82
membicarakan hal ini kepada orang tua mereka masing-masing.
peralatan sekolah seadanya.
2. Sekuen 12:
Ketika mulai memasuki sekolah, Pambudi, Yudi dan Pepeng
mendapat hinaan dari teman sekelasnya bernama Rena karena
status sosialnya yang jauh lebih tinggi dibanding mereka.
Sekuen 12 a: Mereka dibela oleh gadis
cantik bernama Kania.
3. Sekuen 14:
Peternakan sapi milik Yok Bek tak sedikitpun menguntungkan
warga, justru merugikan dengan bau kotoran sapi dan tidak pernah
menyumbangkan susu sekedar untuk perbaikan gizi anak-anak
mereka. Sekuen 18:
Warga emosi dan rumah Yok Bek dibakar oleh warga karena
sudah tidak tahan lagi dengan peternakan milik Yok Bek.
4 Sekuen 15:
Yok Bek mulai gelisah karena Pambudi, Yudi dan Pepeng akan
bersekolah, karena ia takut jika anak-anak alam itu sekolah akan
mengambil alih usahanya. Sekuen 16:
Yok Bek menghasut ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng
agar mereka memberhentikan anak-anak mereka dari sekolah
dan lebih baik bekerja pada Yok Bek.
5. Sekuen 16:
Yok Bek menghasut agar anak- anak alam itu berhenti sekolah
Sekuen 17: Pambudi, Yudi dan Pepeng pun
terpaksa harus berhenti sekolah
83
karena perintah orang tua mereka dan kembali bekerja
membantu ayah mereka.
6. Sekuen 19:
Faisal menahan warga agar tak membakar rumah Yok Bek.
Sekuen 20: Faisal dituduh amnesia karena
terkena pukulan warga padahal ia merasa baik-baik saja.
7. Sekuen 17:
Semenjak ayah mereka terkena hasutan Yok Bek, Pambudi, Yudi
dan Pepeng pun berhenti sekolah dan menghilang dari Faisal.
Sekuen 24: Faisal mencari ketiga anak
alam itu karena semenjak mereka berhenti sekolah,
mereka tak lagi ada kabar. 8.
Sekuen 23: Faisal mengajar di kampungnya
karena Diknas mengadakan sekolah gratis untuk buta aksara.
Sekuen 26: Faisal dihina oleh muridnya
yang memang rata-rata usianya jauh lebih dewasa dan
berbadan besar, mereka tak percaya bahwa Faisal lah yang
akan mengajar mereka membaca dan menulis.
9. Sekuen 28:
Semenjak mengikuti sekolah gratis, Mat Karmin bisa membaca
dan membuat buku tentang permainan anak-anak.
Sekuen 29a: Panji disodomi oleh Mat
Karmin karena Mat Karmin seorang pedophilia.
Sekuen 30c: Warga menyimpulkan bahwa
84
Dari tabel hubungan kausalitas alur di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi dalam cerita saling berkaitan dan memiliki
hubungan sebab akibat. Hubungan kausalitas alur di atas menunjukkan perjuangan Faisal dalam membantu ketiga temannya bersekolah meskipun
banyak cobaan yang menghalangi usahanya seperti Yok Bek yang menghasut orang tua mereka sehingga mereka diperintahkan untuk
berhenti sekolah, hal tersebut terlihat pada sekuen 16. Namun, usaha Faisal pun berhasil ketika Yok Bek mulai diusir warga dan Pambudi, Yudi serta
Pepeng kembali sekolah. Alur yang digunakan merupakan alur maju karena peristiwa yang terjadi disusun secara beruntutan mulai dari usaha
Faisal, dilanjutkan dengan cobaan dalam membujuk temannya hingga akhirnya merekapun bersekolah dan naik kelas.
ulah Mat Karmin itu diakibatkan adanya sekolah
gratis dan akhirnya ia bisa baca sehingga menjadikan itu
sebagai kesempatan emas untuk bertindak kriminal.
10. Sekuen 34a:
Ketika Ujian Akhir Semester, Rena ketahuan mencontek.
Sekuen 35b: Rena tidak naik kelas.
11. Sekuen 31:
Karena usaha Faisal membujuk temannya dan karena
kesungguhan mereka, akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng
kembali ke sekolah. Sekuen 36:
Pambudi, Yudi, Pepeng, Faisal serta Kania berhasil naik kelas.
85
5. Sudut Pandang
Sudut Pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada
pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan
gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel OMDS yaitu pesona atau gaya
―aku‖, pengarang atau narator berada di dalam cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya
―aku‖. Faisal merupakan pencerita tokoh ―aku‖ dalam novel. Dengan menggunakan sudut pandang
―aku‖ membuat pembaca merasa dekat dan berada dalam cerita, karena pembaca mudah meresapi cerita tersebut.
Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut. Setelah pulang dari sekolah tadi, aku mampir dulu ke pengepul
barang-barang bekas, aku mengatakan ingin mencari kertas minyak, maka pemulung yang berjenggot lebat, bermuka
seperti jelaga lampu minyak itu menyodorkan beberapa tumpukan kertas, dan aku disuruh mencarinya sendiri.
79
Sudut pandang pesona ―aku‖ ini banyak menyebutkan tokoh utama
yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Faisal,
pengarang menuangkan
kehidupan masyarakat Gedong
Sapi sebagai masyarakat yang miskin. Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak dituangkan melalui
tokoh dari sahabat Faisal. Sudut pandang ―aku‖ melalui tokoh utama
bernama Faisal banyak memberikan amanat dan pesan, amanat yang
disampaikan Faisal mengenai pentingnya pendidikan selalu disampaikan kepada temannya, sehingga temannya merasa termotivasi.
Sudut pandang ―aku‖ ini semakin memperkuat penokohan Faisal.
Sudut pandang tersebut membuat tokoh Faisal terlihat semakin
79
Ibid., h. 13.
86
menunjukkan eksistensinya sebagai tokoh utama yang mengetahui setiap jalannya cerita karena Faisal merupakan pencerita atau narator, sehingga
perjuangan dan niatnya untuk membantu pendidikan teman-temannya semakin terlihat melalui sudut pandang ini.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara khas pengungkapan seorang pengarang dalam karyanya. Adapun gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam
novel OMDS mampu menimbulkan suasana yang beragam, simpatik, objektif, harapan, dan cita-cita.
Gaya bahasa yang terdapat di dalam novel di antaranya gaya bahasa metafora.
Keraf memaparkan
bahwa metafora
merupakan majas
perbandingan yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat dan padat dengan tidak menggunakan kata seperti, bak,
bagaikan, dan sebagainya.
80
Pengarang lebih sering menggunakan metafora dalam setiap bab atau setiap cerita dengan harapan agar mampu
memberikan kesan indah sehingga menarik perhatian pembaca dalam memahami jalannya cerita hingga akhir. Salah satu kutipan yang
menunjukkan penggunaan majas metafora dapat dilihat pada kutipan berikut:
―Sekolah itu benteng moral, seperti halnya ajaran Islam untuk mengerem dorongan bawah sadar mereka yang bisa tak
terkekang‖.
81
Kutipan di atas merupakan salah satu cara pengarang dalam menggunakan gaya bahasa. Majas metafora dalam kutipan di atas dapat
dilihat pada kalimat sekolah itu benteng moral. Dalam kalimat tersebut terdapat perbandingan antara dua benda yakni sekolah dan benteng,
sekolah dalam kutipan tersebut diibaratkan seperti sebuah benteng besar yang mampu membentuk moral seseorang agar dapat menunjukkan
eksistensi di dalam kehidupan.
80
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa,Jakarta: PT Gramedia, 1985, h. 139.
81
Prasetyo,Op.cit, h. 68.
87
Adapun fungsi dari majas metafora tersebut adalah untuk menyampaikan pesan kepada pembaca dengan menggunakan persuasi atau
berupa ajakan dan nasihat. Oleh karena itu, pengarang selalu berusaha bersikap komunikatif terhadap pembaca. Kutipan di atas merupakan salah
satu cara pengarang menyampaikan pesan kepada pembaca. Dalam setiap adegan cerita, pengarang berusaha menampilkan ajakan atau nasihat yang
disesuaikan dengan apa yang terjadi dalam cerita sehingga cerita yang berjalan tetap meninggalkan pesan yang dapat memotivasi pembaca.
Seperti pada kutipan di atas, majas metafora tersebut secara tersirat telah mengajak pembaca agar mengutamakan pendidikan, karena dengan
memiliki pendidikan maka seseorang akan mampu mengendalikan dirinya dalam bersikap.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gaya bahasa berfungsi untuk menciptakan suasana persuasi, sehingga gaya bahasa dapat menimbulkan
suasana yang tepat bagi setiap adegan dan gaya bahasa tersebut tepat digunakan pada persoalan yang tengah dibicarakan dalam cerita. Gaya
bahasa persuasi yang digunakan sangat menarik dengan pemilihan kata yang mudah dipahami dan meninggalkan pesan yang mendalam.
Gaya bahasa dapat digunakan untuk menandai karakter tokoh, sehingga terdapat keterkaitan yang erat antara gaya bahasa dengan
karakter yang ditimbulkan oleh tokoh. Secara implisit, gaya bahasa mampu menggambarkan karakter setiap tokoh. Perhatikan kutipan berikut:
Bulu mata lentik Bu Mutia berkedip-kedip seperti magnet burung merak yang menarik. Aku hanya bisa terduduk beku dan menyimak
kata-kata Bu Mutia dengan saksama. Kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa
membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah. Berarti kawan-kawanku itu harus bisa membaca alias sekolah, agar tak
menghilang dari pusaran sejarah.
82
Kutipan di atas memperlihatkan gaya bahasa yang menimbulkan karakter dari tokoh Bu Mutia. Dapat kita lihat bahwa kutipan tersebut
82
Ibid., h. 62.
88
secara tersirat menunjukkan bahwa tokoh Bu Mutia adalah seorang wanita yang cantik, digambarkan melalui kalimat bulu mata lentik Bu Mutia
berkedip-kedip seperti magnet burung merak yang menarik. Melalui pendeskripsian tersebut maka pembaca dapat memahami gambaran fisik
tokoh, dan dapat disimpulkan pula bahwa Bu Mutia adalah sosok yang sangat mementingkan pendidikan, seorang yang dewasa dan bijak.
Selain menggunakan gaya bahasa metafora, dalam novel ini pengarang juga menggunakan diksi dengan beberapa dialek regional
sesuai dengan latar tempat pengarang yaitu Jawa. Dialek regional adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif dan
didasarkan pada wilayah atau area tertentu dari tempat tinggal penutur tersebut.
83
Maka dari itu, pengarang dalam novel ini menyelipkan bahasa Jawa dalam karyanya sesuai dengan dialek yang ia miliki. Seperti yang
terdapat pada kutipan berikut: Karisma segera melepaskan bajunya, tubuhnya sudah gatal untuk
segera tersentuh air, air yang kimplah-kimplah dan berwarna putih keperakan itu rata dengan bibir kolam, sementara itu Pepeng dan
Yudi agak malas-malasan.
84
Dari kutipan di atas, terdapat kata kimplah-kimplah yang sulit dipahami maknanya. Selain kata tersebut terdapat kata lainnya yaitu
seperti kata mlithit, mlungkret, wales, kepis, ndhepipis, tengen, mlanjer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kosa kata Jawa tersebut tidak diberi
pengertian tentang arti yang sebenarnya, pengarang tidak memberi penjelasan arti dari bahasa Jawa yang ia gunakan sehingga membuat
pembaca merasa bingung dan mengalami kesulitan. Hal yang sering menjadi permasalahan adalah mengenai ketepatan pemilihan kata,
mengenai kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca. Maka seorang penulis harus cermat memilih
83
Abdul Chaer, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010, h. 63.
84
Prasetyo, Op.cit., h. 275.
89
kata-kata agar pembaca dapat memahami maksud yang ingin disampaikan seorang penulis. Seperti halnya pengarang dalam novel OMDS, ia
menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca umum, sehingga dialek dan susasana lokal tersebut tidak sampai kepada pembaca.
E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan, bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya
terhadap peran pembaca, dan pendekatan pragmatik tersebut berkaitan dengan nilai moral. Berkaitan dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi
terhadap keberadaan masyarakat maka hadirlah nilai pendidikan sehingga dapat dijadikan teladan untuk masyarakat. Adapun nilai moral tersebut
tergambar dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang
sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar. Nilai moral yang akan dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan dengan latar belakang asal
tempat yang terjadi dalam novel berupa sejarah, budaya dan tradisi atau fenomena sosial yang terjadi pada saat itu, dengan adanya hal tersebut akan
membentuk beberapa nilai moral yang dimiliki para tokoh dalam novel. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Widagdho yang mengatakan bahwa penyebab
manusia berbudaya adalah karena faktor etika dan estetika. Etika yakni pembentukan kepribadian atau tingkah laku melalui budayanya.
85
Salah satu yang akan dibahas peneliti adalah faktor etika atau moral. Asal tempat yang
digunakan pengarang dalam novel OMDS ini adalah di kota Semarang. Dalam analisis, peneliti akan membagi nilai moral para tokoh tersebut ke dalam tiga
aspek, yaitu nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain lingkungan dan nilai moral terhadap Tuhan.
Sebelum menganalisis nilai moral yang dilihat dari latar belakang asal tempat, maka terlebih dahulu akan
dibahas mengenai latar Semarang seperti berikut:
85
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, h. 28.