89
kata-kata agar pembaca dapat memahami maksud yang ingin disampaikan seorang penulis. Seperti halnya pengarang dalam novel OMDS, ia
menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca umum, sehingga dialek dan susasana lokal tersebut tidak sampai kepada pembaca.
E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan, bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya
terhadap peran pembaca, dan pendekatan pragmatik tersebut berkaitan dengan nilai moral. Berkaitan dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi
terhadap keberadaan masyarakat maka hadirlah nilai pendidikan sehingga dapat dijadikan teladan untuk masyarakat. Adapun nilai moral tersebut
tergambar dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang
sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar. Nilai moral yang akan dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan dengan latar belakang asal
tempat yang terjadi dalam novel berupa sejarah, budaya dan tradisi atau fenomena sosial yang terjadi pada saat itu, dengan adanya hal tersebut akan
membentuk beberapa nilai moral yang dimiliki para tokoh dalam novel. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Widagdho yang mengatakan bahwa penyebab
manusia berbudaya adalah karena faktor etika dan estetika. Etika yakni pembentukan kepribadian atau tingkah laku melalui budayanya.
85
Salah satu yang akan dibahas peneliti adalah faktor etika atau moral. Asal tempat yang
digunakan pengarang dalam novel OMDS ini adalah di kota Semarang. Dalam analisis, peneliti akan membagi nilai moral para tokoh tersebut ke dalam tiga
aspek, yaitu nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain lingkungan dan nilai moral terhadap Tuhan.
Sebelum menganalisis nilai moral yang dilihat dari latar belakang asal tempat, maka terlebih dahulu akan
dibahas mengenai latar Semarang seperti berikut:
85
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, h. 28.
90
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan asal-usul nama ―Semarang‖.
Menurut C. Kejjerkeker dan D. Van Hinloopen Leberton dalam buku Kasmadi dan Wiyono mengatakan bahwa nama
―Semarang‖ berasal dari kata-kata asem- arang, karena di daerah tersebut banyak ditanam pohon asam yang letaknya
jarang-jarang bahasa Jawa: arang-arang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖. Pendapat lain dikemukakan oleh J. Hageman Jon, bahawa nama
―Semarang‖ berasal dari kata ―sama-perang‖, karena telah terjadi peperangan antara dua orang putra mahkota kerajaan Pejajaran yang terjadi di daerah Tugu
di sebelah barat Semarang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖.
86
Di daerah Semarang hingga saat ini terkenal dengan banyaknya warga Tionghoa yang menetap di sana sehingga terdapat sebuah perkampungan yang
dinamai kampung Pecinan. Berikut ini akan dikisahkan oleh Kasmadi dan Wiyono terkait permulaan terjadinya pemukiman orang-orang Tionghoa di
Semarang: Kira-kira lima ratus lima puluh tahun lalu, Kaisar Bing Sing Tjouw
dari Dinasti Ming mengirimkan suatu armada yang besar untuk mengunjungi negara-negara di Laut Selatan dengan tugas untuk mencari cap kerajaan ajaib
yang telah hilang. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang Kebiri besar yang bernama Sam Po. Ketika armada ini sedang berlayar di muka pantai utara
Jawa, seseorang yang memegang jabatan kedua setelah Sam Po, yaitu Ong King Hong menderita sakit keras. Oleh karena itu, Sam Po memerintahkan
kepada armada untuk mendarat di pantai yang sekarang menjadi pelabuhan Semarang. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng suatu bukit, tidak jauh
dari pantai dan ia pun beristirahat, dan para pengikutnya membangun sebuah rumah kecil untuk Ong King Hong. Sam Po telah membuat obat-obatan, dan
kesehatan Ong King Hong berangsur-angsur membaik. Setelah sepuluh hari tinggal di tempat itu, Sam Po memutuskan untuk
meneruskan perjalanan, sedangkan Ong King Hong tetap tinggal do tempat itu dan diberi sebuah kapal, sepuluh orang anak buah, dan perbekalan yang cukup.
86
Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang, 1900-1950, Jakarta: Depdikbud, 1985, h. 28
—29.