c. Perlindungan kepentingan nasional atau budaya juga berhubungan erat
dengan kepentingan ekonomi. Sejauh mana pemerintah dapat masuk dalam ranah penyiaran untuk dapat mempertahankan kontrol nasional?
Haruskah hukum persaingan berlaku dalam dunia penyiaran? d.
Dan sejauh mana keterbatasan dalam konten siaran? dikarenakan harus adanya batasan pada muatan yang disajikan baik televisi ataupun radio,
memgingat kekuatan penyiaran yang tidak diragukan lagi, sampai pada program anak-anak harus mendapat perlindungan khusus. Ini semua ialah
tujuan potensial untuk regulasi penyiaran. e.
Tapi apa alasan utama dalam mengatur penyiaran yang berbeda dari media lain, misalnya surat kabar dan majalah, atau internet? Pembenaran
utama didalilkan bahwa spektrum frekuensi adalah sumber daya publik, dialokasikan untuk negara-negara sesuai dengan perjanjian internasional
yang kompleks. Dengan demikian, itu adalah sumber daya yang langka menajdi begitu berharga. Oleh karna itu wajar bila regulasi penyiaran
diatur dengan tujuan bagi kemaslahatan publiknya. f.
Mekanisme yang digunakan untuk menempatkan kewajiban pada lembaga penyiaran umumnya melalui lisensi. Sangat jarang bagi Negara
untuk memberikan atau menjual spektrum siaran selama-lamanya; umumnya penyiar diperbolehkan untuk menggunakannya untuk waktu
yang terbatas di bawah lisensi. g.
Ini adalah proses perizinan melalui mana pemerintah memperkenalkan dan menegakkan tujuan lain dari peraturan penyiaran: demokratis, tujuan
ekonomi, budaya dan perlindungan konsumen.
h. Apapun proses yang dipilih, kondisi dasar, dan kriteria yang mengatur
pemberian dan perpanjangan izin penyiaran harus didefinisikan secara jelas dalam undang-undang dan peraturan yang mengatur prosedur
perizinan penyiaran harus jelas dan tepat serta diterapkan secara terbuka, transparan, dan tidak memihak.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran P3SPS sebagai produk regulasi media penyiaran di bawah Komisi Penyiaran Indonesia, memberi
arah dan tujuan agar lembaga penyiaran pada Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 01PKPI032013 Bab II Pasal 4, sebagai berikut:
a. Menjungjung tinggi dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia; b.
Meningkatkan kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
c. Menghormati dan menjungjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya
bangsa yang multikultural; d.
Menghormati dan menjungjung tinggi etika profesi yang diakui oleh perundang-undangan;
e. Menghormati dan menjungjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi;
f. Menghormati dan menjungjung tinggi hak asasi manusia
g. Menghormati dan menjungjung tinggi hak dan kepentingan publik;
h. Menghormati dan menjungjung tinggi hak anak-anak dan remeja
i. Menghormati dan menjungjung tinggi hak orang dan atau kelompok
masyarakat tertentu; dan j.
Menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik.
4. Fungsi Regulasi Media Penyiaran
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekuasaan dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat, tentunya ini hasil dari runtuhnya
rezim Soeharto, dimana media pada saat itu menjadi corong pemerintah, namun kini media indonesia seperti yang dikatakan oleh Jonathan Turner adalah;
Indonesia has become one of the world most open communities in as much as you can pretty well write what you want without fear of official
sanction. Jonathan Turner, Kepala Biro Kantor Berita Reuters di Jakarta, dikutip oleh Good Man, 2000.
92
Keselurahan transformasi yang berlangsung dalam sektor media di tanah air, pada hakekatnya mencerminkan suatu peralihan dari state regulation menuju
market regulation, dimana operasi dari industri media tidak banyak lagi didasarkan atas intervesi negara tetapi terutama sekali pada bentuk mekanisme
pasar dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan pasar. Dalam konteks ini, penggunaan state regulation
sebenarnya bukan „deregulasi’, tetapi lebih sebagai ekspansi „market regulation’. Oleh karena itu, deregulasi sektor media di tanah air
juga telah mengarah pada ekspansi market regulation, beserta segala kecenderungan untuk menyerahkan segalanya kepada mekanisme pasar tertentu.
K ata kunci yang seolah ditonjolkan oleh para “fundamentalis pasar” adalah leave
the things to market.
93
Orientasi untuk mengubah media penyiaran dari market regulation manjadi sebuah social justice bagi warga mungkin sulit tercapai, namun setidaknya dengan
92
Dedy N. Hidayat, dkk., Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI, 2003, h. 4
93
Dedy N. Hidayat, dkk., Konstruksi Sosial Industri Penyiaran Jakarta: Departemen Komunikasi FISIP UI, 2003, h. 5.
adanya lembaga negara independen yang dapat mengatur regulasi media penyiaran berfungsi sebagai:
In most democratic countries, broadcast regulators undertake two key functions: allocating broadcast frequencies through the award of licences
and developing and applying codes of broadcasting conduct, which normally deal with a range of content and broadcast practice issues.
94
Berdasakan dari kutipan di atas fungsi dari badan regulator adalah pengalokasian spektrum frekuensi dan kode etik, maka dapat ditarik benang
merah untuk fungsi regulasi media penyiaran itu sendiri. a.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran bahwa spektum frekuensi radio merupakan sumber daya
alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk itu fungsi regulasi media penyiaran menjadi begitu penting, terkait
dengan pengalokasian spektrum frekuensi antara semua pemakai frekuensi, harus terbuka dan partisipatif. Diharapkan dengan ada regulasi media
penyiaran dapat berfungsi untuk menjaga keharmonisan antara pemerintah, pasar dan publik. Fungsi lainnya dalam konteks frekuensi harus menjamin
secara adil dan untuk kepentingan umum antara ketiga tingkat penyiaran publik , komersial dan komunitas
b. Fungsi regulasi media penyiaran kedua yakni untuk mengatur kode etik
penyiaran. Perturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor01PKPI032012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran menimbang:
94
“International Standards: Regulation Of Broadcasting Media” artikel diakses pada 23 November 2013 dari http:www.article19.orgresources.phpresource3022eninternational-
standards:-regulation-of-broadcasting-media.
1 Bahwa dalam rangka pengaturan perilaku lembaga penyiaran di
Indonesia dibutuhkan suatu pedoman yang wajib dipatuhi agar pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan
sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditunjukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya;
2 Bahwa dengan keberadaan lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia
harus disusun pedoman yang mampu mendorong lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri
bangsa, yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum,
dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.
66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam, tergantung sudut pandang yang digunakan. Sebagaian orang menyebut paradigma sebagai citra fundamental
dari pokok permasalahan di dalam suatu ilmu. Paradigma menggariskan hal yang seharusnya dipelajari, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan dan
kaidah-kaidah yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
1
Hal ini diperkuat oleh definisi dari Alan Bryman yang dikutip oleh Victor Jupp dalam bukunya Dictionary of Social Research Methods:
2
“A „cluster of beliefs and dictates which for scientists in a particular discipline influence what should be studied, how research should be done, how
results should be interpreted, and so on ‟.”
Sedangkan menurut Poerwandari seperti dikutip oleh Agus Salim paradigma merupakan “seperangkat proposisi pernyataan yang menerangkan bagaimana dunia
dan kehidupan secara umum dipresepsikan”. Pengertian lainnya dari Erving Goffman yang mengemukakan paradigma sebagai kerangka frame, yakni :
“interpretive scheme that people use to simplify and make se
nse of some aspects of the world”.
3
Sejak abad pencerahan dimulai sampai pada era globalisasi, para ilmuwan telah mengembangkan empat paradigma ilmu pengetahuan. Empat paradigma ilmu
1
Agus Salim, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 63.
2
Victor Jupp, The Sage Dictionary of Social Research Methods, London: SAGEPublication Ltd, h. 212.
3
Agus Salim, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 5.