PEMBAWA CAHAYA
BAB II. PEMBAWA CAHAYA
31 Suttanipāta v.335. 32 Walaupun sosok ideal bodhisattva umumnya dipahami sebagai ciri khas dari Buddhisme Mahāyāna, namun semua aliran Buddhisme sektarian pada
masa sebelum munculnya Mahāyāna sama-sama mempercayai bahwa Sang Buddha mengikuti jalan seorang bodhisattva selama banyak kappa, memenuhi prasyarat untuk mencapai Kebuddhaan. Kontribusi Mahāyāna adalah menyokong karir Bodhisattva sebagai suatu model petunjuk bagi semua pengikut Buddhis untuk diteladani.
33 “Enam hal tidak terlampaui” (cha anuttariyā) dijelaskan pada AN 6:130: pandangan tidak terlampaui (yaitu, pandangan seorang Buddha atau
siswaNya); pendengaran tidak terlampaui (yaitu, mendengar Dhamma dari seorang Buddha atau siswaNya); perolehan tidak terlampaui (yaitu, perolehan keyakinan pada seorang Buddha atau siswaNya); latihan tidak terlampaui (yaitu, latihan dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, kebijaksanaan yang lebih tinggi seperti yang diajarkan oleh seorang Buddha atau siswaNya); pelayanan tidak terlampaui (yaitu, pelayanan kepada seorang Buddha atau siswaNya); perenungan tidak terlampaui (yaitu, perenungan dari seorang Buddha atau siswaNya). “Empat pengetahuan analitis” (catasso paṭisambhidhā) adalah pengetahuan analitis makna, doktrin, bahasa, dan kecerdikan. Buah memasuki-arus, dan seterusnya, dijelaskan dalam Bab X.
34 Sebagai pelayan pribadi Sang Buddha, Ānanda dikenal dalam hal pengabdiannya kepada Gurunya. Dalam sebagian besar dari sutta ini, di mana
ia menyerukan kepercayaan tradisional tentang keajaiban yang menyertai konsepsi dan kelahiran Sang Buddha, ia tampak menunjukkan suara pengabdian penuh kesetiaan.
35 Ini merujuk pada kelahiran kembali Sang Bodhisatta di alam surga Tusita, sebelum kelahiranNya di alam manusia sebagai Gotama Sang Calon Buddha.
36 Ps: Antara setiap tiga sistem dunia terdapat ruang berukuran 8,000 yojana; ini menyerupai ruang antara tiga roda kereta atau mangkuk yang disusun
saling bersentuhan satu sama lain. Makhluk-makhluk yang berdiam di sana terlahirkan kembali karena melakukan pelanggaran yang mengerikan terhadap orang tua mereka atau para petapa dan brahmana yang baik, atau karena beberapa kebiasaan jahat seperti membunuh binatang, dan sebagainya.
37 Ps: Empat dewa adalah Empat Raja Dewa (yaitu, para dewa yang menghuni alam surga Empat Raja Dewa). 38 Ps menjelaskan masing-masing aspek dari peristiwa ini sebagai pertanda dari pencapaian Sang Buddha kelak. Demikianlah, berdiri dengan kakinya
(pāda) dengan kokoh di atas tanah adalah pertanda bagi pencapaian empat landasan kekuatan spiritual (iddhipāda); menghadap ke utara, Beliau pergi ke atas dan melampaui banyak makhluk; tujuh langkahnya, Beliau memperoleh tujuh faktor pencerahan; payung putih, Beliau memperoleh payung kebebasan; Beliau mengamati empat penjuru, Beliau memperoleh pengetahuan kemaha-tahuan yang tanpa halangan; Beliau mengucapkan kata-kata “pemimpin kelompok” (gelar bagi seorang terkemuka), Beliau memutar Roda Dhamma yang tidak dapat diputar balik; pernyataan Beliau “Ini adalah kelahiranKu yang terakhir,” meninggal dunia ke dalam elemen Nibbāna tanpa sisa (baca Teks IX, 5(5)).
39 Pernyataan ini tampaknya adalah cara Sang Buddha untuk mengalihkan perhatian pada kualitas yang Beliau anggap sebagai sesuatu yang sungguh
menakjubkan dan mengagumkan.
40 Dalam versi ringkas dari teks ini, emas dan perak dikeluarkan dari hal-hal yang tunduk pada kesakitan, kematian, dan dukacita, tetapi hal-hal itu
tunduk pada kekotoran, menurut Ps, karena dapat dicampur dengan logam- logam yang bernilai lebih rendah.
41 Ākiñcaññāyatana. Ini adalah pencapaian meditatif tanpa bentuk ke tiga; yang didahului oleh empat jhāna, ini adalah yang ke tujuh dari delapan
pencapaian (samāpatti) dalam skala konsentrasi. Pencapaian-pencapaian ini, walaupun cukup agung, namun masih bersifat duniawi, terpisah dari pandangan terang, tidak secara langsung mendukung Nibbāna.
42 Yaitu, mengarah menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, objek dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di
sini umur kehidupan dikatakan selama 60,000 kappa, tetapi ketika rentang waktu itu telah berlalu seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Demikianlah seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian.
43 N’eva saññānāsaññāyatana. Ini adalah pencapaian tanpa bentuk ke empat dan tertinggi. Harus dimengerti bahwa Uddaka Rāmaputta adalah putera
Rāma, bukan Rāma sendiri. Teks memberikan kesan bahwa walaupun Rāma sendiri telah mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, namun Uddhaka sendiri belum mencapainya. Pencapaian landasan ini mengarah pada kelahiran kembali di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, alam kelahiran kembali yang tertinggi dalam saṃsāra. Umur kehidupan di sana dikatakan adalah 84,000 kappa, tetapi karena terkondisi dan tidak kekal, maka masih tidak memuaskan.
44 Teks II, 3(2) berlanjut dari titik ini dengan kisah panjang tentang praktik pertapaan ekstrim Sang Bodhisatta yang dilanjutkan dengan penemuan Jalan
Tengah oleh Beliau. 45 Saccaka adalah seorang pendebat yang, pada kesempatan sebelumnya, Sang Buddha telah mengalahkannya dalam sebuah diskusi. Aggivessana, nama yang digunakan oleh Sang Buddha untuk memanggilnya di bawah, mungkin adalah nama sukunya. Khotbah ini dimulai dengan diskusi tentang perasaan menyenangkan dan menyakitkan, yang memberikan isyarat kepada Saccaka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaannya kepada Sang Buddha.
46 Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada
kesimpulan – dalam paragraf ini - bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan. Ketidak-sesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur- aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri sebagai jalan menuju pencerahan.
47 Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang
diajukan oleh Saccaka pada §11. 48 Ps menjelaskan bahwa ketika Sang Bodhisatta masih kanak-kanak, ayahnya membawanya menghadiri upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Para pelayan meninggalkannya di bawah pohon jambu dan pergi menonton ucapara pembajakan. Mengetahui bahwa ia sendirian, Sang Bodhisatta secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada pernafasan. Walaupun matahari bergeser, namun keteduhan bayangan pohon tetap menaungi Sang Bodhisatta. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati puteranya.
49 Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11. Paragraf ini menunjukkan perubahan dalam
penilaian Sang Bodhisatta atas kenikmatan. Ketika kenikmatan muncul dari keterasingan dan pelepasan, hal ini bukanlah sesuatu untuk ditakuti dan harus disingkirkan melalui praktik pertapaan keras, melainkan menjadi suatu pendukung bagi tingkatan yang lebih tinggi dalam sang jalan menuju pencerahan.
50 Dalam formula umum dari kemunculan bergantungan, kesadaran dikatakan sebagai dikondisikan oleh bentukan-bentukan kehendak
(saṅkhārapaccayā viññāṇaṃ). Variasi ini mengungkapkan bahwa kesadaran dan nama-dan-bentuk yang saling mempengaruhi sebagai “pusaran tersembunyi” yang mendasari segala kehidupan di dalam lingkaran kelahiran kembali.
51 Spk: “Sejauh ini seseorang dilahirkan, menjadi tua, dan mati: dengan kesadaran sebagai kondisi bagi nama-dan-bentuk, dan dengan nama-dan-bentuk
sebagai kondisi bagi kesadaran, hingga sejauh ini seseorang terlahir dan mengalami kelahiran kembali. Apakah yang di luar ini yang dapat terlahir dan mengalami kelahiran kembali? Bukankah hanya ini yang terlahir dan mengalami kelahiran kembali?”
52 Perhatikan bahwa Sang Buddha menemukan jalan menuju pencerahan dengan menembus lenyapnya kesadaran, nama-dan-bentuk, dan mata rantai
lainnya dari kemunculan bergantungan. Lenyapnya ditembus dengan pengalaman Nibbāna, elemen keabadian.
53 Pada titik ini teks memperkenalkan bentukan-bentukan kehendak, kondisi utamanya adalah ketidak-tahuan, dan karena itu dengan menyebutkan asal-
mulanya, maka ketidak-tahuan juga disiratkan, dengan cara ini, seluruh dua belas faktor dari formula umum kemunculan bergantungan telah termasuk, minimal secara tersirat.
54 Ālaya. Kata ini menyiratkan baik objek kemelekatan maupun sikap subjektif kemelekatan.
55 Dengan menyebutkan kedua tema ini – kemunculan bergantungan dan Nibbāna – dalam perenungannya segera setelah pencerahanNya, Sang
Buddha menekankan pentingnya memahami isi dari pencerahanNya. Pencerahan itu melibatkan pemahaman atas, pertama, kemunculan bergantungan dari penderitaan, dan ke dua, Nibbāna sebagai kebebasan tertinggi yang melampaui segala fenomena yang terlibat dalam kemunculan bergantungan dari penderitaan. Sang Buddha pertama-tama harus memahami kemunculan bergantungan, dan hanya ketika Beliau telah melakukan itu maka Beliau dapat sampai pada pencapaian Nibbāna. “Perolehan” (upadhi) yang dilepaskan dapat dipahami sebagai dua: dalam hal objek, seperti kelima kelompok unsur kehidupan atau, secara lebih luas, sebagai segala objek peruntukan; dan secara subjektif, sebagai ketagihan yang memotivasi tindakan peruntukan.
56 Ps mempertanyakan mengapa, ketika Sang Bodhisatta sejak lama telah bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan untuk membebaskan makhluk-
makhluk lain, sekarang pikirannya malah condong pada tidak berbuat apa- apa. Alasannya, dikatakan adalah, bahwa sekarang setelah tercerahkan, Beliau mengetahui betapa dalamnya Dhamma itu dan betapa sulitnya bagi mereka yang memiliki kekotoran yang kuat untuk memahaminya. Juga, Beliau ingin agar Brahmā memohonNya untuk mengajar sehingga orang- orang yang menghormati Brahmā juga akan menghormati Dhamma dan berkeinginan untuk mendengarkanNya.
57 Kelima bhikkhu ini melayani Sang Bodhisatta selama masa penyiksaan- diri, yakin bahwa Beliau akan mencapai pencerahan dan mengajarkan
Dhamma kepada mereka. Akan tetapi, ketika Beliau meninggalkan praktik keras dan kembali memakan makanan padat, mereka kehilangan keyakinan pada Beliau dan meninggalkanNya, menuduh Beliau telah kembali kepada kemewahan. Baca Teks II, 3(2).
58 Anantajina: mungkin ini adalah sebuah gelar yang digunakan oleh para Ajivaka kepada individu yang sempurna secara spiritual. 59 Āvuso: panggilan akrab yang digunakan oleh orang-orang yang setara.
60 Perubahan dalam sapaan dari “teman” (āvuso) menjadi “Yang Mulia” (bhante) menunjukkan bahwa mereka sekarang telah menerima
pengakuan Sang Buddha dan siap untuk menganggapNya lebih tinggi. 61 Pada titik ini Sang Buddha membabarkan khotbah pertama kepada mereka, Dhammacakkappavattana Sutta, “Memutar Roda Dhamma”; baca Teks 11,5. Beberapa hari kemudian, setelah mereka semuanya menjadi pemasuk-arus, Beliau mengajarkan Anattalakkhaṇa Sutta, “karakteristik bukan-diri,” yang setelah mendengarnya mereka mencapai Kearahantaan; baca Teks IX, 4(1)(c). Uraian lengkap terdapat pada Vin 17-14. baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, p.47.
62 Bagian pertama dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia hanya mengungkapkan pengetahuan atas kebenaran itu sendiri (saccañāṇa). 63 Bagian ke dua dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia mengungkapkan pengetahuan terhadap tugas yang harus diselesaikan
sehubungan dengan kebenaran itu (kiccañāṇa). Kebenaran pertama harus dipahami sepenuhnya (pariññeyya), ke dua harus ditinggalkan (pahātabba), ke tiga harus dicapai (sacchikata), dan ke empat harus dikembangkan (bhāveta).
64 Bagian ke tiga dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia mengungkapkan pengetahuan terhadap selesainya tugas sehubungan
dengan kebenaran itu (katañāṇa). Kebenaran pertama telah dipahami sepenuhnya (pariññeyya), ke dua telah ditinggalkan (pahātabba), ke tiga telah dicapai (sacchikata), dan ke empat telah dikembangkan (bhāveta).
65 Ketiga tahap (tiparivañña) adalah: (i) pengetahuan atas masing-masing kebenaran; (ii) pengetahuan atas tugas yang harus diselesaikan sehubungan
kebenaran itu; (iii) pengetahuan bahwa tugas itu telah diselesaikan. Kedua belas modus ini (dvadasàkàra) dicapai dengan menerapkan ketiga tahap ini pada empat kebenaran.