8
7. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan
semiotik yang terdiri atas pembacaan model  heuristik dan hermeneutik. Pembacaan
heuristik adalah
pembacaan berdasarkan
struktur kebahasaannya yang berfungsi untuk memperjelas arti apabila perlu diberi
sisipan kata atau sinonim kata-katanya diberikan tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku berdasarkan tata
bahasa normatif apabila perlu susunannya dibalik utnuk memperjelas arti, sedangkan  Hermeneutik  pembacaan ulang setelah pembacaan  heuristik
dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.
4
Langkah awal dalam penelitian ini adalah pembacaan heuristik yaitu peneliti menginterpretasikan teks novel OMDS  karya  Wiwid  Prasetyo
untuk menemukan unsur-unsur instrinsik dan nilai-nilai moral dalam novel. Unsur-unsur yang dianalisis di dalam novel ini meliputi tema, alur,
latar, penokohan, dan sudut pandang. Langkah kedua, peneliti melakukan pembacaan hermeneutik yaitu dengan menafsirkan makna peristiwa atau
kejadian yang terdapat dalam teks novel  OMDS karya Wiwid Prasetyo, sehingga  dapat menemukan nilai-nilai edukasi yang terdapat dalam novel.
8. Prosedur Penelitian a.  Pembacaan Data
Pembacaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik dan hermeuneutik.
b. Reduksi Data Pada langkah ini data yang sudah diperoleh kemudian dicatat dalam
uraian terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data
yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis. Dalam hal ini berkaitan dengan analisis struktur dan nilai moral dalam novel OMDS
4
Jabrohim, Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 126.
9
karya Wiwid Prasetyo. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.
c.  Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data Pada langkah ini, data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara
teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang analisis
struktur dan nilai moral dalam novel.
BAB II LANDASAN TEORI
A.Pengertian Novel
Menurut Nurgiyantoro, novel Inggris: novel dan cerita pendek disingkat: cerpen: Inggris: short story merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus
disebut fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel,
1
sedangkan menurut Wellek dan Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa, yang
ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadidan tidak mungkin terjadi.
2
Berdasarkan segi panjangnya cerita, tentulah novel berkisah mengenai kehidupan manusia dalam skala yang lebih luas, dibandingkan cerpen yang hanya
mengisahkan seseorang yang mengalami satu peristiwa dalam satu waktu tertentu. Novel dapat dikatakan sebagai kisah sejarah hidup seseorang. Seperti yang
dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa novel dianggap sebagai dokumen atau berupa kasus sejarah, sebagai pengakuan karena ditulis sangat meyakinkan,
sebagai sejarah kehidupan seseorang dan zamannya.
3
Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan
kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali
membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca
sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, h. 9.
2
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 282.
3
Ibid, h. 276
10
11
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
cerita fiktif
yang berusaha menggambarkan
atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya
sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.
B.  Strukturalisme Sastra dan Pendekatan Pragmatik
Pendekatan   yang   digunakan   dalam   penelitian   ini   adalah   pendekatan struktural. Menurut Ratna, struktur berasal dari kata structural bahasa latin yang
berarti bentuk atau bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur untuk  menganalisis  sebuah  karya  sastra,  sehingga  harus  dipertahankan  unsur-
unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia sastra yaitu tema, alur,
penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
4
Menurut Nurgiyantoro, sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme  adalah  sebuah  totalitas  yang  dibangun  secara  koherensif  oleh
berbagai  unsur  pembangunnya.  Di  satu  pihak,  struktur  karya  sastra  dapat diartikan  sebagai  susunan,  penegasan,  dan  gambaran  semua  bahan  dan  bagian
yang  menjadi  komponennya  yang  secara  bersama  membentuk  kebulatan  yang indah.
5
Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
antar unsur intrinsik fiksi  yang bersangkutan.  Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi  masing-masing unsur itu  dalam  menunjang makna  keseluruhannya,  dan
bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas   kemaknaan   yang   padu.   Sedangkan   Mahayana   mengatakan   bahwa
4
Nyoman Kutha Ratna,Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 91
—94.
5
Nurgiyantoro, op.cit., h. 36.
12
pendekatan yang ditawarkan oleh strukturalisme sangat efektif dan praktis karena peneliti cukup memahami teksnya saja tanpa harus mengaitkan teks dengan segala
konteks yang lain sehingga peneliti dapat memfokuskan pikiran hanya pada teks .
6
Pendapat lain dikemukakan oleh Jabrohim bahwa analisis struktural yang murni, unsur-unsur pembangun yang disebutkan di atas itulah yang dikaji dan
diteliti.  Namun,  satu  hal   yang  perlu  diperhatikan  adalah  pemahaman  dan pengkajian  unsur  struktur  harus  ditopang  oleh  pengetahuan  yang  mendalam
tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu.
7
Seperti  halnya  dalam  karya  fiksi,  kita  tidak  mungkin  dapat ―merebut
makna‖  tokoh  dan  penokohan  tanpa  kita  mengetahui  apa  pengertian  tokoh, bentuk-bentuk  watak  dalam  segala  situasi,  dan  sebagainya  mengenai  tokoh.
Demikian juga mengenai alur, latar, tema, dan yang lainnya. Akan tetapi, penting juga   diperhatikan   mengenai   makna-makna   bagian   atau   unsur   itu   dalam
keseluruhan, dan sebaliknya. Dalam   menganalisis   novel   Orang   Miskin   Dilarang   Sekolah, peneliti
menggunakan pendekatan struktural yang menitikberatkan pada kajian intrinsik sebuah novel. Menurut Natawidjaja, intrinsik adalah unsur-unsur rohaniah yang
harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya.
8
Berikut adalah penjelasan masing-masing mengenai unsur pembangun intrinsik sebuah karya sastra:
1.  Tema
Menurut Siswanto adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan kaya rekaan yang
diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.
9
Tema digolongkan menjadi
6
Maman S, Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1007, h. ix.
7
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia,h. 58.
8
P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya,Jakarta: PT Intermasa, 1982, h. 102.
9
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo, 2008, h.161.
13
beberapa kategori yang berbeda. Namun, dalam penelitian ini, untuk pembahasan tema hanya akan menggunakan tema menurut cakupannya.
Berdasarkan cakupannya, tema dibedakan menjadi dua yaitu tema mayor tema utama dan tema minor tema tambahan. Menurut Nurgiyantoro, tema mayor
adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu, sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-
bagian tertentu cerita, atau dapat didefinisikan sebagai makna bagian atau makna tambahan.
10
2.  Latar
Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan bahwa latar cerita  setting disebut   juga   sebagai   landas   tumpu,   menyaran   pada   pengertian   tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Nurgiyantoro juga memaparkan   bahwa latar memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis  kepada  pembaca,  menciptakan  suasana  tertentu  yang  seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi.
11
Dalam karya fiksi, latar dibedakan menjadi dua, yaitu latar tipikal dan latar netral.  Menurut  Sayuti,  latar  netral  adalah  latar  yang  hanya  latar,  tidak
memiliki kaitan yang fungsional dengan elemen fiksi lainnya. Pengarang tidak memiliki
motivasi untuk
memilih kualitas
tertentu untuk
membuat pelukisannya tentang waktu atau tempat menjadi khas atau tipikal.
12
Sedangkan menurut Nurgiyantoro, latar tipikal memiliki sifat khas latar tertentu, baik yang
menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa karya itu bersifat realistis,
terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual.
13
10
Nurgiyantoro, op.cit.,  h. 82 —83.
11
Ibid  h. 217.
12
Suminto A. Sayuti,  Apresiasi Prosa Fiksi, Jakarta: Depdikbud, 1996, h. 121.
13
Nurgiyantoro, op.cit.,  h. 220 —222.
Nurgiyantoro, op.cit. h. 142 —145
14
3.  Alur
Alur oleh Stanton dalam buku karya Susanto, dipandang sebagai tulang punggung sebuah cerita, sebab alur bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri
daripada  unsur-unsur  yang  lain.  Alur  atau  plot  menurutnya  harus  memiliki bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Alur harus mampu memberikan
kejutan kepada pembacanya dengan berbagai ketegangan yang dibangunnya. Alur merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa yang dihubungkan dengan
sebab  dan  akibat.
14
Alur  tidak  hanya  dimaknai  hanya  sekedar  penyajian rangkaian peristiwa dalam cerita, tetapi tahapan pertiwa dalam alur memiliki
hubungan  sebab  akibat,  sedangkan  pengaluran  merupakan  kegiatan  yang dilakukan  oleh  pengarang  dalam  mengolah  peristiwa  sehingga  membentuk
rangkaian peristiwa yang dapat tersusun dengan baik dan berkaitan satu dengan yang lain.
Sementara  itu,  Nurgiyantoro  menjelaskan  isi  dari  tahapan-tahapan  alur yaitu tahap awal yaitu tahap pengenalan yang pada umumnya berisi sejumlah
informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya, berupa pengenalan latar atau tokoh. Tahap tengah
cerita  yang disebut  juga  pertikaian,  menampilkan  pertentangan  atau  konflik yang  sudah  mulai  dimunculkan  pada  tahap  sebelumnya  menjadi  semakin
meningkat,  semakin  menuju  klimaks.  Tahap  akhir  cerita  atau  disebut  juga tahap penyelesaian yang menampilkan peristiwa tertentu sebagai tanda akibat
klimaks, pada tahap ini dijelaskan bagaimana akhir dari sebuah cerita.
15
4.  Tokoh dan Penokohan
Menurut Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita  rekaan  sehingga  peristiwa  itu  menjalin  suatu  cerita,  sedangkan  cara
sastrawan   menampilkan   tokoh   disebut   penokohan.
16
Sedangkan   menurut Abrams dalam bukunya
“A Glossary Of Literary Terms” mengatakan bahwa penokohan  atau karakter adalah
“  The persons,  in  a  dramatic or  narrative
14
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, Yogyakarta: CAPS, 2012, h. 131.
15 16
Siswanto, op.cit.,h.142.
15
work, endowed with moral and dispositional qualities that are expressed in what they say the dialogue and what they do the
action”.― Karakter adalah tokoh  yang  ditampilkan  dalam  suatu  karya  naratif  atau  dramatis,  yang
ditakdirkan memiliki kualitas  moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
17
Pengelompokan tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Salah satunya berdasarkan  fungsi tokoh  yaitu  Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang
merupakan sentral cerita, keberadaan tokoh tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika
hendak  mencapai  tujuan.
18
Sedangkan  tokoh  antagonis  adalah  tokoh  yang menyebabkan munculnya suatu konflik atau dan dapat menimbulkan antipati
pada  pembacanya.  Penokohan  memiliki  pengertian  lebih  luas  dari ―tokoh‖
sebab penokohan
mencakup bagaimana
perwatakan dan
bagaimana penempatan   dan   pelukisannya   dalam   sebuah   cerita   sehingga   sanggup
memberikan  gambaran  yang jelas kepada pembaca.
19
Teori  yang digunakan dalam  penelitian  ini  mengacu  pada  teori  yang  dimiliki  oleh  A.J  Greimas
dengan   menggunakan   teori   aktan.   Analisis struktur aktan akan lebih mengeksploitasi eksistensi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai peristiwa,
sehingga lebih terlihat keterlibatan antara masing-masing tokoh. Dalam buku Ratna yang berjudul Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra, Greimas mengisahkan hubungan-hubungan yang dapat terjadi antara pelaku aktan
dalam sebuah cerita.
20
Dengan terlihatnya hubungan-hubungan antara pelaku atau tokoh, akan lebih memperjelas mengenai fungsi dari masing-masing tokoh
tersebut sehingga memudahkan pembaca dalam memahami cerita.
17
M.H Abrams, A Glossary Of Literary Terms, New York: Cornell University, 1981, h. 69.
18
Delfiana Sandi, Tokoh dan Penokohan Teater, artikel ini diunduh pada 10 November 2013, Pukul 19.30, dari
http:dsandi-go.blogspot.com201210tokoh-dan-penokohan- teater.html?m=1
19
Nurgiyantoro, op.cit.,  h. 166.
20
Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 140.