95
Prinsip tersebut jika tidak dilandasi sikap ikhlas maka akan melahirkan sikap pamrih. Tokoh bu Mutia dalam cerita
mencoba memegang teguh janjinya sebagai guru untuk tidak melakukan praktek suap seperti terlihat dalam kutipan. Sikap
jujur dan tidak mencoba menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi tersebut sepantasnya dijadikan contoh untuk
masyarakat saat ini. Namun, pada kenyataannya masih banyak sekali saat ini yang memakmurkan praktek tersebut.
d. Sepi ing pamrih, rame ing gawe Sikap dasar dari mayarakat Jawa menandai watak yang luhur
adalah kebebasan dari pamrih, sepi ing pamrih. Manusia telah memiliki sikap sepi ing pamrih apabila mereka sebagai manusia telah
memegang teguh prinsip tepa slira, yakni sikap toleransi dan peduli terhadap sesama. Manusia itu sepi ing pamrih apabila ia tidak lagi
perlu gelisah terhadap dirinya sendiri, dengan arti lain bahwa ia mampu mengontrol hawa nafsu terhadap sesuatu dan ingin
memilikinya dengan sikap pamrih tersebut. Masyarakat Jawa memegang teguh prinsip tersebut bahwa dalam melakukan apapun
harus dilandasi rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sekalipun mereka seorang pekerja keras namun mereka ikhlas, maka
lahirlah prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti tergambar melalui tokoh Faisal, sekalipun ia sebagai tenaga pengajar pembantu
di kampungnya, namun ia tidak mengharapkan imbalan apapun karena ia memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil tangannya menempelkan sepucuk amplop. Naluriku mengatakan isinya
uang, dan aku mencoba menolaknya. Bagaimanapun juga pahala lebih berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat tulusku
dilumuri oleh pujian manusia yang berupa materi ataupun ucapan sanjungan.
92
92
Prasetyo, Loc.cit.
96
Sikap Sepi ing pamrih akan telah dilandasi rasa ikhlas, sehingga sikap tersebut akan melahirkan jiwa sosial yang sangat tinggi baik
terhadap orang lain mapun terhadap lingkungan sekitar. Melalui tokoh Faisal tersebut, jelas terlihat ketika Faisal berusaha menolak amplop
tersebut yang sudah dipastika isinya adalah uang. Namun, Faisal sangat ikhlas membantu mengajar tanpa mengharapkan apapun.
Prinsip masyarakat Jawa tersebut tercermin melalui tokoh Faisal. Apabila seseorang telah memegang tegug prinsip sepi ing pamrih,
rame ing gawe maka orang tersebut tidak lagi mengejar kepentingan- kepentingan
individualnya tanpa
memperhatikan keselarasan
keseluruhan. Ia telah berada di tempat yang tepat dalam kosmos. Sikap tersebut muncul tidak lain hanyalah sebagai wujud memenuhi
kewajiban-kewajiban sebagai sesama manusia.
2. Nilai moral terhadap orang lain
a. Sopan santun atau mundhuk-mundhuk Adat istiadat atau kebiasaan yang menjadi latar novel ini yaitu
adat istiadat masyarakat Jawa Semarang. Adat istiadat adalah perilaku turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat
intergrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakatnya. Masyarakat Jawa dikenal dengan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adab
kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Perhatikan
kutipan di bawah ini: Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang rata-
rata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk dengan
badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku. Ayah menasehatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh
murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata
Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya.
93
93
Ibid., h. 415.
97
Kutipan di atas memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kaum muda menghormati yang tua. Kutipan
tersebut juga memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa. Meskipun yang muda lebih berilmu, tetapi tetap harus menghormati
yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya yang
lebih tua, karena sikap mundhuk-mundhuk layaknya hanya diterapkan dari yang muda kepada yang tua. Jika dilihat dari sisi kebudayaan,
maka setiap kelompok sosial tertentu memiliki kebudayaan tertentu pula. Sikap mundhuk-mundhuk dalam masyarakat Jawa sangat
dijunjung tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya sikap mundhuk- mundhuk ketika berjalan seperti dalam cerita, tetapi sikap mundhuk-
mundhuk diterapkan pula melalui tutur bicara. Apabila seorang yang lebih muda berbicara dengan yang lebih tua, maka yang lebih muda
harus menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. b. Jiwa sosial terhadap sesama
Jiwa sosial yang digambarkan dalam cerita disampaikan melalui tokoh Faisal yang memiliki jiwa peduli terhadap lingkungannya. Ia
membantu mengajar warga kampung untuk dapat membaca dan menulis. Hal ini terkait dengan sikap rukun yang dimiliki masyarakat
Jawa. Dengan adanya sikap rukun dan peduli terhadap sesama, maka akan menjaga ketentraman dan hubungan baik antar sesama. Seperti
tokoh Faisal seperti kutipan berikut: Aku memenuhi janjiku untuk jadi tentor bagi orang-orang tua
yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka, sore ini aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua
kilometer dari tempat tinggalku.
94
Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang
harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Masyarakat jawa
94
Ibid., h. 205.
98
berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan dalam lingkungannya, setiap individu harus selalu berusaha mementingkan sosial yang lebih
luas dan bukan pribadinya sendiri. Kerukunan dengan alam dan lingkungan masyarakat oleh masyarakat Jawa dipandang mampu
membawa ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian hidup. Dengan demikian akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam
dinamika hidup sehari-hari.
3. Nilai moral terhadap Tuhan
Nilai moral terhadap Tuhan yang tercermin dalam novel ini yaitu percaya terhadap kekuatan luar biasa selain diri sendiri. Cerita dalam novel
OMDS ini mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya ini bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak
juga yang masih bertentangan. Masyarakat Jawa yang tidak memegang ajaran Islam dengan kuat akan lebih menjaga warisan leluhur mereka
dengan mempraktikannya dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran yang seharusnya mereka anut. Dengan
demikian, kebudayaan yang diangkat dalam novel ini pun merupakan kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya atau yang dikenal dengan
Islam Kejawen. Masyarakat Jawa di Semarang yang menganut Islam Kejawen dikenal
sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun. Sebagian masyarakat
Jawa kuno atau Jawa masih sangat kental melakukan adat ini, seperti masih sangat percaya terhadap dukun, yang diyakini sebagai
―orang pintar‖ yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dengan alam
gaib. Dukun sering dimintai pertolongan, entah untuk pengobatan, ataupun
99
mengusir roh halus. Namun, tetap ada dua kubu, yang percaya dan tidak percaya
dengan hal-hal
semacam ini.
Penggambaran mengenai
kepercayaan warga terhadap dukun tercermin melalui tokoh ayah Faisal yang mempercayai Pak Cokro sebagai dukun yang mampu mengobati
anaknya yang dituduh amnesia. Seperti kutipan berikut: ―Sal, nanti malam Pak Cokro akan datang untuk mengobatimu.‖ Kata -
kata ayah seperti pertanda agar aku segera keluar dari tempat ini, apapun risikonya.
95
Pak Cokro selalu menjadi orang pertama yang dianggap mampu mengobati segala macam penyakit. Salah satu kebudayaan masyarakat
Jawa yaitu kepercayaan masyarakat warga Semarang terhadap sesepuh atau dukun yang bernama Pak Cokro tersebut sudah menjadi tradisi dan
mengakar di kalangan masyarakat. Berikut adalah penggambaran mengenai sosok Pak Cokro:
Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien
dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan
mantra, barulah molekul-molekul air berubah.
96
Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa memang masyarakat Semarang dalam novel masih mempercayai dukun sebagai orang pertama
yang dapat menolong mereka. Hal tersebut menjadi sebuah tradisi. Dukun yang dipercayai masyarakat pun selalu mengaitkan dengan hal-hal gaib
seperti mempercayai adanya kekuatan yang datang dari makhluk halus. Pak Cokro mengatakan semua ini atas bisikan gaib dari
penunggu Kampung Genteng, genderuwo yang menghuni di pohon munggur di dekat lapangan yang di sebelahnya ada kamar
mandi terbuka dan biasa digunakan untuk mandi para tukang becak.
97
95
Ibid., h. 173.
96
Prasetyo, Loc.cit..
97
Prasetyo, Loc.cit.
100
Pak Cokro yang dikenal sebagai seorang dukun tersebut mendapatkan ilmunya bukan dari proses belajar seperti umumnya dilakukan semua
orang, melainkan melalui proses bertapa atau semedi di hari tertentu. Tetapi, bukan itu yang membuatnya hebat, konon Pak Cokro
mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah
belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya....
98
Selain dengan semedi, mereka pun mempercayai bahwa ritual yang digunakan masyarakat selalu diperkuat dengan menyuguhkan
berbagai macam sesajen yang diserahkan kepada makhluk gaib. Seperti pada kutipan berikut:
Setelah semedinya di malam satu Suro, lelaki yang pernah nikah sekali dengan penjual jamu gendong, kemudian bercerai ini
mendapat wangsit untuk membebaskan Kampung Genteng dari bau Gedong Sapi, sebab genderuwo yang beranak-pinak di
pohon munggur itu konon juga terganggu baunya, mereka yang biasanya makan kemenyan yang berbau wangi, kini malah
makan bau busuk.
99
Kutipan-kutipan tersebut semakin memperkuat keterkaitan antara kenyataan sebenarnya masyarakat Jawa dengan cerita yang ada dalam
novel yaitu mengenai adanya tradisi mistik pada masyarakat Jawa. Maka dari itu Pak Cokro menjadi satu-satunya warga Kampung yang diagung-
agungkan oleh penduduk sehingga menjadikan ia seorang yang besar kepala.
Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang
bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang
jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng.
100
98
Prasetyo, Loc.cit.
99
Prasetyo, Loc.cit.
100
Prasetyo, Loc.cit.