ENAM PERENUNGAN

7. ENAM PERENUNGAN

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kapilavatthu di Vihara pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: 179

“Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang siswa mulia sering berdiam ketika ia telah sampai pada buah dan memahami ajaran?” 180

“Ketika, Mahānāma, seorang siswa mulia telah sampai pada buah dan memahami ajaran, ia sering berdiam dengan cara sebagai berikut. Di sini, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh Sang Jalan, pengenal segenap alam, pemimpin yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Terberkahi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan Sang Tathāgata sebagai objeknya. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi pada makna, inspirasi pada Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, maka sukacita muncul; pada seseorang yang terangkat oleh sukacita, jasmaninya menjadi tenang; seseorang yang jasmaninya tenang merasakan kebahagiaan; seorang yang pikirannya berbahagia maka pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Sang Buddha.

“Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, layak diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan

Dhamma sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Dhamma.

“Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang seharusnya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan Saṅgha sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Saṅgha.

“Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak koyak, tanpa noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan moralitas sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak koyak, tanpa noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan moralitas sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak

“Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Adalah keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa dalam suatu populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran ini, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, bermurah hati, bertangan terbuka, gembira dalam pelepasan, seorang yang mengabdi pada kedermawanan, gembira dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan kedermawanan sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah- tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada kedermawanan.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia mengembangkan perenungan pada para deva sebagai berikut: ‘Ada para deva dalam berbagai alam surga. 181 Terdapat dalam diriku keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu yang dengannya, ketika mereka meninggal dunia dari dunia ini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan para deva sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam “Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia mengembangkan perenungan pada para deva sebagai berikut: ‘Ada para deva dalam berbagai alam surga. 181 Terdapat dalam diriku keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu yang dengannya, ketika mereka meninggal dunia dari dunia ini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pikirannya lurus, dengan para deva sebagai objeknya.... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam

“Seorang siswa mulia, Mahānāma, yang telah sampai pada buah dan memahami ajaran sering kali berdiam dalam cara ini.”

(AN 6:10; III 284-88)