Representasi Media Stuart Hall

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing peta konseptual, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol tertentu. 31 Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut: “proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik” 32 Representasi amatlah diperlukan bagi sebuah kebudayaan, salah satunya adalah melalui teks budaya. Teks budaya itu sendiri merupakan kombinasi dari tanda 33 . Teks dan praktek budaya bersifat multi-aksentual. Teks kebudayaan dapat diartikulasikan secara berbeda, dengan aksen yang berbeda oleh orang yang berbeda, dalam konteks yang berbeda dan untuk tujuan yang berbeda pula. 31 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011, h.122. 32 Marcel Danesi, Understanding Media Semiotics London: Arnold, h.3. 33 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural and Media Studie: A Semiotic Approach Palgrave, 2002, h.77. Menurut Stuart Hall, budaya dan bahasa merupakan hal yang terkait satu sama lain, dikarenakan terkait dengan satu poin, yakni makna. Budaya adalah proses produksi dan pertukaran makna, proses memberi dan menerima maknadiantara sekelompk orang 34 . Bahasa adalah sistem representasi dalam kebudayaan. Bahasa adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan berekspresi kepada satu sama lain, termasuk dalam hal merepresentasikan citra atas sebuah kelompok atau kebudayaan tertentu, melalui media. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. 35 Stuart Hall juga berpendapat bahwa ada beberapa prinsip representasi sebagai sebuah proses produksi makna melalui bahasa, yaitu: 36 • Representasi untuk mengartikan sesuatu, maksudnya adalah representasi menjelaskan dan menggambarkan dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi untuk menempatkan persamaan sebelumnya dalam pikiran atau perasaan kita. 34 Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practice Sage Publications, 2003, h.2. 35 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta: LKiS, 2009, h.113. 36 Stuart Hall, Culture, the Media and the Ideological Effect, London: mass Communication Society,1997 h. 16. • Representasi digunakan sebagai alat untuk menjelaskan atau mengkonstruksi makna dari sebuah simbol. Stuart Hall juga mengemukakan bahwa ada tiga bentuk pendekatan representasi makna melalui bahasa, yaitu: 37 • Reflektif, dimana representasi menggunakan bahasa sebagai cermin yang merefleksikanmemantulkan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu di dunia. Misalnya saja, kita melihat itu “piring” maka dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya “piring “, dalam bahasa inggris kita menyebutnya “plate”. • Intensional, dimana menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan apa yang ingin kita katakan dan lakukan karena memiliki tujuan tertentu. Misalnya, memberi kecupan di kening sebagai tanda kasih sayang dan perlindungan. • Konstruksionis, di mana pemaknaan dikonstruksi dalam dan melalui bahasa, misalnya saja: tanda cinta disimbolkan dengan bunga mawar, bukan kamboja. Karena bunga mawar memiliki banyak duri dan yang memetik rela terkena duri, demikian dengan cinta siap atas sakitnya duri. Sedangkan kamboja seringkali dijumpai di pemakaman, sehingga identik dengan bunga kematian. Dari ketiga pendekatan tersebut, merupakan pendekatan bagaimana 37 Stuart Hall, Culture, the Media and the Ideological Effect, h.17 bahasa yang digunakan merupakan cerminan dari sebuah makna atas apa yang ingin dibangun. Sedangkan Sturken dan Cartwright mengartikan representasi sebagai proses mengkonstruksi dunia disekitar kita dan proses memaknainya, serta berarti penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan makna di dunia sekitar kita. 38 Ada hubungan antara representasi dengan bahasa media, dalam relasi media dengan khalayaknya. Dalam media ada aktor yang berperan, awak media tersebut adalah subjek yang memiliki mental representation sendiri yang tidak selalu sama dengan khalayaknya. Akan ada kemungkinan terjadi bias kepentingan dari media karena keniscayaan subjektif dari bahasa media. Kepentingan tersebut mewakili gambaran ideologis pelaku representasi media sendiri. Proses pembacaan terhadap bahasa media ini bersifat negosiatif, antara mental representation awak media dengan mental representation pembaca atau khalayak. Dalam representasi media, tanda yang dipakai untuk merepresentasikan sebuah citra tentunya mengalami seleksi. Tanda-tanda yang sesuai dengan tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. 39 Maka selama realitas dalam representasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya dan juga melakukan 38 Marita Sturken and Lisa Cartwright, Practices of Looking: An Introduction to Visual Culture, USA: Oxford, 2001 h.12. 39 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011, h.123. pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang bermuka banyak bisa dikatakan tidak ada representasi realita –terutama di media- yang benar-benar “benar” atau “nyata”. 40 40 David Croteau dan William Hoynes, mediasociety, industries image and audiences California: Pine Forge Press, 2000, h.195.

B. Komunikasi Antar Budaya

Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang ada di dalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai suatu anggota masyarakat. Oleh karena itu, cara termudah untukmenjelaskan kebudayaan adalah dengan mendeskripsikan rincian pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu. 41 Komunikasi antar budaya intercultural communication adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok rasa atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. Pada dasarnya komunikasi antarbudaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, bagaimana cara mengkomunikasikannya verbal dan nonverbal. 42 Hasil penelitian lain tentang bahasa dalam kasus-kasus komunikasi lintas budaya menunjukkan bahwa pemerkayaan bahasa mampu memperluas 41 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya Yogyakarta: LKiS, 2007, h.11. 42 Dedy Mulyana, Kkomunikasi Antarbudaya Bandung: Remaja Rosda, 2001, h.323. pemahaman terhadap struktur objek kebudayaan, tipe tipe strategi tindakan manusia dalam konteks komunikasi antar budaya 43 . Menurut Michael Lull, hubungan bahasa dan budaya tidak terbatas pada kosakata, tata bahasa, dan ucapan. Lembaga-lembaga juga mencoba mengatur kapan orang-orang dapat berbicara, kepada siapa, mengenai apa, dan pada tingkat volume berapa. Manajemen budaya yang dilembagakan jugamuncul, misalnya dalam peraturan berpakaian disuatu lembaga yang memberitahukan para anggotanya berpakaian dan gaya rambut apakah yang dapat diterima menurut budaya. Peraturan-peraturan ini dimaksudkan tidak hanya untuk menstandarkan penampilan dan perilaku, tetapi juga memungkinkan otoritas-otoritas untuk menarik batas perbedaan kekuatan sosial antara diri mereka dan warga yang secara budaya tak dapat diatur. Bahasa adalah sebuah instituasi sosial yang dirancang,dimodifikasi, dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karenanya, bahasa dari budaya satu berbeda dengan bahasa dari budaya lain, dan samapentingnya,bahasa dari suatu subkulturberbeda dengan bahasa dari subkultur yang lain. 44

C. Dakwah bit Tadwin

43 Syifa Fauzia, “Representasi Budaya Betawi dan Religiusitas Islam dalam Bens Radio”, Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, 2012 h.29. 44 Martin Montgomery, An Introduction to Language and Society, London: Methuen Co.,Ltd, 1986 h.24. Secara semantik, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, da’a yad’u yang artinya mengajak, mengundang atau memanggil. Kemudian menjadi kata da’watun yang artinya panggilan atau undangan atau ajakan 45 . Dalam pengertian, istilah dakwah diartikan sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat 46 . Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Berbicara da’wah juga berarti berbicara komunikasi. Berbicara komunikasi berarti juga berbicara media, dikarenakan komunikasi dapat dilakukan melalui berbagai macam media. Media ialah alat atau wahana yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Untuk itu, komunikasi bermedia adalah komunikasi yang menggunakan saluran atau sarana untuk meneruskan suatu pesan kepada komunikan yang jauh tempatnya, atau banyak jumlahnya 47 . Media massa digunakan dalam komunikasi apabila komunikan berjumlah banyak dan bertempat tinggal jauh 48 . 45 Muhammad Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997, h.5. 46 Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, h.1. 47 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, h. 104. 48 Ilaihi, Komunikasi Dakwah, h. 105.