Komodifikasi Replika Benda Batak di Tuktuk Siadong

91 mereka. Meskipun banyak fakta membuktikan wisatawan Barat lebih tertarik dengan benda-benda antik, tetapi tidak sedikit juga dari mereka menginginkan benda-benda budaya yang lebih masa kini. Bentuk yang tidak lagi abstrak tetapi masih bernuansa etnik.

4.2 Komodifikasi Replika Benda Batak di Tuktuk Siadong

Di Samosir sendiri khususnya di Kelurahan Tuktuk Siadong yang menjadi lokasi penelitian, komodifikasi ukiran atau replika benda budaya Batak sudah menjadi salah satu penggerak perekonomian warga setempat. Selain menjual pemandangan indah, Tuktuk Siadong juga menjual wisata budaya seperti pertunjukkan tarian Batak sampai kehidupan masyarakat Batak. kemudian para wisatawan dapat melihat benda-benda ukiran Batak yang diukir langsung oleh pengukir. Benda-benda ukiran tersebut dijajahkan disejumlah kios-kios, misalnya: Star Batak Art Shop, Central Handicraft, Artia Art and Craft Shop, Parpulo Batak Art dan lain sebagainya. Ukiran Batak yang biasanya dijual antara lain: Tunggal Panaluan, Sahan, Tabu- tabu, Dompet Raja, Sondi dan lain sebagainya. Benda-benda itu semua telah banyak mendapat sentuhan modifikasi dari bentuk aslinya. Mulai dari disain ukiran yang semakin rumit, ukuran yang disesuaikan dengan permintaan hingga pewarnaan yang telah menggunakan cat. Semua dilakukan hanya untuk membuat benda-benda tersebut lebih menarik wisatawan yang berkunjung. Seperti yang dikatakan seorang pengukir yakni Benny Silalahi bahwa ukiran yang ada sekarang telah banyak dimodifikasi dari bentuk awalnya. Seperti membuat ukirannya Universitas Sumatera Utara 92 lebih hidup dengan cara mempertegas bentuk ukiran dari bentuk awalnya. Contohnya pada Tunggal Panaluan, dimana patung-patung yang ada dibuat lebih nyata. Cara yang pengukir lakukan dengan memisahkan tangan atau bagian kaki yang sebelumnya menempel pada bagian badan. Tidak hanya itu penambah ornamen-ornamen baru pun dilakukan demi memperindah ukiran. Ukiran yang ada sekarang tidak hanya dibuat lebih nyata, tetapi ada juga yang dibuat menjadi sebuah miniatur. Miniatur yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi gantungan kunci ataupun kalung. Dari segi pewarnaan, ukiran dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Benda-benda budaya Batak dahulunya berwarna coklat kehitaman, ini dikarena benda tersebut yang diletakan didalam rumah terlalu sering terkena Timus asap dari aktivitas memasak di dapur. Untuk membuat warna ukiran mirip dengan aslinya, pengukir yang ada di daerah Tuktuk Siadong memiliki cara yakni dengan merendam ukiran yang telah jadi ke dalam lumpur selama beberapa hari. Tidak hanya itu, sekarang pengukir yang ada sudah lebih sering menggunakan semir sepatu untuk menghasilkan warna yang diinginkan. Warna-warna coklat kehitaman yang membuat ukiran terlihat lebih antik. Dahulu orang Batak melakukan pewarnaan menggunakan bahan alami yang terdapat dari sekitar rumah. Warna yang terdapat pada ukiran pun terbatas pada tiga warna yakni putih, merah dan hitam. Ketiga warna ini memiliki arti tersendiri bagi orang Batak terkait dengan filosofi penciptaan bumi. Dimana warna putih berarti Banua Ginjang, merah berarti Banua Tonga, sedangkan hitam berarti Banua Toru. Sehingga Universitas Sumatera Utara 93 memang pada jaman dahulu warna yang ditemukan di daerah Batak hanya ketiga warna tersebut. Warna-warna inipun didapat dari berbagai jenis tumbuhan, batu, tanah dan lumpur yang telah diolah sedemikian rupa. Akan tetapi saat ini, pewarnaan yang dipakai sudah banyak menggunakan cat konvensional. Foto 23 Sumber: Foto Candra Sinabutar, 2014. Pewarnaan Gaja Doppak. Pengukir selalu berusaha melakukan inovasi untuk menarik perhatian wisatawan hingga akhirnya melakukan pembelian. Perubahan-perubahan yang dilakukan antara lain mengubah bentuk, ukuran serta warna ukiran dengan alasan agar lebih efektif dan efisien Universitas Sumatera Utara 94 jika dibawa ke negara asal wisatawan. Misalnya seperti yang telah disebutkan penulis, dimana saat ini Tunggal Panaluan telah tersedia dalam bentuk bongkar pasang. Tongkat yang biasanya memiliki panjang 1,5 meter hingga 2 meter ini kini dapat dibongkar menjadi tiga bagian demi kenyamanan pembeli. Dalam perjalanannya komodifikasi ukir Batak tergantung pada selera pasar, acap kali wisatawan asing datang dan membawa gambar benda-benda budaya Batak yang mereka inginkan. Contoh kasus yang terjadi yakni ketika seorang wisatawan asing berkunjung ke kios Benny dan mencari replika Singa-singa dalam bentuk gantungan kunci. Wisatawan tersebut bertanya apakah beliau memiliki gantungan kunci yang bernuansa Batak dan mengeluarkan contoh yang dia punya. Tetapi Benny hanya tersenyum dan mengatakan dia tidak memilikinya. Keesokan harinya penulis bisa melihat dengan gamblang mendapatkan setumpuk gatungan kunci yang dimaksudkan wisatawan tersebut terletak di atas meja. Dalam hal ini terlihat bagaimana pasar berperan vital mempengaruhi pengukir menyediakan barang yang dibutuhkan mereka. Wisatawan pada dasarnya membutuhkan sesuatu sebagai bukti dari perjalan yang sudah dilaluinya. Benda-benda materil seperti ukiran dianggap mewakili kebudayaan Batak itu sendiri. Akan tetapi tidak semua pengukir dengan senang hati mengubah bentuk replika benda budaya Batak. Ada semacam ketakutan yang mendalam yang dirasakan. Ketakutan ini adaah semacam penghormatan yang dilakukan sehingga tidak mengubah benda-benda budaya dengan berlebihan. Universitas Sumatera Utara 95 “Saya takut mengubah benda-benda budaya ini terlalu jauh, sehingga saya hanya menambahkan ornamen-ornamen Gorga dan memperjelas bentuk ukirannya. Saya merasa agak ngeri untuk mengubah secara keseluruhan”. Tutur Eston Tamba 46 tahun, dalam wawancara. Ketakutan para pengukir dikalahkan oleh keadaan ekonomi. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anak mereka, para pengukir melakukan inovasi. Inovasi yang pengukir lakukan didapatkan dari beberbagai media, seperti: televisi, majalah dan buku-buku yang sengaja dibawa para wisatawan. Terkadang para pengukir yang sama sekali belum pernah melihat benda budaya dalam bentuk yang asli, ketika membaca dan melihat gambar dalam buku akan terinspirasi dan membuat bendanya. Kemudian mereka melakukan sedikit perubahan demi mendapatkan bentuk yang lebih baik. Para pengukir bahkan berimajinasi dengan menambahkan ornamen- ornamen kebatakan agar benda yang dihasilkan seolah-olah benar-benar ada dan dimiliki oleh orang Batak Cassey, Andrew 2006. Televisi, majalah dan buku-buku merupakan media atau sebuah sumber daya yang terbuka bagi semua masyarakat menuju pertumbuhan ekonomi. Dari media ini, yang pengaruhnya paling besar terdapat pada televisi, dimana melalui televisi orang dengan mudah mengimajinasikan dan mempersepsikan dunia untuk mampu merekonstruksikan kehidupan budayanya. Berbagai media tersebut merupakan sesuatu yang ditawarkan oleh kapitalisme. Misalnya televisi: melalui televisi para kapitalis menawarkan berbagai jenis dan perbedaan kebudayaan yang dapat dengan mudah ditirukan oleh masyarakat yang melihatnya. Kesenian orang Papua dapat dilihat orang Universitas Sumatera Utara 96 Batak, kemudian kedua suku tersebut saling meminjam ide sehingga mampu menciptakan benda baru akan tetapi bernuansa budaya masing-masing. Pengukir juga terus melakukan inovasi difasilitasi oleh keberadaan media yang mengusung berbagai macam produk. Produk-produk yang penulis maksud adalah penggunaan berbagai alat untuk mengukir. Hal ini terlihat dari beberapa hasil wawancara dengan pengukir, dimana para pengukir sangat menyukai ukiran pengukir Jepara yang ukirannya sangat rapi dan halus, tidak seperti yang dihasilkan oleh para pengukir di tanah Batak. Ada pola pikir dari pengukir menganggap ukiran dari Jepara lebih baik dari ukiran Batak. Seperti yang dikatakan Benny Silalahi bahwa pengukir Jepara seratus tahun lebih maju dibandingkan pengukir Batak dalam pengetahuan dan teknik mengukir. Sebelumnya beberapa pengukir yang ada di Tuktuk Siadong pernah melakukan studi banding yang digagas oleh Pemkab ke Jepara, melihat bagaimana teknik pengerjaan ukiran di sana. Hasil ukiran Jepara jauh lebih baik dari segi kerapian dan kehalusan ukiran. Menurut Benny, beliau tidak akan mampu mengerjakan seperti yang dibuat oleh pengukir Jepara. Bahkan mereka mampu membuat patung Yesus jauh lebih baik dari pada pengukir di Tuktuk Siadong walaupun mereka bukan kristen. Salah satu penyebab ukiran Jepara baik secara kerapian dan kehalusan adalah penggunaan alat-alat yang lebih modern. Tidak seperti pengukir Batak yang pada dasarnya hanya menggunakan pisau untuk mengukir dan hasil yang didapat tidak terlalu halus dan rapi. Guna untuk mengejar ketertinggalan itu dewasa ini, pengukir Batak sudah Universitas Sumatera Utara 97 mengkombinasi alat yang digunakan untuk mengukir seperti pahat yang langsung didatangkan dari Jepara. Menurut mereka penggunaan pahat sangat membantu mereka memperoleh hasil yang lebih baik dan waktu pengerjaan lebih cepat. Ada yang harus dicatat bahwa penggunaan alat ukir baru seperti pahat merupakan sistem yang sengaja dibuat oleh kapitalis. Dimana kapitalis membuat atau berupaya membuat alat-alat ukir baru menjadi sebuah kebutuhan. Pada kasus ini pemerintah lokal menjadi media bagi kapitalis menjalankan apa yang mereka inginkan. Hal ini dapat dilihat dari studi banding yang dilaksanakan oleh pemerintah lokal untuk memperkenalkan teknik dan cara pembuatan ukiran di tempat lain. Selanjutnya mereka diperlihatkan bagaimana ukiran yang baik dan menghasilkan pendapatan bagi para pengukir itu sendiri. Setelahnya para pengukir dari tanah Batak yang melakukan studi banding tersebut akan berusaha mendapatkan peralatan yang digunakan oleh pengukir Jepara. Terlihat jelas bagaimana kapitalis membuat alat ukir pahat menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi guna mendapatkan hasil yang baik nantinya. Dibalik semua ini ada hal yang dilupakan oleh pengukir Batak, mereka lupa setiap daerah memiliki kekhasan dan ciri tertentu pada ukirannya. Seperti seni ukir Asmat dari segi bentuk jauh lebih sederhana karena penggunaan kapak dari batu dan pahat dari tulang burung kaswari untuk membuat ukiran. Pewarnaan yang menggunakan bahan dari alam yakni arang, kapur putih dan kapur merah. Untuk pengukir Batak sendiri seharusnya bangga dan mempertahankan penggunaan pisau untuk mengukir. Ini yang menjadi ciri khas ukiran Batak dan membedakannya dengan ukiran lain. Universitas Sumatera Utara 98 Berbicara mengenai komodifikasi memang tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme yang mana komodifikasi sendiri merupakan perpanjangan dari sistem kapitalis. Sistem kapitalis pada intinya menjual apa saja demi mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini budaya menjadi produk yang akan dijual kapitalis dan lebih rincinya dalam bentuk benda-benda budaya. Bila menilik lebih jauh sebenarnya manusia mengkonsumsi suatu barang karena menjadi sebuah kebutuhan. Tetapi tidak dalam hal ini, replika benda budaya Batak yang diperjualbelikan bukan sebuah kebutuhan pokok yang wajib dimiliki. Hanya saja saat ini mengkonsumsi barang merupakan penanda identitas Douglas Isheword, 1980 yang didasari oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi 15 “Saya membeli barang-barang ini bukan karena perlu kali, tapi biar ada ole-ole yang ku bawa untuk kawan-kawan. Kalau ku belikan baju atau kain- Goffmen, 1951. Cara-cara masyarakat menggunakan barang merupakan cara mereka membangun batas sosial. Seperti yang dikatakan Irwan Abdullah 2006, 32-36 mengkonsumsi suatu barang merupakan bukti dari kehadiran seseorang dalam perjalanan kesuatu tempat. Karena tidak semua orang bisa melakukan perjalanan ke daerah tertentu, maka mengkonsumsi barang juga menjadi pembeda kelas sosial. Mereka yang mengkonsumsi barang-barang akan memberikan imagecitra eksklusif yang membedakannya dengan orang lain. Dengan kata lain mengkonsumsi barang-barang tersebut sudah masuk atau menjadi gaya hidup. 15 Maksudnya adalah sebuah benda dapat menunjukan atau berbicara mengenai status dan kedudukan seseorang. Contohnya ketika seorang mengenakan jas akan berbeda dengan orang yang mengenakan kaos oblong. Jelas saja yang mengenakan jas adalah seorang dari kalangan atas. Orang dengan jas tidak perlu membicarakannya, tetapi jas tersebut memiliki kekuatan untuk menunjukan jati diri yang mengenakannya. Universitas Sumatera Utara 99 kain yang bukan khas, bisa aja kawanku nganggap baju itu ku beli dari Medan. Tapi kalo langsung ukiran kekgini sambil menunjukkan benda yang dibelinya, adanya cuma di Tuktuk. Jadi kawanku tahu aku baru dari Tuktuk ini, istilahnya aku agak pamer gitu dek” Grace 29 Tahun. Gaya hidup sendiri merupakan wakil dari modernitas yang dibangun dengan pembentukan kebudayaan konsumen oleh agen kapitalis. Disini terlihat jelas bagaimana kapitalis menjadikan gaya hidup menjadi sebuah kebutuhan. Dengan mengkonsumsi suatu barang tertentu seperti dalam hal mengkonsumsi replikan benda budaya yang memperlihatkan proses simbolis ketimbang nilai guna. Bagi orang Bataknya sendiri, mengkonsumsi atau memiliki ukiran atau replika benda budaya Batak merupakan cara mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis dalam batas sosial yang semakin mengabur. Orang Batak pada dewasa ini telah banyak mendapat nilai-nilai atau budaya baru terutama bagi mereka yang telah keluar dari daerah asalnya. Appadurai dan Hannerz Abdullah, 2006 telah menegaskan bahwa keberadaan seseorang dalam lingkungan tertentu disatu pihak mengharuskan penyesuaian diri yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian sistem yang lebih luas. Dilain pihak, identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayaan asal cendrung menjadi pedoman dalam kehidupan di tempat baru. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mereka mempertahankan niai-nilai budaya asalnya. Salah satunya yakni dengan mengkonsumsi dan memiliki replika benda budaya. Komodifikasi merupakan proses perubahan sesuatu menjadi komoditi yang lebih komersial. Komodifikasi terjadi juga pada salah satu kebudayaan Batak khususnya Universitas Sumatera Utara 100 kebudayaan materi Batak. Keadaan seperti ini akan berdampak positif dan negatif. Pertama sudah barang tentu ini mengakibatkan peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Dimana benda budaya yang telah dimodifikasi sedemikian rupa akan menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini. Tidak hanya itu, komodifikasi ukir Batak secara sadar atau tidak sadar ikut serta dalam melestarikan kebudayaan Batak. Pengukir yang memodifikasi benda budaya sedemikian rupa agar menarik perhatian orang, secara tidak langsung ikut mempertahankan budaya Batak itu sendiri. Ini terkait dengan ketika suatu kebudayan yang tidak ditinggalkan pelaku kebudayaan dengan berbagai alasan maka kebudayaan itu akan terus dapat diihat, dirasakan dan dinikmati oleh seluruh generasi berikutnya. Di sisi lain bila tidak teliti komodifikasi juga berdampak buruk. Benda budaya yang selalu mendapat perubahan bentuk tanpa ada kontrol, lambat laun akan kehilangan bentuk aslinya. Ditambah lagi makna dan sakralitas suatu kebudayaan secara tidak sadar akan menghilang. Sehingga memang diperlukan inventarisasi bentuk dari benda-benda ukir Batak dari benda berbentuk sederhana sampai pada benda yang berbentuk semakin kompleks.

4.3 Benda Budaya Batak Bagi Wisatawan