MENGAPA SESEORANG MEMASUKI SANG JALAN?

1. MENGAPA SESEORANG MEMASUKI SANG JALAN?

(1) Anak Panah Kelahiran, Penuaan, dan Kematian

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Māluṅkyāputta sedang sendirian dalam meditasi, pemikiran berikut ini muncul dalam pikirannya: “Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā, dikesampingkan dan ditolak oleh Beliau, yaitu: ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’; ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’; ‘jiwa adalah sama dengan badan’ dan ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’; dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian.’ 143 Sang Bhagavā tidak menyatakan hal- hal ini kepadaku, dan aku tidak menyetujui serta menerima fakta bahwa Beliau tidak menyatakan ini kepadaku, maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepadanya makna dari hal ini. Jika Beliau menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’ … atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Beliau; jika Beliau tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan yang lebih rendah.”

3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Māluṅkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah 3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Māluṅkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam meditasi, pemikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Pandangan- pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā…. jika Beliau tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan yang lebih rendah.’ Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah abadi’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi.’ Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka adalah suatu keterusterangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’

“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ … Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka adalah suatu keterus-terangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’”

4. “Bagaimanakah, Māluṅkyāputta, pernahkah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Mālunkyāputta, jalanilah kehidupan suci di bawahKu dan Aku akan menyatakan kepadamu “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Pernahkah engkau mengatakan kepadaKu: ‘Aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā akan menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Kalau begitu, orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,”’ Hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang khattiya atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’ Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau cokelat atau keemasan;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa;… hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku 5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,”’ Hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang khattiya atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’ Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau cokelat atau keemasan;… hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa;… hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Māluṅkyāputta, jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,”’ hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati.

6. “Māluṅkyāputta, jika ada pandangan ‘dunia adalah abadi,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani. Apakah pandangan ‘dunia adalah abadi’ atau pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’ ada atau tidak ada, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tetap ada, yang mana hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani…. Jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani. Apakah ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tetap ada, yang mana hancurnya hal- hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

7. “Oleh karena itu, Mālunkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan. Dan apakah yang Kubiarkan tidak dinyatakan? ‘Dunia adalah abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Jiwa adalah sama dengan badan’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ’Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan.

8. “Mengapakah Aku membiarkannya tidak dinyatakan? Karena tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebebasan dari nafsu, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku membiarkan tidak dinyatakan.

9. “Dan apakah yang telah Kunyatakan? ‘Ini adalah penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan.

10. “Mengapakah Aku menyatakannya? Karena bermanfaat, menjadi bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya.

“Oleh karena itu, Māluṅkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Māluṅkyāputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. 144

(MN 63: Cūḷamāluṅkya Sutta; I 426-32)

(2) Inti Kayu Kehidupan Spiritual

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama 1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu

3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula dengan bhikkhu yang menjadi mabuk akan pencapaian moral. di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi…. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak 4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi…. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula bhikkhu yang menjadi mabuk pada pencapaian konsentrasi. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah 5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula bhikkhu yang menjadi mabuk pada pengetahuan dan “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula bhikkhu yang menjadi mabuk pada pengetahuan dan

6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi…. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi…. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi, tetapi tujuannya belum terpenuhi .... Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus- menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan terus-menerus itu. 147

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak,

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan batin yang tak tergoyahkan, yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.” 148

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 29: Mahāsāropama Sutta; I 192-97)

(3) Meluruhnya Nafsu

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Untuk tujuan apakah, sahabat-sahabat, maka kehidupan spiritual dijalankan di bawah Petapa Gotama?’ – ditanya demikian, kalian harus menjawab: ‘Adalah, sahabat-sahabat, untuk Meluruhnya nafsu 149 maka kehidupan spiritual ini dijalankan di bawah Sang Bhagavā.’

“Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Tetapi, sahabat-sahabat, adakah jalan, “Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Tetapi, sahabat-sahabat, adakah jalan,

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan itu, apakah cara untuk peluruhan nafsu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk peluruhan nafsu.

“Ditanya demikian, para bhikkhu, kalian harus menjawab para pengembara itu seperti itu. “[Atau kalian juga dapat menjawab mereka:] ‘Adalah, sahabat- sahabat, untuk meninggalkan belenggu-belenggu … untuk mencabut kecenderungan-kecenderungan tersembunyi … untuk memahami sepenuhnya perjalanan [saṃsāra] … demi hancurnya noda-noda … untuk mencapai buah pengetahuan dan kebebasan sejati … demi pengetahuan dan penglihatan … untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan maka kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagaavā.’

“Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Tetapi, sahabat-sahabat, adakah jalan, adakah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ – ditanya demikian, kalian harus menjawab: ‘Ada jalan, sahabat- sahabat, ada cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.’

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan itu, apakah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.

“Ditanya demikian, para bhikkhu, kalian harus menjawab para pengembara itu seperti itu.”

(SN 45:41-48, digabungkan; V 27-29)