15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam penelitian ini mengkaji mengenai komodifikasi budaya. Maksudnya ialah kebudayaan yang dahulunya dianggap sakral diubah sedemikian rupa menjadi lebih
bersifat profan atau komersial. Karl Marx mengatakan komodifikasi merupakan transformasi hubungan. Sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan menjadi
hubungan komersial, hubungan pertukaran membeli dan menjual. Dewasa ini komodifikasi telah menyentuh berbagai aspek yang terdiri dari unsur-
unsur kebudayaan
1
1
Menurut Koentjaraningrat 1990:186 ada 3 wujud dari kebudayaan yaitu: wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan yaitu suatu kompleks dari ide-ide, gagasan dan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas suatu dari yang lain, melainkan selalu
berkaitan, menjadi suatu sistem, dan inilah yang disebut dengan sistem budaya cultural system; wujud yang kedua, disebut sebagai sistem sosial, social system adalah segala tindakan berpola dari manusia,
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan satu dengan yang lain, dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat. Sistem sosial ini bersifat konkrit, terjadi disekeliling kita sehari-hari; dan wujud ketiga dari kebudayaan adalah disebut sebagai kebudayaan
fisik materil, yaitu berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto.
universal termasuk didalamnya kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik
Universitas Sumatera Utara
16
merupakan warisan budaya milik masyarakat lokal. Misalnya kerajinan tangan berupa patung, tenun, Gorga dan lainnya masing-masing memiliki corak, motif, pembuatan dan
fungsi menurut kebudayaan lokal. Kini kebudayaan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih menarik dan laku dijual.
Salah satu faktor yang mendukung terjadinya komodifikasi yakni adanya pengaruh arus globalisasi
2
Cerita-cerita rakyat ikut juga dimodifikasi. Cerita mengenai raja-raja Batak dengan penggunaan alat-alat saktinya dipersingkat, dibuat semenarik mungkin dan
yang semakin terbuka. Mudahnya mengakses informasi melalui teknologi dan mobilitas yang tinggi menyebabkan orang lebih gampang untuk
berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini dijadikan peluang bagi pelaku komodifikasi budaya untuk menjual produknya disektor industri pariwisata.
Pelaku kebudayaan memanfaatkan stuasi dan psikologis wisatawan. Mereka mengetahui bahwa wisatawan tidak terlalu memiiki banyak waktu akan tetapi disisi lain
tetap ingin menikmati seluruh keindahan alam dan serta budaya setempat. Maka dari itu para pelaku kebudayaan memodifikasi kebudayaan mereka sedemikian rupa. Misalnya
tarian tradisional Batak yakni Tor-tor, tarian yang dimodifikasi sedemikan rupa sehingga wisatawan tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktunya hanya untuk satu
pertunjukan dan mengorbankan hal lain dengan cara durasi pertunjukannya telah disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan.
2
Globalisasi membuat akses terhadap informasi semakin terbuka lebar, masyarakat bisa mendapatkan berbagai informasi dari banyak media seperti televisi, internet dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
17
pengujung dapat langsung melihat bendanya. Kemudian wisatawan disuguhkan oleh replika-replika yang telah tersedia dideretan penjual souvenir. Tidak hanya itu,
komodifikasi budaya yang akhir-akhir ini banyak dijumpai yaitu pada kain tradisional Batak yakni Ulos. Kain ini biasanya berbentuk selendang dan merupakan kain yang
digunakan dalam acara-acara tertentu pada orang Batak seperti acara pernikahan. Dalam acara tersebut biasanya Hula-hula
3
Pada tulisan ini, penulis akan lebih memfokuskan mengenai komodifikasi ukir Batak. Kenapa ukir Batak? Alasan utama yakni karena ketika penulis berkunjung di
daerah wisata yang ada di Samosir, penulis melihat banyak benda-benda budaya Batak yang diperjualbelikan di kios-kios yang terdapat di daerah pariwisata Samosir khususnya
Tomok dan Tuktuk Siadong. Saat itu penulis yang berada di Tomok menyempatkan waktu untuk membeli beberapa benda khas dari daerah ini sebagai kenang-kenangan.
Tidak sengaja, penulis mendengar pembicaraan penjual yang sedang menawarkan benda yang ada di kiosnya kepada wisatawan asing yang sedang berkunjung. Dia menunjukan
tongkat dengan ukiran khas Batak yang cukup rumit. Dia sebut tongkat itu gaib, akan memberikan Ulos kepada Boru. Kain Ulos
digunakan sebagai simbol berkat yang diberikan untuk mengarungi rumah tangga yang akan dibangun. Bagi orang Batak penggunaan Ulos tidaklah sembarangan tetapi saat ini
keberadaan Ulos banyak ditemui dalam bentuk-bentuk lain seperti jas, kotak tisu, tas, kipas dan lain sebagainya.
3
Hula-hula merupakan kelompok sosial dari masyarakat Batak. Hula-hula yaitu kelompok orang orang yang posisinya tinggi, yaitu keluarga marga pihak istri. Relasinya disebut somba marhula-hula yang berarti
harus hormat kepada keluarga pihak istri. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Pihak hula-hula memberikan kain ulos kepada pihak boru sebagai simbol kasih.
Boru adalah saudara perempuan dari hula-hula. http:tgs.lumbantoruan.net?p=13 diakses pada 15 juli 2014 pukul 14.30
Universitas Sumatera Utara
18
digunakan Datu
4
Pada saat itulah Tunggal Panaluannya membisikan apa yang harus dilakukan. Tidak hanya Tunggal Panaluan, dalam praktek ritualnya Datu juga memerlukan benda-
benda lainnya seperti Buku Najum atau lazim disebut dengan Pustaha Lahlak untuk pemanggilan hujan. Penulis berfikir bagaimana benda yang sakral
dapat diperjualbelikan. Walaupun penulis tahu itu hanya replika tetapi pasti ada proses dari benda sakral menjadi benda profan. Dari sinilah, awal penulis ingin meneliti
mengenai cara pelaku kebudayaan pengukir merubah kebudayaannya. Komodifikasi ukir Batak yang menjadi kajian penulis yakni Tunggal Panaluan,
Naga Marsarang, Pukkur Unte, Gorga dan lainnya sebagai kebudayaan materil. Misalnya Tunggal Panaluan merupakan tongkat mistis orang Batak yang dibuat dan
digunakan oleh Datu. Menurut Rassers 2008:84 Tunggal Panaluan digunakan untuk kepentingan anggota masyarakat dan biasanya dipakai dalam ritual tertentu seperti
pengobatan. Dalam ritualnya seorang Datu menyediakan berbagai sesaji kepada Tunggal Panaluan dengan diiringi musik Gondang sang Datu dan tongkatnya menari bersama.
5
Dewasa ini benda-benda budaya tersebut telah dikomodifikasi semenarik mungkin agar bernilai jual tinggi. Benda-benda tersebut kini bisa dapat dengan mudah
kita temui di daerah destinasi wisata yang ada di Samosir. Benda-benda yang dahulunya dan
berbagai wadah untuk menyimpan ramuan gaibnya seperti Naga Marsarang dan Buli- buli. Tetapi tetap saja Tunggal Panaluan menjadi simbol yang paling penting dalam
ritual tersebut.
4
Datu adalah orang yang memiliki kekuatan untuk mengobati dan ahli mantraguna.
5
Dibeberapa tempat atau daerah menyebitkan Buku Najum sebagai Pustaha Lahlak atau Lahlak Batak.
Universitas Sumatera Utara
19
hanya digunakan dalam ritual oleh Datu, kini dijadikan sebagai cenderamata. Ole-ole khas sebagai pertanda bahwa wisatawan benar-benar telah mengunjungi Samosir .
Apa yang terjadi diatas merupakan komodifikasi kebudayaan, dimana kebudayaan diubah baik sebagian atau seluruhnya menjadi sebuah komoditi yang memiliki nilai
ekonomis. Komodifikasi membuat pelaku kebudayaan memandang kebudayaan atau tradisi tidak lagi dilihat dari aspek sentimental bersifat menyentuh perasaan tetapi pada
nilai ekonomi. Merubah sesuatu yang dahulunya dianggap sakral dan kini lebih bersifat profan. Ketika dikomodifikasi makna dan fungsi dari sebuah benda akan menjadi
berbeda. Mengapa ini terjadi, Apa yang membuat pelaku kebudayaan merubah kebudayaannya, dan bagaimana proses terjadinya komodifikasi pada ukir Batak. Hal
itulah yang penulis coba untuk mengungkapkannya melalui penelitian ini.
1.2 Tinjauan Pustaka