BAHAYA DALAM PANDANGAN-PANDANGAN

7. BAHAYA DALAM PANDANGAN-PANDANGAN

(1) Bunga-rampai tentang Pandangan Salah

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat “Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya kualitas-kualitas batin bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas batin bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang, seperti halnya pandangan salah. Pada seseorang yang berpandangan salah, kualitas-kualitas batin bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas- kualitas batin bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk- makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka, seperti halnya pandangan salah. Karena memiliki pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Para bhikkhu, bagi seseorang yang berpandangan salah, perbuatan apapun melalui jasmani, ucapan dan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan kehendak, cita-cita, harapan, dan bentukan-bentukan kehendak apapun yang ia munculkan sesuai dengan pandangan itu, semuanya mengarah menuju apa yang tidak menyenangkan, tidak diinginkan, dan tidak disukai, menuju bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk. Seperti halnya, ketika sebutir benih mimba, pare, atau labu pahit ditanam di dalam tanah yang lembab, tanaman ini akan mengubah nutrisi apapun yang diperoleh dari tanah dan air menjadi buah yang memiliki rasa pahit, getir, dan tidak menyenangkan, demikian pula bagi seseorang yang berpandangan salah. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.”

(AN 1: xvii, 1, 3, 7, 9; I 30-32)

(2) Orang-orang Buta dan Gajah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu sejumlah petapa dan brahmana, para pengembara sekte lain, sedang menetap di sekitar Sāvatthī. Mereka menganut berbagai pandangan, kepercayaan, opini, dan menyebarkan berbagai pandangan. Dan mereka bertengkar, berselisih, bercekcok, saling melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan, dengan mengatakan, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”

Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain buta dan tidak berpenglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan yang berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang merupakan Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, dan karenanya mereka bertengkar dan berselisih.

“Dulu, para bhikkhu, ada seorang raja di Sāvatthī yang memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan semua orang di kota yang buta sejak lahir. Ketika orang itu telah melakukan perintah itu, raja memerintahkan orang itu untuk menunjukkan seekor gajah kepada orang-orang buta itu. Beberapa orang buta itu diarahkan untuk memegang kepala gajah, beberapa memegang telinga, yang lain memegang gading, belalai, badan, kaki, badan bagian belakang, ekor, atau rambut di ujung ekor. Dan kepada masing-masing dari mereka ia berkata, ‘Ini adalah seekor gajah.’

“Ketika ia melaporkan kepada raja tentang apa yang telah ia lakukan, raja mendatangi orang-orang buta itu dan berkata, ‘Katakan padaku, orang-orang buta, seperti apakah gajah itu?’

“Mereka yang ditunjukkan kepala gajah menjawab, ‘Seekor gajah, Baginda, adalah seperti kendi air.’ Mereka yang ditunjukkan bagian telinga menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti penampi.’ Mereka yang ditunjukkan gadingnya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti mata bajak.’ Mereka yang ditunjukkan belalainya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti galah pembajak.’ Mereka yang ditunjukkan bagian badan menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah gudang.’ Dan masing-masing lainnya juga menggambarkan gajah menurut bagian yang ditunjukkan pada mereka.

“Kemudian, dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah bukan seperti itu! Seekor gajah bukan seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka saling berkelahi dengan tinju mereka. Dan raja merasa gembira. Demikian pula, para bhikkhu, para pengembara sekte lain buta dan tidak berpenglihatan, dan dengan demikian mereka menjadi bertengkar, berselisih, bercekcok, saling melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan.”

(Ud 6:4; 67-69)

(3) Dicengkeram oleh Dua Jenis Pandangan

“Para bhikkhu, dicengkeram oleh dua jenis pandangan, beberapa deva dan manusia tertahan di belakang dan beberapa pergi terlalu jauh; hanya mereka yang berpenglihatan yang melihat.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, beberapa tertahan di belakang? Para deva dan manusia bergembira dalam kehidupan, sangat bergembira dalam kehidupan, bersukacita dalam kehidupan. Ketika Dhamma diajarkan kepada mereka demi pelenyapan kehidupan, batin mereka tidak memasukinya, tidak memperoleh keyakinan di dalamnya, kokoh di atasnya, atau bertekad padanya. Demikianlah, para bhikkhu, beberapa tertahan di belakang.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, beberapa pergi terlalu jauh? Beberapa mengalami kesusahan, malu, dan jijik dengan kehidupan yang sama ini dan mereka bergembira dalam ketiadaan kehidupan, dengan mengatakan, ‘Sejauh diri ini, Tuan, musnah dan hancur dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian, ini adalah damai, ini adalah keluhuran, hanya itu!’ Demikianlah, para bhikkhu, beberapa pergi terlalu jauh.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, mereka yang berpenglihatan yang melihat? Di sini, seorang bhikkhu melihat apa telah terjadi sebagai telah terjadi. Setelah melihatnya demikian, ia melatih jalan menuju kekecewaan, menuju kebebasan dari nafsu, menuju lenyapnya apa yang telah terjadi. Demikianlah, para bhikkhu, mereka yang berpenglihatan yang melihat.”

(It 49;43-44)