MENYALAKAN CAHAYA KEBIJAKSANAAN
IX. MENYALAKAN CAHAYA KEBIJAKSANAAN
222 Sayangnya, hubungan antara kata benda dan kata kerja, yang begitu nyata dalam Pāli, menjadi hilang ketika paññā diterjemahkan sebagai
“kebijaksanaan” dan kata kerja diterjemahkan sebagai “seseorang memahami.” Untuk menghindari hal ini, para penerjemah lain lebih suka menerjemahkan paññā dengan mempertahankan hubungan nyata antara kata benda dan kata kerja, misalnya “pemahaman” (Bhikkhu Ñāṇamoli) atau “penglihatan” (Thānissaro Bhikkhu). 223 Misalnya, pada SN 22:5, 35:99, 35:160, 56:1.
Hubungan ini sering disebutkan dalam komentar ketika mengomentari formula ini. 225 Interpretasi komentar, yang terperinci dan sangat teknis, terdapat dalam Vism, bab 17. 226
Dalam komentar Pāli, kedua unsur Nibbāna ini disebut berturut-turut sebagai kilesa-parinibbāna, padamnya kekotoran-kekotoran, dan khandha- parinibbāna, padamnya kelompok-kelompok unsur kehidupan. 227 Kedua kata sebenarnya diturunkan dari akar kata kerja berbeda. Nibbuta adalah bentuk lampau dari nir + vṛ; yang bersesuaian dengan kata benda nibbuti, yang digunakan sebagai sinonim dari Nibbāna. Nibbāna adalah dari nir + vā. 228 Untuk lebih jelas mengenai perumpamaan samudera, baca SN 44:1.
229 Pātimokkha: aturan latihan yang mengatur perilaku dari seorang bhikkhu yang telah ditahbiskan secara penuh.
230 Ps: Pandangan benar ada dua: duniawi (lokiya) dan adi-duniawi (lokuttara): Pandangan benar duniawi dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma
menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun di luar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eksklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar adi-duniawi adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah (baca p. 464). Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi,
Ini adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Untuk penjelasan yang lebih terperinci, baca Teks V, 1(2). Lawannya, persis di bawah, adalah sepuluh perbuatan bermanfaat, juga dijelaskan dalam teks yang sama.
Ps menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan (bermanfaat dan tidak bermanfaat) adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya itu adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskan – seorang yang telah sampai pada pandangan benar adi-duniawi namun belum melenyapkan semua kekotoran.
Ps mengatakan bahwa paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada ketagihan” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak- kembali dan jalan Kearahantaan. Jalan yang-tidak-kembali melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada ketagihan indria dan penolakan; jalan Kearahantaan melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan “aku.” Ps mengatakan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri, kecenderungan ini juga menggenggam gagasan “aku.”
Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi proses kehidupan individu. Makanan fisik adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Ketagihan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa ketagihan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Vision of Dhamma, pp. 211-28.
Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari kemunculan bergantungan. Baca Teks
IX, 4(4)(a)-(f).
Tiga jenis penjelmaan (bhava) tentang ketiga alam kehidupan, baca pp. 149-50. Dalam formula kemunculan bergantungan, “penjelmaan” menyiratkan alam kelahiran kembali dan jenis-jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam-alam itu. Yang pertama secara teknis dikenal sebagai upapattibhava, “penjelmaan-kelahiran kembali,” yang ke dua sebagai kammabhava, “penjelmaan yang aktif secara kamma.” 237 Kemelekatan pada ritual dan upacara (silabbatupādāna) adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri (attavādupādāna) adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu pandangan diri yang berasal dari pandangan identitas (baca khsususnya Brahmajāla Sutta, DN 1); kemelekatan pada pandangan (diṭṭhupādāna) adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan ketagihan, kondisinya.
Ketagihan pada fenomena-fenomena (dhammataṇhā) adalah ketagihan pada segala objek kesadaran kecuali objek-objek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah ketagihan yang berhubungan dengan khayalan dan gambaran pikiran, ketagihan pada gagasan-gagasan abstrak dan kepuasan intelektual, dan sebagainya. 239 Kontak (phassa) adalah pertemuan antara landasan indria internal (organ indria), landasan indria eksternal (objek), dan kesadaran.
Istilah nāmarūpa berasal dari masa sebelum munculnya Sang Buddha. Istilah ini digunakan dalam Upaniṣads untuk merepresentasikan berbagai perwujudan brahman, realitas mutlak tunggal yang muncul dalam banyak samaran. Brahman yang dikenali oleh indria-indria sebagai panampakan yang berbeda-beda adalah bentuk (rūpa); brahman yang dikenali oleh pikiran melalui berbagai nama atau konsep berbeda adalah nama (nāma). Sang Buddha mengadopsi ungkapan ini dan memberikan makna menurut sistemnya sendiri. Di sini nama dan bentuk menjadi, berturut-turut, sisi kognitif dan sisi fisik dari eksistensi individu.
Dalam sistem Sang Buddha, rūpa didefinisikan sebagai empat unsur utama dan bentuk diturunkan dari unsur-unsur itu. Bentuk bagi seseorang adalah internal (=badan jasmani dengan indria-indrianya) dan eksternal (=dunia fisik). Nikāya-nikāya tidak menjelaskan bentuk turunan (upādāya rūpa), tetapi Abhidhamma menganalisisnya ke dalam dua puluh empat jenis fenomena materi sekunder, yang termasuk materi sensitif dari kelima organ indria dan empat dari lima objek indria (objek sentuhan diidentifikasikan dengan ketiga unsur utama – tanah, panas, dan angin – yang masing-masingnya memperlihatkan ciri-ciri nyata.
Walaupun saya menerjemahkan nāma sebagai nama, hal ini sebaiknya tidak dianggap terlalu literal. Nāma adalah kumpulan dari faktor-faktor batin yang terlibat dalam kognisi: perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian (vedanā, saññā, cetanā, phassa, manasikāra). Hal-hal ini disebut “nama” mungkin karena berkontribusi pada penyebutan objek secara konseptual. Harus dipahami bahwa dalam Nikāya-nikāya, nāmarūpa tidak memasukkan kesadaran (viññāṇa). Kesadaran adalah kondisi bagi nāmarūpa, seperti halnya nāmarūpa adalah kondisi bagi kesadaran, sehingga keduanya adalah saling bergantungan (baca Teks II, 3(3)).
Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan objek-objek indria.
Dalam konteks doktrin kemunculan bergantungan, bentukan-bentukan kehendak (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.
Harus dipahami bahwa sementara ketidak-tahuan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-noda – termasuk noda ketidak-tahuan – pada gilirannya adalah kondisi bagi ketidak-tahuan. Ps mengatakan bahwa pengkondisian ketidak-tahuan oleh ketidak-tahuan harus dipahami sebagai bermakna bahwa ketidak-tahuan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh ketidak- tahuan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi ketidak-tahuan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.
“Empat tahap” (atau “empat putaran,” catuparivaṭṭa) adalah: kelompok unsur kehidupan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang diaplikasikan pada masing-masing dari kelima kelompok unsur kehidupan. 245 Paragraf ini menggambarkan siswa yang masih berlatih (sekha), yang telah secara langsung mengetahui Empat Kebenaran Mulia dan sedang berlatih untuk mencapai pelenyapan tertinggi dari kelima kelompok unsur kehidupan, mencapai Nibbāna.
Paragraf ini menggambarkan para Arahant. Menurut DN II 63-64, lingkaran kehidupan berputar sebagai landasan bagi perwujudan dan pengukuhan hanya sejauh adanya kesadaran bersama dengan nama-dan- bentuk; ketika kesadaran dan nama-dan-bentuk lenyap, maka tidak ada lingkaran yang berfungsi bagi perwujudan dan pengukuhan.
247 Cha cetanākāyā. Fakta bahwa ada perbedaan antara nama dan kelompok unsur kehidupan (saṅkhārakkhandha) dan istilah definisi, cetanā, menyiratkan
bahwa kelompok unsur ini memiliki jangkauan yang lebih luas daripada yang lain. Dalam Abhidhamma dan komentar, saṅkhārakkhandha diperlakukan sebagai “kategori payung” untuk mengklasifikasikan semua faktor batin yang disebutkan dalam sutta-sutta selain perasaan dan persepsi. Kehendak disebutkan dalam definisi karena merupakan faktor yang paling penting dalam kelompok unsur ini, bukan karena sebagai komponen eksklusif.
Adalah penting bahwa walaupun kontak adalah kondisi bagi munculnya ketiga kelompok unsur perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak, namun nama-dan-bentuk adalah kondisi bagi munculnya kesadaran. Hal ini mendukung pernyataan dalam formula sepuluh faktor dari kemunculan bergantungan, yang terdapat pada Teks II, 3(3), bahwa nama- dan-bentuk adalah kondisi bagi kesadaran.
ketagihan (taṇhā). Hal ini dikatakan karena kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan manapun berasal mula dari sisa-sisa ketagihan terhadap kehidupan baru pada kehidupan sebelumnya. 250 Kemelekatan tidak sama dengan “kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” karena kelompok-kelompok unsur kehidupan tidak dapat direduksi hingga menjadi kemelekatan. Juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari “kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” karena tidak ada kemelekatan yang tidak memiliki kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai penopang dan objeknya. 251 Tentang “pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan,” baca p.576 (bab IX, n.63).
Ini adalah khotbah ke dua Sang Buddha, menurut narasi dari karir pengajaran Sang Buddha dalam Vin I 13-14. Kelima bhikkhu itu adalah lima siswa pertama, yang pada saat itu masih berlatih (sekha). Tujuan Sang Buddha dalam mengajarkan khotbah ini adalah untuk menuntun mereka menuju Kearahantaan.
Sutta ini memberikan dua “argumentasi” untuk tesis bukan-diri. Yang pertama berpendapat bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah bukan-diri dengan dasar bahwa kita tidak menguasainya. Karena kita tidak dapat mengarahkan kelompok-kelompok unsur kehidupan sesuai kehendak kita, maka kelompok-kelompok unsur tersebut “tunduk pada penderitaan” dan tidak dapat dianggap sebagai diri kita. Argumetasi ke dua, dijelaskan di bawah, mengajukan karakteristik bukan-diri dengan dasar kedua karakteristik lainnya. Apapun yang tidak kekal pasti dalam suatu cara terikat pada penderitaan; apapun yang tidak kekal yang terikat pada penderitaan tidak dapat diidentifikasikan sebagai diri kita.
Spk menjelaskan dengan lengkap bagaimana bentuk (yaitu, jasmani) bagaikan sebongkah buih (pheṇapiṇḍa). Saya hanya memberikan penekanan: seperti sebongkah buih yang tidak memiliki inti (sāra), demikian pula bentuk tidak memiliki inti apapun yang kekal, stabil, suatu diri; bagaikan sebongkah buih penuh dengan lubang dan celah dan menjadi tempat kediaman banyak makhluk, demikian pula dengan bentuk; seperti halnya sebongkah buih, setelah membesar, pecah, demikian pula dengan bentuk, yang hancur lebur pada saat kematian.
Spk: sebuah gelembung (bubbuḷa) adalah lemah dan tidak dapat digenggam, karena akan pecah segera setelah ditangkap; demikian pula perasaan adalah lemah dan tidak dapat digenggam sebagai kekal dan stabil. Seperti halnya gelembung yang muncul dan lenyap dalam setetes air dan tidak bertahan lama, demikian pula dengan perasaan: milyaran perasaan muncul dan lenyap dalam waktu sejentikan jari. Seperti halnya gelembung muncul dengan bergantung pada kondisi-kondisi, demikian pula perasaan muncul dengan bergantung pada landasan indria, objek, kekotoran- kekotoran, dan kontak.
Spk: Persepsi adalah bagaikan fatamorgana (marīcikā) dalam pengertian tanpa inti, karena seseorang tidak dapat menggenggam fatamorgana untuk minum, mandi atau mengisi kendi. Seperti halnya fatamorgana menipu banyak orang, demikian pula persepsi, yang memikat orang-orang dengan gagasan bahwa objek warna-warni itu indah, menyenangkan, dan kekal.
Spk: Bagaikan batang pohon pisang (kadalikkhandha) adalah gabungan banyak lapisan kulit, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri-sendiri, demikian pula bentukan-bentukan kehendak adalah gabungan dari banyak fenomena, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri-sendiri.
Spk: Kesadaran adalah seperti ilusi sulap (māyā) dalam pengertian tanpa inti dan tidak dapat digenggam. Kesadaran bahkan lebih sementara dan lebih cepat berlalu daripada ilusi sulap. Karena kesadaran memberikan kesan bahwa seseorang datang dan pergi, berdiri dan duduk, dengan pikiran yang sama, tetapi pikiran adalah berbeda dalam tiap-tiap aktivitas ini. Kesadaran menipu banyak makhluk bagaikan ilusi sulap.
Sutta ini sering disebut “Khotbah Api,” adalah khotbah ke tiga Sang Buddha seperti tercatat dalam narasi pengajaran Beliau pada Vin I 34-35. Menurut sumber ini, seribu bhikkhu kepada siapa sutta ini dibabarkan sebelumnya adalah para petapa pemuja api, dan demikianlah Sang Buddha menggunakan tema ini karena sesuai dengan latar belakang mereka. Untuk kisah bagaimana Sang Buddha mengkonversi mereka, baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 54-60, 64-69.
Sang Buddha sedang berbicara kepada Pukkusāti, seorang bhikkhu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Buddha tanpa pernah bertemu dengan Beliau sebelumnya. Pada pembukaan sutta, Sang Buddha tiba di gubuk pengrajin tembikar, bermaksud untuk bermalam di sana. Pukkusāti telah terlebih dulu tiba di sana dan menyapa Sang Buddha dengan sangat bersahabat, tidak menyadari bahwa orang itu adalah gurunya. Tanpa mengungkapkan identitasNya kepada Pukkusāti, Sang Buddha memulai percakapan, yang mengarah pada sebuah khotbah tentang pengembangan kebijaksanaan. 261 Ps: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa” dalam sesuatu yang masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di bawah judul kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan.
Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidak-
263 paccaya, kondisi, ditambah dengan kata benda abstrak penutup –tā. Ini adalah sinonim dari paṭiccasamuppāda. Baca Teks II, 4 §19, yang juga
menghubungkan penembusan kemunculan bergantungan dengan pencerahan Sang Buddha. 264
Spk: Kenyataan (tathatā) bermakna terjadinya masing-masing fenomena ketika bertemu dengan kondisi yang sesuai. Ketidak-salahan (avitathatā) berarti bahwa begitu kondisinya menjadi lengkap, maka tidak ada ketidak- munculan, bahkan selama sesaat, fenomena yang dihasilkan dari kondisi- kondisi tersebut. Tidak-berubah (anaññathatā) berarti tidak ada produksi satu fenomena oleh kondisi lainnya.
Dhamme ñāṇa. ini adalah pengetahuan langsung pada Empat Kebenaran Mulia yang muncul melalui penembusan Nibbāna sebagai kebenaran lenyapnya. 266 Anvaye ñāṇa. Ini adalah suatu kesimpulan yang menjangkau masa lalu dan masa depan, berdasarkan pada penglihatan sekarang pada hubungan kondisional yang diperoleh antara pasangan faktor-faktor.
Spk: gagasan ke-ada-an (atthitā) adalah eternalisme (sassata); gagasan ke- tiada-an (natthitā) adalah nihilisme (uccheda). Spk-pṭ: Gagasan ke-ada-an adalah eternalisme karena gagasan ini menganggap bahwa keseluruhan dunia (dari eksistensi personal) ada selamanya. Gagasan ke-tiada-an adalah nihilisme karena menganggap bahwa keseluruhan dunia tidak ada (selamanya) melainkan terpotong.
Dalam pandangan kedua penjelasan ini adalah keliru untuk menerjemahkan kedua istilah, atthitā dan natthitā, hanya sebagai “ke-ada-an” dan “ke-tiada-an.” Dalam kalimat sekarang ini atthitā dan natthitā adalah kata benda abstrak yang dibentuk dari kata kerja atthi dan natthi. Dengan demikian adalah asumsi metafisik yang implisit dalam abstraksi tersebut yang keliru, bukan asal kata ke-ada-an dan ke-tidak-ada-an itu sendiri. Saya telah berusaha untuk menyampaikan makna abstraksi metafisik ini, disampaikan dalam Pāli dengan akhiran –ta, dengan menerjemahkan kedua istilah menjadi “gagasan ke-ada-an” dan “gagasan ke-tiada-an.”
Sayangnya, atthitā dan bhava keduanya terpaksa diterjemahkan “kehidupan” yang mengaburkan fakta bahwa kedua kata dalam Pāli berasal dari akar yang berbeda. Sementara atthitā adalah gagasan ke-ada-an dalam abstrak, bhava adalah penjelmaan individu nyata dalam salah satu dari tiga alam. Demi membuat perbedaan, bhava dapat diterjemahkan sebagai “makhluk,” namun kata ini terlalu menyiratkan “makhluk hidup,” objek absolut dari spekulasi filosofis dan tidak mencukupi dalam menyampaikan makna intrinsik yang terkandung dalam bhava.
268 Spk: asal-mula dunia: produksi dunia bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini: tidak muncul dalam dirinya
pandangan nihilisme yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, menganggap “Mereka tidak ada.” Spk-pṭ: Pandangan nihilisme mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan sebagai berikut: “Sehubungan dengan pemusnahan dan lenyapnya makhluk-makhluk tepat di mana mereka berada, tidak ada makhluk atau fenomena yang kekal.” Ini juga termasuk pandangan salah, menggunakan bentukan-bentukan itu sebagai objeknya, yang menganggap: “Tidak ada makhluk yang terlahir kembali.” Pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena seseorang yang melihat dengan pengertian benar pada produksi dan asal-mula dari dunia bentukan- bentukan yang bergantung pada berbagai kondisi seperti kamma, ketidak- tahuan, ketagihan, dan sebagainya, maka pandangan nihilisme itu tidak muncul, karena ia melihat produksi bentukan-bentukan tanpa terputus.
Spk: Lenyapnya dunia: terhentinya bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia: tidak muncul dalam dirinya pandangan eternalisme yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, menganggap “Mereka ada.” Spk-pṭ: Pandangan eternalisme mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan, menganggapnya ada sepanjang waktu, karena pemahaman identitas dalam rangkaian yang tidak terputus yang muncul dalam hubungan sebab-akibat. Tetapi pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena ia melihat berturut-turut lenyapnya fenomena yang telah muncul dan berturut-turut munculnya fenomena baru, maka pandangan eternalisme tidak muncul.
Spk: Lebih jauh lagi, “asal-mula dunia” adalah kondisionalitas urutan maju (anuloma-paccayākāra); “lenyapnya dunia,” kondisionalitas urutan mundur (paṭiloma-paccayākāra). [Spk-pṭ: “Kondisional urutan maju” adalah kemampuan pengkondisian atas kondisi sehubungan dengan akibat- akibatnya sendiri; “kondisional urutan mundur” adalah lenyapnya akibat melalui lenyapnya penyebab masing-masing.] Karena dalam melihat kebergantungan dunia, ketika seseorang melihat kesinambungan dari fenomena yang muncul berkondisi karena kesinambungan kondisi-
Spk menjelaskan dukkha di sini sebagai “hanya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” (pañc’upādānakkhandhamattam eva). Demikianlah apa yang dilihat oleh siswa mulia itu, ketika ia merenungkan kehidupan personalnya bukanlah diri atau suatu inti diri melainkan hanya kumpulan fenomena yang muncul dan lenyap secara terkondisi melalui proses pengondisian dari kemunculan bergantungan. 270 Saya menginterpretasikan apa yang dikehendaki seseorang (ceteti) dan apa yang direncanakan seseorang (pakappeti) di sini sebagai mewakili bentukan- bentukan kehendak (saṅkhārā), faktor ke dua dalam formula kemunculan bergantungan. Kecenderungan pada apapun yang dimiliki seseorang (anuseti) menyiratkan kecenderungan tersembunyi (anusaya), terutama kecenderungan-kecenderungan pada ketidak-tahuan dan ketagihan, faktor pertama dan ke delapan dalam formula. Ketika seseorang meninggal dunia dengan masih ada kecenderungan-kecenderungan pada ketidak-tahuan dan ketagihan, maka kehendak dan rencananya – perwujudan nyata dari ketagihan dalam bentuk aktivitas-aktivitas kehendak – menjadi landasan bagi kesadaran untuk berlanjut, menjadi terbentuk dalam “nama-dan-rupa” yang baru, dan memicu terbentuknya kehidupan baru. Ini adalah peristiwa kelahiran, yang diikuti dengan penuaan, kematian, dan jenis-jenis penderitaan lainnya antara kelahiran dan kematian.
Walaupun adalah tidak mungkin memiliki kecenderungan tersembunyi tanpa kehendak dan rencana, paragraf ini dapat dilihat sebagai memiliki tujuan retoris menekankan peran kecenderungan tersembunyi itu dalam memelihara proses kelahiran kembali. Tetapi menurut Spk, paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bagi seorang meditator pandangan terang yang telah mengatasi pikiran-pikiran tidak bermanfaat, bahaya kelahiran kembali masih ada selama kecenderungan-kecenderungan tersembunyi itu masih ada. 272 Paragraf ini menunjukkan Arahant.
273 Tathāni avitathāni anaññathāni. Baca pp. 586, catatan 43. Spk: “Kenyataan dalam arti tidak menjauhi sifat sejati segala sesuatu; karena penderitaan
disebutkan hanya sebagai penderitaan. Tidak pernah salah, karena ketidak- salahannya atas sifat sejatinya; karena penderitaan tidak akan menjadi bukan-penderitaan. Tidak berubah, karena tidak sampai pada sifat yang berbeda; karena penderitaan tidak sampai pada sifat asal-mula (penderitaan), dan seterusnya. Metode yang sama untuk kebenaran-kebenaran lainnya.” Saya memahami anaññatha dalam makna yang lebih sederhana dan langsung bahwa kebenaran adalah “tidak berubah” karena tidak pernah berubah dari segala sesuatu sebagaimana adanya.
Bhavanetti. Yang menuntun menuju penjelmaan baru, yaitu, ketagihan pada penjelmaan. 275 Semua daun ini adalah kecil dan halus. Dedaunan yang disebutkan dalam paragraf pasangannya di bawah adalah lebar dan kuat. 276 Spk mengidentifikasinya sebagai keponakan Sāriputta.
Nippapañcaṃ. Spk: Karena tidak ter-proliferasi (dikembangkan) oleh ketagihan, keangkuhan, dan pandangan-pandangan.
Negasi atas unsur fisik dapat dianggap sebagai penyangkalan, bukan hanya keberadaan materi dalam Nibbāna, tetapi juga identifikasi Nibbāna dengan pengalaman-pengalaman jhāṅa, yang masih berhubungan dengan alam bentuk. Empat hal berikutnya menegasikan objek empat pencapaian meditatif tanpa bentuk dalam Nibbāna. 279 Dalam Pali, diṭṭha, “terlihat,” di sini jelas dimaksudkan sebagai lawan dari diṭṭhi, “pandangan.”