Kelayakan Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar

yakni pada tahun ke-15. Nilai sisa diperoleh dari adanya penerimaan dari barang-barang investasi yang masih memiliki nilai di akhir tahun umur usaha. Nilai sisa dari setiap barang investasi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Salvage Value Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar Jenis Investasi Salvage Value Rp Tanah 44.000.000 Gudang Kandang Jet Pump Cangkul Sekop Ember stainless 75.000 Milk Can 10 L Milk Can 20L Milk Can 40L Pipa Paralon 87.500 Selang Gelas Ukur 1.875 Gaco garpu 5.625 dara 12.000.000 Laktasi 85.000.000 Jantan 2.500.000 TOTAL 154.000.000 Berdasarkan tabel tersebut, total nilai sisa yang diperoleh peternak pada akhir tahun sebesar Rp 154.000.000,00. Namun, pada perhitungan cash flow nilai sisa dari sapi laktasi sebesar Rp 85.000.000,00 tidak dimasukkan kedalam total keseluruhan nilai sisa, melainkan masuk kedalam penerimaan dari penjualan sapi laktasi afkir. Hal ini disebabkan tahun terakhir umur usaha sama dengan tahun terakhir umur teknis dari sapi laktasi. Sehingga, pada tahun tersebut, sapi laktasi yang telah afkir akan dijual.

6.2.2. Kelayakan Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Besar

Kelayakan investasi dari usaha peternakan sapi perah dilihat melalui empat kriteria utama, yakni Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net Benefit Cost Ratio Net BC, serta Payback Periode PP. Apabila nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari nol NPV 0, IRR lebih besar dari discount rate IRR ≥ 6,99 , Net BC lebih besar atau sama dengan satu Net BC ≥ 1 dan PP lebih kecil dari umur usaha PP 15 tahun maka usaha peternakan dikatakan layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi yang dilakukan dengan umur usaha 15 tahun, didapatkan hasil pada Tabel 17 : Tabel 17. Hasil Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Peternakan Sapi Perah Kriteria Investasi Hasil Perhitungan NPV Rp 366.648.484,00 IRR 23,01 NET BC 1,72 Payback Periode 5 Tahun 1 bulan Nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp 366.648.484,00, yang menunjukkan bahwa manfaat bersih atau keuntungan yang diperoleh peternakan sapi perah skala besar selama 15 tahun dengan tingkat diskonto 6,99 sebesar Rp 366.648.484,00. Nilai tersebut lebih besar dari 0, sehingga berdasarkan kriteria NPV, usaha peternakan sapi perah skala besar layak untuk dijalankan. Sementara itu, IRR dari usaha peternakan sapi perah sebesar 23,01 . Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha peternakan sapi perah skala besar sebesar 23,01 . Nilai ini lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,99 IRR 23,01 6,99 maka, dapat dikatakan bahwa usaha peternakan layak untuk dijalankan. Nilai ini juga menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah skala besar akan tetap layak untuk dijalankan hingga tingkat IRR mencapai 23,01 . Perhitungan Net BC yang dilakukan, menghasilkan nilai sebesar 1,72 yang menunjukkan bahwa setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk usaha peternakan sapi perah skala besar akan memberikan keuntungan yang nilainya sebesar 1,72 satuan. Nilai Net BC ini lebih besar dari satu Net BC 1,72 1 maka pada kriteria ini, usaha peternakan skala besar layak untuk dijalankan. Nilai Payback Periode PP dari usaha ini adalah selama 5 tahun 1 bulan. Nilai ini menunjukkan, bahwa seluruh biaya investasi yang ditanamkan dalam usaha peternakan sapi perah skala besar pada awal usaha, akan dapat dikembalikan pada tahun kelima bulan kedelapan. Payback Periode memiliki periode yang lebih kecil dibandingkan dari umur usaha peternakan sapi perah yakni 15 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan pada kriteria ini. 6.2.3. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah Ternak untuk Menghasilkan Biogas Usaha peternakan skala besar yang terdapat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung mendapatkan bantuan berupa reaktor skala 7 m 3 pada tahun 2008- 2009. Bantuan reaktor biogas bertujuan untuk mengurangi pembuangan limbah ternak ke dalam aliran sungai. Dengan adanya bantuan tersebut, usaha peternakan sapi perah pun memiliki manfaat tambahan serta biaya investasi baru yang dikeluarkan. Untuk itu, perlu dianalisis lebih lanjut kelayakan dari usaha peternakan sapi perah yang memanfaatkan limbah ternak untuk menghasilkan biogas. Komponen biaya dan manfaat pada usaha peternakan dengan pemanfaatan limbah sebagian besar sama dengan komponen biaya dan manfaat pada usaha peternakan tanpa pemanfaatan limbah, namun terdapat beberapa perbedaan yakni, terdapat penambahan pada komponen biaya investasi, yaitu biaya untuk reaktor biogas, kompor biogas serta biaya tenaga kerja dalam pembangunan reaktor. Dalam menjalankan usahanya, peternak mendapatkan bantuan berupa reaktor biogas, kompor biogas serta biaya tenaga kerja yang dipergunakan untuk membangun reaktor biogas. Sehingga, dalam perhitungannya, harga yang dipergunakan berdasarkan nilai opportunity cost dari biaya sebenarnya kedua komponen tersebut, yang dikeluarkan oleh pihak pemberi bantuan yakni Kementrian Lingkungan Hidup Tabel 18. Biaya untuk pembangunan reaktor hingga penyediaan kompor sebesar Rp 15.100.000,00. Pembangunan reaktor biogas memerlukan waktu selama tiga bulan, yang dilaksanakan di awal tahun usaha. Tabel 18. Biaya Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas No Biaya Investasi Jumlah Satuan Harga Satuan Rp Total Rp 1. Reaktor Biogas 1 unit 14.800.000 14.800.000 2. Kompor Biogas 1 unit 300.000 300.000 3. Tenaga kerja pembangunan reaktor 1 unit 1.000.000 1.000.000 Total 15.100.000 Umur teknis dari reaktor biogas serta biaya tenaga kerja dalam pembangunan reaktor ditentukan selama 15 tahun, hal ini diperhitungkan dari tingkat kelayakan bangunan tersebut. Sementara itu, kompor biogas memiliki umur teknis selama delapan tahun. Setelah delapan tahun, barang tersebut, sudah tidak layak untuk digunakan Tabel 19. Tabel 19. Umur Teknis dari Barang Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Jenis Investasi Umur Teknis Tahun Reaktor Biogas 15 Kompor Biogas 8 Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor 15 Kompor biogas yang dimiliki memiliki umur teknis delapan tahun, sehingga memerlukan pergantian atau re-investasi pada tahun ke-9. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekontinuan usaha peternakan sapi perah. sementara itu, reaktor biogas dan biaya tenaga kerja untuk pembangunan tidak memiliki nilai re- investasi karena umur teknis yang mencapai 15 tahun Tabel 20. Tabel 20. Re-Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Investasi Tahun ke- 9 Rp Reaktor Biogas - Kompor Biogas 300.000 Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor - Komponen biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan dan nilai sisa dari barang yang diinvestasikan. Reaktor biogas memiliki penyusutan sebesar Rp 986.667,00, kompor gas memiliki penyusutan sebesar Rp 37.500,00 dan biaya tenaga kerja pembangunan reaktor menyusut sebesar Rp 66.667,00 per tahunnya. Berdasarkan nilai penyusutan tersebut, biaya investasi untuk reaktor biogas dan tenaga kerja yang digunakan dalam proses pembangunan tidak memiliki nilai sisa pada akhir tahun usaha, sementara kompor biogas memiliki salvage value sebesar Rp 37.500,00 Hal ini disebabkan seluruh nilai dari barang investasi telah tergunakan seluruhnya selama umur usaha Tabel 21. Tabel 21. Penyusutan dan Salvage Value Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Rp Jenis Investasi PenyusutanTahun Salvage Value Reaktor Biogas 986.667 Kompor Biogas 37.500 37.500 Biaya tenaga kerja pembangunan reaktor 66.667 Biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan pada usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas sama dengan komponen biaya yang dikeluarkan pada usaha peternakan sapi perah tanpa biogas. Namun, pada komponen manfaat terdapat perbedaan, yang disebabkan oleh adanya tambahan penerimaan dari produksi biogas serta limbah biogas sludge yang dihasilkan Tabel 22. Tabel 22. Penerimaan dari Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Rp Penerimaan Tahun ke-1 Tahun ke-2 1. Produksi Biogas 4.347.000 5.796.000 2. Produksi Limbah Biogas 13.230.000 19.845.000 Total 17.577.00 25.641.000 Penerimaan pertama yang dihasilkan adalah biogas. Biogas yang dihasilkan tersebut, tidak dikomersilkan, melainkan dipergunakan sendiri oleh peternak, baik untuk keperluan rumah tangga, atau untuk keperluan usaha peternakan. Penerimaan dari produksi biogas dihitung dengan mengonversikan jumlah biogas yang dihasilkan dengan gas elpiji. Menurut Wahyuni 2008, setiap 1 m 3 reaktor biogas mampu menghasilkan biogas yang setara dengan 0,46 kg elpiji. Reaktor skala 7 m 3 yang dimiliki oleh peternak sapi perah skala besar, dalam seharinya jumlah biogas yang mampu dihasilkan sebanyak 7 m 3 X 0,46 kg = 3,22 kg gas. Pernyataan ini didukung pula oleh Departemen Pertanian 2009, yang menyatakan bahwa setiap 1 m 3 reaktor biogas yang digunakan mampu dihasilkan 0,46 kg gas elpiji dalam seharinya 10 . Berdasarkan hal tersebut, dengan reaktor kg gas setara elpiji. Dengan jumlah tersebut, dalam satu tahun, jumlah biogas yang dapat dihasilkan setara dengan 1.159,2 kg gas elpiji. Apabila dilakukan pengonversikan dengan harga jual elpiji 3 kg sebesar Rp 15.000,00 atau Rp 5.000,00 per kg, maka penerimaan dari biogas yang dihasilkan oleh peternak dalam setahun mencapai Rp 5.796.000,00 dalam kondisi optimal, yang dimulai pada tahun kedua. Kondisi ini berbeda di tahun pertama, karena produksi biogas baru dihasilkan pada bulan keempat setelah pembangunan reaktor biogas selesai dilaksanakan. Sehingga, pada tahun pertama, produksi biogas yang dihasilkan selama sembilan bulan waktu produksi sebesar 869,4 kg, dengan penerimaan sebesar Rp 4.347.000,00. penerimaan kedua yang dihasilkan adalah limbah biogas atau sludge. Limbah ini berbentuk seperti lumpur yang memiliki kegunaan sebagai pupuk bagi tanaman. Limbah biogas yang dihasilkan dijual kepada masyarakat setempat yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta usaha yang bergerak di bidang tanaman. Total limbah yang dihasilkan sebanyak 70 dari keseluruhan kotoran ternak yang digunakan sebagai input bagi biogas. Reaktor dengan skala 7 m 3 mampu menampung kotoran yang dihasilkan oleh 15 ekor sapi setiap harinya PT. Swen Inovasi Transfer, 2009. Sehingga, setiap hari jumlah kotoran yang digunakan sebagai input sebanyak 450 kg, dengan total limbah yang dihasilkan setelah proses biologis berlangsung sebanyak, 315 kg setiap harinya. Limbah dari biogas baru akan dihasilkan setelah 40 hari sejak pertama kali kotoran ternak dimasukkan sebagai input kedalam reaktor biogas. Sehingga, penerimaan yang diperoleh dari limbah biogas diterima oleh peternak sejak bulan kelima di tahun pertama usaha peternakan dijalankan. Limbah biogas yang dihasilkan dijual dengan harga rata-rata Rp 175,00 per kilogram. Jika dijumlahkan, pada tahun pertama penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 13.230.000,00, dan pada tahun kedua sebesar Rp 19.845.000,00. 10 Deptan. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak Menjadi Biogas http:agribisnis.deptan.go.id [20 Maret 2010] Penerimaan dari limbah biogas ini diasumsikan konstan dan mencapai titik optimal dimulai pada tahun kedua. Berdasarkan komponen biaya dan manfaat tersebut, dapat dilakukan perhitungan kriteria investasi untuk menentukan tingkat kelayakan usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas Tabel 23. Tabel 23. Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Peternakan sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Kriteria Investasi Hasil Perhitungan NPV Rp527.394.716,00 IRR 29,42 NET BC 2,09 Payback Periode Tahun ke- 5 tahun 5 bulan Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan hasil bahwa nilai NPV sebesar Rp 527.394.716,00, yang menunjukkan bahwa manfaat bersih atau keuntungan yang diperoleh peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah selama 15 tahun dengan tingkat diskonto 6,99 sebesar Rp 527.394.716,00. Nilai NPV ini lebih besar dari 0, sehingga layak untuk dijalankan. Nilai IRR sebesar 29,42 yang menunjukkan bahwa tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha peternakan sapi perah dengan adanya pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas sebesar 29,42. Nilai ini lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,99 IRR 29,42 6,99 maka layak untuk dijalankan. Perhitungan Net BC yang dilakukan, menghasilkan nilai sebesar 2,09 yang menunjukkan bahwa setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk usaha peternakan sapi perah skala besar akan memberikan keuntungan yang nilainya sebesar 2,09 satuan. Nilai Net BC ini lebih besar dari satu Net BC 2,09 1 maka pada kriteria ini, usaha peternakan skala besar layak untuk dijalankan. Sementara pada perhitungan Payback Periode PP didapatkan bahwa waktu pengembalian dari investasi yang ditanamkan adalah selama 5 tahun 5 bulan. Payback Periode memiliki periode yang lebih kecil dibandingkan dari umur usaha peternakan sapi perah yakni 15 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan sapi perah dengan adanya pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas layak untuk dijalankan. 6.2.4. Perhitungan Risiko pada Usaha Peternakan Sapi Perah dengan Pemanfaatan Limbah untuk Menghasilkan Biogas Usaha peternakan sapi perah skala besar dengan pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas, dipengaruhi oleh risiko yang dapat menimbulkan kerugian. Risiko utama yang dirasakan dan dihadapi oleh peternak adalah risiko produksi serta risiko harga susu segar. Penentuan risiko ini berdasarkan data dan informasi yang didapatkan saat penelitian. Data serta informasi yang digunakan merupakan data pada kurun waktu dua tahun terakhir dimana pada waktu tersebut peternak yang menjadi anggota KUD Giri Tani telah memasarkan susunya kepada Cimory, serta telah mendapatkan bantuan reaktor. Risiko produksi terjadi pada produksi utama yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah, yakni produksi susu segar, dimana dilakukan skenario atas tiga kondisi, yaitu risiko produksi saat kondisi tertinggi terbaik, kondisi normal serta kondisi terendah terburuk Tabel 24. Kondisi terbaik merupakan kondisi dimana setiap sapi perah yang dimiliki mampu menghasilkan produksi susu segar dalam jumlah paling tinggi setiap harinya. Sedangkan, kondisi terburuk merupakan sebuah kondisi dimana jumlah produksi susu yang dihasilkan mencapai titik terendah. Kondisi normal adalah kondisi dimana produksi rata-rata susu dihasilkan setiap harinya atau merupakan kondisi dengan jumlah kemungkinan paling banyak terjadi selama periode dua tahun terakhir 24 bulan. Tabel 24. Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi yang Terjadi pada Usaha Peternakan Skala Besar dengan Pemanfaatan Limbah Berdasarkan tabel tersebut, pada kondisi terbaik, jumlah susu segar yang dapat dihasilkan adalah 23,6 Lharisapi. Kondisi ini terjadi selama 6,8 kali dalam periode dua tahun terakhir. Skenario pada kondisi normal menunjukkan bahwa, Kondisi Literharisapi Intensitas Periode bulan Kondisi terbaik 23,6 6,8 24 Kondisi normal 15 10,8 24 Kondisi Terburuk 9,6 6,4 24 dalam satu harinya, jumlah susu segar yang dapat dihasilkan sebanyak 15 LSapi, dan kondisi ini terjadi selama 10,8 kali dalam dua tahun. Sementara itu, kondisi terburuk yang dihadapi para peternak adalah saat jumlah produksi susu segar mencapai titik terendah, yakni 9,6 Lharisapi, dengan intensitas 6,4 kali selama periode dua tahun. Adanya risiko pada produksi ini akan mempengaruhi jumlah penerimaan yang diterima oleh peternak Tabel 25. Tabel 25. Penerimaan Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi Penerimaan Susu Tahun ke-1 Rp Tahun ke-2 Rp Tahun ke-7 Rp Kondisi terbaik 434.081.290 713.101.910 578.775.053 Kondisi normal 278.054.384 456.116.418 370.739.178 Kondisi Terburuk 180.084.000 294.753.434 240.112.000 Penerimaan awal susu tahun pertama pada kondisi risiko sama dengan penerimaan pada kondisi tanpa risiko, yakni dimulai pada bulan keempat, demikian halnya pada harga jual susu per kilogramnya yakni tetap sebesar Rp 3.900,00. Namun, pada kondisi risiko produksi perbedaan terdapat pada jumlah produksi, yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada kondisi terbaik, di tahun pertama jumlah total penerimaan yang dihasilkan dari penjualan susu segar sebesar Rp 434.081.290,00. Pada tahun kedua jumlah penerimaan mengalami peningkatan, yakni menjadi Rp 713.101.910,00, hal ini disebabkan waktu produksi yang telah maksimal selama 12 bulan, serta adanya jumlah penambahan sapi laktasi dari semula hanya 17 ekor menjadi 21 ekor. Namun, pada tahun ke-7 dan ke-13 jumlah penerimaan mengalami penurunan yakni menjadi Rp 578.775.053,00, hal ini disebabkan adanya re-investasi dari sapi yang telah afkir. Sementara itu, pada kondisi normal, jumlah penerimaan yang diterima pada tahun pertama adalah sebesar Rp 278.054.384,00, pada tahun kedua mengalami peningkatan menjadi Rp 456.116.418,00 dan sama seperti kondisi sebelumnya, pada tahun ke-7 dan ke-13 jumlah penerimaan mengalami penurunan yakni menjadi Rp 370.739.178,00. Penerimaan yang diperoleh pada kondisi terakhir, yakni kondisi terburuk, di tahun pertama sebesar Rp 180.084.000,00. Sedangkan di tahun kedua mengalami peningkatan menjadi Rp 294.753.434,00. Penerimaan dari kondisi terburuk juga mengalami penurunan di tahun ke-7 dan ke-13 sebesar Rp 54.641.434,00 menjadi Rp 240.112.000,00. Seperti halnya perubahan pada jumlah penerimaan yang dihasilkan, adanya risiko pada produksi juga mempengaruhi biaya variabel yang dikeluarkan, khususnya biaya pengiriman susu. Pengiriman susu ke Cimory melalui KUD Giri Tani, mengeluarkan biaya Rp 250,00 per kilogram. Sehingga, apabila terjadi perubahan pada produksi susu, jumlah biaya pengiriman pun mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Biaya Pengiriman Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi Rp Biaya Pengiriman Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-7 Kondisi terbaik 27.446.594 45.206.154 36.595.458 Kondisi normal 17.444.869 28.732.725 23.259.825 Kondisi Terburuk 11.164.716 18.388.944 14.886.288 Pada kondisi terbaik, dimana jumlah produksi susu berada pada posisi tertinggi, 23,6 Lsapihari, biaya pengiriman yang dikeluarkan pada tahun pertama yang dimulai di bulan ke-4 adalah sebesar Rp 27.446.594,00. Sementara di tahun ke-2 jumlah biaya pengiriman mengalami peningkatan menjadi Rp 45.206.154,00 yang disebabkan adanya produksi dalam jumlah yang optimal. Sedangkan di tahun ke-7 dan ke-13 sama dengan penerimaan, terjadi penurunan yakni menjadi Rp 36.595.458,00 yang disebabkan adanya reinvestasi sapi yang afkir. Pada kondisi normal, besarnya biaya pengiriman yang dikeluarkan pada tahun ke-1, ke-2, dan ke-7 dengan jumlah pengiriman 15 Lsapihari masing- masing sebesar Rp 17.444.869,00; Rp 28.732.725,00; serta Rp 23.259.825.00. Sedangkan, kondisi skenario terburuk juga menunjukkan hal yang sama, biaya pengiriman yang dikeluarkan pada tahun ke-2 merupakan pengeluaran tertinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-1 dan ke-7, yakni Rp 18.388.944,00. Sementara, pada tahun ke-1 biaya pengiriman yang dikeluarkan sebesar Rp 11.164.716,00 dan Rp 14.886.288,00 pada tahun ke-7. Dengan adanya perubahan pada penerimaan susu segar dan biaya pengiriman, kriteria investasi dari ketiga skenario tersebut pun memiliki nilai yang berbeda dengan kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko Tabel 27. Kriteria yang terdapat pada kondisi risiko sama dengan kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko yakni NPV, IRR, Net BC serta PP. Tabel 27. Kriteria Investasi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi Kriteria Kondisi Terbaik Kondisi Normal Kondisi Terburuk NPV Rp 2.967.214.510,00 Rp 1.425.350.546,00 Rp 454.887.704,00 IRR 200,98 73,30 26,24 NET BC 16,03 5,65 1,91 Payback Periode Tahun ke-2 bulan ke-10 Tahun ke-4 bulan ke-11 Tahun ke-5 bulan ke-3 Berdasarkan perhitungan kriteria investasi untuk risiko produksi, pada skenario terbaik, nilai NPV yang dihasilkan Rp 2.967.214.510,00, IRR sebesar 200,98 serta Net BC 16,03 menunjukkan bahwa usaha peternakan skala besar pada risiko produksi dengan kondisi terbaik, layak untuk dijalankan dengan waktu pengembalian atas investasi selama dua tahun sepuluh bulan. Sedangkan, pada kondisi normal didapatkan nilai NPV, IRR, dan Net BC masing-masing sebesar Rp 1.425.350.546,00; 73,30 ; dan 5,65 juga menunjukkan bahwa pada kondisi normal usaha peternakan tetap layak untuk dijalankan. Tingkat payback periode dari usaha ini adalah selama empat tahun sebelas bulan. Pada kondisi terburuk, usaha peternakan sapi perah juga menunjukkan kelayakan. Hal ini, terlihat dari nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari nol, yakni Rp 454.887.704,00, serta nilai IRR yang lebih besar dari tingkat diskonto dan Net BC yang lebih besar sama dengan satu yakni 26,24 dan 1,91. Pada kondisi ini waktu pengembalian atas investasi, menunjukkan waktu yang lebih lama dibandingkan kondisi lain yakni selama lima tahun tiga bulan. Risiko kedua yang terjadi pada usaha peternakan sapi perah adalah risiko pada harga Tabel 28. Dimana harga susu mengalami fluktuasi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi peternak, karena harga yang tidak sesuai. Risiko harga juga ditentukan dari data dan informasi yang terdapat di peternak. Dimana selama periode dua tahun terakhir terjadi tiga skenario yaitu kondisi terbaik dengan harga tertinggi mencapai Rp 3.957,00, dimana harga ini terjadi selama 6 kali. Kemudian, skenario kedua berupa kondisi saat normal dimana harga yang terjadi Rp 3.837,00 dengan intensitas 12 kali. Skenario terakhir adalah kondisi terburuk dengan harga terendah Rp 3.736,00 yang terjadi selama 6 kali. Tabel 28. Kondisi Tiga Skenario Risiko Harga yang Terjadi pada Usaha Peternakan Skala Besar dengan Pemanfaatan Limbah Kondisi Harga Rp Intensitas Periode Kondisi terbaik 3.957 6 24 Kondisi normal 3.837 12 24 Kondisi Terburuk 3.736 6 24 Pada risiko harga, kondisi normal memiliki jumlah intensitas sebanyak 12 kali, lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi terbaik ataupun kondisi terendah, yang masing-masing sebanyak 6 kali. Periode waktu yang digunakan adalah dua tahun atau selama 24 bulan. Risiko harga yang terjadi mengakibatkan adanya perubahan dalam penerimaan yang diterima oleh peternak, hal ini dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Penerimaan Susu pada Kondisi Tiga Skenario Risiko Harga Rp Kondisi Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-7 Kondisi terbaik 190.035.990 311.135.115 253.381.320 Kondisi normal 184.375.849 301.833.178 245.834.465 Kondisi Terburuk 179.610.021 294.000.966 239.480.029 Penerimaan susu pada kondisi terbaik dimana terdapat harga tertinggi mengakibatkan adanya peningkatan pada penerimaan yang diterima oleh peternak, yakni sebesar Rp 311.135.115,00 pada kondisi optimal, yakni dimulai pada tahun ke-2. Pada tahun pertama penerimaan yang diperoleh peternak belum optimal, karena kegiatan produksi hanya dilakukan selama sembilan bulan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 190.035.990,00. Sementara, saat terjadi re-investasi dimana sapi yang pada tahun pertama merupakan sapi dara mengalami afkir, penerimaan yang diperoleh peternak mengalami penurunan yakni menjadi Rp 253.381.320,00. Pada kondisi normal, penerimaan yang diterima peternak tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada penerimaan tanpa adanya risiko, hal ini disebabkan perbedaan pada harga jual susu yang tidak terlalu berbeda. Sehingga, pada tahun pertama, penerimaan yang diperoleh peternak sebesar Rp 184.375.849,00, dan di tahun kedua mengalami peningkatan menjadi Rp 301.833.178,00. Sementara di tahun ke-7 dan ke-13 jumlah penerimaan yang berasal dari susu lebih rendah yakni Rp 245.834.465,00. Skenario terakhir merupakan kondisi dimana peternak memperoleh harga paling rendah, yang menyebabkan rendahnya penerimaan yang diterima oleh peternak dibandingkan dengan kondisi lainnya. Pada tahun pertama, penerimaan yang diterima peternak sebesar Rp 179.610.021,00, sementara di tahun ke-2 dan ke-7 jumlah penerimaan susu segar yang diterima sebesar Rp 294.000.966,00 dan Rp 239.480.029,00. Penerimaan dari susu segar yang terjadi pada kondisi risiko, memiliki perbedaan dibandingkan dengan penerimaan pada kondisi tanpa risiko atau pada kondisi risiko produksi. Hal ini menyebabkan, perbedaan pada keempat kriteria investasi Tabel 30. Tabel 30. Kriteria Investasi pada Ketiga Skenario dalam Risiko harga Kriteria Kondisi Terbaik Kondisi Normal Kondisi Terburuk NPV Rp556.430.423,00 Rp495.446.806,00 Rp444.098.724,00 IRR 30,72 28,01 25,76 NET BC 2,16 2,01 1,88 PP Tahun ke-5 Tahun ke-5 Tahun ke-8 Nilai NPV yang diperoleh pada kondisi terbaik adalah sebesar Rp 556.430.423,00, nilai ini lebih besar dari nol, sehingga menunjukkan bahwa pada kondisi terbaik, usaha ini layak untuk dijalankan. Sedangkan IRR dan Net BC yang diterima sebesar 30,72 dan 2,16. Nilai IRR lebih besar dari tingkat diskonto yakni 6,99 sehingga menunjukkan bahwa usaha ini layak dengan tingkat pengembalian sebesar 30,72 . Net BC pada kondisi terbaik ini lebih besar dari satu, sehingga menunjukkan usaha ini layak, karena setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 2,16 satuan. Waktu pengembalian dari barang investasi yang ditanamkan pada kondisi ini adalah selama lima tahun sepuluh bulan, waktu ini lebih rendah dari waktu umur usaha, sehingga usaha ini layak untuk dijalankan. Pada kondisi normal, nilai NPV, IRR serta Net BC yang dihasilkan masing-masing sebesar Rp 495.446.806,00; 28,01 ; dan 2,01. Nilai tersebut lebih besar dari kriteria yang ditentukan, sehingga menunjukkan bahwa pada kondisi normal usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan. Sementara pada kondisi terakhir yakni kondisi terburuk, nilai dari NPV adalah sebesar Rp 444.098.724,00; IRR sebesar 25,76 , serta Net BC sebesar 1,88. Pada kondisi terburuk usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan, karena nilai NPV bernilai positif, demikian halnya layak pada nilai IRR dan Net BC yang kurang dari sama dengan satu. Berdasarkan data risiko harga dan produksi yang ada, dapat diketahui tingkat risiko dari keduanya, risiko apakah yang paling tinggi dan paling rendah. Untuk mengetahui tingkat risiko tersebut, perlu diketahui probabilitas atau peluang yang terjadi pada setiap kondisi, baik itu dari risiko harga atau risiko produksi. Nilai probabilitas didapatkan dari rasio antara intensitas dengan periode di setiap kondisi Tabel 31. Tabel 31. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi Kondisi Probability NPVi Rp Terbaik 0,28 2.967.214.510 Normal 0,45 1.425.350.546 Terburuk 0,27 454.887.704 Berdasarkan rasio tersebut, diketahui bahwa probabilitas dari risiko produksi kondisi terbaik adalah 0,28. Sementara pada kondisi normal, probabilitasnya sebesar 0,45 dan pada kondisi terburuk probabilitasnya adalah 0,27. Sedangkan pada risiko harga, probabilitas dari setiap skenario yakni pada kondisi terbaik, menunjukkan bahwa probabilitas dari terjadinya risiko harga terbaik adalah sebesar 0,25, sedangkan probabilitas pada kondisi normal adalah sebesar 0,50 dan probabilitas terjadinya harga terendah atau kondisi terburuk selama periode dua tahun adalah sebesar 0,25, hal ini dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko harga Kondisi Probability NPVi Rp Terbaik 0,25 556.430.423,00 Normal 0,50 495.446.806,00 Terburuk 0,25 444.098.724,00 Sementara itu, komponen kedua yang perlu diketahui dalam menentukkan tingkat risiko adalah NPV yang diharapkan ENPV, dimana nilai ini menunjukkan harapan dari pelaku usaha terhadap manfaat bersih yang ingin diterima selama usaha dijalankan. Nilai ini didapatkan dari perhitungan penjumlahan NPV dari setiap kondisi yang ada NPVi dikalikan dengan probabilitas dari setiap kondisi pada risiko harga ataupun risiko produksi Tabel 33. Tabel 33. Tingkat Risiko yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Harga dan Risiko Produksi Nilai NPV yang diharapkan pada risiko produksi adalah Rp 1.603.421.912,00, sementara NPV yang diharapkan pada risiko harga output adalah sebesar Rp 497.85.690,00. Setelah diketahui, nilai probabilitas beserta NPV yang diharapkan dari setiap kondisi, komponen selanjutnya dalam menentukan tingkat risiko adalah penentuan standar deviasi, yakni penyimpangan yang terjadi dari usaha peternakan sapi perah, serta koefisien variasi yang menunjukkan tingkat risiko yang dihadapi oleh peternak. Berdasarkan perhitungan, didapatkan hasil bahwa nilai standar deviasi dari risiko produksi adalah sebesar 944.996.134, sedangkan standar deviasi dari risiko harga sebesar 39.788.240. Nilai standar deviasi dari risiko harga lebih rendah dibandingkan dengan risiko pada produksi sehingga, risiko yang diterima peternak pada komponen harga lebih rendah dibandingkan risiko pada komponen produksi. Namun, nilai standar deviasi tidak dapat menentukan serta membandingkan tingkat risiko secara keseluruhan, karena terdapat perbedaan NPV yang diharapkan dari kedua risiko tersebut. Tingkat risiko secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan melakukan perhitungan koefisien variasi, dimana koefisien ini merupakan nilai rasio antara standar deviasi dengan NPV yang diharapkan. Pada risiko produksi, nilai koefisien variasi yang didapatkan adalah sebesar 0,59, sedangkan pada risiko Jenis Risiko NPV yang diharapkan Rp Standar Deviasi Koefisien Variasi Tingkat Risiko Produksi 1.603.421.912 944.996.134 0,59 Tinggi Harga Output 497.855.690 39.788.240 0,08 Rendah harga sebesar 0,08. Dengan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa dari dua risiko tersebut, risiko produksi memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan risiko harga. Penentuan risiko ini juga mengacu pada konsep risiko berdikari dimana risiko dinilai hanya terjadi pada satu perusahaan, dan tidak dapat dibandingkan dengan risiko yang terjadi di perusahaan lain, karena antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya memiliki perbedaan diantara komponen yang menyusunnya. Pengurangan risiko harga serta produksi yang dihadapi oleh peternak dilakukan dengan manajemen risiko secara sederhana, yakni dengan menjaga kualitas dari produk susu segar yang dihasilkan, seprti memberikan pakan dengan kualitas baik dan menjaga kebersihan serta kesehatan kandang dan ternak sapi perah.

6.2.5. Perhitungan Incremental Net Benefit