Metro TV Siaran Iklan “Kampanye Partai Nasdem”

Indonesia Tahun 2002 Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2: Ayat 1 lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan paublik. Ayat 2 lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2: Ayat 1 program siaran wajib dimantfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu. 2 program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan danatau kelompoknya.

C. Interpretasi Hasil Penelitian

“Media massa adalah kelas yang mengatur.” Demikian premis teori Marxis tentang posisi media dalam sistem kapitalisme modern. Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antar unsur-unsur sosial dalam satu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan consensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik lebih dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakuakn semata- mata sebagai konsumen. 28 Hal ini juga dibenarkan oleh Ignatis Haryanto: “..Ya, bagaimanapun juga memang, media massa dilingkupi oleh macam-macam kepentingan; kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ya, dan kepentingan politik yang di sini kan menjadi sangat makin artikulatif ketika mereka menjadi pemain langsung di sana, bukan sekedar misalnya, umm memberi dana dan lain- lain.” Dari sekian banyak alasan pentingnya regulasi penyiaran salah satunya ialah pertimbangan teknis untuk memastikan siaran bebas intervensi, mengingat bahwa media merupakan “locus publicus”. Hal ini bertujuan untuk melindungi apa yang menjadi hak-hak publik. Mike Feintuck-Mike Varney dan Toby Mendel memaparkan beberapa alasan yang dapat menjustifikasi penyusunan regulasi penyiaran, yaitu: effective communication, diversity both political and cultural, economic justification, public service, dan terakhir election coverage. PKPU No 1 Tahun 2013, PKPU No 15 Tahun 2013, UU No 8 Tahun 2012, dan P3SPS pada tiap-tiap pasal yang terdiri dari beberapa ayat merepresentasikan justifikasi regulasi penyiaran. Hal ini ditandai dengan tiap ayat memiliki unsur-unsur tersebut, sedangkan beberapa ayat lain yang tidak dapat dijustifikasi ialah ayat penjelas untuk ayat-ayat sebelumnya atau pasal sebelumnya. 28 Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran Yogyakarta: LKis, 2004, h. 1. Memasuki pemilu 2014, perangkat regulasi yang telah disiapkan untuk menjadi pedoman nyatanya belum memadai. Ini terlihat dari banyaknya pelanggaran yang terjadi di media penyiaran. Hal ini tampak dari terdapatnya tayangan-tayangan yang bermuatan kampanye di Televisi, baik yang mendapat teguran dari KPI maupun yang tidak namun mengandung unsur kampanye. Pelanggaran-pelangaran ini terjadi dikarenakan terdapat beberapa alasan. Pertama, seluruh unsur dalam definisi kampanye menurut PKPU No 15 Tahun 2013 pasal 1 ayat 17 harus terpenuhi, seperti adanya kegiatan perserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta pemilu dan atau informasi lainnya. Selain itu defnisi kampanye tersebut tidak secara rinci menyebutkan unsur-unsur yang melekat pada peserta pemilu seperti nomor partai, logo partai, tagline partai, dan tokoh partai. Dan terdapat perbedaan antara KPI dengan KPU dalam menafsirkan kampanye. Hal ini diakui oleh Komisioner KPU, Juri Ardiantoro; “…memang ada perdebatan mengenai definisi kampanye. Apakah kalau ada unsur yang bisa dikategorikan kampanye, langsung bisa dikategorikan sebagai kampanye? Disebut kampanye? Atau harus kumulatif kan? Kumulatif itu artinya seluruh unsurnya harus terpenuhi, harus ada orangnya, harus ada pelaksanaanya, ada ajakan memilih, kemudian dilaksanakan dalam masa kampanye. Dan memang pengertian selama ini yang dipakai baik oleh KPU, Bawaslu, DPR dan pemerintah itu mengatakan pengertian kampanye itu kumulatif.” 29 Sedangkan KPI beranggapan bahwa: “…undang-undang pemilu mendefinisikan bahwa kampanye ini harus memuat unsur-unsur secara akumulasi yaitu visi dan misi, kemudian program dan juga ajakan untuk memilih, jadi kalau suatu partai kemudian mengiklankan diri di stasiun televisi misalnya dia ada no partai, lambang 29 Wawancara Pribadi dengan Komisioner KPU, Juri Ardiantoro, pada tanggal 26 Mei 2014 partai, tidak ada visi-misi, dan ajakan aja itu tidak bisa dikatakan kampanye oleh undang-undang pemilu, nah menurut KPI, KPI akan menyikapi secara lebih progresif bahwa itu adalah tetap kampanye karena bagi KPI seorang atau badan lembaga apapun yang beriklan di lembaga penyiaran tentu punya maksud dan tujuan yaitu untuk memberitahu atau menginformasikan juga mempengaruhi meskipun ummm apa itu namanya? unsur-unsur tidak terpenuhi secara lengkap.” 30 Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa perbedaan itu ada dalam menafsirkan kampanye. Ketidaksamaan tafsir mengenai kampanye pada akhirnya berdampak pada law enforcement yang lemah. Celah-celah ini yang kemudian dimanfaatkan oleh partai politik untuk tetap berkampanye di media penyiaran. Diharuskan terpenuhinya unsur-unsur kampanye secara akumulatif dalam tayangan dan tidak jelasnya rincian syarat tayangan kampanye ini diakali oleh partai politik dengan munculkan tayangan- tayangan yang tetap bernuansa kampanye dan memuat kepentingan-kepentingan partai politik. Seperti munculnya pasangan capres dan cawapres dalam sinetron tukang bubur naik haji, reality show mewujudkan mimpi Indonesia, kuis kebangsaan, dan iklan. Kondisi ini juga dibenarkan oleh Ignatius Haryanto sebagai pengamat media yang mengatakan bahwa: “..Mereka-mereka yang harusnya mengatur masalah-masalah ini harusnya sudah melihat suatu fenomena. Kalo sebelum-sebelumnya mereka lebih mempengaruhi dari sisi pemberitaan, gitu ya, ekspose yang banyak, ketika misalnya mereka sedang safari ke daerah, dan lain-lain. Atau ada pertemuan-pertemuan besar, seperti itu. Tapi kemudian mereka masuk dalam bentuk-bentuk yang lain, dalam bentuk kuis, dalam bentuk sinetron, reality show. Banyak terjadi praktek-praktek yang kemudian menjadi polemik, begitu ya. Terutama misalnya kita lihat; media-media tertentu karena pemiliknya adalah juga seorang politikus, yang kemudian juga running dalam Pemilu ini, lalu kemudian memanfaatkan siaran-siaran di dalam televisinya untuk mengampanyekan dirinya. harusnya ini sudah diantisipasi sejak lama. 31 30 Wawancara Pribadi denga Komisioner KPI, Aghata Lily, p ada tangaal 5 Mei 2014 31 Wawancara Pribadi dengan Pengamat Media, Ignatius Haryanto, pada tangaal 7 Mei 2014