PERHATIAN PADA PERNAFASAN
9. PERHATIAN PADA PERNAFASAN
Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Yang Mulia, adakah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal? Dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Yang Mulia, adakah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal? Dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh
“Ada, Ānanda, satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal; dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh hal; dan tujuh hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi dua hal.”
“Tetapi, Yang Mulia, apakah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal; dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh hal; dan tujuh hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi dua hal?”
“Konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan, Ānanda, adalah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat penegakan perhatian. Empat penegakan perhatian, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan. Tujuh faktor pencerahan, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan sejati dan kebebasan.
[i. Memenuhi empat penegakan perhatian] “Bagaimanakah, Ānanda, konsentrasi dengan perhatian pada
pernafasan dikembangkan dan dilatih agar memenuhi empat penegakan perhatian? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, duduk. 211 Setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan pernafasan dikembangkan dan dilatih agar memenuhi empat penegakan perhatian? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, duduk. 211 Setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan
“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan mengembuskan nafas’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami bentukan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami bentukan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ 212
“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai
“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan menarik nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas.’ 214
“Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu, ketika menarik nafas panjang, mengetahui: ‘Aku menarik nafas panjang’ … [seperti di atas] … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan jasmani, aku akan mengembuskan nafas’ – pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Karena alasan apakah? Aku menyebut ini sebagai satu jenis tubuh tertentu, Ānanda, yaitu nafas-masuk dan nafas-keluar. Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.
“Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan menarik nafas’ … ketika ia “Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan menarik nafas’ … ketika ia
“Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan mengembuskan nafas’ – pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Karena alasan apakah? Aku katakan, Ānanda, bahwa tidak ada pengembangan konsentrasi melalui perhatian pada pernafasan bagi seseorang yang kacau dan tidak memiliki pemahaman jernih. Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.
“Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas’ – pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena- “Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas’ – pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-
“Ānanda, ketika konsentrasi melalui perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini maka konsentrasi ini memenuhi empat penegakan perhatian.
[ii. Memenuhi tujuh faktor pencerahan] “Dan bagaimanakah, Ānanda, empat landasan perhatian
dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tujuh faktor pencerahan?
“Ānanda, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, pada saat itu perhatian yang tidak kacau terbentuk dalam diri bhikkhu itu. Ketika, Ānanda, perhatian yang tidak kacau itu telah terbentuk dalam diri bhikkhu itu, maka pada saat itu faktor pencerahan perhatian dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan perhatian; pada saat itu faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu. 217
“Berdiam dengan penuh perhatian, dengan kebijaksanaan ia membedakan fenomena, memeriksanya, menyelidikinya. Kapan pun, Ānanda, seorang bhikhu berdiam demikian dengan penuh perhatian dan kebijaksanaan membedakan fenomena, memeriksanya, “Berdiam dengan penuh perhatian, dengan kebijaksanaan ia membedakan fenomena, memeriksanya, menyelidikinya. Kapan pun, Ānanda, seorang bhikhu berdiam demikian dengan penuh perhatian dan kebijaksanaan membedakan fenomena, memeriksanya,
“Sewaktu ia dengan kebijaksanaan membedakan fenomena- fenomena itu, memeriksanya, menyelidikinya, kegigihannya dibangkitkan tanpa mengendur. Kapan pun, Ānanda, kegigihan seorang bhikkhu dibangkitkan tanpa mengendur ketika ia dengan kebijaksanaan membedakan fenomena-fenomena, memeriksanya, menyelidikinya, maka pada saat itu faktor pencerahan kegigihan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan kegigihan; pada saat itu faktor pencerahan kegigihan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
“Ketika kegigihannya bangkit, maka muncullah dalam dirinya sukacita spiritual. Kapan pun, Ānanda, sukacita spiritual muncul dalam diri seorang bhikkhu yang kegigihannya bangkit, maka pada saat itu faktor pencerahan sukacita dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan sukacita; pada saat itu faktor pencerahan sukacita terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
“Bagi seseorang yang pikirannya terangkat oleh sukacita, jasmaninya menjadi tenang dan pikirannya menjadi tenang. Kapan pun, Ānanda, jasmani menjadi tenang dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang pikirannya terangkat oleh sukacita, maka pada saat itu faktor pencerahan ketenangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor “Bagi seseorang yang pikirannya terangkat oleh sukacita, jasmaninya menjadi tenang dan pikirannya menjadi tenang. Kapan pun, Ānanda, jasmani menjadi tenang dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang pikirannya terangkat oleh sukacita, maka pada saat itu faktor pencerahan ketenangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor
“Bagi seseorang yang jasmaninya tenang dan yang bahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kapan pun, Ānanda, pikiran menjadi terkonsentrasi dalam diri seorang bhikkhu yang jasmaninya tenang dan yang bahagia, maka pada saat itu faktor pencerahan konsentrasi dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi; pada saat itu faktor pencerahan konsentrasi terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
“Ia menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapan pun, Ānanda, seorang bhikkhu menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian, maka pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan; pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
“Ānanda, kapan pun, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan … pikiran di dalam pikiran … fenomena di dalam fenomena, pada saat itu perhatian yang tidak kacau terbentuk dalam diri bhikkhu itu. Kapan pun, Ānanda, perhatian yang tidak kacau telah terbentuk dalam diri seorang bhikkhu itu, maka pada saat itu faktor pencerahan perhatian dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan perhatian; pada saat itu faktor pencerahan perhatian mengalami pemenuhan melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
(Semuanya harus dijelaskan seperti dalam kasus penegakan perhatian yang pertama.) “Ia menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapan pun, Ānanda, seorang bhikkhu menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian, maka pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan; pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.
“Adalah, Ānanda, ketika empat penegakan perhatian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini maka empat penegakan itu memenuhi tujuh faktor pencerahan.
[iii. Memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati] “Bagaimanakah, Ānanda, tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan
dilatih sehingga memenuhi pengetahuan sejati dan kebebasan? “Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan.
“Adalah, Ānanda, ketika tujuh faktor pencerahan ini dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka faktor-faktor ini memenuhi pengetahuan sejati dan kebebasan.”
(SN 54: 13; V 328-33 ≠ MN 118.15-43; III 82-88)