24
Dalam karya sastra, moral merupakan inti yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dengan menampilkan makna yang
terkandung di dalamnya. Moral dalam karya sastra dianggap sebagai pesan atau amanat, seperti yang tergambar melalui salah satu unsur pembangun
novel, yaitu tokoh dan penokohan, dalam unsur tersebut akan
menampilkan beberapa moral tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dan pembaca harus pandai membedakan antara moral baik dan buruk. Moral
dalam karya sastra merupakan pandangan hidup seorang pengarang tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dengan maksud sebagai sarana
yang berhubungan dengan ajaran moral dan bersifat praktis yang ditambilkan melalui cerita.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat untuk
menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila, sehingga di dalam masyarakat sangat mengutamakan nilai akhlak atau tingkah laku. Tingkah
laku tersebut yang akan menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat.
2. Wujud Penyampaian Moral
Menurut Nurgiyantoro, wujud dari penyampaian moral secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mencakup hubungan
manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain orang lain, dan manusia dengan Tuhan.
44
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Hubungan manusia dengan diri sendiri Persoalan manusia dengan diri sendiri dapat bermacam-macam
jenis dan tingkat intensitasnya.Persoalan tersebut dapat berhubungan dengan persoalan eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut,
rindu dendam, kesepian, kebimbangan, dan persoalan-persoalan lain yang lebih berhubungan dengan diri individu itu sendiri.
44
Nurgiyantoro, op.cit., h. 323-324
25
b. Hubungan manusia dengan manusia lain orang lain Dalam kehidupan ini, mansusia pun sering berhubungan dengan
manusia lain. Permasalahan ini biasanya berhubungan dengan permasalahan persahabatan, misalnya kesetiaan dan penghianatan,
permasalahan keluarga, misalnya hubungan antara suami dan istri, anak dengan orang tua, permasalahan antara atasan dengan bawahan, dan
permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan dengan interaksi manusia dalam kehidupan.
c. Hubungan manusia dengan Tuhan Permasalahan lain yang sering dialami manusia dalam kehidupan
adalah permasalahan antara dirinya dengan Tuhannya. Permasalahan ini berhubungan dengan aspek ketuhanan, misalnya permasalahan yang
berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis ingin menjadikan ketiga wujud penyampaian pesan moral di atas sebagai landasan dalam
menganalisis nilai moral dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam proses analisis dapat
mempermudah penulis dalam menentukan nilai moral yang ada dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah sehingga batasan analisisnya pun
akan semakin jelas.
E. Etika Jawa
Budaya Jawa memiliki ciri khas dalam kemampuan menerima berbagai macam kebudayaan yang datang dari dalam maupun luar, tetapi masih tetap
mempertahankan keasliannya. Hal itu dikarenakan pola kehidupan masyarakat Jawa telah diatur dalam nilai dan norma sebagai tuntutan bagaimana orang Jawa
menjalani kehidupannya. Menurut Suseno, etika merupakan keseluruhan norma
26
dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.
45
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika Jawa merupakan keseluruhan norma yang mengikat atau mengatur bagaimana seorang manusia
harus bersikap, bertindak, dan bertutur dalam kehidupan masyarakat sehingga diketahui baik buruknya terhadap apa yang telah dilakukannya, hal itu berlaku
untuk seluruh anggota masyarakat Jawa baik itu dari kalangan atas Wong Gedhe atau kalangan bawah Wong Cilik. Adapun etika atau moral yang dimaksud di
antaranya: 1. Nrimo
Nrimo berarti menerima atau ikhlas terhadap apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia, tanpa adanya protes atau
pemberontakan. Nrimo merupakan salah satu sikap Jawa yang paling sering disalah-pahami sebagai bentuk kesediaan seseorang untuk menelan
segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrimo itu merupakan salah satu sikap hidup yang positif.
46
Jadi, pengertian di atas dapat dipahami bahwa sikap nrimo sering disalahartikan dengan sikap yang pasrah dalam arti masyarakat Jawa tidak
mau berusaha merubah nasib. Namun, dibalik sikapnya yang nrimo, masyarakat Jawa terkenal dengan sikapnya yang pekerja keras. Apabila ia
telah memiliki pekerjaan, maka ia akan tekun mengerjakannya walaupun pekerjaan yang mereka miliki relatif rendah.
2. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe Sepi ing pamrih berarti suatu kerelaan untuk tidak lagi mengejar
kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi, sedangkan rame ing gawe berupa memenuhi suatu kewajiban maisng-masing individu.
47
Dapat dikatakan bahwa sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe memiliki pengertian
bahwa apabila melakukan suatu perbuatan atau suatu kewajiban harus
45
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984 h. 6
46
Ibid., h. 143
47
Ibid., h. 150
27
didasari rasa ikhlas dengan tidak mementingkan urusan pribadi atau dalam bentuk mengharapkan imbalan dari apa yang telah dilakukan, akan tetapi
lebih mengutamakan kepentingan orang lain. 3. Prinsip Hormat atau mundhuk-mundhuk
Prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjuk kan sikap hormat terhadap orang
lain, sesuai derajat dan kedudukannya.
48
Tentu saja prinsip-prinsip demikian beranjak ke arah pemudaran, apalagi setelah orang mengerti
bahwa setiap orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama, kemudian timbul pemberontakan untuk apa prinsip hormat itu dilakukan.
Dalam masyarakat jawa kesatuan hendaknya diakui oleh oleh semua dengan membawa diri sesuai tuntutan tata krama sosial, sehingga mereka
yang berkedudukan lebih tinggi atau tua harus dihormati dan sebaliknya yang lebih tinggi mampu mengayomi. Oleh karenanya orang jawa
mengatur hal tersebut dalam etikanya, dalam bahasa jawa tidak mungkin untuk menyapa atau bercakap-cakap dengan orang lain tanpa menaksir
kedudukan sosial jika dibandingkan dengan dirinya, sehingga dalam bahasa jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan
dan gramatika, yaitu terdapat bahasa kromo untuk mengungkapkan sikap hormat dan bahasa ngoko untuk mengungkapkan sikap keakraban.
4. Percaya terhadap Hal Gaib Agama Islam yang berkembang di masyarakat Jawa terkenal sangat
kental dengan tradisi dan budayanya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu juga jargon atau istilah-istilah Jawa.
Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna di negara Indonesia.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun
48
Ibid., h. 60
28
terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan
terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang
memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus
berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga
warisan leluhur mereka dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan agama Jawi atau Islam Kejawen.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa sebagian besar pemeluk agama Jawi tidak sepenuhnya menjalankan agamanya sesuai dengan syariat agama
Islam.
49
Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya
aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan
dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku- perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Seperti yang dikemukakan oleh Suseno bahwa keagamaan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan terhadap berbagai macam roh yang
tidak kelihatan, dan dapat menimbulkan bahaya atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau kita kurang hati-hati. Orang Kejawen akan
melindungi diri mereka dari gangguan dengan memberi sesajen dan meminta bantuan seorang dukun.
50
49
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005 h. 194
50
Suseno, op.cit. h. 15