MENDATANGI DHAMMA
BAB III. MENDATANGI DHAMMA
68 Di antara kriteria yang ia usulkan adalah opini para bijaksana, yang menunjukkan bahwa bukannya menolak opini orang lain, Sang Buddha
justru memasukkan opini jenis orang tertentu di antara patokan untuk menentukan perilaku yang baik. Sutta-sutta lain mengajarkan kepada kita bagaimana kita dapat menilai siapa yang sungguh-sungguh bijaksana; baca Teks III,4 dan Teks III,5.
69 Mp menjelaskan bahwa pemukiman ini berlokasi di pinggir sebuah hutan. Berbagai kelompok pengembara dan petapa akan berhenti di sana untuk
bermalam sebelum memasuki hutan. Selama di sana mereka akan memberikan khotbah kepada para penduduk Kālāma, dan dengan demikian para Kālāma menjadi terpapar oleh berbagai teori filosofis. Konflik antara berbagai pandangan yang berbeda menyebabkan keragu-raguan dan kebingungan pada mereka.
70 Kalimat di atas adalah paragraf umum dalam Nikāya-nikāya.
71 Sepuluh kriteria kebenaran yang tidak cukup ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: (1) Yang pertama terdiri dari empat kriteria pertama,
semua posisi berdasarkan pada tradisi. Di antaranya (1) “tradisi lisan” (anussava) yang merujuk pada tradisi Veda, yang, menurut para brahmana, telah diturunkan oleh dewa pertama dan diwariskan dari generasi ke generasi. (ii) “Turun-temurun” (paramparā) menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus. (iii) “Kabar angin” (atau “berita,” itikirā) dapat berarti opini populer atau konsensus umum. Dan (iv) “kumpulan teks” (piṭakasampadā) merujuk pada teks-teks religius yang dianggap selalu benar. (2) Kelompok ke dua, juga terdiri dari empat kriteria, empat jenis penalaran yang dikenali oleh para pemikir pada masa Sang Buddha; perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini. (3) Kelompok ke tiga, terdiri dari dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: (i) kharisma pribadi si pembabar (mungkin termasuk kualitas eksternalnya, misalnya bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan tinggi, memiliki banyak pengikut, ia dihargai oleh raja, dan sebagainya); dan (ii) status si pembabar sebagai guru seseorang (kata garu dalam Pāli identik dengan guru dalam Sanskrit). Untuk analisis lebih terperinci, baca Jayatilleke, Early Buddhist Theory of Knowledge, pp.175-202,271-75.
72 Keserakahan, kebencian, dan delusi adalah tiga akar tidak bermanfaat. Tujuan dari ajaran Buddha, Nibbāna, didefinisikan sebagai hancurnya
keserakahan (atau nafsu), kebencian, dan delusi. Demikianlah Sang Buddha menuntun para penduduk Kālāma menuju inti ajaranNya.
73 Di sini Sang Buddha memperkenalkan empat alam Brahmā (brahmavihāra): cinta-kasih, belas-kasih, kegembiraan altruistis, dan keseimbangan yang
tanpa batas. 74 Mp: Karena ia tidak melakukan kejahatan dan karena tidak ada kejahatan (yaitu, pederitaan) yang akan menghampirinya. 75 Frasa umum ini. “menerima perlindungan” adalah tindakan yang dengannya seseorang yang baru beralih keyakinan menerima Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha sebagai sosok penuntun. Dalam tradisi Buddhis, hal ini menjadi suatu prosedur yang harus diucapkan secara formal ketika ia mengaku sebagai seorang Buddhis.
76 Gāmaṇi. Kata ini menyiratkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki jabatan di pemukiman itu. 77 Perhatikan bahwa sang kepala desa di sini mengatakan berasal dari Sang Buddha, sebagai kutipan langsung, pernyataan umum sebab akibat antara
keinginan dan penderitaan yang tidak terdapat dalam kata-kata Sang Buddha di atas. Akan tetapi, pernyataan ini jelas diperlukan sebagai keterangan bagi “prinsip ini” (iminà dhammena), sepertinya mungkin bahwa pernyataan ini terdapat dalam teks asli tetapi hilang dalam perjalanan penyampaian lisan. Persis di bawah Sang Buddha sendiri juga membuat generalisasi itu.
78 Dibaca seperti Be dan Ce, ajānantena, bukan seperti Ee ājānantena. Bentuk negatif diperlukan di sini, karena bhikkhu yang tidak dapat secara langsung
mengetahui pikiran Sang Buddha, harus menarik kesimpulan dari perilaku jasmani dan ucapan bahwa Beliau telah murni sepenuhnya.
79 “Kondisi-kondisi yang dikenali melalui mata” adalah perbuatan-perbuatan jasmani; “kondisi-kondisi yang dikenali melalui telinga,” adalah ucapan. 80 “Kondisi-kondisi campuran” dapat berarti perilaku seseorang yang menjalani pemurnian perilaku tetapi tidak mampu mempertahankannya
secara konsisten. Kadang-kadang perilakunya murni, kadang-kadang tidak murni.
81 Ps: Bahayanya adalah keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Karena beberapa bhikkhu tenang dan rendah-hati selama mereka belum menjadi
terkenal atau populer; tetapi ketika mereka telah menjadi terkenal dan populer, maka mereka bepergian dengan berperilaku tidak selayaknya, menyerang para bhikkhu lain bagaikan seekor macan menerkam sekumpulan rusa.
82 Ps: Paragraf ini menunjukkan sifat Sang Buddha yang tidak-membeda- bedakan. Beliau tidak memuji seseorang dan menghina orang lain.
83 So tasmiṁ dhamme abhiññāya idh’ekaccaṁ dhammaṁ dhammesu niṭṭhaṁ gacchati. Untuk menyampaikan makna yang dimaksudkan, saya
menerjemahkan kata dhamma yang ke dua di sini sebagai “ajaran,” yaitu, doktrin tertentu yang diajarkan kepadanya, bentuk jamak dhammesu sebagai “ajaran-ajaran,” dan tasmiṁ dhamme sebagai “Dhamma itu,” dalam makna keseluruhan ajaran. Ps dan Ps-pṭ sama-sama menjelaskan maknanya sebagai berikut: Ketika Dhamma telah diajarkan oleh Sang Guru, dengan secara langsung mengetahui Dhamma melalui penembusan sang jalan, buah, dan Nibbāna, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan tentang ajaran awal dari Dhamma tentang bantuan-bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).
84 Ini merujuk pada keyakinan seorang mulia (ariyapuggala), yang telah melihat Dhamma dan dengan demikian tidak mungkin menerima guru lain
selain Sang Buddha. 85 Ia adalah seorang brahmana terkemuka yang memerintah Opasāda, suatu wilayah dalam kekuasaan Negeri Kosala yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi.
86 Jelas ini adalah nama suku Kāpaṭhika 87 Mereka ini adalah para rishi masa lampau yang oleh para brahmana dianggap sebagai para penulis syair-syair pujian Veda yang terinspirasi dari
para dewa. 88 Dalam Pali: saddhā, ruci, anussava, ākāparivitakka, diṭṭhinijjhānakkhanti. Di antara kelima landasan bagi kepastian ini, dua yang pertama sepertinya umumnya berdasarkan perasaan, yang ke tiga adalah penerimaan tradisi secara membuta, dan dua terakhir umumnya adalah penalaran rasional atau kognitif. Tiga yang terakhir termasuk di antara sepuluh landasan yang tidak dapat diterima untuk sebuah kepercayaan dalam Teks III,2. “Dua cara berbeda” masing-masing adalah terbukti benar dan salah.
89 Tidaklah selayaknya baginya untuk sampai pada kesimpulan karena ia belum secara pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya
menerimanya atas dasar yang tidak dapat menghasilkan kepastian. 90 Saccānurakkhana: atau, mengamankan kebenaran, perlindungan kebenaran.
91 Saccānubodha: atau, tercerahkan pada kebenaran. 92 Dalam rangkaian ini, “ia menyelidiki” (tūleti), menurut Ps, berarti bahwa ia
menyelidiki fenomena sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ini adalah tahap perenungan pandangan terang. “Mengerahkan tekad” (ussahati) dan “berusaha” (padahati) tampak serupa. Kita dapat memahami yang pertama sebagai usaha yang mengarah menuju pandangan terang, yang belakangan adalah usaha yang mengarah dari pandangan terang menuju pencapaian yang melampaui-keduniawian. Langkah terakhir ini disiratkan oleh ungkapan, “ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi.” Kebenaran tertinggi (paramasacca) adalah Nibbāna.
93 Sementara “penemuan kebenaran” (saccānubodha) dalam konteks ini sepertinya menyiratkan pencapaian tingkat memasuki-arus, kedatangan
akhir pada kebenaran (saccānuppati) sepertinya bermakna pencapaian Kearahantaan. Perhatikan bahwa kedatangan akhir pada kebenaran tidak terjadi melalui langkah baru, melainkan hanya melalui pengulangan pengembangan faktor-faktor yang mengarah menuju penemuan kebenaran.
94 Ps: para brahmana meyakini bahwa mereka adalah keturunan dari mulut Brahmā, para khattiya dari dada, para pedagang (vessa) dari perut, para
pekerja (sudda) dari kaki, dan para samaṇa dari telapak kaki.