga kerja, merupakan salah satu faktor produksi utama dari usaha peternakan sapi
perah. Tenaga kerja yang dipakai berasal dari tenaga kerja keluarga dan non keluarga yang berasal dari lingkungan masyarakat sekitar. Rata-rata tenaga kerja
keluarga yang dipakai berjumlah satu orang yaitu pemilik usaha. Sedangkan,
tenaga non keluarga berasal dari masyarakat sekitar lokasi usaha dengan jumlah rata-rata empat orang dan berjenis kelamin laki-laki dengan umur diatas 20 tahun.
Sumber daya yang kedua adalah sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang digunakan dalam usaha peternakan sapi perah adalah lahan dan sumber mata air.
Luas lahan yang digunakan untuk peternakan sapi perah di Desa Cibeureum sebesar 169,12 Ha atau 15 dari keseluruhan wilayah yang dimiliki. Sedangkan,
di Desa Tugu Selatan lahan yang digunakan mencapai 425,606 Ha atau sebesar 25 dari total wilayah. Namun, luas lahan yang digunakan di Desa Cipayung masih
sangat minim, yaitu hanya seluas 0,007 Ha, dan presentase dari keseluruhan wilayah dibawah 0,01 . Hal ini disebabkan, banyak lahan di ketiga wilayah
tersebut yang digunakan sebagai lahan sawah, perkebunan dan bahkan pemukiman baru yang digunakan sebagai villa oleh warga diluar desa tersebut.
Dengan luas lahan tersebut, para peternak mampu menjalankan usaha peternakan sapi perah dengan luas rata-rata kepemilikan lahan sebesar 400 m
2
. Lahan yang digunakan oleh para peternak merupakan lahan milik pribadi. Harga lahan di
lokasi penelitian sebesar Rp 100.000,00 per meter. Sumber daya alam lainnya yang digunakan dalam usaha ini adalah mata air.
sumber mata air yang digunakan berasal dari air Gunung Pangrango yang mengaliri sungai-sungai. Para peternak kemudian mengalirkan air tersebut melalui
pipa-pipa yang dipasangkan di sungai terdekat kemudian disambungkan hingga ke kandang peternakan sapi perah atau ditampung kedalam bak. Untuk mendapatkan
air tersebut, para peternak tidak mengeluarkan biaya. Mereka hanya perlu menyiapkan pipa yang digunakan untuk mengalirkan air dari sumber mata air
hingga ke kandang peternakan sapi perah yang dimiliki oleh masing-masing peternak. Untuk mengalirkan air tersebut para peternak rata-rata memerlukan 35
batang pipa paralon. Selain sumber mata air dari pegunungan, para peternak juga memenuhi kecukupan air dengan memanfaatkan tenaga mesin, yaitu jet pump,
untuk mempermudah proses pengambilan air melalui sumber mata air yang berasal dari air tanah.
Modal yang digunakan dalam pelaksanaan usaha, berasal dari modal sendiri, para peternak tidak melakukan peminjaman modal ke pihak lain ataupun lembaga
keuangan, seperti bank. Modal awal peternak digunakan untuk membeli sapi
perah berupa laktasi ataupun dara, sapi jantan, lahan, membangun kandang dan membeli peralatan serta perlengkapan yang dibutuhkan, seperti ember stainless,
milk can , sikat, dan sapu.
Jenis sapi perah yang dimiliki adalah Fries Holand FH Gambar 10. Sapi jenis ini berasal dari daerah beriklim sedang atau sub tropis. Sehingga sesuai
untuk dikembangkan di Kecamatan Cisarua dan Megamendung yang memiliki suhu relatif sejuk dan terletak di daerah pegunungan. Sapi ini biasanya memiliki
warna belang hitam putih dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan tempat dimana mereka dikembangkan.
Gambar 10. Sapi Perah Jenis Fries Holand
Rata-rata jumlah sapi perah yang dimiliki setiap peternak adalah sebanyak 22 ekor, dengan perincian 17 ekor laktasi, 4 ekor dara serta 1 ekor sapi jantan. Sapi
laktasi dibeli pada umur kurang lebih dua tahun dimana sebelumnya sapi tersebut pernah melahirkan atau telah mengalami laktasi pertama. Sedangkan, sapi dara
dibeli pada umur satu tahun dan belum pernah melahirkan atau laktasi. Setelah dibeli sapi dara akan dikawinkan dengan sapi jantan atau di inseminasi, agar
segera bunting dan melahirkan, sehingga jumlah produksi susu yang dihasilkan akan mengalami peningkatan. Sementara itu, sapi jantan juga dibeli pada umur
satu tahun dan belum pernah kawin. Rata-rata peternak memiliki dua buah kandang dan satu buah gudang untuk
menyimpan pakan dan perlengkapan lain yang dibutuhkan usaha peternakan sapi
perah. Kandang dan gudang dibangun di awal tahun usaha, dan membutuhkan waktu pembangunan selama kurang lebih tiga bulan. Pembangunan kandang dan
gudang ini masing-masing menghabiskan biaya sebesar Rp 20.875.000,00 dan Rp 4.600.000,00 per unit nya.
Bahan baku yang digunakan dalam usaha peternakan sapi perah adalah pakan dan mentega. Pakan ini terdiri dari rerumputan sebagai pakan utama yang dapat
berupa rumput gajah ataupun tanaman jagung. Rerumputan ini rata-rata didapatkan dengan cara membeli dari pedagang yang khusus menjual rumput
ataupun mengambilnya secara langsung dari lahan kosong atau dari gunung yang berada di sekitar lokasi usaha. Harga satu kilogram rumput segar adalah Rp
165,00. Sumber daya yang dibutuhkan untuk pemanfaatan kotoran ternak menjadi
biogas, terbagi kedalam empat bagian. Sumber daya yang pertama adalah manusia atau tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan dalam pemanfaatan kotoran
ternak menjadi biogas sama dengan tenaga kerja yang dipekerjakan pada usaha peternakan sapi perah. Selain mengurus peternakan, tenaga kerja tersebut
memiliki pekerjaan tambahan yaitu memasukkan kotoran ternak ke dalam reaktor biogas, yang dilakukan setelah membersihkan kandang, serta melakukan
perawatan reaktor biogas. Sumberdaya yang kedua adalah reaktor biogas. Reaktor biogas merupakan
sumber daya modal utama untuk menghasilkan biogas gas bio, yang didapatkan melalui bantuan langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup. Bantuan modal
ini bersifat hibah, dimana peternak tidak mengeluarkan biaya selama proses pembangunan. Bantuan yang diberikan kepada para peternak anggota KUD Giri
Tani ini dimulai pada tahun 2007 hingga saat ini. Namun, khusus untuk reaktor skala 7 m
3
Gambar 11 yang diberikan kepada para peternak skala besar dilakukan pada tahun 2008 dan 2009. Reaktor yang diberikan berupa reaktor
model Fixed Dome atau yang juga dikenal dengan model kubah tetap. Dengan model tersebut, para peternak dapat mengisi bahan baku secara kontinu.
Reaktor biogas skala 7 m
3
dibangun dengan menggunakan bahan fiber glass dengan diameter 2,6 m, tinggi 2,5 m serta ketebalan 8-10 m. Proses pembangunan
biogas ini tidak memakan waktu yang cukup lama, yakni kurang dari tiga bulan.
Selain mendapatkan hibah berupa pembangunan reaktor biogas, para peternak juga mendapatkan kompor gas sebanyak satu unit dengan rata-rata satu tungku
pembakaran, selang gas untuk mengalirkan gas yang dihasilkan dari reaktor ke kompor biogas yang terletak di dapur rumah peternak, stop keran untuk mengatur
aliran dan jumlah gas yang dihasilkan, serta dibangun pula lubang pemasukan serta lubang penampung limbah biogas sludge.
Gambar 11. Reaktor Biogas Skala 7 m
3
di Kecamatan Megamendung
Sumberdaya yang ketiga adalah bahan baku. Bahan baku utama yang digunakan untuk reaktor biogas adalah kotoran ternak berupa feses dan urine serta
air dengan perbandingan 1:2. Feses dihasilkan dari kotoran ternak sapi perah. Sedangkan, air di dapatkan dari urine sapi serta air gunung yang di alirkan ke
kandang ataupun air sisa cucian setelah proses pembersihan kandang dan ternak sapi perah selesai dilakukan. Bahan baku yang dimasukkan kedalam reaktor,
dilakukan secara kontinu, pada waktu pagi dan sore hari, ketika proses pembersihan kandang dilakukan. Sehingga produksi biogas yang dihasilkan dapat
bersifat kontinu. Dalam satu hari satu ekor ternak dewasa dapat menghasilkan kotoran 30 kg, sehingga apabila dijumlahkan, dengan total ternak 22 ekor, jumlah
kotoran ternak yang dihasilkan adalah sebesar 660 kilogram. Namun, tidak
seluruh kotoran ternak digunakan sebagai input dalam menghasilkan biogas. Hal ini disebabkan keterbatasan volume reaktor biogas yang hanya mampu
menampung secara maksimal seluruh kotoran yang berasal dari 15 ekor sapi perah dewasa.
Sumberdaya keempat dan terakhir adalah alam, yakni air. Air merupakan salah satu komponen yang juga merupakan bahan baku dalam pembuatan biogas.
Air yang dibutuhkan tidak hanya berasal dari urine ternak, namun juga yang berasal dari air gunung, dimana air tersebut didapatkan dengan cara mengalirkan
air gunung melalui pipa menuju kandang dan kemudian dialirkan melalui selang- selang yang terdapat di kandang ternak. Jika kebutuhan air tersebut tidak dapat
terpenuhi seluruhnya, peternak menggunakan sumber mata air lain, yakni yang berasal dari air tanah.
2. Penyediaan input
Input yang dibutuhkan oleh usaha peternakan skala besar terdiri dari sapi laktasi, dara, jantan, dan pakan. Sapi laktasi, dara, dan jantan didapatkan melalui
pembelian secara langsung di usaha peternakan lain, dengan harga laktasi yang digunakan rata-rata dibeli dengan harga Rp 15.000.000,00, dara dibeli dengan
harga Rp 11.000.000,00, dan jantan dibeli dengan harga Rp 10.000.000,00. Pakan berupa dedak atau konsentrat, mineral, dan ampas tahu diperoleh
dengan cara membeli secara langsung dari KUD Giri Tani. Konsentrat yang digunakan adalah merek GT, sementara untuk mineral dan ampas tahu tidak
terdapat merek dagang. Satu kilogram konsentrat dibeli dengan harga Rp 1.815,00, sedangkan harga satu kilogram ampas tahu sebesar Rp 270,00 dan
mineral dibeli dengan harga Rp 17.600,00 per bungkusnya. Mentega digunakan sebagai bahan pendukung dalam proses pemerahan, agar sapi yang diperah tidak
merasa sakit ketika proses pemerahan dilakukan. Mentega ini didapatkan dari toko atau warung yang berada disekitar lokasi usaha. Ketersediaan akan pakan ini,
cukup baik, karena KUD selalu menyediakan pakan yang dibutuhkan oleh peternak. Proses pembayaran untuk pakan, dapat dilakukan secara tunai atau
melalui pinjaman, yaitu pakan yang dibeli saat ini, akan dibayarkan oleh peternak saat pembayaran susu yang dilakukan setiap awal bulan, yakni dipotong dari
jumlah harga yang diterima peternak. Sedangkan, untuk kebutuhan pakan berupa rumput, peternak
memenuhinya dengan cara mencari secara langsung dari lahan-lahan kosong yang ada di sekitar lokasi peternakan ataupun dari gunung, tanpa mengeluarkan biaya
pembelian. Ketersediaan rumput ini, selalu ada di lokasi-lokasi tersebut. Namun,
selain mengambil secara langsung, para peternak juga membeli rumput dari penjual rumput yang ada di sekitar peternakan, dengan harga Rp 165,00kg.
3. Proses Produksi
Proses produksi usaha peternakan sapi perah dibagi menjadi beberapa tahapan, yang dimulai dari proses budidaya atau perkembangbiakan sapi perah
hingga proses pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas Gambar 12. Tahapan pertama dimulai dari perkembangbiakan sapi perah. Teknik perkembangbiakan
dapat dilakukan melalui dua metode utama, yaitu secara alamiah ataupun inseminasi buatan. Teknik secara alamiah dilakukan dengan mengawinkan sapi
daralaktasi dengan sapi jantan yang sudah dewasa. Sapi jantan dewasa yang telah siap kawin minimal berumur 18 bulan, sedangkan sapi dara yang siap kawin
minimal berumur 15 bulan.
Gambar 12. Proses Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah
Sapi jantan dan daralaktasi siap dikawinkan ketika sapi daralaktasi telah menunjukkan tanda-tanda birahi, seperti alat kelamin berwarna merah dan hangat,
sapi terlihat gelisah dan mulai menaiki tubuh sapi lain atau bersedia dinaiki sapi lain, sering mengibaskan ekornya, nafsu makan menurun, dan untuk sapi laktasi
produksi susunya menurun. Setelah tanda-tanda birahi tersebut muncul maka selanjutnya peternak memasukkan sapi jantan dan daralaktasi kedalam satu
Pembersihan sapi
Pemberian pakan
Pembersihan kandang
Pemerahan
Pemberian pakan rumput
kandang. Setelah itu, proses perkawinan antara sapi jantan dan betina pun terjadi. Proses perkembang-biakan secara alamiah ini jarang dilakukan oleh peternak di
tempat penelitian. Hal ini disebabkan oleh minimnya jumlah sapi jantan yang dimiliki, yakni rata-rata hanya satu ekor.
Teknik perkembangbiakan yang biasa dilakukan oleh para peternak adalah teknik kedua, yaitu proses inseminasi buatan. Proses perkembangbiakan melalui
inseminasi buatan dilakukan dengan cara memasukkan sperma atau semen kedalam rahim ketika sapi daralaktasi menunjukkan tanda-tanda birahi. Proses
inseminasi buatan ini dilakukan oleh petugas bagian kesehatan hewan Keswan yang dimiliki KUD Giri Tani.
Setelah proses kawin alami atau inseminasi buatan berhasil dilakukan, sapi daralaktasi akan mengalami masa bunting selama kurang lebih sembilan bulan.
Selama masa bunting tersebut, sapi laktasi tetap dapat diperah hingga usia kebuntingan tujuh bulan, atau dua bulan sebelum masa melahirkan tiba. Setelah
tujuh bulan, jumlah produksi susu yang dihasilkan akan menurun dan bahkan habis. Ketika proses melahirkan tiba, peternak menggunakan bantuan dokter atau
keswan. Namun, ada juga peternak yang melakukan proses tersebut secara mandiri, tanpa bantuan dokter tetapi dibantu oleh anggota keluarga atau tenaga
kerja yang ada. Anak sapi yang baru dilahirkan pedet diberi susu segar selama empat bulan
pertama. Pedet tersebut tidak meminum susu secara langsung dari induknya, melainkan peternak menyediakan susu di wadah tertentu, seperti ember. Hal ini
dilakukan, agar pedet tidak menghabiskan seluruh kapasitas susu yang mampu dihasilkan oleh induk sapi. Pada bulan pertama, jumlah susu yang diberikan
sebanyak lima liter per hari, pada bulan kedua hingga keempat, jumlah susu yang diberikan tersebut berkurang setiap bulannya sampai pedet tidak menyusui lagi.
Pedet yang dimiliki para peternak, tidak dikembangkan lebih lanjut hingga dewasa. Namun, pada umur dua bulan pedet tersebut dijual kepada peternak lain
dengan harga Rp 5.000.000,00 per ekor. Tahapan kedua adalah proses pembersihan sapi. Rata-rata peternak
melakukan pembersihan sapi pada awal kegiatannya, yaitu pada pukul setengah lima pagi. Sapi dibersihkan dengan cara dimandikan, di siram dengan air
kemudian ketiga, ya
konsentrat bulan, tida
berupa su diberikan
memberik peternak m
berjumlah Tahap
menyiram yang ada,
berupa fe kandang,
kotoran pa
Se kandang
tahapan p dengan m
diperah ter Pro
perah yakn di sikat sel
akni pember t, mineral,
ak diberi pa usu segar
sebesar 5,9 kan 45,49 kg
menghabisk h 22 ekor.
pan keempa m lantai den
seperti kot eses yang
dimasukka ada reaktor
Ga
telah proses selesai dila
pemerahan, menggunakan
rjaga keber oses pemer
ni dengan t luruh tubuh
rian pakan. dan ampas
akan dengan serta rump
8 kg per ek g per ekorn
kan delapan
at adalah pe ngan air kem
oran sisa pa telah berca
an kedalam biogas Gam
ambar 13.
s pembersih akukan, ta
peternak m n air hanga
sihannya. ahan dilaku
tenaga manu hnya hingga
Pakan yan tahu. Khus
n jenis terse put. Dalam
kornya, seda nya. Sement
n bungkus
embersihan mudian men
akan denga ampur den
m saluran y mbar 13.
Saluran Pe
han sapi, pe hapan keli
melakukan at. Hal ini d
ukan secara usia. Sebelu
a bersih. Set ng diberikan
sus pedet y ebut, melain
m satu hari angkan untu
tara itu, unt mineral ke
kandang y nyikatnya a
n sapu lidi. gan urine
yang menu
emasukan K
emberian pa ima adalah
pengompre dilakukan a
tradisional um pemerah
telah itu, di n kepada sa
yang umurn nkan hanya
i, jumlah k uk ampas ta
tuk mineral pada seluru
yang dilakuk atau membe
Sedangkan dan air si
uju ke lub
Kotoran
akan awal, d h proses pe
esan pada a gar ambing
l tanpa men han dilakuk
ilakukan tah api perah b
nya dibawah diberikan p
konsentrat hu para pet
l setiap bula uh sapinya
kan dengan ersihkan ko
n, kotoran t isa pember
bang pemas
dan pember emerahan.
ambing pu g sapi yang
nggunakan m kan Gamba
hapan erupa
h dua pakan
yang ernak
annya yang
n cara otoran
ernak rsihan
sukan
rsihan Pada
uting akan
mesin r 14,
peternak melumuri kedua tangannya serta ambing sapi dengan mentega. Hal ini dilakukan untuk mencegah rasa sakit yang dialami oleh sapi ketika proses
pemerahan berlangsung dan juga untuk memudahkan proses tersebut. Sapi-sapi tertentu yang tidak jinak, saat proses pemerahan dilakukan, kedua kaki belakang
sapi diikat sementara dengan menggunakan tali atau kain, untuk mencegah sapi menendang peternak. Susu hasil perahan ditampung didalam ember yang
sebelumnya telah dibersihkan. Ketika proses pemerahan telah selesai, yang ditandai oleh sedikitnya susu yang keluar dari ambing, susu disaring untuk
menghilangkan kotoran yang mungkin terbawa saat proses pemerahan dan selanjutnya dipindahkan kedalam milk can untuk di pasarkan melalui KUD Giri
Tani. Milk can yang biasanya digunakan oleh peternak berukuran 10, 20, dan 40 liter. Walaupun dilakukan secara tradisional, proses pemerahan dapat
menghasilkan rata-rata 10 litersapihari. Jumlah tersebut mampu memberikan keuntungan bagi peternakan skala besar.
Gambar 14. Proses Pemerahan Susu Sapi di Kecamatan Cisarua
Tahapan keenam adalah pemberian pakan berupa rumput, yang dilakukan setelah seluruh proses pemerahan selesai. Dalam satu hari jumlah rumput yang
dihabiskan oleh satu ekor sapi rata-rata sebanyak 19,54 kilogram. Sedangkan, untuk pedet, jumlah rumput yang diberikan lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah rumput yang diberikan kepada sapi dewasa. Pemberian rumput ke pedet dilakukan setelah pedet berumur dua minggu dan maksimal pemberian rumput
tersebut adalah lima kilogram saat umur pedet dibawah enam bulan.
Selain pembersihan kandang dan sapi, pemberian pakan, serta pemerahan, pemberian minum untuk sapi penting untuk diperhatikan. Air minum untuk sapi
berupa air segar yang berasal dari aliran air gunung, yang ditampung di dalam kandang dan mudah untuk dijangkau sapi. Ketersediaan air harus kontinu dan
melimpah, karena kebutuhan minum ternak sapi cukup tinggi. Rata-rata tahapan pertama hingga keenam yang dimulai pukul empat atau
lima subuh dapat diselesaikan oleh peternak pada pukul delapan pagi. Tahapan pencarian rumput ataupun pembelian rumput dilakukan pada pukul sebelas siang
hingga pukul satu siang. Pemerahan yang dilakukan oleh peternak dilakukan dua kali dalam satu hari, yakni pagi dan sore hari. Sehingga, seluruh tahapan yang
dilaksanakan pada pagi hari juga dilaksanakan pada sore hari, yang dimulai pada pukul setengah tiga sore hingga pukul lima sore.
Proses produksi susu segar dilakukan secara kontinu setiap hari. Hal ini disebabkan, permintaan akan susu segar yang berasal dari Cimory diterima
peternak setiap hari. Produksi secara kontinu dapat mengurangi risiko produksi yang diakibatkan oleh penurunan jumlah produksi sehingga mengurangi kerugian
yang diterima oleh peternak. Apabila proses produksi tidak dilakukan secara kontinu dapat menimbulkan kelangkaan susu segar.
Sementara itu, tahapan ketujuh berupa produksi biogas dimulai dengan memasukkan input ke dalam reaktor Gambar 15. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, input berupa kotoran ternak feses dan urine yang dihasilkan oleh ternak beserta air sisa dari proses pembersihan kandang dan sapi dialirkan melalui
saluran yang terdapat pada kandang menuju lubang pemasukan Gambar 16. Lubang pemasukan tersebut terletak di depan atau samping kandang yang berada
di dekat lokasi reaktor biogas. Reaktor biogas skala 7 m
3
memiliki keterbatasan dalam pemasukkan input. Hal ini dikarenakan adanya kapasitas maksimal dari volume reaktor. Menurut PT.
Swen Inovasi Transfer 2009, sebagai perusahaan yang memproduksi reaktor biogas yang digunakan di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung,
reaktor biogas skala 7 m
3
mampu menampung kotoran yang dihasilkan oleh 15 ekor sapi perah dewasa. Dengan kapasitas tersebut jumlah kotoran yang dapat
digunakan sebagai input dalam menghasilkan biogas secara maksimal hanya
berasal dari kotoran yang dihasilkan oleh 15 ekor ternak sapi perah, yakni 30 kg per hari per ekor atau sebanyak 450 kg kotoran untuk 15 ekor ternak dewasa
dalam satu harinya. Selanjutnya, dari lubang pemasukan tersebut, secara otomatis kotoran ternak dan air akan mengalir ke dalam reaktor biogas. Ketika
memasukkan input ke dalam reaktor, perlu diperhatikan agar tidak ada rerumputan atau kotoran lain yang ikut masuk ke dalam saluran. Karena hal tersebut akan
mengakibatkan terjadinya penyumbatan, yang menyebabkan input yang tertampung di dalam lubang tidak dapat mengalir secara langsung ke dalam
reaktor.
Gambar 15. Proses Produksi Biogas pada Reaktor Skala 7 m
3
Apabila terjadi penyumbatan pada lubang pemasukan, maka peternak mendorong input yang berada di dalam lubang penampung dengan menggunakan
batang bambu agar alirannya lebih lancar. Jumlah antara air dan kotoran yang masuk ke dalam reaktor harus seimbang, dengan perbandingan 1:2 1 kotoran : 2
air. Karena apabila jumlah kotoran yang masuk lebih banyak dibandingkan air,
Kotoran Ternak 450 kg dan air urine perbandingan 1 : 2
Lubang Pemasukan
Reaktor Biogas Skala 7 m
3
Biogas setara dengan 3,22 kg
gas elpiji Proses Biologis
CH
4
+ CO
2
Methanogenesis Acetonegenis
Fermentasi Hidrolisis
Limbah Biogas 70 dari input
yang digunakan
Kompor Biogas Lubang
Pengeluaran
akan menyebabkan kotoran sulit mengalir ke dalam reaktor, sehingga lubang penampung tersumbat serta jumlah biogas yang dihasilkan tidak dapat optimal.
Setelah seluruh input yang diperlukan masuk ke dalam reaktor, maka akan terjadi pembentukkan gas bio yang merupakan proses secara biologis. Input yang
digunakan berfungsi sebagai sumber karbon yang juga merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang berpengaruh dalam pembuatan
gas bio terdiri dari dua macam yaitu bakteri pembentuk asam dan pembentuk gas metana. Bakteri pembentuk asam yaitu pseudomonas, flavobakterium,
alcaligenesis, escherichia, dan aerobakter yang akan merombak bahan organik dan menghasilkan asam-asam lemak. Selanjutnya asam-asam lemak yang terbentuk
akan dirombak oleh bakteri pembentuk gas metana, yaitu Methanobacterium, Methanosarcina, serta Methanococcus dan akan menghasilkan gas bio, yang
sebagian besar terdiri dari gas metana dan juga gas ammonia NH
3
serta Karbondioksida CO
2
. Selain itu, terdapat pula jenis bakteri lain yang memanfaatkan unsur Sulfur S dan membentuk gas H
2
S, yakni bakteri Desulvobrio.
Gambar 16. Lubang Pemasukan Kotoran
Dari proses tersebut output yang dihasilkan tidak hanya berupa gas bio biogas namun juga sisa dari proses biologis yang berupa berupa limbah
berbentuk lumpur sludge. Output berupa biogas dialirkan melalui pipa yang berada di atas kubah reaktor yang disambungkan melalui selang gas hingga ke
kompor k reaktor me
Lim kotoran te
secara ko ternak ser
40 hari.
1. Pip
Pada kedalam r
waktu, sek pada awal
khusus untu enuju bak p
mbah bioga ernak dimas
ontinu setia rta penyimp
pa Reaktor
saat pertam reaktor tida
kitar 5 -14 h l pengguna
uk biogas. penampung s
Gambar 1
as akan dih sukkan keda
ap harinya. panan kotor
2. Sal
Gambar 1
ma kali rea ak dapat me
hari untuk m aan reaktor,
Sedangkan sludge
Gam
17. Bak Pen
hasilkan set alam reakto
Hal ini d ran tersebut
luran Pipa
18. Tahapa
aktor bioga enghasilkan
menghasilka mayoritas
n untuk slu mbar 17.
nampung S
telah 40 ha or. Setelah,
disebabkan, t di dalam r
3. S
an Aliran B
as digunaka n biogas se
an biogas p gas yang t
udge , dialir
Sludge
ari sejak pe 40 hari lim
masa peng reaktor berl
Selang Gas
Biogas
an, input ya ecara langsu
pertama. Ha terbentuk a
rkan keluar
rtama kali mbah akan k
golahan ko langsung se
4.Kom
ang dimasu ung. Dibutu
al ini diseba adalah CO
2
r dari
input keluar
otoran elama
mpor
ukkan uhkan
abkan, . Gas
awal ini perlu dikeluarkan lebih dahulu dari biogas pada dua minggu pertama. Namun, setelah itu gas yang terbentuk adalah gas metan yaitu CH
4
yang dapat digunakan sebagai biogas. Tahapan selanjutnya, gas yang dihasilkan akan kontinu
seiring dengan pemasukan input kedalam reaktor. Tahapan aliran biogas dapat dilihat pada Gambar 18.
4. Lokasi Usaha
Peternakan sapi perah penerima bantuan reaktor skala 7 m
3
terdapat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor. Para peternak
memiliki berbagai alasan untuk mendirikan usaha di lokasi tersebut, diantaranya adalah :
a Lokasi usaha peternakan
Lokasi usaha peternakan turut mempengaruhi jumlah produksi susu yang
dihasilkan. Apabila lingkungan fisik dan iklim suatu daerah sesuai dengan
habitat asalnya dan sapi diberi pakan berkualitas, maka sapi tersebut akan menampilkan semua sifat yang dimiliki secara maksimal. Suhu lingkungan
yang tinggi akan menurunkan nafsu makan dan mengurangi konsumsi pakan seekor sapi perah sehingga menghambat produksi susu. Sapi perah yang
berasal dari daerah iklim sedang berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 1,1-15,5ºC tapi masih dapat berproduksi dengan baik pada kisaran 5-
21ºC apabila suhu melebihi 21ºC, sapi akan mengalami kesulitan adaptasi dan akan menunjukkan gejala penurunan produksi susu. Jika sapi tersebut
diternakkan di daerah tropis dengan suhu lingkungan rata-rata di atas 23ºC, maka produksi susu yang dicapai tidak sebanyak produksi susu di daerah
asalnya
9
. Kecamatan Cisarua dan Megamendung memiliki suhu rata 22 ºC, suhu ini
relatif lebih tinggi dibandingkan suhu tempat sapi FH berasal. Sehingga, jumlah produksi susu yang dihasilkan tidak mencapai titik maksimal. Jumlah
produksi susu yang dapat dicapai di negara asal rata-rata mencapai 21,4 liter per ekor per hari, sementara jumlah susu yang mampu dihasilkan peternak sapi
perah skala besar rata-rata sebesar 10 liter per ekor per hari. Namun, dikarenakan sapi FH merupakan jenis sapi yang mampu beradaptasi, jumlah
9
Tawaf R. 2010. Sapi Perah Fries Holland http:duniasapi.com [7 April 2010]
produksi tersebut dapat ditingkatkan peternak dengan meningkatkan kualitas pakan.
b Akses menuju lokasi
Para peternak memilih lokasi di Kecamatan Cisarua dan Megamendung, dikarenakan akses menuju ke lokasi tersebut mudah dijangkau. Dengan jalan
utama yang telah beraspal dan akses kendaraan umum yang mudah didapat, seperti ojek untuk jalur yang lebih sempit dan angkutan umum untuk melalui
jalur yang lebih lebar, memudahkan para peternak atau pihak terkait untuk menuju lokasi peternakan atau melakukan mobilisasi ke berbagai wilayah
lainnya. Selain itu, Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan kawasan
peternakan, sehingga para peternak dapat secara langsung berinteraksi dengan para peternak lainnya, baik secara personal ataupun melalui kelompok ternak
yang ada di wilayah tersebut, untuk saling bertukar pikiran dan informasi mengenai usaha peternakan mereka. Berada di suatu kawasan peternakan pun,
menjadikan para peternak dapat terhindar ataupun mengurangi protes warga yang berada di lingkungan perumahan atau pemukiman lain diluar kawasan
peternakan yang biasanya diakibatkan oleh pencemaran yang berasal dari limbah peternakan.
Lokasi peternakan yang berada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung, berada di dekat tempat tinggal para peternak, yang jaraknya kurang lebih 100
meter, sehingga memudahkan peternak untuk melakukan aktivitas di kandang ternak.
c Letak pasar yang dituju
Pasar dari susu yang dihasilkan usaha peternakan anggota KUD Giri Tani adalah PT. Cisarua Mountain Dairy Cimory yang letaknya kurang lebih 5 Km
dari KUD Giri Tani. Susu yang dihasilkan tiap peternakan dikumpulkan di KUD Giri Tani yang berjarak kurang lebih 200-300 meter dari lokasi
peternakan. Namun, khusus untuk peternakan yang letaknya jauh dari KUD Giri Tani, pengumpulan susu dilakukan dengan cara penjemputan yang
dilakukan oleh KUD dengan menggunakan mobil bak terbuka, setelah itu baru lah susu yang terkumpul di bawa ke Cimory.
Khusus untuk peternak yang berada di Desa Tugu Selatan dan Desa Cipayung susu yang dihasilkan pada awalnya dikumpulkan terlebih dahulu di masing-
masing kelompok peternak yang berada di wilayahnya, yaitu Kelompok Peternak Tirta Kencana yang berada di Desa Tugu Selatan dan Kelompok
Peternak Mekar Jaya yang berada di Desa Cipayung. Rata-rata jarak antara lokasi usaha peternakan dengan masing-masing kelompok ternak adalah 200-
300 meter. Setelah itu, mobil bak lain dari KUD Giri Tani akan mengambil susu dari Kelompok Tirta Kencana untuk langsung di antarkan ke Cimory yang
jaraknya kurang lebih 7 Km. Sedangkan, untuk Kelompok Mekar Jaya pengantaran susu ke Cimory dilakukan secara langsung dengan menggunakan
mobil bak terbuka yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Jarak antara Kelompok Mekar Jaya ke Cimory tergolong lebih dekat dibandingkan dengan
kelompok lainnya, yaitu sekitar 2-3 kilometer. Letak pasar tersebut dapat dijangkau dengan mudah oleh KUD Giri Tani dan
jaraknya relatif dekat, sehingga proses pemasaran dapat dilakukan dengan lancar. Namun, hal ini menjadi berbeda ketika hari libur nasional atau hari
sabtu dan minggu. Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan jalan utama menuju kawasan wisata Gunung Mas, Cibodas, Puncak dan sebagainya.
Sehingga, pada hari-hari tersebut, jalur utama untuk memasarkan susu menjadi padat, timbul kemacetan lalu lintas dan buka tutup jalan, yang mengakibatkan
pemasaran susu terhambat hingga dua jam. Dengan adanya hambatan tersebut timbul kerugian di tingkat peternak. Karena terjadi penurunan dari kualitas
susu yang dipasarkan. d
Letak sumber bahan baku Sumber bahan baku utama yang digunakan pada usaha peternakan seperti,
pakan berupa mineral, ampas tahu, dan konsentrat, relatif mudah untuk didapatkan. Rata-rata peternak membeli bahan baku tersebut dari KUD Giri
Tani. Bagi peternak yang memiliki lokasi peternakan dengan jarak yang dekat dengan KUD, pembelian bahan baku dilakukan secara langsung di kantor
KUD. Namun, peternak yang lokasinya relatif jauh dari kantor KUD, pembelian bahan baku dilakukan dengan cara memesan bahan baku yang
dibutuhkan melalui kelompok peternak di wilayah masing-masing. Kemudian
masing-masing kelompok peternak tersebut yang akan mengambil bahan baku ke KUD Giri Tani. Sedangkan, untuk pakan berupa rumput, rata-rata peternak
membeli kepada pedagang rumput yang berada di dekat lokasi usaha peternakan ataupun mengambilnya secara langsung dari gunung atau lahan
yang tidak terpakai. Jarak dari sumber pakan ini bervariasi dari dua hingga lima kilometer.
e Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang ada, dimiliki peternak untuk mendukung kelancaran usaha peternakan yang dijalankan, sarana dan prasarana tersebut antara lain
adalah: 1
Layout kandang Kandang sapi perah terletak di samping rumah peternak yang memiliki jarak
kurang lebih 100 m. Pemilihan lokasi kandang tersebut, disebabkan lahan yang dimiliki oleh peternak adalah lahan pekarangan rumah yang belum
termanfaatkan ataupun lahan yang sejak awal memang telah digunakan untuk peternakan.
Layout kandang Gambar 19 yang dimiliki peternak adalah kandang model ganda berlawanan dengan luas rata-rata 200 m. Kandang model ini memiliki
atap yang menutup yang terbuat dari genteng untuk menimbulkan rasa sejuk bagi ternak. Tempat makanan terdiri dari dua blok yang berada di masing-
masing sisi yang saling berlawanan, sehingga di bagian tengahnya terdapat jalan keluar masuk untuk sapi atau peternak. Antara tempat makan dan jalan
tersebut terdapat parit yang digunakan sebagai saluran air. Tipe kandang dari peternakan sapi perah skala besar rata-rata adalah
kandang dengan jenis terbuka, dimana di bagian sisi samping setiap sudut kandang tidak dibangun secara menyeluruh, melainkan hanya dibangun
sepertiganya. Sehingga, sirkulasi udara yang keluar dan masuk peternakan menjadi lebih lancar, sinar matahari mampu masuk secara langsung kedalam
kandang serta suhu kandang menjadi lebih rendah dan sejuk.
Gambar 19. Kandang
2 Layout reaktor
Reaktor biogas terletak di bagian samping atau belakang kandang, dengan jarak 50-100 meter dari kandang. Penempatan reaktor di lokasi tersebut,
bertujuan untuk memudahkan dalam pemasukan input ke dalam reaktor, berupa kotoran ternak, yang berasal dari kandang. Gambar 20 merupakan
layout reaktor biogas skala 7 m
3
.
Gambar 20. Layout Reaktor Biogas Skala 7 m
3
Sumber : www.agribisnis.deptan.go.id
Reaktor dengan skala 7 m
3
dibangun dengan cara membuat sumur digester Gambar 21 yang digunakan sebagai tempat fermentasi bahan-bahan
organik. Sumur ini ditimbun di dalam tanah, dan sisi yang terlihat di atas permukaan tanah adalah bagian sisi atas kubah nya saja. Posisi reaktor
biogas dibuat dengan posisi lebih rendah dari kandang yang bertujuan untuk memudahkan aliran kotoran ternak masuk kedalam reaktor.
Gambar 21. Sumur Digester
Diameter dari reaktor skala 7 m
3
adalah 200 cm dengan tinggi 250 cm. Sedangkan ketebalan dari reaktor ini mencapai 5-8 mm. Reaktor ini terbuat
dari bahan fiber glass yucalak type 235 berwarna biru langit. Selain sumur digester untuk menghasilkan biogas, reaktor ini juga dilengkapi dengan
saluran pemasukan yang terbuat dari bata yang diplester, dengan lebar antara 20-30 centimeter. Kedalaman dari saluran pemasukan ini disesuaikan
dengan kemiringan kotoran ternak yang akan masuk kedalam sumur digester, sehingga kotoran tersebut dapat mengalir dengan lancar masuk
kedalam sumur digester. Saluran bak penampung limbah sludge juga dibuat untuk menampung
limbah berupa lumpur yang dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik kotoran ternak menjadi biogas. Limbah ini berada diantara fase cair dan
padat. Bak penampung limbah ini berukuran 1x1x1 meter dan dibuat dengan bahan dasar batu bata yang diplester dengan jarak sekitar 20 cm dari sumur
digester. Pada bagian atas kubah reaktor terpasang kran gas kontrol di salah satu pipa
paralonnya, yang berfungsi untuk mengatur volume biogas yang akan dialirkan. Sedangkan pipa kedua disambungkan dengan pipa lainnya dan
diarahkan menuju tempat kompor biogas, untuk mengalirkan biogas yang
diproduksi. Sementara itu, pada bagian ujung pipa yang terletak di kompor dipasangkan kran gas dan klem Gambar 22.
Pipa Sambungan Kran Pengontrol Gas
Gambar 22. Pipa pada Kubah Reaktor
3 Tenaga listrik dan air
Tenaga listrik yang dibutuhkan untuk kegiatan usaha peternakan, seperti penerangan kandang didapatkan dari sambungan listrik rumah peternak
yang letaknya dekat dengan kandang. Sedangkan, kebutuhan akan air didapatkan peternak dari sumber mata air pegunungan yang didapatkan
dengan cara mengalirkan air tersebut melalui pipa-pipa yang dipasangkan tiap peternak dari aliran mata air menuju sungai hingga ke kandang ternak.
Penggunaan air gunung ini tidak mengeluarkan biaya, sehingga dapat mengurangi penggunaan biaya operasional. Selain dari aliran mata air,
sumber air dipenuhi dari sumber air tanah dengan menggunakan bantuan pompa jet pump. Dimana pompa ini juga membutuhkan tenaga listrik yang
dipenuhi dari suplai listrik rumah tangga setiap peternak. 4
Suplai tenaga kerja Suplai tenaga kerja berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi
peternakan, yakni yang terdapat di Kecamatan Cisarua ataupun Megamendung. Kemudahan untuk memperoleh suplai tenaga kerja tersebut
memberikan keuntungan tersendiri bagi para peternak, karena dapat mengurangi biaya tambahan untuk melakukan pencarian tenaga kerja.
5 Transportasi
Transportasi yang dibutuhkan oleh peternak adalah untuk pemasaran susu, pengadaan pakan seperti pencarian rumput ataupun pembelian mineral,
ampas tahu, serta konsentrat disediakan oleh KUD Giri Tani, sehingga para peternak dalam memasarkan susu hanya membayar biaya pengiriman
sebesar Rp 250,00 per kilogram yang dibayarkan langsung ke KUD Giri Tani setiap bulannya setelah produksi susu yang dihasilkan oleh setiap
peternak dibayarkan oleh Cimory melalui KUD Giri Tani. Sementara itu, transportasi dalam penyediaan pakan, termasuk kedalam harga jual yang
telah ditetapkan oleh KUD. 5.
Produksi Pengawasan Kualitas produk Produksi susu yang dihasilkan tiap peternakan berbeda, tergantung kepada
jumlah ternak laktasi yang dimiliki. Rata-rata dalam sehari satu ekor sapi mampu menghasilkan 10 L susu segar, dan jika dijumlahkan rata-rata peternak yang
memiliki 21 ekor sapi betina yang telah laktasi, mampu menghasilkan 210 L susu segar setiap harinya. Jumlah susu serta kualitas dari susu yang dihasilkan setiap
laktasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1
Kualitas Pakan Kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak mempengaruhi kualitas susu yang
dihasilkan. Apabila pakan yang dikonsumsi merupakan pakan yang memiliki kualitas baik, maka susu yang akan dihasilkan juga memiliki kualitas yang
baik. Sebaliknya, apabila pakan yang diberikan memiliki kualitas yang rendah, seperti ampas tahu yang busuk ataupun konsentrat yang tercampur dengan
pasir, akan menurunkan kualitas dari susu yang dihasilkan. Pakan yang digunakan oleh para peternak merupakan pakan dengan kualitas
yang relatif baik. Peternak hanya memilih pakan yang sesuai kualitasnya untuk tiap ternak. Namun, terdapat pula situasi dimana pakan konsentrat yang dibeli
oleh peternak memiliki kandungan pasir didalamnya. Apabila itu terjadi, peternak akan menukar dan memilih pakan yang tidak memiliki kandungan
pasir di dalamnya, agar penurunan kualitas dari susu yang dihasilkan dapat dihindari.
2 Cuaca
Keadaan cuaca mempengaruhi jumlah susu yang dihasilkan tiap ternak. produksi susu paling banyak terjadi antara perpindahan musim panas ke musim
dingin, yakni rata-rata susu yang dihasilkan mencapai lebih 10 L per hari. Namun, pada kondisi musim dingin tiba dengan curah hujan tinggi, jumlah
produksi susu yang dihasilkan oleh tiap ternak mengalami penurunan, yakni kurang dari 10 L per hari. Sementara itu, pada musim panas jumlah produksi
susu yang dihasilkan relatif stabil, yakni rata-rata sebesar 10 L per hari per ternak.
3 Kebersihan
Kebersihan akan sapi dan kandang sangat mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan. Sebelum pemerahan dilakukan, kondisi kandang dan sapi harus
dalam keadaan bersih, yakni kandang dibersihkan dari kotoran ternak yang ada dan ambing sapi harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air hangat. Hal ini
bertujuan untuk menghindari masuknya kotoran atau bakteri lainnya ke dalam susu, karena adanya kotoran yang ikut tercampur di dalam susu segar yang
diproduksi akan mempengaruhi kualitas dari susu yang dihasilkan. 4
Penyakit Kondisi sapi yang sedang sakit, seperti demam dan diare, juga mempengaruhi
kualitas susu dan jumlah produksi susu yang dihasilkan. Ketika keadaan tersebut terjadi maka jumlah produksi susu mengalami penurunan, hingga 2-3
liter per ekor per hari. Penurunan jumlah susu yang diproduksi ini akan mempengaruhi keseluruhan produksi susu yang akan dipasarkan sehingga akan
ikut menurunkan jumlah penerimaan yang akan diterima peternak. Untuk mencegah hal tersebut, perlu adanya perawatan terhadap sapi, yakni dengan
memperhatikan kualitas pakan yang akan diberikan ke ternak setiap harinya serta memperhatikan kebersihan kandang untuk mencegah penyakit demam
dan juga diare yang disebabkan oleh kuman dan bakteri yang terdapat pada kotoran.
Selain menghasilkan produk utama berupa susu segar, usaha peternakan sapi perah juga menghasilkan produk sampingan berupa biogas. Produksi biogas
yang dapat dihasilkan oleh setiap 1 m
3
reaktor adalah setara dengan 0,46 kg gas
elpiji perharinya. Maka, peternak skala besar yang memiliki reaktor biogas dengan skala 7 m
3
mampu menghasilkan sekitar 3,22 kg biogas setiap harinya atau setara dengan penggunaan gas selama kurang lebih sembilan jam. Dalam satu
tahun jumlah produksi biogas yang dihasilkan sebesar 1.159 kg. Tinggi rendahnya jumlah biogas yang dihasilkan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah : 1
Bahan Organik Jenis bahan organik yang digunakan sebagai bahan baku turut mempengaruhi
jumlah biogas yang akan dihasilkan. Bahan organik yang biasa digunakan sebagai bahan baku dalam biogas antara lain berupa limbah pertanian,
peternakan dan sampah organik. Berdasarkan ketiga jenis tersebut, limbah peternakan merupakan salah satu komponen yang mampu menghasilkan biogas
dengan jumlah tinggi, salah satunya adalah sapi perah. Hal ini disebabkan oleh jumlah kotoran yang dihasilkan dari sapi perah itu sendiri, yang dalam satu
harinya mampu menghasilkan rata-rata 30 kg. Sedangkan, untuk limbah yang lain jumlah limbah yang dapat dihasilkan lebih rendah Tabel 4.
2 Imbangan CN
Komposisi utama dari biogas salah satunya adalah Carbon dan Nitrogen. Kedua komponen tersebut harus dalam perbandingan yang sesuai agar dapat
menghasilkan biogas secara optimal. Imbangan atau perbandingan yang sesuai untuk menghasilkan biogas adalah 25 – 30 , jika perbadingan keduanya
kurang dari atau lebih dari komposisi tersebut, maka biogas yang dihasilkan akan berada pada titik di bawah kondisi optimal rata-rata, yakni menghasilkan
0,46 kg dalam setiap 1 m
3
. 3
Derajat Keasaman Derajat keasaman merupakan salah satu faktor penting yang juga
mempengaruhi jumlah biogas yang dihasilkan, kondisi ini dipengaruhi dari input yang digunakan. Tingkat keasamaan yang sesuai adalah pada pH netral,
yakni kondisi antara 6.5 – 7.5. Dengan pH netral, komposisi biogas yang terbentuk akan berada pada kondisi optimal Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Biogas dari Proses Biologis
Sumber : Widodo, dkk 2006
Berdasarkan tabel tersebut, komposisi biogas yang dihasilkan dari proses biologis dengan kondisi pH netral, terdiri dari CH
4
sebanyak 77,13 , CO
2
sebanyak 20,88, H
2
S sebanyak 1.544,46 mgm
3
, serta NH
3
dengan total 40,12 mgm
3
. 4
Temperatur Tinggi rendahnya jumlah biogas yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh
temperatur yang ada di lokasi reaktor biogas. Temperatur ini harus dalam keadaan stabil atau dalam artian tidak terjadi perubahan temperatur selama
proses biologis berlangsung di dalam reaktor. 5
Zat Tosik Bahan baku yang dimasukkan sebagai imput kedalam reaktor biogas harus
bebas dari zat tosik yang mungkin tercampur disaat proses pembersihan kandang berlangsung. Zat tosik ini antara lain berupa pestisida, detergen, dan
kaporit. Adanya zat tosik ini akan mempengaruhi kualitas biogas yang dihasilkan.
6 Loading Rate
Untuk menghasilkan biogas dalam jumlah konstan setiap harinya, peternak perlu melakukan pengisian bahan organik secara kontinu setiap hari dengan
memperhitungkan waktu tinggal kotoran di dalam reaktor dan volume reaktor. Volume reaktor
Waktu tinggal
Volume reaktor dihitung berdasarkan skala biogas dari setiap peternak. Reaktor biogas skala 7 m
3
memiliki volume reaktor setara dengan 15 ekor sapi atau 450 kg kotoran. Waktu tinggal rata-rata kotoran di dalam biogas adalah selama 40
Uraian Jumlah
- CH
4
, 77,13
- CO
2
, 20,88
- H
2
S, mg m
3
1544,46 - NH
3
, mg m
3
40,12
hari hingga dapat menghasilkan limbah. Maka, berdasarkan nilai tersebut, loading rate
dari biogas adalah 450 kg40 hari yaitu sama dengan 11,25 kghari. Maka, untuk menghasilkan secara kontinu, kotoran yang harus
dimasukkan minimal 11,25 kghari setelah pengisian awal secara maksimal dilakukan. Jika kurang dari jumlah tersebut, maka jumlah biogas yang
dihasilkan akan tidak kontinu. 7
Pengadukan Untuk menghomogenkan bahan baku yang masuk ke dalam reaktor untuk
selanjutnya diolah melalui proses biologis, perlu dilakukan pengadukan bahan baku sebelum dimasukkan ke dalam reaktor maupun di dalam reaktor.
Pengadukan ini akan mengoptimalkan komposisi biogas yang dihasilkan, karema komposisi dari bahan baku yang dibutuhkan telah tercampur secara
merata terlebih dahulu. Pada peternakan sapi perah skala besar, pengadukan ini tidak dilakukan secara kontinu. Peternak hanya memasukkan kotoran secara
langsung kedalam saluran yang mengalir ke lubang penampung. Pengadukan dilakukan secara tidak langsung ketika kotoran dibersihkan dari kandang
peternakan. 8
Starter Untuk mempercepat proses perombakan atau proses biologis yang terjadi di
dalam reaktor biogas, peternak dapat menambahkan starter berupa mikroorganima. Namun, pada peternak skala besar, hal ini tidak dilakukan.
Starter yang digunakan secara alami berada di dalam bahan baku yang digunakan, yakni di dalam kotoran ternak yang dihasilkan sapi perah.
9 Waktu Retensi
Kotoran ternak atau bahan baku yang digunakan akan berada didalam reaktor selama waktu tertentu, atau disebut sebagai waktu retensi. Waktu tinggal yang
diperlukan di dalam digester berkisar antara 29-60 hari tergantung jenis bahan organik yang digunakan. Untuk bahan organik yang digunakan selama
penelitian, yakni kotoran ternak, waktu retensi yang dibutuhkan adalah 40 hari. Dengan waktu yang relatif singkat tersebut, peternak dapat lebih mudah dan
lebih cepat dalam menghasilkan biogas.
Usaha peternakan sapi perah, juga menghasilkan limbah biogas sludge. Jumlah limbah yang dihasilkan ini sebesar 70 dari total keseluruhan kotoran
ternak yang digunakan sebagai input dalam pembentukan biogas. Jenis limbah ini bersifat lumpur, antara cair dan padat. Dalam satu harinya jumlah limbah biogas
yang dapat dihasilkan sebanyak 315 kg. Jumlah produksi limbah ini dipengaruhi oleh jumlah kotoran yang dimasukkan sebagai input. Semakin tinggi jumlah
kotoran yang digunakan, akan semakin tinggi pula jumlah limbah yang dihasilkan. Berdasarkan analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa secara teknis usaha
peternakan sapi perah layak untuk dijalankan. Hampir di setiap kriteria pada aspek teknis, tidak terdapat kendala dan permasalahan yang menghambat jalannya
usaha. Permasalahan yang mungkin timbul, seperti kualitas dan jumlah susu yang dihasilkan dapat diatasi oleh para peternak.
6.1.3. Aspek Manajemen dan Hukum
Aspek manajemen dan hukum terkait dengan sistem organisasi dan manajerial tenaga kerja yang digunakan serta badan hukum dan kelembagaan
yang dimiliki usaha peternakan skala besar yang terdapat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung.
1. Manajemen
Proses perekrutan atau pemilihan tenaga kerja yang berasal dari luar atau non keluarga, dilakukan secara sederhana, yaitu dengan membuka lowongan atau
mencari masyarakat yang membutuhkan tenaga kerja. Tenaga kerja yang dipilih minimal memiliki pengalaman mengenai peternakan sapi perah, seperti proses
perawatan sapi perah dan pemerahan susu serta bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat yang belum
memiliki pengalaman untuk menjadi tenaga kerja dalam usaha peternakan sapi perah, karena mereka pun akan mendapatkan bimbingan lebih lanjut mengenai
peternakan sapi perah dari pemilik usaha ataupun tenaga kerja lainnya. Tenaga kerja yang digunakan pada usaha peternakan sapi perah mayoritas
adalah pria. Hal ini disebabkan, pria mampu melakukan pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan wanita. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah
membersihkan kandang, membersihkan sapi, memberi pakan, memerah susu,
mengangkut susu ke koperasi serta mencari rumput. Tidak terdapat pembagian tugas secara khusus dari setiap tenaga kerja, setiap tenaga kerja hanya membagi
pekerjaan kedalam jumlah sapi yang dimiliki oleh usaha tersebut, misalnya satu pekerja mengurus empat sapi, dan selanjutnya mereka melakukan seluruh jenis
pekerjaan tersebut, kecuali mencari rumput yang biasanya hanya dilakukan oleh satu orang.
Rata-rata jam kerja peternak sapi perah adalah tujuh sampai delapan jam perhari yang dimulai dari pukul lima sampai delapan pagi dengan pekerjaan
membersihkan kandang, membersihkan sapi, memberikan pakan, dan memerah. Kemudian dilanjutkan pukul sebelas siang untuk mencari rumput serta pukul
setengah tiga sore yang dilakukan pekerja untuk kembali membersihkan kandang, membersihkan sapi, memberikan pakan, dan memerah. Jumlah upah dari tenaga
kerja dihitung tidak berdasarkan jam kerja setiap tenaga kerja yang ada, melainkan dihitung berdasarkan upah per bulan yang besarnya Rp 640.000,00 per
tenaga kerja. Usaha peternakan sapi perah tidak memiliki struktur organisasi yang baku.
Struktur organisasi usaha peternakan sapi perah skala besar terdiri dari pemilik yang juga berperan sebagai tenaga kerja, serta para pekerja lainnya yang berasal
dari non keluarga masyarakat Gambar 23.
Gambar 23. Struktur Organisasi Usaha Peternakan Sapi Perah
2. Hukum
Seluruh usaha peternakan yang ada, belum memiliki badan hukum resmi dari pemerintah setempat. Satu-satunya badan hukum yang dimiliki adalah
sebagai anggota dari KUD Giri Tani. KUD Giri Tani merupakan sebuah koperasi berbentuk badan usaha yang beranggotakan para peternak yang tergabung
Pemilik Tenaga kerja
Tenaga Kerja Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
kedalam kelompok peternak di setiap wilayah, dimana koperasi ini berperan sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasarkan asas kekeluargaan. Kelompok
peternak yang tergabung kedalam KUD Giri Tani adalah Kelompok Mekar Jaya untuk Desa Cipayung, Kelompok Tirta Kencana untuk Desa Tugu Selatan, serta
Kelompok Baru Tegal, dan Baru Sireum untuk Desa Cibeureum. Peternak yang tergabung kedalam kelompok dan KUD Giri Tani akan
mendapatkan banyak keuntungan. Peternak mendapatkan kepastian dalam pemasaran susu yang dihasilkan, karena seluruh susu yang dihasilkan oleh
anggota KUD Giri Tani akan diserap oleh Cimory. Sehingga, para peternak tidak perlu merasakan kesulitan dalam hal pemasaran susu. Para peternak juga lebih
mudah untuk mendapatkan pakan, karena pakan ini telah disediakan oleh KUD Giri Tani atau melalui kelompok ternak masing-masing. Selain itu, para peternak
juga dapat memperoleh pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan rumah tangga atau operasional dari usaha peternakan seperti pinjaman
berupa pakan. Pembayaran dari pinjaman tersebut dilakukan setiap bulan, dengan cara dipotong dari hasil penjualan susu. Keuntungan lainnya adalah kemudahan
peternakan untuk mendapatkan bantuan kesehatan hewan dan penyediaan obat- obatan ternak, apabila para peternak membutuhkan bantuan medis untuk
melakukan proses inseminasi buatan atau proses melahirkan. Usaha peternakan sapi perah, pada aspek manajemen dan hukum, layak
untuk dijalankan. Walaupun tidak memiliki struktur organisasi yang baku serta tidak memiliki badan hukum secara pribadi, namun usaha ini dapat dijalankan
dengan baik, dan tidak terdapat pekerjaan yang menyimpang dari tugas masing- masing tenaga kerja. Selain itu, dengan menjadi anggota KUD Giri Tani, tanpa
adanya badan hukum bagi masing-masing usaha peternakan yang ada, para peternak tetap memiliki kepastian dalam hal memasarkan susu segar kepada pihak
pembeli yakni Cimory.
6.1.4. Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya
Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan salah satu kawasan peternakan terbesar di Kabupaten Bogor Tabel 8. Dimana sebagian besar
masyarakat di daerah tersebut bermata pencaharian sebagai peternak, khususnya
sapi perah, hal ini terlihat dari jumlah peternak yang menjadi anggota KUD Giri Tani mencapai 140 orang. Dengan jumlah tersebut, di Kecamatan Cisarua dan
Megamendung secara tidak langsung telah tercipta pola-pola sosial dan budaya sebagai kawasan peternakan. Dimana dalam satu wilayah yang cukup besar, usaha
peternakan dan para peternak hidup berdampingan, serta saling berinteraksi dan bantu membantu dalam menjalankan usahanya.
Pola tersebut tercipta dalam waktu yang cukup lama, yakni puluhan tahun. Karena sebelum para peternak yang ada saat ini, yang mayoritas telah memulai
usaha selama belasan tahun, wilayah tersebut telah digunakan pula oleh para peternak pendahulu mereka selama puluhan tahun lalu. Pola yang tercipta telah
menjadikan pula kehidupan masyarakat di wilayah tersebut menjadi seragam dalam hal pekerjaan dan pola kerja mereka sebagai peternak. Untuk itu, pola
sosial dan budaya peternakan yang telah tercipta ini mendukung para peternak untuk menjalankan usaha, tanpa terkendala adanya pola sosial dan budaya yang
tidak sesuai.
Tabel 8. Jumlah Populasi Ternak Sapi Perah Kabupaten Bogor Tahun 2008
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Bogor 2009 Diolah
Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan salah satu kawasan potensial untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Banyaknya jumlah
peternakan yang berada di kawasan ini menimbulkan dampak bagi masyarakat sekitar, yakni terhadap sosial masyarakat serta lingkungannya baik positif maupun
No Kecamatan
Sapi Perah ekor
1 Pamijahan 1.071
2 Cibungbulang 890
3 Dramaga 38
4 Cijeruk 803
5 Caringin 605
6 Ciawi 165
7
Cisarua 1.152
8 Megamendung 358
9 Sukaraja 150
10 Bbk. Madang
45 11 Sukamakmur
200 12 Cibinong
112 13 Kemang
120
negatif. Secara sosial, usaha peternakan sapi perah yang terdapat di kawasan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar, yakni adanya
penyerapan tenaga kerja terhadap masyarakat. Usaha peternakan sapi perah rata- rata membutuhkan empat orang tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga.
Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja tersebut para peternak, memperkerjakan masyarakat di sekitar lokasi usaha peternakan.
Jika dijumlahkan setiap peternak membutuhkan empat orang tenaga kerja non keluarga dan satu orang tenaga kerja keluarga. Pada lokasi penelitian yakni
usaha peternakan skala besar yang memiliki reaktor biogas skala 7 m
3
, berjumlah lima peternakan, maka pada skala tersebut saja, total tenaga kerja yang dibutuhkan
adalah sebanyak 25 orang. Sedangkan, jika melihat usaha peternakan secara keseluruhan, total peternak yang menjadi anggota KUD Giri Tani berjumlah 140
orang, dan apabila di rata-rata setiap peternak minimal menggunakan dua orang tenaga kerja, jumlah penyerapan tenaga kerja yang dapat dilakukan adalah
sebanyak 280 orang. Penyerapan tenaga kerja secara ekonomi akan membantu masyarakat
dalam hal pengurangan jumlah pengangguran yang berada di daerah tersebut, sehingga terbuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar yang belum
memiliki pekerjaan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja secara langsung juga ikut meningkatkan jumlah pendapatan yang diterima masyarakat, yakni Rp 640.000,00
per orang dan usaha peternakan skala besar mampu meningkatkan pendapatan masyarakat hingga Rp 16.000.000,00 per bulan dan Rp 192.000.000,00 dalam
satu tahun. Selain itu, usaha peternakan sapi perah skala besar secara tidak langsung juga ikut meningkatkan sistem perekonomian di wilayah Kecamatan
Cisarua dan Megamendung. Pemasaran susu segar ke Cimory yang kemudian melalui proses pengolahan dan selanjutnya dipasarkan kepada konsumen, akan
memberikan nilai tambah bagi pemerintah, yakni dalam hal pemberlakuan pajak. Pajak yang diberlakukan bagi Cimory antara lain adalah pajak perusahaan, pajak
penghasilan hingga pajak pertambahan nilai. Nilai pajak tersebut berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan sebesar 25 untuk badan usaha
tetap.
Berdasarkan analisis tersebut, secara sosial-ekonomi-budaya usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan. Karena usaha ini telah memberikan
manfaat positif bagi ekonomi-sosial-budaya masyarakat sekitar lokasi usaha peternakan, yakni dalam hal pembukaan lapangan pekerjaan serta peningkatan
pendapatan.
6.1.5. Aspek Lingkungan
Usaha peternakan sapi perah memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan sekitar usaha yakni menimbulkan pencemaran lingkungan. Apabila
dilihat dari segi ilmiah, suatu lingkungan dapat disebut sudah tercemar bila memiliki beberapa unsur, yaitu : 1 Jika suatu zat, organisma, atau unsur-unsur
yang lain seperti gas, cahaya, energi telah tercampur terintroduksi ke dalam sumberdayalingkungan tertentu; dan 2 Karenanya menghalangimenganggu
fungsi atau peruntukan dari sumber dayalingkungan tersebut Siahaan, 2004. Pencemaran lingkungan yang terdapat di Kecamatan Cisarua dan
Megamendung diakibatkan oleh limbah yang dihasilkan oleh ternak, yaitu kotoran sapi. Rata-rata ternak sapi menghasilkan kotoran sebanyak 30 kg per harinya.
Apabila dijumlahkan setiap peternak skala besar memiliki total sapi lebih dari 10 ekor, maka dalam sehari jumlah kotoran yang dihasilkan lebih dari 300 kg. Maka
total keseluruhan dari peternakan skala besar saja, dapat menghasilkan minimal 1500 kg kotoran sapi per hari.
Jumlah kotoran yang dihasilkan tersebut, digunakan peternak sebagai pupuk, namun sebagian besar lainnya dialirkan begitu saja melalui sungai, tanpa
adanya pengolahan terlebih dahulu. Sehingga, hal tersebut menimbulkan pencemaran di sungai yang berada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung,
yang kemudian mengalir secara langsung ke Sungai Ciliwung yang berada di Ibu Kota Jakarta.
Adanya kotoran ternak yang masuk ke dalam sungai tersebut, menyebabkan penurunan kualitas air sungai, yakni adanya pencemaran dari
bakteri fecal coli dan total coli. Padahal Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang telah dipilih sebagai percontohan untuk memperbaiki dan
memulihkan kondisi sungai di Indonesia. Sungai tersebut juga berperan sebagai
sungai lintas propinsi yang melalui tiga kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan empat kotamadya di wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Selain itu, air sungai merupakan salah satu sumber kehidupan masyarakat, banyak masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sarana mencuci, mandi
atau keperluan lainnya. Selain penurunan kualitas air, pencemaran yang diakibatkan oleh kotoran ternak, dapat menimbulkan berbagai penyakit bagi
masyarakat yang menggunakan air sungai, misalnya saja penyakit diare atau penyakit kulit.
Untuk mengatasi permasalahan pencemaran tersebut, pihak Kementrian Lingkungan Hidup berusaha memberikan solusi untuk mengurangi dampak
pencemaran yang masuk ke dalam Sungai Ciliwung, yakni melalui bantuan reaktor biogas terhadap usaha peternakan masyarakat yang terdapat di Kecamatan
Cisarua dan Megamendung. Melalui bantuan tersebut, diharapkan limbah yang berasal dari kotoran ternak dapat dikurangi alirannya menuju sungai dan
mendapatkan manfaat tambahan berupa biogas. Sehingga, dengan adanya penurunan jumlah kotoran ternak yang mengalir
ke dalam aliran sungai, kualitas air sungai dapat ditingkatkan, dan jumlah bakteri fecal coli dan total coli dapat diturunkan. Selain peningkatan kualitas air sungai,
melalui bantuan reaktor biogas, diharapkan masyarakat dapat mandiri dalam menghasilkan energi, sehingga dapat ikut mencegah krisis energi.
Namun, bantuan berupa reaktor tersebut belum dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi. Kapasitas dari reaktor skala 7 m
3
yang digunakan oleh peternak hanya menampung kotoran yang berasal dari 15 ekor
peternak, sementara rata-rata ternak yang dimiliki oleh usaha peternakan skala besar adalah 22 ekor. Dengan jumlah tersebut, setiap harinya sebanyak 210 kg
kotoran yang berasal dari tujuh ekor sapi, tidak dapat ditampung di dalam reaktor biogas. Sehingga, peternak membuang kotoran tersebut kedalam aliran sungai
yang mengalir langsung ke sawah yang dimiliki petani di Kecamatan Cisarua dan Megamendung atau langsung mengalir kedalam sungai.
Berdasarkan analisis tersebut pada aspek lingkungan, usaha peternakan sapi perah belum layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan, jumlah limbah
ternak yang dihasilkan tidak mampu tertampung seluruhnya. Sehingga, masih terdapat 210 kg kotoran yang dibuang ke sungai.
6.2. Analisis Aspek Finansial
6.2.1. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Perah
Analisis finansial usaha peternakan sapi perah mengacu pada kondisi usaha peternakan yang memiliki produk utama susu segar dimana tidak terdapat
terdapat pemanfaatan dari limbah kotoran ternak yang dihasilkan. Komponen yang terdapat pada analisis ini merupakan komponen yang terjadi pada saat
penelitian dilaksanakan. Komponen pertama yang dianalisis pada aspek ini
adalah:
a Biaya
Komponen biaya yang dikeluarkan oleh usaha peternakan sapi perah skala besar, mencakup biaya investasi, biaya tetap serta biaya operasional. Biaya
investasi merupakan biaya awal yang dikeluarkan saat menjalankan usaha yaitu pada tahun pertama usaha, dimana jumlahnya relatif besar dan tidak dapat habis
dalam satu kali periode produksi. Biaya investasi ditanamkan atau dikeluarkan pada suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam periode yang
akan datang, yakni selama umur usaha, atau selama usaha tersebut dijalankan. Rincian biaya investasi yang dikeluarkan oleh usaha peternakan sapi perah, dapat
dilihat pada Tabel 9. Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan pada tahun pertama sebesar Rp
411.001.000,00 yang terdiri dari biaya pembangunan kandang, pembelian tanah, pembangunan gudang, hingga pembelian peralatan seperti sekop, ember stainless,
milk can, pipa paralon, selang, gelas ukur, gaco, dan sapi. Seluruh biaya investasi
dikeluarkan secara tunai oleh peternak.
Tabel 9. Biaya Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar pada Kondisi Tanpa Risiko
No Biaya Investasi Jumlah Satuan
Harga Satuan Rp
Total Rp
1. Tanah
440 meter
100.000 44.000.000
2. Gudang
1 unit
4.600.000 4.600.000
3. Kandang
2 unit
20.875.000 41.750.000
4. Jet Pump
1 unit
4.555.000 4.555.000
5. Cangkul
3 unit
70.000 210.000
6. Sekop
2 unit
35.000 70.000
7. Ember stainless
2 unit
250.000 600.000
8. Milk Can 10 L
2 unit
350.000 700.000
9. Milk Can 20L
1 unit
500.000 500.000
10. Milk Can 40L
4 unit
1.100.000 4.400.000
11. Pipa Paralon
35 batang
10.000 350.000
12. Selang
21 meter
10.000 206.000
13. Gelas Ukur
1 unit
15.000 15.000
14. Gaco garpu
1 unit
45.000 45.000
15. Dara
4 ekor
11.000.000 44.000.000
16. Laktasi
17 ekor
15.000.000 55.000.000
17. Jantan
1 ekor
10.000.000 10.000.000
Total Biaya Investasi 411.001.000
Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama, namun, biaya tersebut mengalami penyusutan setiap tahunnya dengan proporsi yang berbeda-beda, hal
ini dipengaruhi oleh umur teknis dari masing-masing barang yang diinvestasikan. Umur teknis dari setiap barang yang diinvestasikan ditentukan berdasarkan tingkat
kemampuan suatu barang untuk dapat digunakan secara layak dan masih memiliki fungsi yang baik untuk mendukung jalannya usaha peternakan Tabel 10. Umur
teknis dari gudang dan kandang ditentukan selama 15 tahun, hal ini diperhitungkan dari tingkat kelayakan bangunan tersebut. Setelah 15 tahun,
gudang dan kandang tidak memiliki fungsi yang optimal untuk dipergunakan, hal ini disebabkan investasi tersebut telah mengalami kerusakan, seperti atap yang
berlubang. Umur teknis dari kandang ini ditentukan menjadi umur dari usaha peternakan sapi perah skala besar, karena selain merupakan salah satu komponen
penting dalam pelaksanaan usaha, kandang memiliki umur teknis terpanjang dan juga salah satu komponen investasi yang memiliki nilai terbesar diantara investasi
lain yang juga memiliki umur teknis 15 tahun.
Tabel 10. Umur Teknis dari Investasi yang Ditanamkan dalam Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar
Jenis Investasi Umur Teknis Tahun
Gudang 15 Kandang 15
Jet Pump 5
Cangkul 3 Sekop 3
Ember stainless 8
Milk Can 10 L
15 Milk Can
20L 15
Milk Can 40L
15 Pipa Paralon
4 Selang
3 Gelas Ukur
8 Gaco garpu
8 dara 6
Laktasi 5
Jantan 6
Sementara itu, ember stainless, gelas ukur, dan gaco memiliki umur teknis selama delapan tahun. Setelah delapan tahun, barang-barang tersebut, sudah tidak
layak untuk digunakan dan dapat menghambat jalannya usaha. Gelas ukur memiliki umur teknis delapan tahun disebabkan penggunaan gelas ukur selama
jalannya usaha tidak dilakukan secara terus-menerus, hanya dalam kondisi dan waktu tertentu, seperti ketika penjualan produk susu secara mandiri ke para
wisatawan. Sedangkan, untuk pengukuran susu segar saat penjualan menggunakan gelas ukur yang disediakan oleh KUD Giri Tani. Sehingga, hal tersebut
mengakibatkan gelas ukur memiliki umur teknis yang cukup lama. Jet pump serta sapi laktasi memiliki umur teknis selama lima tahun.
Setelah lima tahun, jet pump tidak dapat digunakan secara maksimal untuk mendukung kelancaran usaha peternakan, sehingga memerlukan penggantian.
Sedangkan, untuk sapi laktasi, kondisi sapi yang baik untuk diperah adalah setelah laktasi satu hingga laktasi kelima, setelah itu, sapi akan menjadi afkir dan tidak
dapat menghasilkan susu segar secara optimal. Sapi laktasi yang dibeli oleh para peternak pada awal usaha adalah sapi laktasi dengan umur dua tahun dan telah
mengalami laktasi pertama, sehingga umur teknis dari sapi laktasi adalah lima tahun.
Cangkul, selang serta sekop memiliki umur teknis selama tiga tahun. Selama umur tersebut, cangkul dan sekop digunakan untuk kegiatan pembersihan
kandang, seperti membuang kotoran, sedangkan selang digunakan sebagai alat pendukung untuk mengalirkan air yang berasal dari kran atau dari bak penampung
saat membersihkan kandang atau memberi minum ternak. Setelah umur keempat, ketiga barang tersebut tidak optimal untuk digunakan, sehingga perlu adanya re-
investasi. Pipa paralon memiliki umur usaha empat tahun. Pipa ini berfungsi untuk mengalirkan air yang berasal dari air gunung ke kandang ternak. Pipa akan
mengalami kerusakan, seperti kebocoran apabila digunakan lebih dari empat tahun, sehingga memerlukan pergantian di umur kelima.
Sementara itu, sapi dara dan jantan memiliki umur usaha selama enam tahun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sapi menjadi afkir pada laktasi
kelima atau umur sapi enam tahun. Pada awal pendirian usaha, peternak sapi perah membeli sapi dara dan jantan pada umur satu tahun, dimana sapi dara
tersebut belum pernah mengalami laktasi pertama. Sehingga, sapi dara dan jantan akan menjadi afkir di tahun keenam usaha, dan memerlukan pergantian di tahun
setelahnya. Untuk melakukan pergantian terhadap barang-barang investasi yang telah
habis umur teknisnya, para peternak mengeluarkan biaya yang disebut sebagai biaya re-investasi Tabel 11. Biaya re-investasi ini dikeluarkan tepat setelah
secara teknis dari barang investasi sudah tidak optimal untuk digunakan. Biaya- biaya ini dikeluarkan pada tahun yang berbeda-beda yakni, pada tahun ke-4, ke-5,
ke-6, ke-7, ke-9, ke-10, ke-11, dan ke-13 dengan pengeluaran paling besar pada tahun ke-6 dan ke-11 yaitu sebesar Rp 259.555.000,00, yang digunakan untuk
pembelian sapi laktasi sebanyak 17 ekor serta jet pump. Tanah, gudang, kandang, serta milk can tidak memiliki biaya re-investasi,
hal ini disebabkan barang-barang tersebut memiliki umur teknis 15 tahun, sesuai dengan umur usaha dari peternakan sapi perah skala besar. Pada tahun ke-4 dan
ke-10, peternak mengeluarkan biaya re-investasi sebesar Rp 486.000,00 yang digunakan untuk pembelian cangkul, sekop, dan selang, sementara di tahun ke-5,
biaya re-investasi dikeluarkan untuk pembelian pipa paralon senilai Rp 350.000,00. Tahun ke-6 dan ke-11 total biaya re-investasi yang dikeluarkan
mencapai Rp 259.555.000,00 yang dipergunakan untuk melakukan pembelian sapi laktasi serta jet pump.
Tabel 11. Biaya Re-investasi yang Diperlukan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar Tahun Ke-
Investasi 4
Rp 5
Rp 6
Rp 7
Rp 9
Rp 10
Rp 11
Rp 13
Rp
Gudang Kandang
Jet Pump 4.555.000 4.555.000
Cangkul 210.000 210.000 210.000
210.000 Sekop 70.000
70.000 70.000 70.000
Ember stainless 600.000
Milk Can 10 L Milk Can 20L
Milk Can 40L Pipa Paralon
350.000 350.000 350.000
Selang 206.000 206.000 206.000
206.000 Gelas Ukur
15.000 Gaco garpu
45.000 Sapi dara
4ekor 44.000.000
44.000.000 Sapi Laktasi
17ekor 255.000.000
255.000.000 Sapi Jantan 1ekor
10.000.000 10.000.000
TOTAL BIAYA INVESTASI
486.000 350.000 259.555.000 54.486.000 1.010.000 486.000 259.555.000 54.836.000
Tahun ke-7 peternak melakukan pembelian atas cangkul, sekop, dan selang serta sapi dara dan jantan yang membutuhkan biaya sebesar Rp
54.486.000,00. Tahun ke-9 pengeluaran untuk pembelian barang-barang re- investasi terbilang rendah, yakni hanya sebesar Rp 1.010.000,00, yang digunakan
untuk melakukan pembelian ember stainless, gaco, pipa paralon, dan gelas ukur. Tahun ketigabelas merupakan tahun terakhir dimana peternak mengeluarkan biaya
untuk re-investasi. Biaya yang dikeluarkan ini sebesar Rp 54.836.000,00, untuk pembelian cangkul, sekop, pipa paralon, selang, sapi dara, dan juga sapi jantan.
Barang-barang investasi tersebut mengalami penyusutan setiap tahunnya. Nilai penyusutan ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus. Penyusutan
dari setiap barang investasi memiliki nilai yang berbeda Tabel 12. Hal ini dipengaruhi oleh nilai awal barang investasi, umur teknis serta nilai sisa barang
tersebut.
Tanah tidak mengalami penyusutan setiap tahunnya, karena penggunaan tanah tidak memiliki batas waktu atau umur teknis yang dibatasi oleh waktu
tertentu. Gudang mengalami penyusutan sebesar Rp 306.667,00 setiap tahunnya. Sedangkan, dua buah kandang yang diinvestasikan menyusut Rp 2.783.333,00
setiap tahun. Jet pump, cangkul serta sekop memiliki nilai penyusutan setiap tahun
sebesar Rp 911.000,00, Rp 70.000,00, dan Rp 23.333,00. Sedangkan, Ember stainless menyusut sebesar Rp 75.000,00, Milk Can 10 L menyusut sebesar Rp
46.667,00, Milk Can 20 L menyusut sebesar Rp 33.333,00, dan Milk Can 40 L menyusut sebesar Rp 293.333,00 setiap tahunnya. Untuk barang investasi lain,
seperti pipa paralon, selang, gelas ukur, dan gaco garpu mengalami penyusutan sebesar Rp 87.500,00; Rp 68.667,00; Rp 1.875,00; dan Rp 5.625,00 setiap tahun.
Sementara itu, investasi berupa hewan ternak sapi laktasi, dara, dan jantan memiliki nilai penyusutan sebesar Rp 4.000.000,00; Rp 34.000.000,00; dan Rp
833.333,00 dalam satu tahun. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, total penyusutan dari usaha peternakan sapi perah sebesar Rp 43.539.667,00 setiap tahunnya. Nilai
penyusutan ini dimasukkan kedalam perhitungan laba rugi dari usaha peternakan sapi perah skala besar.
Tabel 12. Nilai Penyusutan dari Barang Investasi Setiap Tahun
Jenis Investasi PenyusutanTahun Rp
Tanah Gudang
306.667
Kandang
2.783.333
Jet Pump
911.000
Cangkul
70.000
Sekop
23.333
Ember stainless
75.000
Milk Can 10 L
46.667
Milk Can 20L
33.333
Milk Can 40L
293.333
Pipa Paralon
87.500
Selang
68.667
Gelas Ukur
1.875
Gaco garpu
5.625
dara
4.000.000
Laktasi
34.000.000
Jantan
833.333
TOTAL
43.539.667
Selain biaya investasi dan biaya penyusutan, terdapat biaya tetap yang dikeluarkan selama jalannya usaha Tabel 13. Besarnya biaya tetap yang
dikeluarkan ini, tidak dipengaruhi oleh perubahaan input maupun output yang dihasilkan pada usaha peternakan. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh usaha
peternakan sapi perah hanya terdiri dari empat bagian yaitu pajak bumi bangunan yang dikeluarkan setiap tahun sebesar Rp 436.000,00, biaya listrik, dan telepon
yang dikeluarkan secara rutin setiap bulannya, serta biaya tenaga kerja. Tenaga kerja yang dipekerjakan pada usaha peternakan skala besar berjumlah 5 orang,
dengan gaji per bulan sebesar Rp 640.000,00 setiap orangnya. Biaya tetap yang dikeluarkan pada tahun pertama, lebih rendah jumlahnya
daripada biaya tetap yang dikeluarkan di tahun-tahun lainnya. Hal ini disebabkan, pada tahun pertama, tepatnya tiga bulan pertama, kegiatan usaha peternakan sapi
perah belum dilaksanakan.
Tabel 13. Biaya Tetap yang Dikeluarkan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar
Biaya Tetap Tahun pertama Rp
Tahun kedua Rp
PBB 500.000
500.000 Biaya Listrik
630.000 840.000
Biaya Telepon 882.000
1.176.000 Tenaga Kerja
28.800.000 38.400.000
Total Biaya Tetap 30.812.000
40.916.000
Pada waktu tersebut kegiatan yang dilaksanakan berupa pembangunan kandang dan gudang. Dimana biaya atas tenaga kerja, biaya listrik, dan telepon
telah tercantum kedalam biaya yang dikeluarkan pada investasi kandang dan gudang. Sedangkan, biaya pada tahun kedua hingga tahun terakhir dari umur
usaha, yakni 15 tahun, bersifat konstan yakni sebesar Rp 40.916.000,00, karena tidak dipengaruhi oleh jumlah input ataupun output yang dihasilkan selama
kegiatan produksi dijalankan.
Biaya selanjutnya yang dikeluarkan pada usaha peternakan sapi perah adalah biaya variabel Tabel 14. Biaya ini dipengaruhi oleh jalannya proses
produksi, yakni berkaitan dengan jumlah input yang digunakan serta jumlah output yang dihasilkan. Komponen yang termasuk kedalam biaya variabel adalah
biaya untuk pakan, mentega, obat-obatan, biaya dokter, biaya pengiriman, biaya susu untuk pedet, biaya pembelian saringan susu, sapu, sikat, serta ember plastik.
Besarnya biaya variabel yang dikeluarkan selama umur usaha tidak konstan setiap tahunnya.
Hal ini terlihat, pada tahun pertama, ketujuh, dan ketigabelas, jumlah biaya variabel yang dikeluarkan tidak sama dengan biaya yang dikeluarkan pada tahun
ke-2 hingga ke-6, ke-8 hingga ke-12, serta biaya di tahun ke-14 dan ke-15. Biaya variabel yang dikeluarkan pada tahun pertama, merupakan biaya variabel terendah
yang dikeluarkan, yakni sebesar Rp 132.529.735,00. Pada tahun ini, kegiatan operasional usaha dimulai pada bulan keempat, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk pembelian pakan, mentega dan lain sebagainya juga mulai dikeluarkan pada bulan tersebut. pada tahun pertama ini pula, sapi dara yang dimiliki belum
mengalami laktasi sehingga, biaya pengiriman untuk susu juga lebih rendah dibanding tahun-tahun lainnya, karena jumlah susu yang dihasilkan belum optimal
seluruhnya. Selain itu, peternak juga tidak mengeluarkan biaya untuk pemberian susu ke pedet, karena pada tahun pertama, belum terdapat pedet yang dilahirkan.
Tabel 14. Biaya Variabel yang Dikeluarkan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar
Tahun ke- 1
Rp 2
Rp 7
Rp 8
Rp 13
Rp 14
Rp
A.Pakan Konsentrat
64.539.900 86.053.200
86.053.200 86.053.200
86.053.200 86.053.200
Ampas Tahu 24.848.100
33.130.800 33.130.800
33.130.800 33.130.800
33.130.800 Rumput
19.152.000 25.536.000
25.536.000 25.536.000
25.536.000 25.536.000
Mineral 1.267.200
1.689.600 1.689.600
1.689.600 1.689.600
1.689.600 B.Mentega 81.000
108.000 108.000
108.000 108.000
108.000 C.Obat-obatan
424.800 566.400
566.400 566.400
566.400 566.400
D.Biaya Dokter 9.450.000
12.600.000 12.600.000
12.600.000 12.600.000
12.600.000 E.Biaya
Pengiriman 12.036.735 19.155.150 16.048.980 19.155.150 16.048.980 19.155.150
F.Biaya Susu untuk Pedet
0 44.823.050 44.823.050 44.823.050 44.823.050 44.823.050 G.Saringan
susu 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
H.Sapu 330.000 330.000
330.000 330.000
330.000 330.000
I. Sikat 300.000
300.000 300.000
300.000 300.000
300.000 J.Ember plastik
70.000 70.000
70.000 70.000
70.000 70.000
TOTAL 132.529.735
224.392.200 221.286.030
224.392.200 221.286.030
224.392.200
Sedangkan, pada tahun-tahun lainnya, biaya variabel yang dikeluarkan mengalami peningkatan menjadi Rp 224.392.200,00 pada tahun ke-2 hingga tahun
ke-15, kecuali di tahun ke-7 dan ke-13 sebesar Rp 221.286.030,00, dimana pada tahun tersebut terjadi re-investasi, sapi dara yang sebelumnya telah mengalami
laktasi dan mampu memproduksi susu dijual ditahun ke-6 dan ke-12, dan digantikan oleh sapi dara yang dibeli pada tahun ke-7 dan ke-13. Adanya re-
investasi ini menyebabkan produksi susu menurun serta mengurangi biaya untuk pengiriman susu, yakni hanya sebesar Rp 16.048.980,00 dari semula sebesar Rp
19.155.150,00. Dimulai pada tahun kedua, terdapat pengeluaran biaya untuk pemberian
susu kepada pedet. Pedet yang dilahirkan setiap tahunnya berjumlah 21 ekor, yang dilahirkan dari 21 sapi betina yang dimiliki oleh peternak. Sapi ini dipelihara oleh
peternak hingga berumur dua bulan. Selama dua bulan tersebut, peternak mengeluarkan biaya untuk pemberian pakan berupa susu segar, karena pada umur-
umur awal, sapi pedet tidak mengonsumsi rerumputan, konsentrat, mineral ataupun ampas tahu, namun pedet hanya mengonsumsi susu segar.
Susu segar yang dikonsumsi setiap bulannya berjumlah lima liter di bulan pertama, dan empat liter dibulan kedua. Sehingga dalam dua bulan tersebut, total
susu yang diberikan kepada setiap ekor pedet sebanyak sembilan liter. Jika diakumulasikan dengan total jumlah pedet sebanyak 21 ekor, maka setiap
tahunnya jumlah susu yang menjadi biaya variabel bagi peternak sebanyak 11.340 liter atau senilai Rp 44.823.050,00.
Biaya variabel yang dikeluarkan untuk pembelian pakan setiap tahunnya berjumlah Rp 146.409.600,00, yang terbagi kedalam pengeluaran untuk
pembelian konsentrat, ampas tahu, rumput, dan mineral masing-masing senilai Rp 64.539.900,00; Rp 24.848.100,00; Rp 19.152.000,00; dan Rp 1.267.200,00.
Dalam satu bulan jumlah konsentrat yang dibutuhkan sebanyak 3.951 kg dengan harga beli Rp 1.815,00 per kg, sehingga dalam satu tahun jumlah konsentrat yang
dibutuhkan sebanyak 47.412 kg dengan total biaya Rp 64.539.900,00. Pakan berupa ampas tahu dalam satu bulan menghabiskan 10.225 kg,
sehingga dalam satu tahun membutuhkan 122.705 kg dengan harga beli Rp 270,00 per kg. Maka besarnya biaya variabel yang dikeluarkan untuk pembelian
ampas tahu dalam satu tahun sebesar Rp 33.130.800,00. Sementara itu, mineral yang dibutuhkan dalam satu bulan sebesar 8 bungkus dan dalam satu tahun
mencapai 96 bungkus dengan harga beli Rp 17.600,00 per bungkus. Maka, dalam satu tahun biaya variabel dari mineral sebesar Rp 1.689.600,00. Sementara itu,
untuk rumput, dalam satu bulan dibutuhkan 12.897 kg rumput dengan harga beli Rp 165,00 per kg. Sehingga dalam satu tahun jumlah rumput yang digunakan
sebanyak 154.764 kg, yang menghabiskan biaya sebesar Rp 25.536.000,00. Biaya variabel kedua yang dikeluarkan adalah untuk pembelian mentega.
Mentega yang dibutuhkan dalam satu tahun sebanyak 24 bungkus dengan harga satuan Rp 4.500,00 per bungkus. Sehingga, dalam satu tahun pengeluaran untuk
mentega menghabiskan biaya sebesar Rp 108.000,00. Usaha peternakan sapi perah memerlukan jasa dari dokter atau tenaga kesehatan hewan yang berasal dari
KUD Giri Tani setiap tahunnya. Kebutuhan akan dokter ini diperlukan untuk menangani permasalahan kesehatan yang kerap kali dialami oleh ternak, seperti
penyakit diare dan demam, serta kebutuhan akan jasa tenaga kesehatan hewan diperlukan setiap tahunnya untuk menangani permasalahan dari hewan ternak
yang melahirkan. Dalam satu tahun terdapat 21 sapi betina yang melahirkan. Setiap proses kelahiran menghabiskan biaya sebesar Rp 50.000,00. Sehingga,
dalam satu tahun biaya yang dibutuhkan untuk jasa dokter sebesar Rp 12.600.000,00.
Komponen biaya variabel yang terakhir adalah biaya untuk kebutuhan akan peralatan dan perlengkapan pendukung usaha peternakan seperti saringan
susu, sapu, sikat, dan ember plastik. Dalam satu tahun, ember plastik yang dibutuhkan sebanyak tujuh buah dengan harga satuan Rp 10.000,00 per unitnya
dan total biaya yang dibutuhkan per tahunnya sebesar Rp 70.000,00. Sedangkan, untuk saringan susu, sapu, dan sikat dibutuhkan masing-masing sebesar 2, 22, dan
20 setiap awal tahun dengan harga satuan Rp 5.000,00. Ketiga peralatan tersebut akan mengalami pergantian setiap empat bulan sekali atau tiga kali dalam satu
tahunnya. Maka, dalam satu tahun biaya variabel yang dikeluarkan untuk pembelian saringan susu sebesar Rp 30.000,00, untuk sapu sebesar Rp
330.000,00, dan sikat sebesar Rp 300.000,00.
Usaha peternakan sapi perah, dijalankan dengan menggunakan modal sendiri yang dimiliki oleh peternak, tanpa adanya pinjaman dari pihak atau
lembaga keuangan terkait, seperti rentenir ataupun bank. Sehingga, pada komponen biaya, tidak terdapat pengeluaran atas debt service, yakni pembayaran
akan bunga serta pokok pinjaman. b
Manfaat Manfaat yang diperoleh usaha peternakan sapi perah merupakan seluruh
kondisi yang mendorong tercapainya suatu tujuan usaha, yakni memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam manfaat adalah :
- Nilai Produksi Total
Usaha peternakan sapi perah yang dijalankan menghasilkan output produksi utama susu segar dengan output sampingan berupa penjualan pedet serta
penjualan sapi afkir. Manfaat dari usaha didapatkan setelah bulan keempat di tahun pertama usaha dijalankan. Hal ini disebabkan, kegiatan operasional
usaha yang baru dimulai pada bulan ke-4.
Tabel 15. Nilai Output Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar Rp
Uraian
1 2 5 6 INFLOW
1. Produksi Susu 187.341.066
306.706.248 306.706.248
306.706.248 2. Penjualan Pedet
- 105.000.000
105.000.000 105.000.000
3. Penjualan Sapi Afkir
- -
85.000.000 25.000.000
Total penerimaan
187.341.066 411.706.248
496.706.248 436.706.248
Manfaat yang pertama diperoleh dari output utama usaha peternakan sapi perah, yakni susu segar. Susu segar yang dihasilkan pada tahun pertama
berjumlah 48.146,94 kilogram. Sedangkan pada tahun berikutnya, jumlah produksi susu yang dihasilkan mengalami peningkatan sebesar 30.643,38
kilogram menjadi 78.790,32 kilogram. Peningkatan tersebut disebabkan oleh
adanya peningkatan jumlah sapi laktasi, yakni semula hanya berjumlah 17 ekor menjadi 21 ekor, karena adanya 4 ekor sapi laktasi tambahan yang
sebelumnya merupakan sapi dara. Adanya peningkatan jumlah produksi
disebabkan pula oleh adanya tenggat waktu antara persiapan usaha dengan dimulainya kegiatan operasional yakni selama tiga bulan pertama.
Peningkatan jumlah produksi tersebut, ikut meningkatkan manfaat langsung atau penerimaan yang diperoleh peternak. Susu segar yang dihasilkan oleh
para peternak dipasarkan ke Cimory dengan harga jual rata-rata Rp 3.900,00 per kg. Dengan harga jual tersebut, pada tahun pertama, penerimaan yang
mampu diterima peternak dari penjualan susu segar hanya sebesar Rp 187.341.066,00, namun pada tahun ke-2 mengalami peningkatan menjadi Rp
411.706.248,00. Output kedua yang dihasilkan oleh usaha peternakan adalah pedet, yakni anak
sapi. Usaha peternakan sapi perah skala besar memiliki 21 ekor sapi betina, dimana sapi tersebut akan melahirkan satu ekor pedet setiap tahunnya, yang
dimulai pada tahun kedua usaha. Sehingga, setiap tahunnya keseluruhan jumlah pedet yang dilahirkan sebanyak 21 ekor. Pedet ini kemudian
diperjualbelikan pada saat berusia dua bulan kepada para peternak lain. Setiap ekor pedet dijual dengan harga Rp 5.000.000,00. Maka, penerimaan yang
diperoleh peternak dari penjualan pedet setiap tahun sebesar Rp 105.000.000,00.
Selain sapi pedet yang diperjualbelikan oleh peternak, sapi dewasa yang sudah tidak dapat memproduksi susu secara optimal atau yang disebut sapi
afkir, juga diperjualbelikan. Sapi afkir diperjualbelikan pada usia enam tahun atau setelah mengalami lima kali laktasi. Sapi betina laktasi dijual peternak
pada tahun ke-5, ke-10, dan ke-15 dengan harga jual Rp 5.000.000,00 per ekor. Sehingga, pada tahun tersebut peternak sapi perah akan menjual 17 ekor
sapi dan memperoleh penerimaan sebesar Rp 85.000.000,00. Sementara itu, sapi dara yang dimiliki peternak serta sapi jantan akan dijual
pada tahun ke-6 dan ke-12, dengan harga jual Rp 5.000.000,00 per ekor. Pada tahun tersebut, peternak akan menjual lima ekor sapi, dengan total
penerimaan yang akan didapatkan Rp 25.000.000,00. -
Salvage Value Penerimaan terakhir yang diperoleh peternakan skala besar berasal dari
salvage value . Salvage Value ini diperoleh pada tahun terakhir umur usaha,
yakni pada tahun ke-15. Nilai sisa diperoleh dari adanya penerimaan dari barang-barang investasi yang masih memiliki nilai di akhir tahun umur usaha.
Nilai sisa dari setiap barang investasi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Salvage Value Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar
Jenis Investasi Salvage Value Rp
Tanah
44.000.000
Gudang Kandang
Jet Pump Cangkul
Sekop Ember stainless
75.000
Milk Can 10 L Milk Can 20L
Milk Can 40L Pipa Paralon
87.500
Selang Gelas Ukur
1.875
Gaco garpu
5.625
dara
12.000.000
Laktasi
85.000.000
Jantan
2.500.000
TOTAL 154.000.000
Berdasarkan tabel tersebut, total nilai sisa yang diperoleh peternak pada akhir tahun sebesar Rp 154.000.000,00. Namun, pada perhitungan cash flow nilai
sisa dari sapi laktasi sebesar Rp 85.000.000,00 tidak dimasukkan kedalam total keseluruhan nilai sisa, melainkan masuk kedalam penerimaan dari
penjualan sapi laktasi afkir. Hal ini disebabkan tahun terakhir umur usaha sama dengan tahun terakhir umur teknis dari sapi laktasi. Sehingga, pada
tahun tersebut, sapi laktasi yang telah afkir akan dijual.
6.2.2. Kelayakan Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar
Kelayakan investasi dari usaha peternakan sapi perah dilihat melalui empat kriteria utama, yakni Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net
Benefit Cost Ratio Net BC, serta Payback Periode PP. Apabila nilai NPV
yang diperoleh lebih besar dari nol NPV 0, IRR lebih besar dari discount rate
IRR ≥ 6,99 , Net BC lebih besar atau sama dengan satu Net BC ≥ 1 dan PP
lebih kecil dari umur usaha PP 15 tahun maka usaha peternakan dikatakan layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi yang dilakukan
dengan umur usaha 15 tahun, didapatkan hasil pada Tabel 17 :
Tabel 17. Hasil Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah
Kriteria Investasi Hasil Perhitungan
NPV Rp 366.648.484,00
IRR 23,01 NET BC
1,72 Payback Periode
5 Tahun 1 bulan
Nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp 366.648.484,00, yang menunjukkan bahwa manfaat bersih atau keuntungan yang diperoleh peternakan sapi perah
skala besar selama 15 tahun dengan tingkat diskonto 6,99 sebesar Rp 366.648.484,00. Nilai tersebut lebih besar dari 0, sehingga berdasarkan kriteria
NPV, usaha peternakan sapi perah skala besar layak untuk dijalankan. Sementara itu, IRR dari usaha peternakan sapi perah sebesar 23,01 . Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha peternakan sapi perah skala besar sebesar 23,01 . Nilai ini lebih
besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,99 IRR 23,01 6,99 maka, dapat dikatakan bahwa usaha peternakan layak untuk dijalankan. Nilai ini
juga menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah skala besar akan tetap layak untuk dijalankan hingga tingkat IRR mencapai 23,01 .
Perhitungan Net BC yang dilakukan, menghasilkan nilai sebesar 1,72 yang menunjukkan bahwa setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk usaha
peternakan sapi perah skala besar akan memberikan keuntungan yang nilainya sebesar 1,72 satuan. Nilai Net BC ini lebih besar dari satu Net BC 1,72 1
maka pada kriteria ini, usaha peternakan skala besar layak untuk dijalankan. Nilai Payback Periode PP dari usaha ini adalah selama 5 tahun 1 bulan.
Nilai ini menunjukkan, bahwa seluruh biaya investasi yang ditanamkan dalam usaha peternakan sapi perah skala besar pada awal usaha, akan dapat
dikembalikan pada tahun kelima bulan kedelapan. Payback Periode memiliki periode yang lebih kecil dibandingkan dari umur usaha peternakan sapi perah
yakni 15 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan pada kriteria ini.
6.2.3. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah Ternak untuk Menghasilkan Biogas
Usaha peternakan skala besar yang terdapat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung mendapatkan bantuan berupa reaktor skala 7 m
3
pada tahun 2008- 2009. Bantuan reaktor biogas bertujuan untuk mengurangi pembuangan limbah
ternak ke dalam aliran sungai. Dengan adanya bantuan tersebut, usaha peternakan sapi perah pun memiliki manfaat tambahan serta biaya investasi baru yang
dikeluarkan. Untuk itu, perlu dianalisis lebih lanjut kelayakan dari usaha peternakan sapi perah yang memanfaatkan limbah ternak untuk menghasilkan
biogas. Komponen biaya dan manfaat pada usaha peternakan dengan pemanfaatan
limbah sebagian besar sama dengan komponen biaya dan manfaat pada usaha peternakan tanpa pemanfaatan limbah, namun terdapat beberapa perbedaan yakni,
terdapat penambahan pada komponen biaya investasi, yaitu biaya untuk reaktor biogas, kompor biogas serta biaya tenaga kerja dalam pembangunan reaktor.
Dalam menjalankan usahanya, peternak mendapatkan bantuan berupa reaktor biogas, kompor biogas serta biaya tenaga kerja yang dipergunakan untuk
membangun reaktor biogas. Sehingga, dalam perhitungannya, harga yang dipergunakan berdasarkan nilai opportunity cost dari biaya sebenarnya kedua
komponen tersebut, yang dikeluarkan oleh pihak pemberi bantuan yakni Kementrian Lingkungan Hidup Tabel 18. Biaya untuk pembangunan reaktor
hingga penyediaan kompor sebesar Rp 15.100.000,00. Pembangunan reaktor biogas memerlukan waktu selama tiga bulan, yang dilaksanakan di awal tahun
usaha.
Tabel 18. Biaya Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas
No Biaya Investasi Jumlah Satuan
Harga Satuan Rp
Total Rp
1. Reaktor Biogas
1 unit
14.800.000 14.800.000
2. Kompor Biogas
1 unit
300.000 300.000
3. Tenaga kerja
pembangunan reaktor 1 unit 1.000.000 1.000.000
Total 15.100.000
Umur teknis dari reaktor biogas serta biaya tenaga kerja dalam pembangunan reaktor ditentukan selama 15 tahun, hal ini diperhitungkan dari tingkat kelayakan
bangunan tersebut. Sementara itu, kompor biogas memiliki umur teknis selama delapan tahun. Setelah delapan tahun, barang tersebut, sudah tidak layak untuk
digunakan Tabel 19.
Tabel 19. Umur Teknis dari Barang Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas
Jenis Investasi Umur Teknis Tahun
Reaktor Biogas 15
Kompor Biogas 8
Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor 15
Kompor biogas yang dimiliki memiliki umur teknis delapan tahun, sehingga memerlukan pergantian atau re-investasi pada tahun ke-9. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kekontinuan usaha peternakan sapi perah. sementara itu, reaktor biogas dan biaya tenaga kerja untuk pembangunan tidak memiliki nilai re-
investasi karena umur teknis yang mencapai 15 tahun Tabel 20.
Tabel 20. Re-Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas
Investasi Tahun ke- 9 Rp
Reaktor Biogas -
Kompor Biogas 300.000
Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor -
Komponen biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan dan nilai sisa dari barang yang diinvestasikan. Reaktor biogas memiliki penyusutan sebesar Rp
986.667,00, kompor gas memiliki penyusutan sebesar Rp 37.500,00 dan biaya
tenaga kerja pembangunan reaktor menyusut sebesar Rp 66.667,00 per tahunnya. Berdasarkan nilai penyusutan tersebut, biaya investasi untuk reaktor biogas dan
tenaga kerja yang digunakan dalam proses pembangunan tidak memiliki nilai sisa pada akhir tahun usaha, sementara kompor biogas memiliki salvage value sebesar
Rp 37.500,00 Hal ini disebabkan seluruh nilai dari barang investasi telah tergunakan seluruhnya selama umur usaha Tabel 21.
Tabel 21. Penyusutan dan Salvage Value Usaha Peternakan sapi Perah
dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Rp
Jenis Investasi PenyusutanTahun
Salvage Value
Reaktor Biogas 986.667
Kompor Biogas 37.500
37.500 Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor
66.667
Biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan pada usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas sama dengan
komponen biaya yang dikeluarkan pada usaha peternakan sapi perah tanpa biogas. Namun, pada komponen manfaat terdapat perbedaan, yang disebabkan oleh
adanya tambahan penerimaan dari produksi biogas serta limbah biogas sludge yang dihasilkan Tabel 22.
Tabel 22. Penerimaan dari Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Rp
Penerimaan Tahun ke-1
Tahun ke-2
1. Produksi Biogas 4.347.000
5.796.000 2. Produksi Limbah Biogas
13.230.000 19.845.000
Total 17.577.00
25.641.000
Penerimaan pertama yang dihasilkan adalah biogas. Biogas yang dihasilkan tersebut, tidak dikomersilkan, melainkan dipergunakan sendiri oleh
peternak, baik untuk keperluan rumah tangga, atau untuk keperluan usaha peternakan. Penerimaan dari produksi biogas dihitung dengan mengonversikan
jumlah biogas yang dihasilkan dengan gas elpiji. Menurut Wahyuni 2008, setiap 1 m
3
reaktor biogas mampu menghasilkan biogas yang setara dengan 0,46 kg elpiji. Reaktor skala 7 m
3
yang dimiliki oleh peternak sapi perah skala besar,
dalam seharinya jumlah biogas yang mampu dihasilkan sebanyak 7 m
3
X 0,46 kg = 3,22 kg gas.
Pernyataan ini
didukung pula oleh Departemen Pertanian 2009, yang menyatakan bahwa setiap 1 m
3
reaktor biogas yang digunakan mampu dihasilkan 0,46 kg gas elpiji dalam seharinya
10
. Berdasarkan hal tersebut, dengan reaktor kg gas setara elpiji. Dengan jumlah tersebut, dalam satu tahun, jumlah biogas yang
dapat dihasilkan setara dengan 1.159,2 kg gas elpiji. Apabila dilakukan pengonversikan dengan harga jual elpiji 3 kg sebesar
Rp 15.000,00 atau Rp 5.000,00 per kg, maka penerimaan dari biogas yang dihasilkan oleh peternak dalam setahun mencapai Rp 5.796.000,00 dalam kondisi
optimal, yang dimulai pada tahun kedua. Kondisi ini berbeda di tahun pertama, karena produksi biogas baru dihasilkan pada bulan keempat setelah pembangunan
reaktor biogas selesai dilaksanakan. Sehingga, pada tahun pertama, produksi biogas yang dihasilkan selama sembilan bulan waktu produksi sebesar 869,4 kg,
dengan penerimaan sebesar Rp 4.347.000,00. penerimaan kedua yang dihasilkan adalah limbah biogas atau sludge.
Limbah ini berbentuk seperti lumpur yang memiliki kegunaan sebagai pupuk bagi tanaman. Limbah biogas yang dihasilkan dijual kepada masyarakat setempat yang
memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta usaha yang bergerak di bidang tanaman. Total limbah yang dihasilkan sebanyak 70 dari keseluruhan kotoran
ternak yang digunakan sebagai input bagi biogas. Reaktor dengan skala 7 m
3
mampu menampung kotoran yang dihasilkan oleh 15 ekor sapi setiap harinya PT. Swen Inovasi Transfer, 2009. Sehingga, setiap hari jumlah kotoran yang
digunakan sebagai input sebanyak 450 kg, dengan total limbah yang dihasilkan setelah proses biologis berlangsung sebanyak, 315 kg setiap harinya. Limbah dari
biogas baru akan dihasilkan setelah 40 hari sejak pertama kali kotoran ternak dimasukkan sebagai input kedalam reaktor biogas.
Sehingga, penerimaan yang diperoleh dari limbah biogas diterima oleh peternak sejak bulan kelima di tahun pertama usaha peternakan dijalankan.
Limbah biogas yang dihasilkan dijual dengan harga rata-rata Rp 175,00 per kilogram. Jika dijumlahkan, pada tahun pertama penerimaan yang diperoleh
sebesar Rp 13.230.000,00, dan pada tahun kedua sebesar Rp 19.845.000,00.
10
Deptan. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak Menjadi Biogas http:agribisnis.deptan.go.id [20 Maret 2010]
Penerimaan dari limbah biogas ini diasumsikan konstan dan mencapai titik optimal dimulai pada tahun kedua.
Berdasarkan komponen biaya dan manfaat tersebut, dapat dilakukan perhitungan kriteria investasi untuk menentukan tingkat kelayakan usaha
peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas Tabel 23.
Tabel 23. Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas
Kriteria Investasi Hasil Perhitungan
NPV Rp527.394.716,00 IRR 29,42
NET BC 2,09
Payback Periode Tahun ke-
5 tahun 5 bulan
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan hasil bahwa nilai NPV sebesar Rp 527.394.716,00, yang menunjukkan bahwa manfaat bersih atau
keuntungan yang diperoleh peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah selama 15 tahun dengan tingkat diskonto 6,99 sebesar Rp 527.394.716,00. Nilai
NPV ini lebih besar dari 0, sehingga layak untuk dijalankan. Nilai IRR sebesar 29,42 yang menunjukkan bahwa tingkat
pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha peternakan sapi perah dengan adanya pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas sebesar 29,42.
Nilai ini lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,99 IRR 29,42 6,99 maka layak untuk dijalankan. Perhitungan Net BC yang
dilakukan, menghasilkan nilai sebesar 2,09 yang menunjukkan bahwa setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk usaha peternakan sapi perah skala besar akan
memberikan keuntungan yang nilainya sebesar 2,09 satuan. Nilai Net BC ini lebih besar dari satu Net BC 2,09 1 maka pada kriteria ini, usaha peternakan
skala besar layak untuk dijalankan. Sementara pada perhitungan Payback Periode PP didapatkan bahwa
waktu pengembalian dari investasi yang ditanamkan adalah selama 5 tahun 5 bulan. Payback Periode memiliki periode yang lebih kecil dibandingkan dari
umur usaha peternakan sapi perah yakni 15 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa usaha peternakan sapi perah dengan adanya pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas layak untuk dijalankan.
6.2.4. Perhitungan Risiko pada Usaha Peternakan Sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas
Usaha peternakan sapi perah skala besar dengan pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas, dipengaruhi oleh risiko yang dapat
menimbulkan kerugian. Risiko utama yang dirasakan dan dihadapi oleh peternak adalah risiko produksi serta risiko harga susu segar. Penentuan risiko ini
berdasarkan data dan informasi yang didapatkan saat penelitian. Data serta informasi yang digunakan merupakan data pada kurun waktu dua tahun terakhir
dimana pada waktu tersebut peternak yang menjadi anggota KUD Giri Tani telah memasarkan susunya kepada Cimory, serta telah mendapatkan bantuan reaktor.
Risiko produksi terjadi pada produksi utama yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah, yakni produksi susu segar, dimana dilakukan skenario atas
tiga kondisi, yaitu risiko produksi saat kondisi tertinggi terbaik, kondisi normal serta kondisi terendah terburuk Tabel 24. Kondisi terbaik merupakan kondisi
dimana setiap sapi perah yang dimiliki mampu menghasilkan produksi susu segar dalam jumlah paling tinggi setiap harinya. Sedangkan, kondisi terburuk
merupakan sebuah kondisi dimana jumlah produksi susu yang dihasilkan mencapai titik terendah. Kondisi normal adalah kondisi dimana produksi rata-rata
susu dihasilkan setiap harinya atau merupakan kondisi dengan jumlah kemungkinan paling banyak terjadi selama periode dua tahun terakhir 24 bulan.
Tabel 24. Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi yang Terjadi pada Usaha Peternakan Skala Besar dengan Pemanfaatan Limbah
Berdasarkan tabel tersebut, pada kondisi terbaik, jumlah susu segar yang dapat dihasilkan adalah 23,6 Lharisapi. Kondisi ini terjadi selama 6,8 kali dalam
periode dua tahun terakhir. Skenario pada kondisi normal menunjukkan bahwa,
Kondisi Literharisapi
Intensitas Periode bulan
Kondisi terbaik 23,6
6,8 24
Kondisi normal 15
10,8 24
Kondisi Terburuk 9,6
6,4 24
dalam satu harinya, jumlah susu segar yang dapat dihasilkan sebanyak 15 LSapi, dan kondisi ini terjadi selama 10,8 kali dalam dua tahun. Sementara itu, kondisi
terburuk yang dihadapi para peternak adalah saat jumlah produksi susu segar mencapai titik terendah, yakni 9,6 Lharisapi, dengan intensitas 6,4 kali selama
periode dua tahun. Adanya risiko pada produksi ini akan mempengaruhi jumlah penerimaan yang diterima oleh peternak Tabel 25.
Tabel 25. Penerimaan Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi
Penerimaan Susu Tahun ke-1 Rp
Tahun ke-2 Rp Tahun ke-7 Rp
Kondisi terbaik 434.081.290
713.101.910 578.775.053
Kondisi normal 278.054.384
456.116.418 370.739.178
Kondisi Terburuk 180.084.000
294.753.434 240.112.000
Penerimaan awal susu tahun pertama pada kondisi risiko sama dengan penerimaan pada kondisi tanpa risiko, yakni dimulai pada bulan keempat,
demikian halnya pada harga jual susu per kilogramnya yakni tetap sebesar Rp 3.900,00. Namun, pada kondisi risiko produksi perbedaan terdapat pada jumlah
produksi, yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada kondisi terbaik, di tahun pertama jumlah total penerimaan yang dihasilkan dari penjualan susu segar
sebesar Rp 434.081.290,00. Pada tahun kedua jumlah penerimaan mengalami peningkatan, yakni menjadi Rp 713.101.910,00, hal ini disebabkan waktu
produksi yang telah maksimal selama 12 bulan, serta adanya jumlah penambahan sapi laktasi dari semula hanya 17 ekor menjadi 21 ekor. Namun, pada tahun ke-7
dan ke-13 jumlah penerimaan mengalami penurunan yakni menjadi Rp 578.775.053,00, hal ini disebabkan adanya re-investasi dari sapi yang telah afkir.
Sementara itu, pada kondisi normal, jumlah penerimaan yang diterima pada tahun pertama adalah sebesar Rp 278.054.384,00, pada tahun kedua
mengalami peningkatan menjadi Rp 456.116.418,00 dan sama seperti kondisi sebelumnya, pada tahun ke-7 dan ke-13 jumlah penerimaan mengalami penurunan
yakni menjadi Rp 370.739.178,00. Penerimaan yang diperoleh pada kondisi terakhir, yakni kondisi terburuk, di tahun pertama sebesar Rp 180.084.000,00.
Sedangkan di tahun kedua mengalami peningkatan menjadi Rp 294.753.434,00. Penerimaan dari kondisi terburuk juga mengalami penurunan di tahun ke-7 dan
ke-13 sebesar Rp 54.641.434,00 menjadi Rp 240.112.000,00.
Seperti halnya perubahan pada jumlah penerimaan yang dihasilkan, adanya risiko pada produksi juga mempengaruhi biaya variabel yang dikeluarkan,
khususnya biaya pengiriman susu. Pengiriman susu ke Cimory melalui KUD Giri Tani, mengeluarkan biaya Rp 250,00 per kilogram. Sehingga, apabila terjadi
perubahan pada produksi susu, jumlah biaya pengiriman pun mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Biaya Pengiriman Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi Rp
Biaya Pengiriman Tahun ke-1
Tahun ke-2 Tahun ke-7
Kondisi terbaik 27.446.594
45.206.154 36.595.458
Kondisi normal 17.444.869
28.732.725 23.259.825
Kondisi Terburuk 11.164.716
18.388.944 14.886.288
Pada kondisi terbaik, dimana jumlah produksi susu berada pada posisi tertinggi, 23,6 Lsapihari, biaya pengiriman yang dikeluarkan pada tahun pertama
yang dimulai di bulan ke-4 adalah sebesar Rp 27.446.594,00. Sementara di tahun ke-2 jumlah biaya pengiriman mengalami peningkatan menjadi Rp 45.206.154,00
yang disebabkan adanya produksi dalam jumlah yang optimal. Sedangkan di tahun ke-7 dan ke-13 sama dengan penerimaan, terjadi penurunan yakni menjadi
Rp 36.595.458,00 yang disebabkan adanya reinvestasi sapi yang afkir. Pada kondisi normal, besarnya biaya pengiriman yang dikeluarkan pada
tahun ke-1, ke-2, dan ke-7 dengan jumlah pengiriman 15 Lsapihari masing- masing sebesar Rp 17.444.869,00; Rp 28.732.725,00; serta Rp 23.259.825.00.
Sedangkan, kondisi skenario terburuk juga menunjukkan hal yang sama, biaya pengiriman yang dikeluarkan pada tahun ke-2 merupakan pengeluaran tertinggi
dibandingkan biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-1 dan ke-7, yakni Rp 18.388.944,00. Sementara, pada tahun ke-1 biaya pengiriman yang dikeluarkan
sebesar Rp 11.164.716,00 dan Rp 14.886.288,00 pada tahun ke-7. Dengan adanya perubahan pada penerimaan susu segar dan biaya
pengiriman, kriteria investasi dari ketiga skenario tersebut pun memiliki nilai yang berbeda dengan kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko Tabel 27.
Kriteria yang terdapat pada kondisi risiko sama dengan kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko yakni NPV, IRR, Net BC serta PP.
Tabel 27. Kriteria Investasi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi
Kriteria Kondisi Terbaik
Kondisi Normal Kondisi Terburuk
NPV
Rp 2.967.214.510,00 Rp 1.425.350.546,00
Rp 454.887.704,00
IRR 200,98
73,30 26,24
NET BC 16,03 5,65
1,91
Payback Periode
Tahun ke-2 bulan ke-10 Tahun ke-4 bulan ke-11
Tahun ke-5 bulan ke-3
Berdasarkan perhitungan kriteria investasi untuk risiko produksi, pada skenario terbaik, nilai NPV yang dihasilkan Rp 2.967.214.510,00, IRR sebesar
200,98 serta Net BC 16,03 menunjukkan bahwa usaha peternakan skala besar pada risiko produksi dengan kondisi terbaik, layak untuk dijalankan dengan waktu
pengembalian atas investasi selama dua tahun sepuluh bulan. Sedangkan, pada kondisi normal didapatkan nilai NPV, IRR, dan Net BC
masing-masing sebesar Rp 1.425.350.546,00; 73,30 ; dan 5,65 juga menunjukkan bahwa pada kondisi normal usaha peternakan tetap layak untuk
dijalankan. Tingkat payback periode dari usaha ini adalah selama empat tahun sebelas bulan.
Pada kondisi terburuk, usaha peternakan sapi perah juga menunjukkan kelayakan. Hal ini, terlihat dari nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari nol,
yakni Rp 454.887.704,00, serta nilai IRR yang lebih besar dari tingkat diskonto dan Net BC yang lebih besar sama dengan satu yakni 26,24 dan 1,91. Pada
kondisi ini waktu pengembalian atas investasi, menunjukkan waktu yang lebih lama dibandingkan kondisi lain yakni selama lima tahun tiga bulan.
Risiko kedua yang terjadi pada usaha peternakan sapi perah adalah risiko pada harga Tabel 28. Dimana harga susu mengalami fluktuasi, sehingga
mengakibatkan kerugian bagi peternak, karena harga yang tidak sesuai. Risiko harga juga ditentukan dari data dan informasi yang terdapat di peternak. Dimana
selama periode dua tahun terakhir terjadi tiga skenario yaitu kondisi terbaik dengan harga tertinggi mencapai Rp 3.957,00, dimana harga ini terjadi selama 6
kali. Kemudian, skenario kedua berupa kondisi saat normal dimana harga yang terjadi Rp 3.837,00 dengan intensitas 12 kali. Skenario terakhir adalah kondisi
terburuk dengan harga terendah Rp 3.736,00 yang terjadi selama 6 kali.
Tabel 28. Kondisi Tiga Skenario Risiko Harga yang Terjadi pada Usaha Peternakan Skala Besar dengan Pemanfaatan Limbah
Kondisi Harga Rp
Intensitas Periode
Kondisi terbaik 3.957
6 24
Kondisi normal 3.837
12 24
Kondisi Terburuk 3.736
6 24
Pada risiko harga, kondisi normal memiliki jumlah intensitas sebanyak 12 kali, lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi terbaik ataupun kondisi terendah,
yang masing-masing sebanyak 6 kali. Periode waktu yang digunakan adalah dua tahun atau selama 24 bulan.
Risiko harga yang terjadi mengakibatkan adanya perubahan dalam penerimaan yang diterima oleh peternak, hal ini dapat dilihat
pada Tabel 29.
Tabel 29. Penerimaan Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Harga Rp
Kondisi Tahun ke-1
Tahun ke-2 Tahun ke-7
Kondisi terbaik 190.035.990
311.135.115 253.381.320
Kondisi normal 184.375.849
301.833.178 245.834.465
Kondisi Terburuk 179.610.021
294.000.966 239.480.029
Penerimaan susu pada kondisi terbaik dimana terdapat harga tertinggi mengakibatkan adanya peningkatan pada penerimaan yang diterima oleh peternak,
yakni sebesar Rp 311.135.115,00 pada kondisi optimal, yakni dimulai pada tahun ke-2. Pada tahun pertama penerimaan yang diperoleh peternak belum optimal,
karena kegiatan produksi hanya dilakukan selama sembilan bulan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 190.035.990,00. Sementara, saat
terjadi re-investasi dimana sapi yang pada tahun pertama merupakan sapi dara mengalami afkir, penerimaan yang diperoleh peternak mengalami penurunan
yakni menjadi Rp 253.381.320,00. Pada kondisi normal, penerimaan yang diterima peternak tidak memiliki
perbedaan yang signifikan pada penerimaan tanpa adanya risiko, hal ini disebabkan perbedaan pada harga jual susu yang tidak terlalu berbeda. Sehingga,
pada tahun pertama, penerimaan yang diperoleh peternak sebesar Rp 184.375.849,00, dan di tahun kedua mengalami peningkatan menjadi Rp
301.833.178,00. Sementara di tahun ke-7 dan ke-13 jumlah penerimaan yang berasal dari susu lebih rendah yakni Rp 245.834.465,00.
Skenario terakhir merupakan kondisi dimana peternak memperoleh harga paling rendah, yang menyebabkan rendahnya penerimaan yang diterima oleh
peternak dibandingkan dengan kondisi lainnya. Pada tahun pertama, penerimaan yang diterima peternak sebesar Rp 179.610.021,00, sementara di tahun ke-2 dan
ke-7 jumlah penerimaan susu segar yang diterima sebesar Rp 294.000.966,00 dan Rp 239.480.029,00.
Penerimaan dari susu segar yang terjadi pada kondisi risiko, memiliki perbedaan dibandingkan dengan penerimaan pada kondisi tanpa risiko atau pada
kondisi risiko produksi. Hal ini menyebabkan, perbedaan pada keempat kriteria investasi Tabel 30.
Tabel 30. Kriteria Investasi pada Ketiga Skenario dalam Risiko harga
Kriteria Kondisi Terbaik
Kondisi Normal Kondisi Terburuk
NPV
Rp556.430.423,00 Rp495.446.806,00
Rp444.098.724,00
IRR 30,72 28,01 25,76
NET BC 2,16 2,01 1,88
PP
Tahun ke-5 Tahun ke-5
Tahun ke-8
Nilai NPV yang diperoleh pada kondisi terbaik adalah sebesar Rp 556.430.423,00, nilai ini lebih besar dari nol, sehingga menunjukkan bahwa pada
kondisi terbaik, usaha ini layak untuk dijalankan. Sedangkan IRR dan Net BC yang diterima sebesar 30,72 dan 2,16. Nilai IRR lebih besar dari tingkat
diskonto yakni 6,99 sehingga menunjukkan bahwa usaha ini layak dengan tingkat pengembalian sebesar 30,72 . Net BC pada kondisi terbaik ini lebih
besar dari satu, sehingga menunjukkan usaha ini layak, karena setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 2,16 satuan. Waktu
pengembalian dari barang investasi yang ditanamkan pada kondisi ini adalah selama lima tahun sepuluh bulan, waktu ini lebih rendah dari waktu umur usaha,
sehingga usaha ini layak untuk dijalankan. Pada kondisi normal, nilai NPV, IRR serta Net BC yang dihasilkan
masing-masing sebesar Rp 495.446.806,00; 28,01 ; dan 2,01. Nilai tersebut lebih besar dari kriteria yang ditentukan, sehingga menunjukkan bahwa pada
kondisi normal usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan.
Sementara pada kondisi terakhir yakni kondisi terburuk, nilai dari NPV adalah sebesar Rp 444.098.724,00; IRR sebesar 25,76 , serta Net BC sebesar
1,88. Pada kondisi terburuk usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan, karena nilai NPV bernilai positif, demikian halnya layak pada nilai IRR dan Net
BC yang kurang dari sama dengan satu. Berdasarkan data risiko harga dan produksi yang ada, dapat diketahui
tingkat risiko dari keduanya, risiko apakah yang paling tinggi dan paling rendah. Untuk mengetahui tingkat risiko tersebut, perlu diketahui probabilitas atau
peluang yang terjadi pada setiap kondisi, baik itu dari risiko harga atau risiko produksi. Nilai probabilitas didapatkan dari rasio antara intensitas dengan periode
di setiap kondisi Tabel 31.
Tabel 31. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi
Kondisi Probability NPVi
Rp
Terbaik 0,28
2.967.214.510 Normal
0,45 1.425.350.546
Terburuk 0,27
454.887.704
Berdasarkan rasio tersebut, diketahui bahwa probabilitas dari risiko produksi kondisi terbaik adalah 0,28. Sementara pada kondisi normal,
probabilitasnya sebesar 0,45 dan pada kondisi terburuk probabilitasnya adalah 0,27. Sedangkan pada risiko harga, probabilitas dari setiap skenario yakni pada
kondisi terbaik, menunjukkan bahwa probabilitas dari terjadinya risiko harga terbaik adalah sebesar 0,25, sedangkan probabilitas pada kondisi normal adalah
sebesar 0,50 dan probabilitas terjadinya harga terendah atau kondisi terburuk selama periode dua tahun adalah sebesar 0,25, hal ini dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko harga
Kondisi Probability NPVi
Rp
Terbaik 0,25
556.430.423,00 Normal
0,50 495.446.806,00
Terburuk 0,25
444.098.724,00
Sementara itu, komponen kedua yang perlu diketahui dalam menentukkan tingkat risiko adalah NPV yang diharapkan ENPV, dimana nilai ini
menunjukkan harapan dari pelaku usaha terhadap manfaat bersih yang ingin diterima selama usaha dijalankan. Nilai ini didapatkan dari perhitungan
penjumlahan NPV dari setiap kondisi yang ada NPVi dikalikan dengan probabilitas dari setiap kondisi pada risiko harga ataupun risiko produksi Tabel
33.
Tabel 33. Tingkat Risiko yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Harga dan Risiko Produksi
Nilai NPV yang diharapkan pada risiko produksi adalah Rp 1.603.421.912,00, sementara NPV yang diharapkan pada risiko harga output
adalah sebesar Rp 497.85.690,00. Setelah diketahui, nilai probabilitas beserta NPV yang diharapkan dari setiap kondisi, komponen selanjutnya dalam
menentukan tingkat risiko adalah penentuan standar deviasi, yakni penyimpangan yang terjadi dari usaha peternakan sapi perah, serta koefisien variasi yang
menunjukkan tingkat risiko yang dihadapi oleh peternak. Berdasarkan perhitungan, didapatkan hasil bahwa nilai standar deviasi dari
risiko produksi adalah sebesar 944.996.134, sedangkan standar deviasi dari risiko harga sebesar 39.788.240. Nilai standar deviasi dari risiko harga lebih rendah
dibandingkan dengan risiko pada produksi sehingga, risiko yang diterima peternak pada komponen harga lebih rendah dibandingkan risiko pada komponen produksi.
Namun, nilai standar deviasi tidak dapat menentukan serta membandingkan tingkat risiko secara keseluruhan, karena terdapat perbedaan NPV yang
diharapkan dari kedua risiko tersebut. Tingkat risiko secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan melakukan
perhitungan koefisien variasi, dimana koefisien ini merupakan nilai rasio antara standar deviasi dengan NPV yang diharapkan. Pada risiko produksi, nilai
koefisien variasi yang didapatkan adalah sebesar 0,59, sedangkan pada risiko
Jenis Risiko NPV yang diharapkan
Rp Standar
Deviasi Koefisien
Variasi Tingkat
Risiko
Produksi 1.603.421.912
944.996.134 0,59
Tinggi Harga Output
497.855.690 39.788.240
0,08 Rendah
harga sebesar 0,08. Dengan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa dari dua risiko tersebut, risiko produksi memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan
dengan risiko harga. Penentuan risiko ini juga mengacu pada konsep risiko berdikari dimana risiko dinilai hanya terjadi pada satu perusahaan, dan tidak dapat
dibandingkan dengan risiko yang terjadi di perusahaan lain, karena antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya memiliki perbedaan
diantara komponen yang menyusunnya. Pengurangan risiko harga serta produksi yang dihadapi oleh peternak
dilakukan dengan manajemen risiko secara sederhana, yakni dengan menjaga kualitas dari produk susu segar yang dihasilkan, seprti memberikan pakan dengan
kualitas baik dan menjaga kebersihan serta kesehatan kandang dan ternak sapi perah.
6.2.5. Perhitungan Incremental Net Benefit
Pembangunan reaktor biogas pada usaha peternakan sapi perah menunjukkan bahwa terdapat suatu usaha peternakan baru yang memanfaatkan
limbah yang sebelumnya tidak termanfaatkan untuk menghasilkan suatu manfaat baru yakni biogas dan limbah biogas. Penambahan komponen tersebut perlu
diketahui kelayakannya, apakah reaktor biogas, biogas, dan limbah biogas menguntungkan atau tidak jika dilaksanakan. Sehingga, perlu dilakukan analisis
lebih lanjut melalui perhitungan incremental net benefit, yakni manfaat bersih yang diperoleh dari usaha peternakan sapi perah setelah melakukan pemanfaatan
limbah ternak untuk menghasilkan biogas net benefit with project dikurangi dengan usaha peternakan sapi perah tanpa adanya pemanfaatan limbah ternak net
benefit without project .
Nilai dari manfaat bersih tersebut didapatkan dari perhitungan secara finansial pada usaha peternakan sapi perah tanpa pemanfaatan limbah dan usaha
peternakan sapi perah dengan adanya pemanfaatan limbah. Usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas menggunakan
bahan baku berupa limbah ternak yang belum termanfaatkan, sehingga nilainya tidak diperhitungkan. Perhitungan untuk menentukkan tingkat kelayakan
dilakukan dengan kriteria investasi, dengan komponen biaya dan manfaat sebagai berikut :
Komponen yang pertama adalah biaya dan manfaat tanpa adanya pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas atau yang biasa disebut dengan
usaha tanpa proyek Tabel 34. Penerimaan atau manfaat yang diterima usaha ini berasal dari produksi susu segar, penjualan sapi afkir, penjualan pedet serta
salvage value pada tahun ke-15. Tahun pertama jumlah penerimaan yang diterima
belum mencapai titik optimal, hal ini disebabkan kegiatan produksi yang baru dilaksanakan pada bulan keempat, serta belum adanya penerimaan dari penjualan
pedet ataupun sapi afkir. Sehingga total penerimaan pada tahun pertama sebesar Rp 187.341.066,00. Tahun kedua, kelima, dan keenam penerimaan yang diterima
usaha peternakan mengalami peningkatan karena adanya penjualan pedet setiap tahunnya yang mencapai Rp 105.000.000,00 dan penerimaan dari penjualan sapi
afkir pada tahun kelima dan keenam yang masing-masing sebesar Rp 85.000.000,00 dan Rp 25.000.000,00.
Biaya investasi yang dikeluarkan peternak pada tahun pertama mencapai Rp 411.001.000,00. Total biaya tersebut digunakan untuk membangun kandang,
gudang, pembelian ternak sapi perah, serta membeli peralatan dan perlengkapan seperti milk can, ember stainless, gelas ukur, dan selang. Biaya variabel yang
dikeluarkan pada tahun pertama lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada tahun kedua, yakni sebesar Rp 132.529.735,00 pada tahun
pertama dan Rp 224.392.200,00 pada tahun kedua. Perbedaan jumlah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan waktu produksi, yakni selama sembilan bulan
pada tahun pertama dan dua belas bulan pada tahun kedua. Komponen biaya variabel ini terdiri dari biaya pakan, mentega, obat-obatan, dokter, pengiriman
susu segar, ember, sapu, sikat, dan saringan susu. Biaya tetap yang dikeluarkan peternak bersifat konstan setiap tahunnya, kecuali pada tahun pertama yang
berjumlah Rp 30.812.000,00. Komponen dari biaya tetap ini adalah biaya penggajian tenaga kerja, pajak bumi dan bangunan, biaya telepon serta listrik.
Komponen biaya yang terakhir adalah pajak. Perhitungan pajak dilakukan melalui perhitungan laba rugi dengan besarnya pajak 25 dari total penerimaan bersih
setiap tahunnya.
Tabel 34. Komponen Biaya dan Manfaat tanpa Proyek Tanpa Biogas
Tanpa Proyek Tahun ke-1
Rp Tahun ke-2
Rp Tahun ke-5
Rp Tahun ke-6
Rp
Total Inflow 187.341.066 411.706.248
496.706.248 436.706.248
Outflow 1.Total Biaya Investasi
411.001.000 350.000
259.555.000 2.Total Biaya Variabel
132.529.735 224.392.200
224.392.200 224.392.200
3.Total Biaya Tetap 30.812.000
40.916.000 40.916.000 40.916.000
4. Pajak 25.714.595
46.964.595 31.964.595
Total Outflow 574.342.735 291.022.795
312.622.795 556.827.795
Net Benefit tanpa Biogas -387.001.669
120.683.453 184.083.453
-120.121.547
Komponen kedua adalah biaya dan manfaat pada usaha peternakan sapi perah dengan memanfaatkan limbah untuk biogas atau disebut sebagai usaha
peternakan dengan proyek biogas Tabel 35. Pada usaha ini, manfaat inflow yang diterima berasal dari produksi susu segar, produksi biogas, produksi limbah
biogas, penjualan sapi afkir, penjualan pedet serta salvage value yang diperoleh pada tahun terakhir umur usaha. Tahun pertama produksi dimulai pada bulan
keempat, karena pada tiga bulan pertama digunakan peternak untuk membangun kandang, gudang, serta reaktor biogas. Sehingga, penerimaan dari susu segar dan
biogas baru dapat diperoleh pada bulan keempat dan penerimaan dari limbah biogas baru diperoleh pada bulan kelima. Total penerimaan pada tahun pertama
sebesar Rp 204.918.066,00. Pada tahun kedua terdapat peningkatan penerimaan karena produksi sudah
mencapai titik optimal dan terdapat penambahan penerimaan yang berasal dari penjualan pedet. Total penerimaan pada tahun kedua adalah sebesar Rp
437.347.248,00. Tahun ketiga jumlah penerimaan mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya hal ini disebabkan adanya penerimaan
tambahan yang diperoleh dari penjualan sapi afkir sebesar Rp 85.000.000,00 sehingga penerimaan pada tahun kelima sebesar Rp 522.347.248,00. Penjualan
sapi afkir juga dilakukan pada tahun keenam sehingga penerimaan juga mengalami peningkatan sebesar Rp 25.000.000,00.
Tabel 35. Komponen Biaya dan Manfaat dengan Proyek Biogas
Dengan Proyek Biogas Tahun ke-1
Rp Tahun ke-2
Rp Tahun ke-5
Rp Tahun ke-6
Rp
Total Inflow 204.918.066 437.347.248
522.347.248 462.347.248
Outflow 1.Total Biaya Investasi
427.101.000 350.000
259.555.000 2.Total Biaya Variabel
144.679.735 240.592.200
240.592.200 240.592.200
3.Total Biaya Tetap 30.812.000
40.916.000 40.916.000 40.916.000 4. Pajak
27.802.137 49.052.137
34.052.137 Total Outflow 602.592.735
309.310.337 330.910.337
575.115.337
Net Benefit dengan Biogas -397.674.669
128.036.911 191.436.911
-112.768.089
Total biaya investasi yang dikeluarkan pada usaha peternakan dengan pemanfaatan limbah memiliki perbedaan dengan biaya investasi yang dikeluarkan
pada usaha peternakan sapi perah tanpa adanya pemanfaatan limbah. Hal ini disebabkan adanya tambahan komponen investasi sebesar Rp 15.100.000,00 yang
berasal dari biaya reaktor biogas skala 7 m
3
, kompor biogas, dan tenaga kerja pembangunan reaktor di tahun pertama. Biaya variabel serta biaya tetap yang
dikeluarkan memiliki persamaan dengan usaha peternakan tanpa pemanfaatan limbah, karena pembangunan biogas tidak memerlukan tambahan tenaga kerja
atau bahan baku lainnya. Berdasarkan hasil tersebut dilakukan perhitungan kriteria investasi dengan
terlebih dahulu mengurangi nilai net benefit dengan proyek dengan nilai net benefit
tanpa proyek secara incremental sehingga didapatkan hasil :
Tabel 36. Perhitungan Kriteria Investasi Incremental net benefit
Kriteria Investasi Hasil Perhitungan
NPV Rp 160.746.232,00
IRR Tingkat Diskonto 6,99
Net BC 1
Payback Periode 2 Tahun
Nilai NPV yang diperoleh adalah sebesar Rp 160.746.232,00, hal ini menunjukkan bahwa adanya pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan
biogas, memberikan manfaat bersih pada usaha peternakan sebesar Rp 160.746.232,00 selama 15 tahun. Nilai NPV ini lebih besar 0 sehingga layak
untuk dijalankan. Sementara, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari tingkat
diskonto yang digunakan yakni 6,99 sehingga layak untuk dijalankan. Net BC yang didapatkan adalah lebih besar dari satu yang menunjukkan bahwa setiap satu
satuan biaya yang dikeluarkan dalam pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas memperoleh manfaat lebih besar dari satu satuan. Nilai ini
memenuhi kriteria investasi dan layak untuk dijalankan. Kriteria yang terakhir adalah Payback Periode yakni dua tahun, yang menunjukkan waktu pengembalian
dari investasi yang ditanamkan adalah kurang dari umur usaha. Sehingga, menjukkan bahwa pada kriteria tersebut pembangunan reaktor skala 7 m
3
yang memanfaatkan limbah yang dihasilkan oleh ternak memberikan manfaat bagi
peternak serta layak untuk dijalankan. Setelah dilakukan perhitungan dari tiga kondisi usaha peternakan sapi
perah, yakni usaha peternakan sapi perah tanpa adanya pemanfaatan biogas, usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan biogas, serta perhitungan Incremental
Net Benefit , dapat dibandingan kriteria investasi dari ketiga kondisi tersebut
Tabel 37.
Tabel 37. Perbandingan Kriteria Investasi
Kriteria Investasi Without Project
With Project Incremental Net Biogas
NPV Rp 366.648.484,00
Rp527.394.716,00 Rp 160.746.232,00
IRR 23,01
29,42 Tingkat Diskonto 6,99 Net BC
1,72 2,09 1
Payback Periode 5 Tahun 1 bulan
5 tahun 5 bulan 2 Tahun
Usaha peternakan sapi perah tanpa adanya pemanfaatan biogas memberikan tingkat NPV yang lebih rendah dibandingkan dengan usaha
peternakan yang memanfaatkan biogas, yakni hanya sebesar Rp 366.648.484,00. Sehingga, tingkat IRR yang diperoleh usaha peternakan dengan pemanfaatan
biogas lebih tinggi yakni sebesar 29,41 . Demikian hal nya pada Net BC yang diterima yaitu lebih tinggi 3,7 dibandingkan usaha peternakan sapi perah tanpa
biogas. Melalui perhitungan Incremental Net Benefit terlihat bahwa manfaat yang diterima dengan adanya tambahan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan
biogas pada usaha peternakan sapi perah yang sebelumnya tidak memanfaatkan biogas sebesar Rp 160.746.232,00 dengan tingkat IRR dan Net BC yang
meunjukkan kelayakan untuk dijalankan. Maka, usaha peternakan sapi perah,
khususnya skala besar, akan memperoleh manfaat yang lebih tinggi ketika memanfaatkan limbah yang sebelumnya tidak termanfaatkan.
Pada perhitungan
Incremental Net Benefit tersebut, biaya bahan baku yang
digunakan untuk menghasilkan biogas, yakni kotoran ternak, tidak diperhitungkan. Karena adanya pemanfaatan limbah tersebut tidak digunakan
untuk kepentingan secara komersial atau hanya dilihat secara non-komersial untuk memanfaatkan hasil sampingan yang sebelumnya belum termanfaatkan. Namun,
untuk melihat usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah secara komersial, biaya bahan baku untuk kotoran ternak tersebut akan diperhitungkan,
yakni dengan nilai beli Rp 100,00kg. Kebutuhan bahan baku kotoran ternak setiap harinya mencapai 450 kg, sehingga jika bahan baku tersebut
diperhitungkan, terdapat tambahan pengeluaran akan biaya variabel dari usaha peternakan sapi perah sebesar Rp 45.000,00 per hari atau Rp 12.600.000,00 dan
biaya lain diperhitungkan tetap. Sehingga, akan didapatkan perhitungan Incremental Net Benefit
secara komersial Tabel 38.
Tabel 38. Perhitungan Kriteria Investasi Incremental Net Benefit secara
Komersial
Kriteria Investasi Hasil Perhitungan
NPV Rp 50.015.147,00
IRR 68,82 NET BC
6,01 Payback Periode
Tahun ke- 4 bulan 6
Berdasarkan perhitungan kriteria investasi pada Incremental Net Benefit secara komersial, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 50.015.147,00 yang lebih besar
dari 0, sehingga secara komersial usaha ini layak dijalankan. Sedangkan, nilai IRR yang didapatkan sebesar 68,82 dan lebih besar dari tingkat diskonto yang
digunakan yakni 6,99 sehingga usaha ini secara komersial layak dijalankan hingga tingkat suku bunga mencapai 68,82 . Setiap satu-satuan biaya yang
dikeluarkan secara komersial akan memberikan manfaat sebesar 6,01 persen. Waktu payback periode usaha ini selama empat tahun enam bulan kurang dari
umur usaha.
VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang didapat adalah :
1. Berdasarkan analisis seluruh aspek non finansial layak untuk dijalankan,
kecuali pada aspek lingkungan. Pada aspek pasar, peluang para peternak skala besar untuk memasarkan produknya ke Cimory masih terbuka, hal ini
disebabkan adanya perjanjian antara KUD Giri Tani dan Cimory, dimana seluruh produk susu segar yang dihasilkan oleh peternak akan diterima oleh
Cimory apabila memenuhi kualitas. Demikian hal nya, pada pemasaran pupuk dimana permintaan akan pupuk tetap ada. Berdasarkan aspek teknis, usaha
peternakan sapi perah melakukan proses budidaya dengan cara inseminasi buatan sehingga dapat meminimalisir jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
pembelian sapi jantan, pada pemanfaatan kotoran menjadi biogas, reaktor biogas dapat terisi penuh sehingga menghasilkan biogas yang optimal. Pada
aspek manajemen-hukum struktur organisasi masih sangat sederhana namun, proses produksi tetap dapat dikerjakan dengan baik. Usaha peternakan sapi
perah memiliki badan hukum sebagai anggota KUD Giri Tani. Aspek sosial- ekonomi-budaya dari usaha peternakan memberikan dampak positif dimana
usaha ini memberikan dampak positif bagi masyarakat. Pada Aspek lingkungan, usaha peternakan sapi perah belum layak untuk dijalankan,
karena limbah ternak yang dihasilkan belum dapat tertampung seluruhnya. 2.
Usaha peternakan sapi perah skala besar secara finansial layak untuk dijalankan. Berdasarkan kriteria investasi nilai NPV menunjukkan Rp
366.648.484,00 yang berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 366.648.484,00 selama umur usaha. Sementara nilai IRR 23,01 yang
menunjukkan besarnya tingkat pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 23,01 dari modal yang diinvestasikan. Net BC sebesar
1,72 dimana setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 1,72 satuan. Waktu periode pengembalian dari nilai investasi
adalah lima tahun satu bulan, waktu ini lebih rendah dari umur usaha peternakan sapi perah skala besar.
3. Usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah ternak sebagai
bahan baku untuk menghasilkan biogas layak secara finansial untuk dijalankan. Nilai NPV yang didapatkan sebesar Rp 527.394.716,00 yang
berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 527.394.716,00 selama umur usaha. Sementara nilai IRR 29,42 yang menunjukkan
besarnya tingkat pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 29,42 . Net BC sebesar 2,09 dimana setiap satu satuan biaya yang
dikeluarkan memberikan manfaat sebesar 2,09 satuan. Waktu periode pengembalian dari nilai investasi adalah lima tahun lima bulan, waktu ini
lebih rendah dari umur usaha peternakan sapi perah skala besar dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas.
4. Kondisi risiko yang terdapat pada usaha peternakan sapi perah skala besar
yang memanfaatkan limbah untuk menghasilkan biogas, terdiri dari dua bagian yakni risiko harga dan risiko produksi. Secara finansial usaha
peternakan sapi perah skala besar tetap layak. Hal ini dilihat dari kriteria investasi dari masing-masing skenario risiko. Sementara, tingkat risiko
tertinggi terdapat pada risiko poduksi dengan nilai koefisien variasi sebesar 0,59 sementara risiko harga memiliki nilai koefisien variasi yang lebih rendah
yakni 0,08. 5.
Pembangunan reaktor pada usaha peternakan sapi perah skala besar dilihat kelayakannya melalui perhitungan Incremental Net Benefit non komersial,
yang didapatkan hasil bahwa nilai NPV sebesar Rp 160.746.232,00, sementara nilai IRR yang didapatkan lebih besar dari tingkat diskonto yang
digunakan yakni 6,99 , serta nilai Net BC yang lebih besar dari satu sehingga menunjukkan bahwa manfaat yang diterima dari seluruh biaya yang
dikeluarkan setiap satuannya adalah lebih besar dari satu atau lebih besar dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, payback period adalah selama
dua tahun. Sedangkan secara komersial, didapatkan hasil NPV RP 50.015.147,00, IRR 68,85 , Net BC 6,01, dan PP 4 tahun. Sehingga,
pembangunan reaktor biogas menguntungkan dan layak untuk dijalankan.
7.2. Saran