KESENGSARAAN KEHIDUPAN TANPA PERENUNGAN

2. KESENGSARAAN KEHIDUPAN TANPA PERENUNGAN

(1) Anak Panah Perasaan Menyakitkan

“Para bhikkhu, ketika kaum duniawi yang tidak terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia berdukacita, bersedih, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ia merasakan dua perasaan – perasaan jasmani dan perasaan batin. Misalkan mereka menembak seseorang dengan sebatang anak panah, dan kemudian menembaknya lagi dengan anak panah ke dua, sehingga orang itu merasakan perasaan yang ditimbulkan oleh dua batang anak panah. Demikian pula, ketika kaum duniawi yang tidak “Para bhikkhu, ketika kaum duniawi yang tidak terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia berdukacita, bersedih, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ia merasakan dua perasaan – perasaan jasmani dan perasaan batin. Misalkan mereka menembak seseorang dengan sebatang anak panah, dan kemudian menembaknya lagi dengan anak panah ke dua, sehingga orang itu merasakan perasaan yang ditimbulkan oleh dua batang anak panah. Demikian pula, ketika kaum duniawi yang tidak

“Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan yang sama ini, ia memendam penolakan terhadap perasaan itu. Ketika ia memendam penolakan terhadap perasaan menyakitkan itu, kecenderungan tersembunyi pada penolakan terhadap perasaan menyakitkan

bersembunyi di balik ini. 15 Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan, ia mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria. Karena alasan apakah? Karena kaum duniawi yang tidak terlatih tidak mengetahui jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan

selain dari kenikmatan indria. 16 Ketika ia mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria, kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan bersembunyi di balik ini. Ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan-

perasaan ini. 17 Jika ia tidak memahami hal-hal ini, maka kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan bersembunyi di balik ini.

“Jika ia merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia merasakannya dengan terikat. Jika ia merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia merasakannya dengan terikat. Jika ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan terikat. Ini, para bhikkhu, disebut seorang kaum duniawi yang tidak terlatih yang terikat pada kelahiran, penuaan, dan kematian; yang terikat pada dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputusasaan; yang terikat pada penderitaan, Aku katakan.

“Para bhikkhu, ketika siswa mulia yang terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap; ia tidak menangis dengan memukul dada atau menjadi putus

asa. 18 Ia merasakan satu perasaan – perasaan jasmani, bukan perasaan batin. Misalkan mereka menembak seseorang dengan sebatang anak panah, tetapi mereka tidak menembaknya lagi dengan anak panah ke dua, sehingga orang itu hanya merasakan perasaan yang ditimbulkan oleh hanya satu batang anak panah saja. Demikian pula, ketika siswa mulia yang terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia hanya merasakan satu perasaan – perasaan jasmani, dan bukan perasaan batin.

“Sewaktu merasakan perasaan menyakitkan yang sama itu, ia tidak memendam penolakan terhadap perasaan itu. Karena ia tidak memendam penolakan terhadap perasaan menyakitkan, maka kecenderungan tersembunyi pada penolakan terhadap perasaan menyakitkan tidak bersembunyi di baliknya. Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria. Karena alasan apakah? Karena siswa mulia yang terlatih mengetahui jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan selain dari kenikmatan indria. Karena ia tidak mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan tidak bersembunyi di baliknya. Ia memahami sebagaimana adanya asal- mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan-perasaan ini. Karena ia memahami hal- hal ini, maka kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan- menyenangkan tidak bersembunyi di balik ini.

“Jika ia merasakan perasaan menyenangkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Jika ia merasakan perasaan menyakitkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Jika ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Ini, para bhikkhu, disebut seorang siswa mulia yang terlepas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; yang terlepas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputusasaan; yang terlepas dari penderitaan, Aku katakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah, perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih.”

(SN 36:6; IV 207-10)

(2) Perubahan dalam Kehidupan

“Para bhikkhu, delapan kondisi duniawi ini menjaga dunia tetap berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini. Apakah delapan ini? Untung dan rugi, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan.

“Para bhikkhu, delapan kondisi duniawi ini dialami oleh kaum duniawi yang tidak terlatih, dan juga dialami oleh siswa mulia yang terlatih. Sekarang apakah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Para bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan menjelaskan.” “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, ketika seorang kaum duniawi yang tidak terlatih, memperoleh keuntungan, ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Keuntungan yang kuperoleh ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Ia tidak mengetahui sebagaimana adanya. Dan ketika ia mengalami kerugian, kemashyuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Semua ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Ia tidak mengetahui sebagaimana adanya. Bagi orang demikian, keuntungan dan kerugian, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan senantiasa memenuhi pikirannya. Ketika keuntungan datang ia gembira dan ketika ia mengalami kerugian ia kecewa. Ketika kemasyhuran datang ia gembira dan ketika ia mengalami reputasi buruk ia kecewa. Ketika pujian datang ia gembira dan ketika ia mengalami celaan ia kecewa. Ketika ia mengalami kesenangan ia gembira dan ketika ia mengalami kesakitan ia kecewa. Dengan terlibat demikian dalam suka dan tidak suka, ia tidak akan terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputusasaan; ia tidak akan terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang mulia yang terlatih memperoleh keuntungan, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Keuntungan yang kuperoleh ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Dan demikian pula ia akan merenungkan ketika kerugian dan seterusnya mendatanginya. Ia “Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang mulia yang terlatih memperoleh keuntungan, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Keuntungan yang kuperoleh ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Dan demikian pula ia akan merenungkan ketika kerugian dan seterusnya mendatanginya. Ia

“Para bhikkhu, ini adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara seorang siswa mulia yang terlatih dan seorang kaum duniawi yang tidak terlatih.”

(AN 8:6; IV 157-59)

(3) Kekhawatiran Karena Perubahan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang gejolak melalui kemelekatan dan tanpa-gejolak melalui tanpa-kemelekatan. 19 Dengar dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.” “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, munculnya gejolak melalui kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih, yang bukan pengikut para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan pengikut orang-orang yang baik dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk,

atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. 20 Bentuknya itu berubah dan berganti. Dengan perubahan dan atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. 20 Bentuknya itu berubah dan berganti. Dengan perubahan dan

“Ia menganggap perasaan sebagai diri ... persepsi sebagai diri ... bentukan-bentukan kehendak sebagai diri ... kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan berganti. Dengan perubahan dan pergantian kesadaran itu, kesadarannya dipenuhi dengan perubahan kesadaran itu. Gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan kesadaran menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui kemelekatan ia menjadi bergejolak.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, munculnya gejolak melalui kemelekatan. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, tanpa-gejolak melalui tanpa- kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih, yang adalah pengikut para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang adalah pengikut orang-orang yang baik dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di

dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. 21 Bentuknya itu berubah dan berganti. Terlepas dari perubahan dan pergantian bentuk itu, kesadarannya tidak dipenuhi dengan perubahan bentuk itu. Tidak ada gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus- menerus memikirkan perubahan bentuk menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi takut, menderita, dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. 21 Bentuknya itu berubah dan berganti. Terlepas dari perubahan dan pergantian bentuk itu, kesadarannya tidak dipenuhi dengan perubahan bentuk itu. Tidak ada gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus- menerus memikirkan perubahan bentuk menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi takut, menderita,

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri ... persepsi sebagai diri ... bentukan-bentukan kehendak sebagai diri ... kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan berganti. Terlepas dari perubahan dan pergantian kesadaran itu, kesadarannya tidak dipenuhi dengan perubahan kesadaran itu. Tidak ada gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan kesadaran menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui ketidak- melekatan ia tidak menjadi bergejolak.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan.”

(SN 22:7; III 15-18)