Nilai moral terhadap orang lain
100
Pak Cokro yang dikenal sebagai seorang dukun tersebut mendapatkan ilmunya bukan dari proses belajar seperti umumnya dilakukan semua
orang, melainkan melalui proses bertapa atau semedi di hari tertentu. Tetapi, bukan itu yang membuatnya hebat, konon Pak Cokro
mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah
belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya....
98
Selain dengan semedi, mereka pun mempercayai bahwa ritual yang digunakan masyarakat selalu diperkuat dengan menyuguhkan
berbagai macam sesajen yang diserahkan kepada makhluk gaib. Seperti pada kutipan berikut:
Setelah semedinya di malam satu Suro, lelaki yang pernah nikah sekali dengan penjual jamu gendong, kemudian bercerai ini
mendapat wangsit untuk membebaskan Kampung Genteng dari bau Gedong Sapi, sebab genderuwo yang beranak-pinak di
pohon munggur itu konon juga terganggu baunya, mereka yang biasanya makan kemenyan yang berbau wangi, kini malah
makan bau busuk.
99
Kutipan-kutipan tersebut semakin memperkuat keterkaitan antara kenyataan sebenarnya masyarakat Jawa dengan cerita yang ada dalam
novel yaitu mengenai adanya tradisi mistik pada masyarakat Jawa. Maka dari itu Pak Cokro menjadi satu-satunya warga Kampung yang diagung-
agungkan oleh penduduk sehingga menjadikan ia seorang yang besar kepala.
Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang
bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang
jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng.
100
98
Prasetyo, Loc.cit.
99
Prasetyo, Loc.cit.
100
Prasetyo, Loc.cit.
101
Faktor utama yang menyebabkan tokoh Pak Cokro menjadi seorang yang sombong dan besar kepala adalah karena ia menjadi satu-satunya
orang yang memiliki ilmu kebatinan sehingga ia disegani oleh masyarakat dan menjadikannya haus akan sanjungan. Cerminan nilai moral terhadap
Tuhan seperti terlihat di atas merupakan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Islam Kejawen. Mereka mengaku Islam dan percaya akan
adanya Tuhan, tetapi mereka lebih mempercayai hal gaib dan mistik dibanding mempercayai Tuhan mereka sendiri, dengan kata lain bahwa
mereka lebih memegang teguh tradisi yang telah turun temurun sehingga mereka mengabaikan kepercayaan terhadap Tuhan. Masyarakat islam
kejawen menyimpulkan bahwa mereka yang tidak menyukai hal-hal klenik dianggap tidak setia pada tradisi mereka yang telah lama turun temurun
semenjak nenek moyang mereka. Hal tersebut tergambar pula melalui salah satu kutipan dalam cerita, perhatikan kutipan berikut:
Siapa yang tak percaya dengan berita ini dianggap aneh, maka orang- orang terpelajar dan terdidik yang tak menyukai hal-hal klenik
dianggap tak setia pada tradisi, dituduh kebarat-baratan, dan anti pada adat istiadat nenek moyang. Banyak yang tak tahan berada di
Kampung Genteng ini kemudian pindah ke lingkungan yang lebih beradab, jauh dari klenik dan syirik.
101
Dari beberapa nilai moral yang telah dibahas, maka dapat kita ketahui bahwa keterkaitan antara kehidupan masyarakat Jawa pada aslinya dengan
kehidupan yang terdapat dalam novel telah melahirkan dan membentuk beberapa nilai moral. Novel karya Wiwid Prasetyo ini secara tersirat
menghadirkan beberapa etika Jawa dalam cerita bersinggungan dengan latar cerita yaitu di Semarang, Jawa Tengah dan terlebih pengarang
merupakan seseorang yang berasal dari Semarang, sehingga beliau tidak melepaskan prinsip-prinsip jawa dalam karyanya.
101
Ibid., h. 161.
102