Interpretasi Hasil Penelitian METODOLOGI PENELITIAN

partai, tidak ada visi-misi, dan ajakan aja itu tidak bisa dikatakan kampanye oleh undang-undang pemilu, nah menurut KPI, KPI akan menyikapi secara lebih progresif bahwa itu adalah tetap kampanye karena bagi KPI seorang atau badan lembaga apapun yang beriklan di lembaga penyiaran tentu punya maksud dan tujuan yaitu untuk memberitahu atau menginformasikan juga mempengaruhi meskipun ummm apa itu namanya? unsur-unsur tidak terpenuhi secara lengkap.” 30 Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa perbedaan itu ada dalam menafsirkan kampanye. Ketidaksamaan tafsir mengenai kampanye pada akhirnya berdampak pada law enforcement yang lemah. Celah-celah ini yang kemudian dimanfaatkan oleh partai politik untuk tetap berkampanye di media penyiaran. Diharuskan terpenuhinya unsur-unsur kampanye secara akumulatif dalam tayangan dan tidak jelasnya rincian syarat tayangan kampanye ini diakali oleh partai politik dengan munculkan tayangan- tayangan yang tetap bernuansa kampanye dan memuat kepentingan-kepentingan partai politik. Seperti munculnya pasangan capres dan cawapres dalam sinetron tukang bubur naik haji, reality show mewujudkan mimpi Indonesia, kuis kebangsaan, dan iklan. Kondisi ini juga dibenarkan oleh Ignatius Haryanto sebagai pengamat media yang mengatakan bahwa: “..Mereka-mereka yang harusnya mengatur masalah-masalah ini harusnya sudah melihat suatu fenomena. Kalo sebelum-sebelumnya mereka lebih mempengaruhi dari sisi pemberitaan, gitu ya, ekspose yang banyak, ketika misalnya mereka sedang safari ke daerah, dan lain-lain. Atau ada pertemuan-pertemuan besar, seperti itu. Tapi kemudian mereka masuk dalam bentuk-bentuk yang lain, dalam bentuk kuis, dalam bentuk sinetron, reality show. Banyak terjadi praktek-praktek yang kemudian menjadi polemik, begitu ya. Terutama misalnya kita lihat; media-media tertentu karena pemiliknya adalah juga seorang politikus, yang kemudian juga running dalam Pemilu ini, lalu kemudian memanfaatkan siaran-siaran di dalam televisinya untuk mengampanyekan dirinya. harusnya ini sudah diantisipasi sejak lama. 31 30 Wawancara Pribadi denga Komisioner KPI, Aghata Lily, p ada tangaal 5 Mei 2014 31 Wawancara Pribadi dengan Pengamat Media, Ignatius Haryanto, pada tangaal 7 Mei 2014 Meski tidak mendapat teguran KPU sebagai pelanggaran kampanye, tayangan-tayangan tersebut tetap mendapat teguran dari KPI tetapi tidak dengan menggunakan perangkat aturan kampanye, melainkan Pedoman Perilaku Penyian dan Standar Program Penyiaran P3SPS. Oleh karena menggunakan P3SPS, yang mendapat sanksi adalah pihak media massa, bukan partai politik. KPI memberikan punishment bahwa ini sebuah pelanggaran, namun media penyiaran berdalih ini bukan pelanggaran menurut KPU dan Bawaslu, hal ini berdampak terhadap tidak efektifnya regulasi yang ada. Hal ini dibenarkan oleh Komisioner KPI: “…kita tegur, kata Bawaslu gakpapa, kok KPI yang repot sih? Sementara aturan Pemilu kan KPU, KPI kok ikut-ikutan? Padahal kan semua bersinggungan, apa lagi yang terkait dengan penyiaran, pasti juga ranahnya KPI.” 32 Selain karena definsi kampanye yang lemah dalam mengikat media massa dan partai politik, alasan kedua terjadinya pelanggaran dapat dijelaskan menurut teori strukturasi. Teori ini melihat struktur mengacu pada konteks, pada kondisi materi yang menentukan jangkauan aksi yang tersedia bagi aktor dan agensi meliputi kemampuan individu atau kelompok baik disengaja maupun tidak untuk memengaruhi lingkungannya 33 merupakan satuan kesatuan yang tak terpisahkan, keduanya saling tergantung dan berkaitan secara internal. Regulasi menjadi product yang diproduksi oleh para agen, sehingga tidak mengherankan jika regulasi dibuat 32 Wawancara Pribadi denga Komisioner KPI, Aghata Lily, p ada tangaal 5 Mei 2014 33 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik Bandung: Nusa Media, 2011 , h. 325 sedemikian rupa untuk tetap memberikan peluang bagi agen untuk berkampanye, tetapi tidak dianggap melanggar aturan kampanye. Tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh-mempengaruhi antara agen dan struktur. Dengan demikian, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan terpisah satu sama lain. Untuk memudahkan membaca peta pada penelitian ini, maka penulis menggambarkannya sebagai berikut: Gambar 4.15 Dialektika Strukturasi KPU KPI Regulasi Media Massa Partai Politik Gambar di atas menggambarkan seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin- menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas manusia, 34 Argumen ini menggambarkan keseluruhan realitas yang terjadi. Regulasi adalah produk yang diproduksi oleh agen-agen dalam lembaga seperti KPI, KPU, media massa, dan partai 34 Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Cet ke-4. Penerjemah Alimandan Jakarta: Kencana, 2007, h. 508. politik. Media massa dan partai politik adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan paling diuntungkan. Media massa tentunya mendapat keuntungan secara ekonomi, dan partai politik menjadikan media massa sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan konsistuennya. Tidak aneh bahwa regulasi yang ada masih cenderung memberikan ruang kepada pelaku-pelaku, baik insan media massa dan politisi partai politik untuk tetap berkampanye. Dan regulasi yang dibuat tentu saja syarat dengan kepentingan. Persoalan ini memperlihatkan kunci pendekatan Giddens, bahwa ia melihat agen dan struktur sebagai dualitas, yaitu agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Penjelasaanya ialah regulasi sebagai produk yang diproduksi oleh agen pada akhirnya mengikat agen pada praktik sosial. Hal ini diperkuat oleh penjelasaan dari Komisioner KPU; “PKPU yang dibuat oleh KPU tentu tidak hanya melibatkan internal KPU karena KPU harus juga menghimpun masukan, input, baik informasi, pengetahuan, keahlian dari banyak pihak. Kalau soal pemilu, teknis pemilu kita undang ahli pemilu, pemerhati pemilu. Soal kampanye kita undang pihak- pihak lain yang terkait, misalnya kampanye di media, mengundang insan media, baik penyiaran ataupun media elektronik maupun media cetak, dari kalangan.. dari lembaga negara yang menangani masalah-masalah media, Komisi Penyiaran, Dewan Pers, para pakar, peserta pemilu, LSM pemerhati pemilu, termasuk pembuat undang- undang dan pemerintah…” 35 Penjelasan di atas menegaskan bahwa komposisi antara agen dan struktur bukanlah sebuah fenomena yang terpisah seperti paham dualisme, melainkan komposisi tersebut mewakili sebuah dualitas. Diibaratkan oleh Derek R Layder sebagai dua sisi dari satu mata uang logam. Giddens sendiri mengasumsikan agen dan struktur adalah dwi rangkap. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana “struktur sosial merupakan hasil outcome dan sekaligus medium sarana 35 Wawancara Pribadi dengan Komisioner KPU, Juri Ardiantoro, pada tanggal 26 Mei 2014 praktik sosial.” Struktur, sistem, dan dualitas struktur menjadi tiga konsep utama dari inti teori strukturasi. 36 Ketiganya digambarkan sebagai berikut; Gambar 4.16 Konsep Utama Strukturasi Dualitas struktur Dibentuk Membentuk Struktur Agen Membentuk Dibentuk Sistem Gambar di atas menjelaskan bagaimana teori strukturasi bekerja. Menjadi sangat penting bagi gagasan tentang strukturasi adalah teorema dualitas struktur, yang secar logika terkandung dalam gambaran di atas. Giddens mengajak kita untuk berpikir bahwa: Instead of a dualism, Giddens suggests that we should think in terms of a duality, a „duality of structure‟. That is, rather than two separate and opposed phenomena, we should think of one, in this case structure, which has a dual nature. 37 Secara keseluruhan, teori strukturasi memberikan model yang seimbang, yakni struktur dan agensi berinteraksi dengan erat. Metafora Giddens untuk hal ini adalah bahwa alih-alih sebagai fenomena yang berbeda, struktur dan agensi dalam 36 Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Mayarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 25. 37 Derek R Layder. Understanding Social Theory, 2 th ed.London: Sage Publication, 2006, h. 187. kenyataannya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. 38 Proses strukturasi sendiri merupakan jalan penting bagi terbentuknya hegemoni, yaitu cara berpikir yang dinaturalisasikan, masuk akal, dan diterima sebagai sesuatu yang terberi given mengenai dunia yang termasuk didalamnya segala sesuatu, mulai dari kosmologi melalui etika hingga praktik sosial yang diletakan dan dipertarungkan dalam kehidupan sehari-hari. 39 Hegemoni oleh Gramsci tidak hanya diterapkan sebagai strategi kaum proletar namun juga dapat diterapkan dalam praktek kelas berkuasa lainnya. Bagi Gramsci, ideologi tidak hanya tumbuh dan berkerja dalam kelas buruh yang didominasi oleh kelas pemilik modal, sebagaimana pemikiran Marx, tapi juga dapat berlangsung di setiap aspek kehidupan, melalui keluarga, lembaga agama, budaya politik, media massa dan lain- lain melalui mekanisme “hegemoni”. 40 Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi hegemonik bilamana kelompok tersebut mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikan dalam kepentingan moral dan politik. 41 Agen-agen sebagai kelompok yang berkuasa menghegemoni, termasuk juga masyarakat melalui regulasi yang mereka buat bersama. Diasumsikan bahwa kelompok-kelompok kepentingan seperti partai politik dan media massa sebagai 38 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik Yogyakarta: Nusa Media, 2010, h. 335 39 Sunarto, Televisi, Kekerasan, dan Perempuan Jakarta: Kompas Gramedia, 2009, h. 24 40 Dony Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer Depok: Koekoesan, 2011, h. 41 41 Dony Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer Depok: Koekoesan, 2011 h. 42. 78 178 mediumnya berusaha melanggengkan kekuasaan melalui regulasi sebagai ideologi. Bahwa apa yang agen-agen lakukan mendapat persetujuan melalui regulasi itu sendiri, nyatanya partai politik dan media massa adalah satu kesatuan dalam penelitian ini. Pada akhirnya demokratisasi penyiaran tidak terjadi. 179

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil temuan dan analisis penelitian menunjukan bahwa PKPU No 1 Tahun 2013, PKPU No 15 Tahun 2013, UU No 8 Tahun 2012, dan Pedoman Perilaku Penyiaran P3 dan Standar Program Siaran SPS merepresentasikan justifikasi regulasi penyiaran dari Mike Feintuck dan Mike Varney, juga Toby. Terlihat dari tiap-tiap ayat pada regulasi mewakili kelima point utama dari justifikasi regulasi penyiaran; effective communication, diversity both political and cultural , economic justification, public service, dan election coverage. Meskipun regulasi tersebut merepresentasikan justifikasi regulasi penyiaran, nyatanya pelanggaran kerap terjadi. Pelanggaran ini dikarenakan isi dari regulasi, dalam hal ini definisi kampanye, yang muncul dalam peraturan kurang detil mendeskripsikan kategori kampanye dan adanya perbedaan persepsi tentang definisi kampanye antara KPI dan KPU. Akibatnya beberapa tayangan yang muncul dilayar kaca dan sarat akan nuansa kampanye tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kampanye menurut aturan kampanye dalam media penyiaran, namun hanya dianggap sebagai pelanggaran isi penyiaran berdasar P3SPS. Hal ini lah yang pada akhirnya menyebabkan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran kampanye di media penyiaran menjadi lemah. Selain itu, pelanggaran kampanye yang terjadi dalam media penyiaran ini dilihat menggunakan pandangan strukturasi terkait dengan relasi yang terbentuk antara struktur dan agen yang dianggap sebagai dualitas, saling berhubungan dan berpengaruh satu dengan yang lain. Hal ini tampak pada proses perumusan regulasi kampanye pemilu di media penyiaran yang melibatkan para agen, seperti insan media, politis partai politik, KPI yang diwakili oleh komisioner KPI, dan tentunya KPU yang juga diwakili oleh komisioner KPU sebagai agen. Para agen ini membentuk perangkat aturan kampanye dalam media penyiaran struktur sebagai sebuah aturan main yang pada fungsi mengikat insan media massa dan partai politik agen sendiri. Dengan demikain agen pun pada akhirnya terikat oleh struktur yang mereka buat sendiri pada praktik sosialnya. Oleh karena itu jika satu sisi peraturan struktur ini dipengaruhi oleh tindakan agen media massa dan partai politik dan disisi yang lain secara bersamaan mempengaruhi bagaimana agen bertindak, maka sangat mungkin terjadi paeraturan yang dihasilkan sarat dengan kepentingan mereka agen. Dalam pandangan hegemoni, kondisi ini merupakan cara kelompok berkuasa melanggengkan kuasanya melalui penyebarluasan ide regulasi yang disepakati bersama dan disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat pun secara sukarela menerima ini sebagai suatu hal yang wajar. Sehingga ketika muncul tayangan- tayangan yang merujuk pada partai politik atau tokoh politik tertentu, masyarakat menerima sebagai kewajaran bukan sebagai sebagai pelanggaran.

B. Saran

1. Saran Akademis

Berdasar hasil penelitian ini, peneliti menyarakan perlunya penelitian lanjutan yang lebih mendalam untuk membedah regulasi kampanye pemilu di media penyiaran, sampai kepada behind the scene pembuatan regulasi tersebut untuk mengetahui saling pengaruh antara structure regulasi dan agency para aktor sosial dan tindakannya, baik secara individu maupun kolektif sebagai sebuah entitas yang tidak terpisah melainkan saling tergantung dan berkaitan secara internal. 2. Saran Praktis Media penyiaran hendaknya dapat mengimplementasikan pertimbangan dalam UU No 32 Tahun 2002 yang berbunyi spektrum frekuensi radio merupkan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Pada faktanya media penyiaran yang berafiliasi dengan partai politik dengan “membabi buta” menggunakan spektrum frekuensi radio untuk kepentingan pemilu dan mengesampingkan masyarakat sebagai pemilik hakiki atas frekuensi. KPU sebagai penyelenggara pemilu dan KPI sebagai lembaga negara independen diharapkan memiliki kesamaan persepsi mengenai regulasi kampanye di media penyiaran, agar hal ini tidak dijadikan celah oleh media penyiaran untuk berbuat curang dan tentu ketidaksamaan persepsi ini berimbas kepada kebingungan yang dialami oleh publik. Pada intinya, regulasi kampanye di media penyiaran yang akan datang harus diubah menjadi jauh lebih baik, lebih jelas, lebih tegas, agar tercipta kampanye pemilu yang sehat di media penyiaran.