Tokoh Antagonis Tokoh dan Penokohan

68 perintahnya menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro memiliki sifat penghasut. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik dalam kutipan berikut: Mereka yang sama-sama berdiri dihadapanku kini adalah segerombolan anak muda yang tak tahu apa- apa, tetapi diprovokasi oleh Pak Cokro untuk menyerang Gedong Sapi, terbukti mereka seperti kerbau dicocok hidungnya yang menurut saja apa yang dikatakan dukun itu. 58 Ia adalah seorang dukun yang selalu mengaitkan segala peristiwa yang terjadi dengan hal-hal gaib. Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah. 59 Sejak zaman dahulu hingga saat inipun masih banyak orang yang mempercayai dukun, terlebih mereka yang tinggal di tanah Jawa dengan tradisi yang sangat kental, salah satunya ialah mempercayai dukun sehingga dalam cerita ini pengarang mencoba menghadirkan tradisi tersebut. Dengan profesinya sebagai tabib yang disegani masyarakat, membuat ia haus sanjungan dan bersifat sombong. Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng. 60 58 Ibid., h. 159. 59 Ibid., h. 160. 60 Ibid., h. 217. 69 Sifat haus akan sanjungan seseorang memang bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan bermasyarakat. Masih banyak di sekitar kita orang-orang yang menginginkan dirinya dipandang dalam masyarakat dan menjadikannya pribadi yang sombong. 3 Mat Karmin Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulu sudah tumbuh yang menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi dan geraham yang bergemelutukan. Penggambaran fisiknya tersebut disampaikan pengarang secara analitik. Perhatikan kutipan berikut: Seorang laki-laki yang dilihat dari wajahnya, usianya tak lagi muda, sekitar 30-an tahun lebih, senyum-senyum sendiri sambil tertidur di rumput perdu, tubuhnya terguncang-guncang oleh tawa yang tak bisa ditahan dari diafragma perutnya. 61 Selain itu, Mat Karmin adalah seorang pebisnis mainan anak yang ulung. Ia selalu tahu kegemaran anak-anak dan musim yang sedang digemari oleh anak-anak. Mat Karmin hidup sebatangkara semenjak orang tua angkatnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Ia diwarisi sebuah rumah oleh orang tua angkatnya, sehingga ia lebih suka menyendiri dalam rumah. Masa kanak-kanakanya telah direnggut oleh kesendiriannya sehingga ia menjadi pribadi yang pendiam. Karena ia akhirnya hidup sebatangkara, Mat Karmin hanya berteman dalam kesunyian. Tiga tahun pertama dihabiskan hidupnya sendirian, ia menjadi manusia kamar, pribadi introvert yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya. 62 61 Ibid., h. 227. 62 Ibid., h. 55. 70 Masa kanak-kanak adalah masa yang harus dinikmati dengan suka cita. Masa itulah mereka akan menghabiskan waktu hanya dengan bermain. Namun tidak untuk Mat Karmin, lelaki penyendiri ini lebih suka menikmati masa kecilnya dengan mengurung diri di kamar, karena hal itu membuatnya merasa damai. Ia hanya mengharapkan belas kasihan dari para tetangganya yang seringkali memberinya makan. Akibat dari perbuatannya yang mengungkung diri dalam kamar selama bertahun-tahun, membuatnya kesulitan berbicara karena ia sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan siapapun. Efek yang sangat buruk pun terjadi pada pribadi Mat Karmin. Ketika ia tumbuh dewasa, ia justru tertarik dengan dunia anak-anak yang selama ini tak ia temui dalam masa kecilnya. Ia lebih akrab dengan anak-anak kecil dibanding bergaul dengan anak sesusianya. Masyarakat menganggap Mat Karmin tak pantas bermain dengan anak-anak, karena fisiknya menunjukkan ia telah menjadi pribadi yang dewasa. Bagiku, Mat Karmin hanyalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masa kecilnya terlihat kurang bahagia, dibandingkan aku maupun anak Gedong Sapi. 63 Melalui tokoh Mat Karmin ini timbullah paradoks, karena melalui fisiknya yang besar serta berumur 30-an, merupakan suatu tanda bahwa seseorang telah dewasa. Namun, tidak demikian dengan Mat Karmin, ia justru seolah seperti anak kecil dan bergaul dengan anak kecil, karena masa kecilnya dulu kurang bahagia. Mat Karmin juga seorang yang licik dan mau menang sendiri. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini: Tapi, Mat Karmin tak peduli, ia terus berusaha merampas kepemilikan kami, kadang mengutus anak 63 Ibid., h. 56. 71 seusia SMP untuk merebut kembali layang-layang yang telah kami miliki, kadang ia juga perampas itu sendiri. Mat Karmin memang licik, dan ingin untung dua kali. 64 Sifat liciknya tersebut juga menghadirkan paradoks bagi pembaca, karena Mat Karmin seharusnya mampu mengayomi anak-anak di bawah umurnya, bukannya bersikap jahat atau licik. Akibat latar belakang kehidupannya yang penyendiri dan sering bergaul dengan anak-anak kecil, belakangan diketahui bahwa ia ternyata seorang pedofil. Semiun menjelaskan bahwa pedophilia berasal dari kata pais, paios = anak; phileo = mencintai. Pedophlia berarti penyimpangan seksual di mana orang dewasa baik pria maupun wanita mencari kepuasan seksual dengan anak-anak kecil, dan sebagian pelakunya adalah seorang pria. 65 Seperti yang dilakukan oleh tokoh Mat Karmin. Laboratorium forensik kepolisian berhasil mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang pedophilis. Mat Karmin begitu mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena menyukai anak-anak kecil untuk dijadikan objek birahinya. 66 Kutipan di atas memberikan kejelasan mengenai perilaku Mat Karmin yang aneh, di satu sisi Mat Karmin seorang yang pendiam, namun di sisi lain ia menyimpan perilaku menyimpang yang sangat merugikan orang lain, terlebih pada anak-anak kecil yang tak berdosa. 4 Yok Bek Yok Bek adalah seorang peternak sapi yang ulet. Ia pemasok susu sapi terkenal se-Jawa Tengah. Ayah dari 64 Prasetyo, Loc.cit. 65 Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, h. 49. 66 Prasetyo, Op.cit., h. 235. 72 Pambudi, Yudi, dan Pepeng sudah lama bekerja pada Yok Bek. Yok Bek memiliki watak pemarah dan berlaku sewenang- wenang. Tak jarang ia memaki ketiga ayah anak alam itu, walaupun hanya karena masalah sepele. Kadang Yok Bek — perempuan Cina itu —berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. 67 Perempuan uzur dengan kulit tangan yang mulai keriput ini digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang berkedok baik. Padahal, Yok Bek adalah keturunan Cina yang ingin menghancurkan Gedong Sapi dan ingin menghancurkan generasi penerus bangsa. Ia hanya menginginkan lahan di Gedong Sapi untuk tempat peternakan sapinya. Namun, peternakan Sapi milik Yok Bek justru membuat warga merasa jengah karena bau kotoran sapi, dan sama sekali tak membawa untung bagi warga. Perhatikan kutipan di bawah ini: ―Tetapi, selama ratusan tahun di Kampung Genteng, apa yang bisa Engkoh lakukan untuk warga? Nggak ada kan? Apa Engkoh pernah menyumbangkan susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari saja, agar anak-anak kampung bisa jadi pintar?‖. 68 Sifat pelit yang dimiliki Yok Bek serta peternakan sapi yang merugikan warga membuatnya akan segera diusir dari Kampung. Sifat pelitnya tersebut merupakan paradoks bagi warga Kampung Genteng, seharusnya seseorang yang memiliki tingkat ekonomi tinggi harus pintar berbagi dengan sesama, bukan justru mengabaikan mereka yang tidak mampu. Sifat jahat Yok Bek nampak jelas terlihat ketika Pambudi, Yudi dan 67 Ibid., h. 17. 68 Ibid., h. 125. 73 Pepeng yang tak lain anak dari orang-orang yang bekerja pada Yok Bek mulai bersekolah. Ia tampak geram melihat anak-anak itu mengenyam pendidikan. ―Ah, sialan, rupanya anak -anak itu sekarang sudah sekolah, gawat, benar-benar gawat, kalau mereka sekolah, kemudian menjadi pintar...‖. 69 Dari kutipan di atas terlihat bagaimana Yok Bek merasa cemas karena anak-anak Gedong Sapi menjadi penerus bangsa. Ia menginginkan anak-anak Gedong Sapi tetap buta akan pendidikan. Orang-orang seperti Yok Bek adalah penjajah ekonomi bangsa Indonesia. Ia menginginkan usaha di tanah Indonesia, karena Indonesia memiliki lahan yang kaya dan luas, namun mereka tidak menginginkan warga Indonesia berjaya dan turut menikmati hasil. ―Tidak Hanya saja kau harus tahu tabiat orang - orang semacam dia itu tidak suka kalau ada pribadi yang pintar, biar bisa dibodohi terus‖. 70 Perkara itulah yang membuat Yok Bek merasa takut dengan bersekolahnya ketiga anak alam, sehingga Yok Bek menghasut ayah dari ketiga anak alam itu agar menghentikan sekolah anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan Yok Bek pada kutipan berikut : ―Coba dekati anak kalian, dan bicarakan baik -baik, sebaiknya sekolahnya tak usah diteruskan, nanti saja kalau sepulang anakku dari Australia untuk meninjau peternakan sapi di sana, biarlah aku omong-omong dengannya untuk memikirkan nasib pendidikan anak-anak kalian‖. 71 69 Ibid., h. 128. 70 Ibid., h. 133. 71 Prasetyo, Loc.cit. 74 Sikap Yok Bek yang coba menghasut ketiga ayah anak alam tersebut telah meracuni pikiran mereka yang memang ayah ketiga anak alam tersebut mudah sekali terpancing oleh Yok Bek, karena pendidikan mereka yang rendah tersebut. Demikianlah penjelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam novel OMDS. Dapat disimpulkan bahwa tokoh protagonis dalam cerita di antaranya adalah Faisal yang merupakan tokoh sentral, selanjutnya Pambudi, Yudi, Pepeng, Pak Zainal, Bu Mutia, dan Kania. Mereka merupakan tokoh yang kehadirannya memberikan nilai positif melalui karakter yang mereka miliki. Adapun tokoh antagonis dalam cerita di antaranya Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, dan Yok Bek. Mereka adalah tokoh-tokoh yang ditampilkan dengan menonjolkan karakter sebagai penentang dari tokoh protagonis. Dari penjelasan mengenai tokoh dan penokohan, dapat diketahui bahwa tokoh protagonis seperti Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng telah meraih kesuksesan karena kesungguhan mereka, sedangkan tokoh antagonis seperti Rena, Mat Karmin, Yok Bek, telah menerima balasan dari perbuatan mereka yang tidak baik. Pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa seseorang yang bersikap baik akan memperoleh kebahagiaan, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, watak yang ditampilkan para tokoh dapat diharapkan menjadi pelajaran bagi pembaca. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, terdapat beberapa tokoh lainnya yang memang tidak ditampilkan dalam analisis karena kehadiran tokoh tersebut hanya sebagai pendukung jalannya cerita dan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap penceritaan. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya: Guruh, Kharisma, Kiai Khadis, Ustadz Muhsin, Koh A Kiong, Bang Ujai, dan Minto. 75

3. Latar

Latar yang tergambar dalam novel ini mengacu pada tempat dan waktu yang terdapat dalam novel. Latar seolah memberikan gambaran jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca.

a. Latar tempat

Latar tempat mengacu pada tempat atau letak geografis yang terdapat dalam cerita. Adapun latar tempat utama dalam novel ini yaitu di Semarang yang merupakan ibu kota Jawa Tengah dan masih sangat kental dengan nuansa Tionghoa, karena sejak zaman dahulu hingga saat ini masih banyak terdapat Tionghoa yang menetap di Semarang. Di daerah ini terdapat daerah khusus untuk Tionghoa yang disebut kampung pecinan. 72 Hal tersebut terbukti dari puluhan bangunan klenteng, rumah ibadah Tionghoa serta rumah-rumah khas Tionghoa dengan arsitektur khas bangunan kota lama. Seperti rumah seorang Tionghoa yang ada dalam novel bernama Yok Bek, seorang keturunan Tionghoa, seolah menunjukkan bahwa memang latar tempat dalam novel terdapat pada aslinya. Seperti dalam kutipan berikut: Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berasitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit. 73 Kutipan di atas memberikan bukti bahwa hingga saat ini masih ada Tionghoa yang menetap di Semarang dengan bukti sejarah berupa bangunan rumah khas kota lama Semarang. Rumah Yok Bek yang megah serta perkampungan kaum Tionghoa yang tinggi tersebut seolah menjadi pembatas hubungan sosial antara 72 Sejarah Semarang, diunduh pada 1 Desember 2013, Pukul 15.00, dari http:sejarahsemarang.wordpress.comtionghoa 73 Prasetyo, Op.cit, h. 18. 76 Tionghoa yang menutup diri dengan warga pribumi. Keadaan tersebut semakin memperjelas kesenjangan sosial yang terjadi. Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, ghetto- ghetto yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari dunia luar. 74 Latar yang digunakan dalam novel ini merupakan latar tipikal, karena daerah Kampung Genteng, Semarang lebih sering dimunculkan disertai dengan penjelasan mengenai kekhasan kota Semarang. Seperti kutipan berikut: Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah dari mana nama itu berasal, konon menurut ayahku, kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di Semarang. 75 Latar tempat yang terletak di Semarang ini semakin memperkuat karakter masing-masing tokoh. Latar Semarang yang dahulunya identik dengan Islam Kejawen, tetap tergambar dalam cerita yang ada dalam novel OMDS, sehingga membentuk karakter tokoh. Kepercayaan masyarakat Islam Kejawen ini mengakibatkan masyarakat sebagian Semarang percaya dengan kemampuan dukun. Dari penjelasan tersebut, dapat terlihat bagaimana keterkaitan antara latar Semarang dengan karakter tokoh yang tidak dapat dipisahkan.

b. Latar Waktu

Latar waktu dalam novel ini tidak dijelaskan secara langsung oleh pengarang. Namun, dikaitkan dengan masa reformasi dan dapat diperkirakan yaitu setelah reformasi, cerita ini terjadi pada tahun 2000-an. Latar waktu selebihnya dijelaskan melalui 74 Ibid., h. 19. 75 Ibid, h. 11. 77 pergantian waktu seperti pagi, siang, sore dan malam. Sejak zaman dahulu, kota Semarang memang dikenal sebagai kota pecinan, yaitu kota yang banyak dihuni oleh warga Tionghoa. Hingga kisaran sampai tahun 2000, masih ada warga Tionghoa yang mendiami kota Semarang. Seperti yang terdapat dalam novel, Yok Bek tinggal di Semarang sejak tahun 1990-an, sebelum reformasi sampai setelah reformasi 1998, karena setelah itu warga asli kota Semarang mulai menunjukkan sikap berani melawan kepada Tionghoa setelah sebagian Tionghoa mulai pergi dari kota Semarang. Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat polah anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja membantu ayah mereka di dalam kandang sapi. Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang kemana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah reformasi 1998. 76 Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sebelum reformasi, warga Semarang seolah digambarkan sebagai warga yang takut pada Tionghoa, yang menguasai perekonomian warga pribumi. Namun setelah reformasi pada tahun 1998, warga Semarang mulai berani berontak dan tersadar bahwa mereka hanya diperbudak dan menjadi kaki tangan Tionghoa, khususnya Yok Bek seperti dalam cerita. Hal tersebut terlihat melalui kutipan berikut: ―Mau beritahu gimana, mereka adalah orang -orang terpelajar yang belajar dari sejarah, orang-orang Cina yang sepertinya bersahabat itu sebetulnya adalah penjajah ekonomi. Bukannya mau ngritik nih Koh, mungkin sejarah Koh Yok Bek berakhir sampai di sini. Engkoh harus puas, sudah lama 76 Ibid., h. 123. 78 sekali Engkoh hidup dan berbaur di kampung ini tanpa pernah terganggu...‖ 77 Hal tersebut merupakan puncak permasalahan yang dialami antara warga pribumi dengan Yok Bek. Bukti lainnya yang menunjukkan bahwa latar waktu terjadi kisaran tahun 2000an adalah dengan adanya alat elektronik seperti video game, karena pada tahun 2000an telah terjadi kemajuan yang sangat pesat, khususnya dibidang elektronik.

4. Alur

Alur digunakan untuk menunjukkan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan secara logis dan disebabkan oleh suatu tindakan. Dalam hal ini, alur akan mengarah pada sekuen urutan tekstual dan hubungan sebab akibat urutan logis. Urutan tekstual adalah urutan cerita berdasarkan analisis sekuen seperti yang ditampilkan dalam urutan satuan teks. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Todorov bahwa karya sastra di masa lalu disusun sesuai dengan urutan logis atau yang biasa disebut dengan hubungan sebab akibat kausalitas kausalitas sangat erat hubungannya dengan tempo waktu. 78 Maka penulis menganalisis alur beradasarkan teori Todorov. Berdasarkan jumlah sekuennya maka novel OMDS memiliki 36 sekuen yang telah terlampir. Adapun analisis alur dalam novel ini terdapat tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahapan awal alur dalam novel ini yaitu diawali dengan tahap pengenalan. Tahap perkenalan dibagian awal ini terlihat mulai dari sekuen 1 —10. Pada sekuen 1 pengarang mengantarkan pembaca untuk mengenali bagaimana suasana dalam cerita yang digambarkan dengan suasana kampung yang dipenuhi dengan keceriaan anak-anak dalam bermain layang-layang. Pada sekuen 1a — 10, pengarang mulai memperkenalkan 77 Ibid., h. 126. 78 Todorov, Op.Cit. h. 41 79 para tokoh di antaranya toko Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Candil, Ki Hajar Ladunni, dan Mat Karmin. Tokoh-tokoh ini muncul pada tahapan awal. Pengarang mendeskripsikan Faisal sebagai seorang anak kelas dua Sekolah Dasar yang sangat peduli terhadap pendidikan teman-temannya. Tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng merupakan teman-teman Faisal yang dikenal dengan anak alam karena mereka tidak memperoleh pendidikan dan hanya bekerja membantu ekonomi keluarga. Kehidupan miskin yang dialami ketiga anak itu yang menyebabkan mereka merasa tidak mungkin untuk dapat bersekolah. Selanjutnya pengarang menghadirkan tokoh Candil dan Ki Hajar Ladunni, Candil merupakan anak Ki Hajar Ladunni, seorang pakar pembuat layang-layang. Candil anak yang cerdas meskipun ia tinggal di hutan daerah pedalaman. Pada bagian awal ini juga terdapat pengenalan tentang latar terjadinya cerita dalam novel ini, yaitu di Gedong Sapi, Kampung Genteng, Semarang. Selanjutnya pada bagian tengah alur terdapat pemunculan konflik, peningkatan konflik, dan klimaks atau puncak permasalahan. Awal munculnya konflik terjadi justru ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng mulai pertama kali sekolah. Ketika mereka mulai bersekolah, mulailah muncul konflik yaitu konflik batin yang dialami ketiga anak alam tersebut yakni berupa hinaan dari teman-teman sekelasnya yang merasa lebih kaya dibanding mereka, sebagaimana pada sekuen 12. Namun, hinaan yang mereka terima tidak menjadikan mereka putus asa. Justru mereka menjadikan itu sebagai tantangan dan mereka akan membuktikan bahwa mereka juga layak untuk sekolah di tempat yang sama. Terlebih ketika mereka bertemu seorang murid cantik bernama Kania, mereka terpana oleh kecantikan gadis tersebut ketika Kania membela mereka dari hinaan teman lainnya sekuen 13. Bagian tengah alur yang berisi peningkatan konflik yaitu ketika warga Kampung Genteng mulai emosi karena peternakan milik Yok Bek tak menguntungkan warga dengan bau kotoran sapi dari peternakan miliknya dan warga tak pernah mendapatkan sumbangan susu sekedar

Dokumen yang terkait

Nilai moral dalam novel orang miskin dilarang sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

4 58 147

NILAI EDUKASI DAN SOSIAL DALAM NOVEL Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

0 0 15

PENDAHULUAN Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

7 75 36

NILAI EDUKASI DAN SOSIAL DALAM NOVEL Nilai Edukasi dan Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

0 0 15

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 0 13

PENDAHULUAN Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 1 6

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

0 1 11

NILAI-NILAI MORAL PADA NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Dian Permanasari STKIP PGRI Bandar Lampung ABSTRACT - View of Nilai-nilai moral Pada Novel "Orang

0 1 13

Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Gaya Bahasa)

0 24 148

KAJIAN POSKOLONIAL DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO - Repository UNRAM

0 0 14