90
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan asal-usul nama ―Semarang‖.
Menurut C. Kejjerkeker dan D. Van Hinloopen Leberton dalam buku Kasmadi dan Wiyono mengatakan bahwa nama
―Semarang‖ berasal dari kata-kata asem- arang, karena di daerah tersebut banyak ditanam pohon asam yang letaknya
jarang-jarang bahasa Jawa: arang-arang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖. Pendapat lain dikemukakan oleh J. Hageman Jon, bahawa nama
―Semarang‖ berasal dari kata ―sama-perang‖, karena telah terjadi peperangan antara dua orang putra mahkota kerajaan Pejajaran yang terjadi di daerah Tugu
di sebelah barat Semarang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖.
86
Di daerah Semarang hingga saat ini terkenal dengan banyaknya warga Tionghoa yang menetap di sana sehingga terdapat sebuah perkampungan yang
dinamai kampung Pecinan. Berikut ini akan dikisahkan oleh Kasmadi dan Wiyono terkait permulaan terjadinya pemukiman orang-orang Tionghoa di
Semarang: Kira-kira lima ratus lima puluh tahun lalu, Kaisar Bing Sing Tjouw
dari Dinasti Ming mengirimkan suatu armada yang besar untuk mengunjungi negara-negara di Laut Selatan dengan tugas untuk mencari cap kerajaan ajaib
yang telah hilang. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang Kebiri besar yang bernama Sam Po. Ketika armada ini sedang berlayar di muka pantai utara
Jawa, seseorang yang memegang jabatan kedua setelah Sam Po, yaitu Ong King Hong menderita sakit keras. Oleh karena itu, Sam Po memerintahkan
kepada armada untuk mendarat di pantai yang sekarang menjadi pelabuhan Semarang. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng suatu bukit, tidak jauh
dari pantai dan ia pun beristirahat, dan para pengikutnya membangun sebuah rumah kecil untuk Ong King Hong. Sam Po telah membuat obat-obatan, dan
kesehatan Ong King Hong berangsur-angsur membaik. Setelah sepuluh hari tinggal di tempat itu, Sam Po memutuskan untuk
meneruskan perjalanan, sedangkan Ong King Hong tetap tinggal do tempat itu dan diberi sebuah kapal, sepuluh orang anak buah, dan perbekalan yang cukup.
86
Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang, 1900-1950, Jakarta: Depdikbud, 1985, h. 28
—29.
Ibid, h. 77 —78.
91
Bahkan setelah Ong King Hong sembuh, ia tidak kembali ke Cina, melainkan tetap tinggal di tempat itu sambil menggunakan kapalnya untuk berdagang di
sepanjang pantai utara pulau Jawa, pengikut-pengikutnya telah memperistri wanita-wanita Indonesia, dan pemukiman kecil tersebut telah berkembang
menjadi makmur hingga saat ini.
87
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip Jawa yang mereka anut, baik dari segi moral, adat atau tradisi dan lainnya.
Berikut ini pembahasan mengenai nilai moral berdasarkan aspeknya masing- masing:
1. Nilai moral terhadap diri sendiri
a. Menerima segala apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Nilai moral terkait dengan sikap menerima segala apa yang
sudah ditakdirkan Tuhan tergambar melalui tokoh dari ayah ketiga anak alam yang memiliki sifat nrimo. Hal ini sesuai dengan karakter
asli orang Semarang, Jawa Tengah. Semarang adalah bagian dari Jawa Tengah. Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai
orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo. Karakter dari ayah ketiga anak alam yang nrimo, menerima
keadaan begitu saja terlihat dari pekerjaan mereka sebagai budak dari Yok Bek. Mereka tidak mau berusaha mencari pekerjaan yang lebih
baik, dan mereka tidak ingin mencari masalah dengan Yok Bek jika mereka berhenti bekerja, maka dari itu mereka pasrah dengan
pekerjaan yang mereka miliki. ...Anehnya, ditindas sedemikian rupa seperti sapi perah
yang kerap mereka kerjai setiap hari, mereka sama sekali tak pernah memberontak, mereka bahkan sudah tak
terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain pekerjaannya sekarang.
88
87 88
Prasetyo, Loc.cit.
92
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa karakter ayah ketiga anak alam itu benar-benar pasrah dengan keadaan, tidak terbesit dalam
pikiran mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun mereka ditindas. Mereka menyadari akan kemampuan mereka
sehingga mereka tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Ketika semua orang berusaha mencari
pekerjaan yang lebih layak untuk dirinya dan keluarganya, mereka justru tak berniat sedikitpun untuk mengubah hidup mereka.
Demikianlah profil mengenai orang Semarang dengan karakter nrimo. Bersinggungan dengan sikap nrimo, maka masyarakat semarang
lebih terlihat bahagia dan seolah tidak memiliki beban sekalipun mereka mengalami perekonomian yang sulit. Seperti yang tergambar
dalam novel melalui tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng, walaupun status ekonomi mereka rendah sehingga mengakibatkan mereka tidak
bersekolah dan mereka sendiri yang harus bekerja membantu perekonomian keluarga, namun mereka tetap terlihat bahagia layaknya
seorang anak yang menikmati masa kecilnya dan tidak menjadikan kemiskinan sebagai beban. Perhatikanlah kutipan berikut:
Sesampai di sana, aku melihat teman-teman tak membawa perbekalan lengkap seperti itu, mereka tak punya barang-
barang bawaan seperti punyaku, mereka tak punya tas karena tidak sekolah, tak punya jaket karena tak punya
uang untuk membeli jaket, bahkan ketika musim hujan tiba, mereka justru hujan-hujanan keliling Kampung
Genteng dengan meneror orang-orang kampung dengan candaan mereka yang kelewat batas, berteriak-teriak
seperti orang gila, berada di bawah kerpus rumah yang airnya terus mengalir ke bawah, mereka bayangkan diri
mereka berada di bawah air terjun.
89
Dari kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana ketiga anak alam itu begitu bahagia menjalani kehidupan dan sangat menikmati masa
kecilnya seolah mereka tidak memiliki beban khususnya masalah
89
Ibid., h. 31.
93
ekonomi yang sangat jauh dari kata berkecukupan. Namun, sangat berbeda dengan Faisal, ia berasal dari keluarga yang berkecukupan
dan anak rumahan yang justru tidak menemukan masa kecilnya seperti ketiga temannya tersebut.
b. Pekerja keras atau giat bekerja Walaupun masyarakat Jawa, khususnya warga Semarang
memiliki sifat nrimo terhadap keadaan, namun ternyata masyarakat Jawa atau warga Semarang khususnya terkenal dengan sifatnya yang
pekerja keras. Jika mereka telah memiliki pekerjaan maka mereka akan tekun dan giat dengan pekerjaan yang digelutinya, walaupun
pekerjaan mereka masih relatif rendah dibanding kota besar lainnya seperti Jakarta. Seperti yang dialami ayah dari Pambudi, Yudi dan
Pepeng, ayah ketiga anak alam itu hanya bekerja sebagai peternak sapi pada seorang warga berkebangsaan Cina bernama Yok Bek, namun
mereka giat bekerja dan patuh pada majikannya. Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah
payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang
selalu di bawah.
90
Sikap tersebut melahirkan prinsip nrima ing pandum yakni menerima segala yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun
demikian, tidak berarti nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas- malasan, tanpa mau berusaha. Hal itu dibuktikan dengan ketekunan
dan kesungguhan mereka dalam bekerja. Sikap pekerja keras yang dimiliki masyarakat Jawa telah melekat dan menjadi prinsip hidup
mereka. Walaupun sikap nrimo sering disalahartikan oleh kebanyakan orang yang menganggap hanya bermalas-malasan, namun masyarakat
Jawa menyeimbangkan persepsi tersebut dengan bekerja keras, karena
90
Prasetyo Loc.cit.