MENGUASAI PIKIRAN

VIII. MENGUASAI PIKIRAN

Ini adalah tingkatan-tingkatan memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Kearahantaan. Baca bab X. 159 Baca, misalnya, AN 9:3 (IV 358) = Ud 4:1

160 Sebuah terjemahan sutta ini bersama dengan komentarnya dan kutipan- kutipan penting dari subkomentar dapat ditemukan dalam Soma Thera, The

Way of Mindfulness. Dua penjelasan modern yang cukup baik, yang juga memasukkan terjemahan sutta ini, adalah Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation, dan Anālayo, Satipaṭṭhāna: The Direct Path to Realization.

Mp: Jika ketenangan dikembangkan dengan tidak bergantung pada pandangan terang, maka ketenangan itu mengarah pada penekanan kelima rintangan, yang pertama adalah nafsu indria, dan memuncak dalam “pikiran yang lebih tinggi” (adhicitta) dari jhāna-jhāna, yang ditandai dengan ketiadaan nafsu. Tetapi hanya jika ketenangan dikembangkan bersama-sama dengan pandangan terang maka hal ini dapat memunculkan sang jalan, yang melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria (melalui jalan yang–tidak-kembali) dan kemelekatan pada penjelmaan (melalui jalan Kearahantaan). Di sini Mp menerjemahkan ketenangan dalam makna ke dua, diduga karena kalimat terakhir dari sutta ini.

Mp: Adalah kebijaksanaan jalan adi-duniawi (magga-paññā) yang dikembangkan. “Ketidak-tahuan ditinggalkan” adalah ketidak-tahuan besar pada akar lingkaran kehidupan.

163 Kearahantaan sering dijelaskan sebagai “kebebasan pikiran tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan” (anāsava-cetovimutti-paññāvimutti). Mp

menjelaskan “kebebasan pikiran” (cetovimutti) sebagai konsentrasi yang berhubungan dengan buah (Kearahantaan), “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) sebagai kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah. Mp merujuk pada “pencapaian meditatif dari buah Kearahantaan” (arahattaphala-samāpatti), suatu penyerapan meditatif adi- duniawi di mana Arahant mengalami kebahagiaan Nibbāna.

Samathapubbaṅgagamaṃ vipassanaṃ. Mp: “Ini merujuk pada seorang meditator yang pertama-tama mencapai ketenangan dan kemudian melakukan meditasi pandangan terang.” Komentator menyebut meditator demikian sebagai seorang yang menjadikan ketenangan sebagai kendaraan praktik (samathayānika). Baca Vism 587; Ppn 18:3. 165 “Sang Jalan” (magga) adalah jalan adi-duniawi pertama, yaitu memasuki- arus. Untuk “mengembangkan jalan itu,” menurut Mp, berarti mempraktikkan pencapaian ketiga jalan yang lebih tinggi. Tentang sepuluh belenggu, baca pp.465-466; tentang ketujuh kecenderungan tersembunyi, baca p.537 (bab I, n.5). 166 Vipassanāpubbaṇgamaṃ samathaṃ. Mp: “Ini merujuk pada seseorang yang secara alami cenderung pertama-tama mencapai pandangan terang dan kemudian, berdasarkan pada pandangan terang itu, menghasilkan konsentrasi.” Dalam literatur komentar hal ini disebut seorang yang menjadikan pandangan terang sebagai kendaraan (vipassanāyānika). Baca Vism 588; Ppn 18:4

Samathavipassanaṃ yuganaddhaṃ. Dalam cara praktik ini, seseorang memasuki jhāna pertama dan kemudian, setelah keluar dari jhāna itu, menerapkan pandangan terang pada pengalaman itu, yaitu, ia melihat kelima kelompok unsur kehidupan dari jhāna itu (bentuk, perasaan, persepsi, dan sebagainya) sebagai tidak kekal, terikat pada penderitaan, dan bukan- diri. Kemudian ia memasuki jhāna ke dua dan merenungkannya dengan pandangan terang. Ia menerapkan prosedur yang sama pada jhāna-jhāna lainnya juga hingga mencapai jalan memasuki-arus, dan seterusnya.

Dhammuddhaccaviggahitaṃ mānasaṃ hoti. Mp mengatakan bahwa “gejolak” (uddhacca) muncul di sini sebagai reaksi atas sepuluh “kekotoran pandangan terang” (vipassanūpakkilesa) yang ia salah pahami sebagai menunjukkan pencapaian-jalan. (Tentang kekotoran pandangan terang, baca Vism 633-38; Ppn 20:105-28.) Akan tetapi, adalah mungkin bahwa “gejolak sehubungan dengan ajaran” adalah ketegangan batin yang dibawa oleh keinginan untuk menembus Dhamma. Kondisi kecemasan spiritual ini, ketika mendadak terpecahkan, kadang-kadang dapat mempercepat suatu pengalaman pencerahan seketika. Misalnya, baca kisah Bāhiya Dāruciriya dalam Ud 1:10.

Mp menjelaskan ketenangan pikiran internal (ajjhattaṃ cetosamatha) sebagai konsentrasi penyerapan penuh (yaitu, jhāna), dan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena (adhipaññādhammavipassanā) sebagai pengetahuan pandangan terang yang melihat bentukan-bentukan (saṅkhārapariggāhaka-vipassanāñāṇa).

“Bentukan-bentukan” (saṅkhārā) adalah fenomena-fenomena terkondisi yang terdiri dari kelima kelompok unsur kehidupan. Tentang kelompok- kelompok unsur kehidupan, baca Teks IX, 4(1)(a)-(f).

Spk menerapkan tiga pembedaan skolastik tentang tiga jalan membebaskan diri (nissaraṇa) pada tiap-tiap rintangan: pertama adalah membebaskan diri dari rintangan dengan menekan (vikkhambhananissaraṇa) melalui jhāna; ke dua adalah membebaskan diri dalam hal tertentu (tadaṅganissaraṇa) melalui pandangan terang; dan ke tiga adalah membebaskan diri dengan pelenyapan (samucchedanissaraṇa) melalui jalan adi-duniawi. Dengan demikian: (1) keinginan-indria ditekan melalui jhāna pertama yang berlandaskan pada sifat ketidak-menarikan jasmani (asubha; baca Teks VIII, 8 §10) dan dilenyapkan melalui jalan Kearahantaan (karena kāmacchanda di sini diinterpretasikan secara cukup luas untuk memasukkan keinginan terhadap objek apapun, bukan hanya terhadap kenikmatan indria); (2) permusuhan ditekan melalui jhāna pertama yang berlandaskan pada cinta kasih dan dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali; (3) kelambanan dan ketumpulan ditekan melalui persepsi cahaya (yaitu, visualisasi cahaya terang, seperti piringan matahari atau bulan purnama) dan dilenyapkan melalui jalan Kearahantaan; (4) kegelisahan dan penyesalan ditekan melalui ketenangan, penyesalan dilenyapkan melalui jalan yang- tidak-kembali dan kegelisahan dilenyapkan melalui jalan Kearahantaan; dan (5) Keragu-raguan ditekan dengan cara mendefinisikan fenomena (dhammavavatthāna; baca Vism 587-89; Ppn 18:3-8) dan dilenyapkan melalui jalan memasuki-arus. 172 Ini adalah tiga “pikiran salah,” lawan dari pikiran benar atau kehendak benar, faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Baca Teks VII, 2.

Dhammavitakka. Mp menganggap ini merujuk pada sepuluh “kekotoran pandangan terang,” tetapi tampaknya adalah lebih alami untuk memahaminya hanya sebagai perenungan yang berlebihan pada Dhamma. 174 Ini merujuk pada kondisi awal dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), yang dijelaskan di bawah. Kondisi awal bagi kelima pengetahuan langsung duniawi adalah jhāna ke empat. Kondisi awal bagi Kearahantaan, pengetahuan langsung ke enam, adalah pandangan terang. Pengetahuan langsung ini adalah adi-duniawi.

175 Ps mengatakan bahwa pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan

pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (baik) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapkan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subjek meditasi utamanya.

Ps: Ketika pikiran nafsu indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada ketidak-menarikan sifat jasmani (baca Teks VIII, 8 §10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidak-kekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca Teks VIII, 8 §12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan delusi adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. Dengan mengemas sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, Ps mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran.” Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian memperlambat, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai objek.” Ps: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai objeknya. 179 Mahānāma adalah seorang kerabat Sang Buddha, seorang anggota penting dari suku Sakya.

Frasa “sampai pada buah” (āgataphala) dan “memahami ajaran” (viññātasāsana) menunjukkan bahwa ia menanyakan tentang meditasi seorang siswa mulia pada tingkat terendah pemasuk-arus. Akan tetapi, meditasi demikian juga dapat berguna untuk dipraktikkan oleh orang-orang pada berbagai tingkatan, karena meditasi tersebut membersihkan pikiran secara sementara dari kekotoran-kekotoran dan mengarah menuju konsentrasi. 181 Saya meringkas teks ini, yang di sini menguraikan alam-alam surga yang berbeda-beda.

Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah Soma Thera menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O para bihkkhu,” dan Nyanaponika Thera: “Ini adalah jalan tunggal, para bhikkhu.” Akan tetapi, pada MN 12.37-42 ekāyana magga memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah,” dan tampaknya sangat sesuai di sini. Intinya adalah bahwa satipaṭṭhāna mengarah ke satu arah, menuju “pemurnian makhluk-makhluk ... pencapaian Nibbāna.” 183 Ps mengatakan bahwa pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), bertujuan untuk secara tepat menentukan objek perenungan dan mengisolasi objek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Demikianlah, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga penegakan perhatian lainnya. “Ketamakan dan ketidak-senangan,” (abhijjhā- domanassaṃ), menurut Ps, adalah keinginan indria dan permusuhan, rintangan utama di antara kelima rintangan. 184 Mengenai struktur khotbah berikut ini, baca pp.322-323.

185 Praktik perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha dengan sengaja mengatur nafas, seperti pada hatha yoga, tetapi

mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan secara terus-menerus pada nafas sewaktu seseorang bernafas secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di manapun sentuhan nafas paling jelas dirasakan; panjang nafas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan.

Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam Teks VIII, 9. Penjelasan terperinci tentang perhatian pada pernafasan menurut sistem komentar terdapat pada Vism 266-93; Ppn 8:145-244, baca juga koleksi teks- teks terjemahan Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing.

Ps, selaras dengan komentar Pāli lainnya, menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap nafas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Interpretasi ini sulit diselaraskan dengan makna literal kata itu dalam teks aslinya, yang dimaksudkan untuk menyiratkan kewaspadaan global pada keseluruhan tubuh. Juga sulit untuk melihat bagaimana -paṭisaṃvedi dapat berarti “menyadari”; akhiran ini didasarkan pada kata kerja paṭisaṃvedeti yang berarti “mengalami” atau “merasakan,” yang memiliki nuansa berbeda dari “kewaspadaan.”

“Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada sebagai nafas masuk dan keluar itu sendiri pada MN 44.13 (I 301) dan SN 41:6 (IV 293). Demikianlah, seperti yang dijelaskan Ps, dengan pengembangan praktik yang berhasil, nafas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.

MA: “secara internal”: merenungkan nafas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan nafas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan nafas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan fenomena-fenomena, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menarik kesimpulan.

189 Ps menjelaskan bahwa sifat kemunculan (samudayadhamm) dari jasmani dapat diamati dalam asal-mulanya yang terkondisi melalui ketidak-tahuan,

ketagihan, kamma, dan makanan, serta dari asal-mula dari-saat-ke-saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernafasan, suatu kondisi tambahan adalah perlengkapan fisiologis pernafasan. “Sifat lenyapnya” (vayadhamma) dari jasmani terlihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam pelenyapan saat- ke-saat dari fenomena jasmani. 190 Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan delusi yang menganggap diri sebagai pelaku gerakan jasmani. 191 Sampajañña, “pemahaman jernih”, dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: (1) pemahaman jernih atas tujuan perbuatan, (2) pemahaman jernih atas ketepatan cara untuk mencapai tujuan; (3) pemahaman jernih atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subjek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan (4) pemahaman jernih atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca Soma, The Way of Mindfulness, pp.60-100; Nyanaponika, The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

Penjelasan terperinci atas praktik ini, menurut metode komentar, terdapat pada Vism 239-266; Ppn 8:42-144. Selaput pengikat organ dalam tubuh adalah lapisan jaringan yang mengikat usus kecil pada bagian belakang dinding perut.

Empat unsur utama ini adalah atribut materi utama – unsur tanah (pathavidhātu) adalah kepadatan; unsur air (āpodhātu) adalah kohesi; unsur api (tejodhātu) adalah panas; dan unsur udara (vāyodhātu) adalah tekanan atau perluasan. Penjelasan terperinci tentang perenungan unsur-unsur, baca Teks IX, 4(3)(c). Untuk penjelasan komentar, baca Vism 347-72; Ppn 11:27-126.

194 Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada

mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani ini” adalah, tentu saja, jasmani si meditator itu sendiri.

Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subjek meditasi terpisah dan subjek yang mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpa-intian jasmani ini. Kemajuan berlanjut dalam §§26-30. 196 Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “jasmaniah” dan “spiritual” dari perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 (III 217-19) di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berturut-turut berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian. 197 Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca p.442 (bab VIII, n.32) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan). 198 Pikiran (citta) sebagai suatu objek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu objek, kualitas kondisi pikiran apapun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan delusi atau lawannya.

Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. Ps menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. Komentar mengatakan “pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāna. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan, komentar menganggap bahwa kategori terakhir ini harus dipahami sebagai pikiran terbebaskan melalui pencapaian jalan adi-duniawi, akan tetapi, mungkin interpretasi ini seharusnya tidak dikeluarkan.

Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh nama-dan-bentuk, kondisi bagi kesadaran.

Lima rintangan (pañca nīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Baca di atas, Teks VIII, 3. 202 Baca p.440 (bab VIII, n.147).

203 Tentang lima kelompok unsur kehidupan, baca pp. 22, 306-7, dan Teks IX, 4(1)(a)-(e). 204

Asal mula dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan dapat dipahami dalam dua cara: (1) melalui asal mula dan lenyapnya yang bergantung pada kondisi-kondisi (baca Teks IX, 4(1)(a)); dan (2) melalui kemunculannya, perubahan, dan lenyapnya yang terlihat (baca SN 22:37-38). Kedua cara ini tidak saling eksklusif tetapi dapat dibedakan secara konseptual. 205 Mengenai enam landasan indria, baca ppp. 383-384 dan Teks IX, 4(2)(a)-

(e).

Belenggu ini adalah keinginan dan nafsu (chandarāga) yang mengikat organ indria pada objeknya; baca SN 35-232. 207 Mengenai faktor-faktor pencerahan, baca Teks VIII, 9.

Komentar Pāli menjelaskan secara terperinci tentang kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca Soma Thera, The Way of Mindfulness, pp.134-149. 209 Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam DN mendefinisikan dan menjelaskan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia. Baca juga MN 141.

Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak- kembali.

Dimulai dari bagian ini dan seterusnya, sutta sangat erat bersesuaian dengan bagian ke dua dari Ānāpānasati Sutta (MN 118), yang bagian pertamanya adalah pendahuluan dari instruksi mengenai perhatian pada pernafasan. Tetrad pertama identik dengan paragraf tentang perhatian pada pernafasan dalam bagian “perenungan jasmani” dari Satipaṭṭhāna di atas. 212 “Bentukan pikiran” (cittasaṅkhāra) adalah persepsi dan perasaan; baca MN

44 (I 301) = SN 41:6 (IV 293).

Vism 289; Ppn 8:233: “Membebaskan pikiran” dari rintangan-rintangan melalui jhāna pertama, dan dari faktor-faktor jhāna yang lebih kasar dengan mencapai jhāna-jhāna yang lebih tinggi berturut-turut; dan membebaskannya dari distorsi kognitif melalui pengetahuan pandangan terang.

Vism 290-291; Ppn 8:234-37: “Merenungkan ketidak- kekalan” (aniccānupassī) adalah merenungkan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal karena mengalami kemunculan dan pelenyapan, dan perubahan, atau karena mengalami pelenyapan saat-ke- saat. Tetrad ini secara keseluruhan berhubungan dengan pandangan terang, tidak seperti tiga lainnya, yang dapat diinterpretasikan melalui ketenangan dan pandangan terang.

“Merenungkan peluruhan” (virāgānupassī) dan “merenungkan lenyapnya” (nirodhanupassī) dapat dipahami baik sebagai pandangan terang ke dalam kehancuran saat-ke-saat dan lenyapnya fenomena-fenomena dan sebagai jalan adi-duniawi, yang merealisasi Nibbāna sebagai peluruhan nafsu (virāga, kebosanan) dan lenyapnya bentukan-bentukan. “Merenungkan pelepasan” (paṭinissaggānupassī) adalah berhenti (pariccāga) atau meninggalkan (pahāna) kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang dan masuk ke dalam (pakkhandana) Nibbāna melalui pencapaian Sang Jalan.

Spk: Perhatian sesungguhnya bukanlah perasaan, tetapi ini adalah judul ajaran. Dalam tetrad ini, dalam frasa pertama perasaan dikatakan secara tidak langsung di bawah kelompok sukacita (yang bukan perasaan), dalam frasa ke dua secara langsung merujuk pada kebahagiaan (= perasaan menyenangkan). Dalam frasa ke tiga dan ke empat, perasaan termasuk dalam bentukan pikiran.

Spk: Setelah melihat dengan kebijaksanaan, dan seterusnya. Di sini, “ketamakan” adalah hanya rintangan keinginan indria; “kesedihan” adalah rintangan permusuhan. Tetrad ini disebutkan hanya melalui pandangan terang. Kedua rintangan ini adalah yang pertama di antara kelima rintangan, bagian pertama dalam perenungan fenomena-fenomena pikiran. Demikianlah Beliau mengatakan hal ini untuk menunjukkan awal dari perenungan fenomena-fenomena pikiran. “Ditinggalkannya” adalah pengetahuan yang mengakibatkan ditinggalkannya, misalnya, seseorang meninggalkan persepsi kekekalan melalui perenungan ketidak-kekalan. Dengan kata “setelah melihat dengan kebijaksanaan” Beliau menunjukkan rangkaian pandangan terang sebagai berikut: “Dengan satu pengetahuan pandangan terang (ia melihat) pengetahuan ditinggalkannya yang terdapat dalam pengetahuan-pengetahuan ketidak-kekalan, kebebasan dari nafsu, pelenyapan dan itu juga (ia lihat) melalui yang lain lagi.” Ia adalah seorang yang dengan keseimbangan melihat dengan seksama: seseorang dikatakan melihat dengan keseimbangan (pada pikiran) bahwa ia telah mengembara di sepanjang jalan [Spk-pṭ: dengan tidak mengerahkan juga tidak mengendalikan pikiran pengembangan meditatif yang telah dilalui dengan benar di sepanjang jalan tengah], dan dengan penyajian sebagai suatu kesatuan [Spk-pṭ: karena tidak ada yang lebih jauh lagi untuk dilakukan dalam hal itu jika pikiran telah mencapai keterpusatan]. Ia “melihat dengan keseimbangan” pada objek. 217 Satisambojjhaṅga. Bojjhaṅga adalah kata majemuk dari bodhi + aṅga. Pada SN 46:5, kata ini dijelaskan sebagai faktor-faktor yang mengarah menuju pencerahan. Ketiga frasa yang digunakan untuk menggambarkan latihan dari masing-masing faktor pencerahan dapat dipahami sebagai menggambarkan tiga tahap pengembangan berturut-turut. “Ia membangkitkan” sebagai pembangkitan awal; “ia mengembangkan” adalah pematangan secara bertahap; dan “terpenuhi melalui pengembangan” adalah puncaknya.

Dhammavicayasambojjhaṅga. Pada Sn 46:2 (V 66), “makanan” bagi munculnya faktor pencerahan ini dikatakan sebagai sering memperhatikan fenomena-fenomena pikiran bermanfaat dan tidak bermanfaat, kondisi- kondisi tercela dan tidak tercela, kondisi-kondisi hina dan mulia, kondisi- kondisi gelap dan terang dengan padanannya. Walaupun faktor pencerahan ini diidentifikasikan dengan paññā atau kebijaksanaan, namun paragraf di atas menyiratkan bahwa fungsi awalnya adalah untuk membedakan antara fenomena baik dan buruk yang menjadi semakin jelas dengan semakin mendalamnya perhatian. 219 Sāriputta adalah salah satu dari dua siswa utama Sang Buddha, seorang yang unggul dalam hal kebijaksanaan. Untuk biografinya, baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, bab 1.

“Pembentukan-aku” (ahaṅkāra) adalah fungsi pandangan diri; “pembentukan-milikku” (mamaṅkāra), adalah fungsi ketagihan. Akar keangkuhan adalah keangkuhan “aku” (asmimāna), jadi “kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan” adalah juga bertanggung-jawab pada “pembentukan-aku.”

Saññāvedayitanirodha. Juga dikenal sebagai nirodhasamāpatti, pencapaian lenyapnya, ini adalah pencapaian meditatif khusus yang dikatakan hanya dapat dilakukan oleh para yang-tidak-kembali dan Arahant. Seperti yang disiratkan oleh namanya, ini melibatkan pelenyapan total fungsi-fungsi persepsi dan perasaan, dan menurut komentar, kesadaran dan semua faktor batin yang berhubungan juga lenyap. Untuk pembahasan terperinci menurut sistem komentar, baca Vism 702-9; Ppn 23:16-52;