Tokoh Protagonis Tokoh dan Penokohan

53 Sama halnya dengan tokoh Faisal yang digambarkan pengarang secara berlebihan tidak wajar, tokoh Pambudi pun terkesan tak lazim, karena sifatnya yang agresif tersebut tidak sesuai dengan keadaan anak SD seusianya. Dalam hal ini, pengarang terlalu lepas dalam menghadirkan watak pelaku cerita tanpa memikirkan logis atau tidaknya karakter tersebut. Selain itu, Pambudi adalah anak yang sangat kreatif dan mempunyai ide yang cemerlang. Ketika ia dan kedua temannya sedang pusing memikirkan perlengkapan sekolah seperti tas, sepatu dan buku-buku yang tentunya membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit, Pambudi mengeluarkan ide kreatif untuk membuat sendiri perlengkapan tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Kita akan membuat tas sendiri dari karung gandum, sedangkan untuk seragamnya kita bisa beli dari penjual rombeng di sudut Pasar Langgar. 30 Dari kutipan di atas, pengarang mendeskripsikan mengenai kemiskinan yang mereka alami. Ketidakmerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan ini bisa diukur melalui tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi seseorang. 31 Pemimpin anak-anak alam ini juga ternyata memiliki perasaan yang sangat peka, ia mudah sekali terharu sehingga ia mengeluarkan air mata ketika Faisal menanyakan kepadanya mengapa ia dan kedua temannya memutuskan berhenti sekolah. Tak ada jawaban, tetapi meledaklah tangis Pambudi, tangis yang haru-biru dan memecah langit. Yudi dan 30 Prasetyo, Loc.cit. 31 Ivonie Trinurjayanti, Implementasi Teori-Teori Pendidikan dalam Praktek Pendidikan di Indonesia,artikel ini diunduh pada 11 November 2013, Pukul 10.00, dari http:copetalammanusiaberpendidikan.blogspot.com201301implementasi-teori-teori- pendidikan.html?m=1 54 Pepeng tak kuasa untuk menghentikan uraian air mata yang deras di sudut matanya. Ia mengguncang- guncangkan tubuh Pambudi. Si pemimpin anak-anak alam itu tak terlihat seperti sosok yang pantas disegani karena tangisan Pambudi menyebabkan hancurnya citra Pambudi. 32 Sikap Pambudi tersebut mengesankan sebuah paradoks, karena seharusnya seorang yang telah dinobatkan sebagai pemimpin berjiwa kuat dan tegar, namun tidak demikian dengan pemimpin anak alam ini. Di awal cerita, ia dikenal sebagai pemimpin anak alam yang bijaksana dan dewasa, namun di akhir cerita telah terjadi sebuah paradoks, ketika ketegarannya sebagai seorang pemimpin luntur begitu saja tatkala ia menangisi keadaannya yang terpaksa harus berhenti sekolah karena perintah orangtua. Hal ini menunjukkan masih adanya kelemahan pada karakterisasi tokoh Pambudi, di mana ia ditampilkan sangat dewasa untuk ukuran anak seusianya, namun juga kekanakan dan rapuh saat menghadapi keadaan dirinya sendiri. 3. Pepeng Anak yang memiliki keinginan sekolah ini hanya mampu menggigit jari karena ia hanya bekerja membantu ayahnya sebagai pengangkut kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan menggunakan becak sejauh 25 kilo. Ya... memang, aku juga tidak terima, Tiap malam tak pernah tidur hanya demi sesuap nasi, mengayuh becak sepanjang 25 kilo, apalagi dibebani dengan berkilo-kilo kelapa, betisku sampai bertelur. 33 Pepeng adalah anak yang pendiam dan pemalu. Hal itu dijelaskan oleh pengarang ketika Pepeng hendak mengutarakan niatnya yang ingin sekolah kepada orang tuanya. Sifatnya 32 Prasetyo, Op.cit., h. 191. 33 Prasetyo, Loc.cit. 55 tersebut disampaikan pengarang dengan cara analitik seperti dalam kutipan berikut: Suaranya hanya tercekat ditenggorokan. Ia tak sampai hati meyampaikan keinginan yang akan berguna utuk dirinya sendiri, tetapi karena sudah kesepakatan yang tak mungkin diingkari, Pepeng pun terpaksa memberanikan diri dan perasaan tak karuan. 34 Sikap pendiam dan pemalu Pepeng tersebut dikarenakan ia tak tega jika ia harus mengutarakan maksudnya untuk bersekolah. Ia tak tega jika tak membantu meringankan beban orang tuanya dalam mencari nafkah, seperti yang jelas tergambar dalam kutipan di atas. Pendidikan merupakan hak seorang anak dalam menjalani kehidupan sedangkan orang tua berkewajiban memenuhi hak tersebut. Akan tetapi, dalam novel ini dikisahkan bahwa ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng ini seolah tidak merasakan adanya tanggung jawab sebagai orang tua. Mereka tak memikirkan nasib pendidikan dan masa depan anak-anak mereka. Hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka sehingga dalam novel ini terkesan tidak mempedulikan pendidikan anak-anak mereka. 4. Yudi Yudi yang albino seorang penjual pisang goreng keliling kampung. Kelainan yang ada pada dirinya membuatnya menjadi tak percaya diri. Kulitnya yang albino membuatnya merasa bahwa dirinya bukan manusia normal. Hal itu membuatnya minder dan tak ingin bersekolah karena hanya akan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Mengenai penggambaran fisiknya tersebut, pengarang telah menyampaikan kepada pembaca secara analitik seperti dalam kutipan di bawah ini: 34 Ibid., h. 78. 56 Sedangkan Yudi albino, tahi lalatnya serasa hampir copot karena tubuhnya terguncang-guncang akibat saking kuatnya tawa yang ia keluarkan. 35 Namun, rasa tak percaya dirinya ia buang jauh-jauh demi membantu perekonomian keluarga. Sifatnya yang penyabar ketika ia diledeki oleh temannya tak membuat ia lantas berhenti bekerja menjajakan pisang gorengnya walaupun ia sesungguhnya merasa sakit hati. Aku sendiri setiap sore harus berkeliling kampung menjual pisang goreng ke rumah-rumah di Kampung Genteng, tetapi bukan pembeli yang aku dapat, melainkan ejekan dari orang-orang kampung yang melihat kulitku seperti sapi, mereka meneriakiku: „Bule kampung... Bule kampung...‟ Dalam keadaan seperti ini, apa aku harus sekolah Sal? Kali ini Yudi yang bicara. 36 Dari kutipan di atas, Yudi digambarkan merasa minder dengan kekurangan fisiknya dan ia berusaha mengubah warna kulitnya menjadi kecoklatan dengan cara berjemur di bawah terik matahari. Kadang ia berdo ‟ a agar k ulitnya berubah kecoklatan. Berikut ini merupakan kutipan bahwa Yudi memiliki krisis kepercayaan diri dan berusaha menyemangati dirinya sendiri. ―Yudi, kamu bisa Yud, kamu ganteng kulitmu seperti bule, kamu harus percaya diri, penampilanmu ini yang terbaik, teman-temanmu pasti kalah,‖ Yudi terus saja menyemangati dirinya dalam hati. 37 Yudi berbisik dalam hatinya bahwa kekurangan yang ia miiki harus ia jadikan kelebihan meskipun ia diejek oleh temannya. Kemiskinan yang ia alami mengharuskan dirinya berjualan pisang goreng keliling kampung dan berjualan di 35 Ibid., h. 27. 36 Prasetyo, Loc.cit. 37 Ibid., h. 114. 57 sekolah tempat ia belajar, sehingga ia menjadi bulan-bulanan ejekan temannya yang berstatus sosial lebih tinggi. Tema minor berupa diskriminasi dan adanya kesenjangan sosial jelas tergambar melalui tokoh Yudi. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kemiskinan kerap membuat anak-anak di negeri ini merasa tertekan dan mempengaruhi psikologi mereka sehingga menjadi salah satu alasan atau pemicu seseorang melakukan tindakan kriminal. Namun, tidak untuk anak-anak miskin seperti Pambudi, Yudi dan Pepeng. Mungkin saja mereka merasa tertekan dengan keadaan sekeliling mereka terutama di sekolah, tetapi mereka tetap tak mempedulikannya. 5. Pak Zainal Pak Zainal adalah Kepala Sekolah di SD Kartini. Sikapnya yang bijaksana dan tegas membuat para murid sangat kagum kepadanya. Ia selalu mengutamakan siswa yang tidak mampu untuk tetap memperoleh pendidikan. Perwatakan Pak Zainal dalam cerita disampaikan secara analitik oleh pengarang melalui kutipan berikut: Sebagai seorang kepala sekolah, ibarat direktur perusahaan, ia harus lebih bijak mengambil keputusan. Memang hal yang tidak mudah, ia harus mempertimbangkan hati nurani dan perasaannya sebagai referensinya untuk mendasari setiap keputusan. 38 Secara dramatik, pengarang menyampaikan perwatakan tokoh Pak Zainal yang bijaksana dan penuh perhatian melalui dialog antara dirinya dengan Faisal ketika Faisal meminta Pak Zainal agar mau menerima ketiga temannya untuk bersekolah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut: 38 Ibid., h. 85. 58 ―Kalau boleh Pak, aku titip ketiga temanku yang akan bersekolah di sini, hanya saja mereka orang tidak mampu‖. ―Boleh… boleh…., asalkan mereka memang berniat untuk sekolah‖. 39 Dari kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa watak Pak Zainal benar-benar berjiwa besar. Ia selalu membantu orang-orang yang tidak mampu untuk tetap memperoleh pendidikan. Ia lebih mengutamakan niat dan kesungguhan siswanya yang benar-benar bertekad untuk sekolah. Sangat berbeda dengan keadaan masa kini yang lebih mementingkan uang dibanding nasib anak-anak yang tidak mampu. Selain itu, Pak Zainal memiliki perasaan yang sangat peka dan rasa simpati yang tinggi. Ia sempat terharu dan menangis ketika ketiga anak alam menghadapnya dengan berseragam lusuh, hanya memakai sendal jepit dan memakai tas yang terbuat dari karung gandum. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik. Tiba-tiba, setitik air mata menetes di pipinya, ia pasti terharu dan batu di dalam hatinya akan pecah mendengar cerita sedih mereka. 40 Pandangan yang pertama muncul dalam benak seseorang mengenai Kepala Sekolah adalah seorang yang dewasa, bijaksana dan tegar. Namun tidak demikian dengan Pak Zainal. Ia memang Kepala Sekolah, tetapi ia tak dapat menyembunyikan rasa harunya sehingga membuatnya menangis di depan salah satu muridnya. Sikap dari tokoh Pak Zainal ini sangat pantas untuk dijadikan teladan bagi pembaca, khususnya bagi kepala sekolah di lembaga lainnya, agar dapat dijadikan cerminan bahwa bagi kalangan yang memiliki ekonomi rendah 39 Prasetyo, Loc.cit. 40 Prasetyo, Loc.cit. 59 tetap layak mendapatkan pendidikan dan diharapkan dapat mencontoh sikap Pak Zainal agar pendidikan di dunia khususnya di Indonesia merata, dan orang-orang dari kalangan bawah tetap mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Kehadiran tokoh Pak Zainal sekaligus merupakan kritik sosial bagi masyarakat Indonesia. 6. Bu Mutia Bu Mutia adalah sosok guru yang disenangi semua murid, karena sosoknya yang bijak dan perangainya yang lemah lembut. Ia merasa bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak didiknya terutama dalam berakhlak. Maka ketika seluruh anak sibuk mencemooh Pambudi, Yudi, dan Pepeng, bu Mutia memberikan nasihat bagaimana berakhlak terhadap sesama. Meskipun Yudi begitu, tapi kalian nggak boleh mengucilkan Yudi, bagaimanapun juga Yudi itu teman kalian. Di kelas ini, tidak ada perbedaan, meskipun Kalian anaknya pengusaha, anaknya artis, atau anaknya dokter, tetapi kalau sudah ada di kelas ini, semua status itu hilang, kedudukan Kalian sama, Kalian murid-murid Ibu yang punya hak dan kewajiban yang sama untuk terus menuntut ilmu. 41 Kutipan tersebut merupakan bukti adanya kesenjangan sosial dalam cerita. Kesenjangan sosial tersebut tergambar begitu jelas antara si kaya dan si miskin, perbedaan tersebut ditonjolkan oleh pengarang melalui tokoh ketiga anak alam ketika berada di kelas dan mendapat hinaan dari temannya yang kaya. Kesenjangan sosial seperti tergambar di atas pun seringkali kita jumpai di kehidupan nyata. Bahwa antara si kaya dan si miskin seolah terdapat jarak yang sangat jauh sehingga interaksi sosial dalam bermasyarakat pun tidak berjalan 41 Prasetyo, Loc.cit. 60 sebagaimana mestinya. Pengarang menggambarkan sifat Bu Mutia sebagai seorang yang penyayang dan lemah lembut. Hal tersebut disampaikan langsung oleh pengarang melalui kutipan berikut: Ibu guruku, Ibu Mutia, di kelas satu adalah sosok ibu yang tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok penyayang dan lemah lembut. Selama empat puluh tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa awal kemerdekaan, sudah berapa ribu murid yang diajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia. Aku benar-benar bangga Bu Mutia. 42 Selain itu, bu Mutia juga merupakan guru yang tegas terhadap anak didiknya. Hal tersebut terbukti ketika bu Mutia memarahi salah satu murid yang sedang asik dengan khayalannya bermain video game ketika kegiatan belajar berlangsung. ―Kau pikir ini sekolah bapak moyangmu apa? Aku tahu, kau anak bodoh, tapi setidaknya bersikaplah yang baik agar Ibu bisa simpati padamu.‖ Walaupun sosoknya lembut, Bu Mutia bisa keras juga, khususnya untuk anak yang tak bisa diatur. 43 Sosok Bu Mutia yang lemah lembut dan tegas membuat ia disegani oleh semua muridnya. Sebagai seorang guru baik, ia memegang teguh prinsip dan mengutamakan akhlak. Saat ini, uang adalah alat mujarab untuk memperlancar semua perkara, tetapi tidak untuk bu Mutia. Bu Mutia tidak menerima suap dari salah seorang wali murid yang meminta agar anaknya dinaikkan kelas. ―Apa tidak ada toleransi sedikitpun…?‖ kata perempuan itu sambil membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lima 42 Ibid., h. 89. 43 Ibid., h. 283. 61 puluh ribuan, disorongkan pelan-pelan ke arah Bu Mutia, tanpa diketahui oleh orang tua murid yang lain. 44 Sikap Bu Mutia dalam kutipan di atas, seolah menjadi sebuah kritik sosial yang sering terjadi bahwa masih banyak di negara ini yang menganggap uang adalah segalanya dan mampu menghalalkan segala cara hanya demi uang. Tidak hanya orang biasa saja yang melakukan praktik suap tersebut, bahkan orang- orang yang berkedudukan tinggi dalam sistem pemerintahan negara pun masih banyak yang melakukan hal tersebut. Suap menyuap ini rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia, tak ayal jika banyak warga Indonesia yang mencontoh praktik ini, karena para pejabat dan anggota parlemen pun banyak melakukan praktek haram ini. Maka dari itu, sikap yang dihadirkan pengarang melalui tokoh Bu Mutia ini sekaligus menjadi teguran keras untuk masyarakat sekitar. 7. Kania Kania merupakan sosok yang digambarkan secara fisik cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih, rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Seperti dalam kutipan yang digambarkan secara analitik: Tanpa sadar, mereka menoleh ke arah Kania. Wow, gadis yang cantik, cerdas, dan lihat.... kepang dua dengan pita merah hati itu terukir manis di rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang tiada bandingannya. Kania.... selain cantik, tetapi juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang anak-anak alam. 45 Dari awal kemunculan tokoh Kania, pengarang memunculkan sosok Kania sebagai sosok yang seakan-akan 44 Ibid., h. 407 —408. 45 Ibid., h. 97. 62 tepat berada di antara teman-temannya yang berasal dari kalangan atas, karena cara berpakaiannya yang rapi, juga sebagai anak yang cerdas. Namun, pengarang memberikan kejutan kepada pembaca ketika di tengah cerita, pengarang menjelaskan bahwa sebenarnya sosok Kania adalah sosok yang sederhana yang tak berbeda keadaannya dengan ketiga anak alam itu. Hal ini menarik karena pengarang memberikan gambaran tokoh Kania yang sesuai stereotip anak orang kaya di satu sisi, namun di sisi lain ia menampilkan Kania secara kebalikan. Hal ini menimbulkan paradoks. Seperti kemarin-kemarin, setiap ada temannya yang singgah entah itu akan belajar kelompok atau minta diajari pelajaran matematika, mereka akan kaget dan tak percaya dengan keadaan Kania, maksud utama teman-teman Kania ke rumahnya jadi lupa jika melihat keadaan Kania di rumahnya. Kania yang di sekolah memakai seragam yang putih rapi disetrika, di rumahnya hanya memakai baju sederhana dengan warna yang pudar serta gambar bunga yang layu melekat di bajunya. 46 Kania berusaha mencoba keluar dari jerat kemiskinan dengan mengutamakan pendidikan. Kania adalah salah satu murid terpandai di kelas satu SD Kartini. Kania berjiwa baik, Meskipun ia murid cerdas, namun ia tidak sombong kepada temannya. Kania adalah malaikat bagi Pambudi, Yudi dan Pepeng ketika mereka pertama kali memasuki kelas, ketika mereka dihina oleh anak-anak kaya seperti Rena dan Guruh, Kanialah yang membela ketiga anak alam itu. ―Aku tak membela siapa -siapa, aku hanya membela kebenaran. Sudahlah omongan anak-anak jangan 46 Ibid., h. 293. 63 dimasukkan ke hati ya, anak-anak kalau bercanda memang suka kelewatan‖. 47 Sosok Kania yang baik hati tersebut telah membuat ketiga anak alam itu menaruh hati padanya. Selain digambarkan sebagai sosok yang baik hati, Kania juga digambarkan kreatif yang memotivasi Pambudi ketika ia menyatakan cinta kepada Kania dan Kania pun memberinya syarat sebagai motivasi Pambudi dalam belajar. ―Terserah kau, itu hakmu, tetapi sebaiknya kau urungkan perasaanmu itu, sebab aku nggak bisa membalas cintamu, lagian aku nggak suka sama orang bodoh, kalau kau suka sama aku, kamu harus tahu diri, belajar yang betul, dan yang penting kau harus bisa membaca, menulis, dan berhitung ‖. 48 Kata-kata Kania tersebut merupakan motivasi untuk Pambudi bahwa jika ia ingin mendapatkan hati Kania maka ia harus pandai membaca, menulis, dan berhitung. Di dalam proses belajar, tidak hanya niat yang diperlukan, tetapi juga motivasi berupa cinta. Kania memberikan motivasi positif kepada Pambudi. Kania adalah anak yang cerdas, bahkan dapat dikatakan sebagai anak yang jenius. Sekolah Kartini punya aset mahal yang harus dipertahankan, dialah Kania, anak kelas satu yang punya banyak keistimewaan. Kami, para guru sudah membulatkan keputusan kalau Kania ini tak hanya pintar, ia jenius, ia melampaui zamannya, seharusnya ia dilahirkan enam atau tujuh tahun sebelumnya karena kulihat ia punya kemampuan melebihi anak-anak seusianya. 49 Kecerdasan yang dimiliki oleh Kania sangat jarang dimiliki oleh anak seuasianya, sehingga ia menjadi aset untuk 47 Prasetyo, Loc.cit. 48 Prasetyo, Loc.cit. 49 Ibid., h. 443. 64 sekolahnya. Kania adalah anak yang berasal dari kalangan bawah sama seperti ketiga anak alam, seorang anak yang dapat dikatakan miskin, sangat terbatas dalam fasilitas yang dapat menunjang kecerdasannya, namun tak menghalanginya untuk menjadi anak yang cerdas.

b. Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis adalah tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis ini selalu menghalangi dan melawan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis, serta menyebabkan terjadinya konflik sehingga cerita menjadi lebih hidup. Adapun tokoh antagonis tersebut di antaranya : 1 Rena Rena adalah teman ketiga anak alam yang bersekolah di SD Kartini. Rena tidak seperti teman lainnya yang mau menerima kehadiran ketiga anak alam di kelas mereka. Rena selalu memandang rendah Pambudi, Yudi dan Pepeng. Sejak pertama kali ketiga anak alam itu menginjakkan kaki di kelas, Rena lah yang paling semangat menghina anak Gedong Sapi tersebut. ―Ooo, jadi kalian anak pembantu? Wah, kebanyakan murid-murid di sini meskipun bukan dari orang kaya, tetapi kita bukan anak seorang pembantu seperti k alian‖. 50 Dari kutipan di atas, jelas terlihat sifat angkuh yang dimiliki Rena. Ia tidak ingin bergaul dengan Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ia hanya ingin berteman dengan anak yang sebanding dengannya. Hal tersebut memperjelas adanya kesenjangan sosial dalam bergaul. Kesenjangan sosial tersebut tidak menimbulkan tekanan batin bagi ketiga anak alam itu. Sikap Rena yang lain 50 Ibid., h. 96. 65 yang tak pantas dicontoh yaitu ketika ia mencontek pada saat ujian berlangsung. Sikap yang dilakukan Rena jelas merupakan contoh yang sangat tidak baik. Hingga tiba-tiba Bu Mutia menangkap gerakan yang aneh dari Rena, ia tampak menggeser lembar jawabannya ke sebelah kanan sedikit, tetapi pandangannya selalu tertuju ke tengah. Bu Mutia mendongak sedikit dan melhat sebuah tisu kecil berada di atas meja. Bu Mutia curiga, tak biasa- biasanya tisu dibentangkan begitu rupa, dan Rena, anak penggemar cerita silat itu terus saja memandang tisu di depannya seperti mengeja aksara yang ada. 51 Selain digambarkan sebagai tokoh antagonis, pengarang juga membuat tokoh Rena sebagai tokoh bulat. Tokoh bulat yaitu tokoh yang memiliki watak berubah-ubah. Pengarang membuat perwatakan Rena sebagai tokoh yang memiliki watak berubah-ubah, mulai dari tokoh yang berwatak jahat, lalu baik, lalu jahat kembali, begitu seterusnya hingga ia benar-benar tersadar. Penggambaran tokoh Rena tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut. ― Iya, tapi yang jelas orang miskin seperti kalian tidak pantas sek olah di sini,‖ sambil berkata begitu Rena tengah asyik membolak-balik cersil Kho Ping Hoo-nya...... 52 Pengarang memperkenalkan watak Rena pada pembaca diawali dengan wataknya yang sombong ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng mulai bersekolah dan bergabung di kelas Rena. Namun, pada bagian selanjutnya pengarang mengubah watak Rena menjadi watak yang mudah tersentuh hatinya dan seolah mulai menyadari kesalahannya, seperti pada kutipan berikut: 51 Ibid., h. 379. 52 Prasetyo, Loc.cit. 66 Yudi tersenyum penuh kemenangan, Pepeng celingukan memperhatikan teman-temannya yang tertunduk dengan segebung rasa bersalah yang menghimpit dadanya. Rena, Wisnu, Fajar, Guruh, dan semua murid kelas 1-2 diam tak bergerak, hanya sesekali tubuh mereka yang terguncang-guncang, gemetar menahan kesedihan, mereka menjelma menjadi batu, menangis karena airmata kedukaan itu sumpyug meruah melalui sudut kecil di kelopak matanya. 53 Penggambaran tokoh Rena yang pada awalnya sombong tiba-tiba berubah menjadi tokoh yang menyadari kesalahannya ketika bu Mutia menasehatinya karena ia dan teman-temannya menghina Pambudi, Yudi dan Pepeng. Tak lama tokoh Rena dengan watak baiknya yang mau mengakui kesalahan ternyata pada bagian tengah pengarang mulai memunculkan kembali watak semula Rena yaitu watak sombong. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: ―Ah, masa bodoh. Anak -anak kampung itu membuat selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi asing yang membuatku harus menutupnya. Dan itu semua disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian‖. 54 Tidak lama setelah Rena dengan watak sombongnya dihadirkan oleh pengarang, lalu Rena kembali tersadar akan kesalahannya dan kembali menangis, sama seperti pada bagian- bagian sebelumnya. Aneh, Rena memang aneh, sehabis memaki ia menangis, sehabis ia menang melawan Kania dan anak-anak alam itu seharusnya ia bergembira, tetapi 53 Ibid., h. 266. 54 Prasetyo, Loc.cit. 67 ia justru menangis tak pantas, menangis seperti anak kecil yang cengeng. 55 Rena kembali mengakui kesalahannya dan menangis karena telah disadarkan oleh tokoh Kania. Setelah pengarang membuat pembaca merasa lega karena tokoh Rena yang berubah menjadi baik, ternyata justru tokoh Rena kembali dihadirkan dengan watak angkuhnya. ―Teman? Ih amit -amit deh, punya teman seperti kamu.‖ Rena kemudian membalikkan badan dan segera menutup pintu. Lantas, membantingnya keras- keras‖. 56 Sosok Rena juga digambarkan sebagai seorang yang pemalas, seperti terlihat pada kutipan: ―Itu karena kau malas, tidak punya niat, padahal belajar menghafal dengan menulis itu lebih cepat masuknya daripada belajar seperti orang kerasukan setan yang bicaranya ngelantur tak karuan‖. 57 Penggambaran watak Rena yang berubah-ubah mampu membuat pembaca merasa dimainkan perasaannya oleh pengarang. Selain itu tokoh bulat kompleks sering memberikan kejutan-kejutan karena muncul watak yang tak terduga secara mendadak, sehingga dapat memberikan suasana cerita menjadi terpengaruh karenanya. 2 Pak Cokro Pak Cokro adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat Kampung Genteng sebagai orang pintar atau dukun. Pak Cokro merupakan provokator dalam penyerangan yang menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro lah yang menghasut dan membohongi pemuda-pemuda pengangguran dan bodoh untuk mau mengikuti 55 Ibid., h. 327. 56 Ibid., h. 343. 57 Ibid., h. 382. 68 perintahnya menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro memiliki sifat penghasut. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik dalam kutipan berikut: Mereka yang sama-sama berdiri dihadapanku kini adalah segerombolan anak muda yang tak tahu apa- apa, tetapi diprovokasi oleh Pak Cokro untuk menyerang Gedong Sapi, terbukti mereka seperti kerbau dicocok hidungnya yang menurut saja apa yang dikatakan dukun itu. 58 Ia adalah seorang dukun yang selalu mengaitkan segala peristiwa yang terjadi dengan hal-hal gaib. Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah. 59 Sejak zaman dahulu hingga saat inipun masih banyak orang yang mempercayai dukun, terlebih mereka yang tinggal di tanah Jawa dengan tradisi yang sangat kental, salah satunya ialah mempercayai dukun sehingga dalam cerita ini pengarang mencoba menghadirkan tradisi tersebut. Dengan profesinya sebagai tabib yang disegani masyarakat, membuat ia haus sanjungan dan bersifat sombong. Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng. 60 58 Ibid., h. 159. 59 Ibid., h. 160. 60 Ibid., h. 217.

Dokumen yang terkait

Nilai moral dalam novel orang miskin dilarang sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

4 58 147

NILAI EDUKASI DAN SOSIAL DALAM NOVEL Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

0 0 15

PENDAHULUAN Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

7 75 36

NILAI EDUKASI DAN SOSIAL DALAM NOVEL Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

0 0 15

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 0 13

PENDAHULUAN Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 1 6

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 1 11

NILAI-NILAI MORAL PADA NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Dian Permanasari STKIP PGRI Bandar Lampung ABSTRACT - View of Nilai-nilai moral Pada Novel "Orang

0 1 13

Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Gaya Bahasa)

0 24 148

KAJIAN POSKOLONIAL DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO - Repository UNRAM

0 0 14