TANPA AWAL YANG DAPAT DITEMUKAN
4. TANPA AWAL YANG DAPAT DITEMUKAN
(1) Rumput dan Ranting
Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. 27 Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Para bhikkhu, misalkan seseorang memotong semua rerumputan, ranting, dahan,
dan dedaunan yang ada di Jambudipa 28 dan mengumpulkannya dalam satu tumpukan. Setelah melakukan hal itu, ia akan memindahkannya satu demi satu sambil mengatakan: ‘Ini adalah ibuku, ini adalah ibu dari ibuku.’ Urutan dari ibu dan nenek itu tidak akan berakhir, namun rumput, ranting, dahan, dan dedaunan di Jambudipa ini telah seluruhnya dipindahkan dan habis. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu. Selama waktu yang sangat panjang, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, dan kemalangan, dan membengkak di pekuburan. Cukuplah untuk menjadi kecewa dengan segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”
(SN 15:1; II 178)
(2) Bola-bola Tanah
“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu. Para bhikkhu, misalkan seseorang membentuk bola-bola tanah seukuran biji jujube dan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap butirnya]: “Ini adalah ayahku, ini adalah ayah dari ayahku.” Urutan dari ayah dan kakek dari orang itu tidak akan berakhir, namun seluruh tanah di bumi ini sudah seluruhnya dipindahkan dan habis. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan membengkak di pekuburan. Cukuplah untuk menjadi kecewa dengan segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”
(SN 15:2; II 179)
(3) Gunung
Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?” 29
“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau “Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau
“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?” “Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya, bhikkhu, terdapat sebuah gunung batu dengan panjang satu yojana, lebar satu yojana, dan tingginya satu yojana, tanpa lubang atau celah,
sebuah batu padat yang besar. 30 Di akhir setiap seratus tahun seseorang akan menggosoknya satu kali dengan sehelai kain halus. Dengan usaha ini gunung batu itu lama-kelamaan akan terkikis habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Begitu lamanya satu kappa itu, bhikkhu. Dan dari kappa-kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan…. Cukup untuk terbebaskan darinya.”
(SN 15:5; II 181-82)
(4) Sungai Gangga
Di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai, seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Beliau: “Guru Gotama, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”
“Brahmana, banyak kappa yang telah berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.”
“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Guru Gotama?” “Mungkin saja, brahmana,” Sang Bhagavā berkata. “Bayangkan, brahmana, butiran pasir dari mulai Sungai Gangga ini bersumber hingga tempat sungai ini memasuki samudera raya; tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa butir, atau berapa ratus butir, atau berapa ribu butir, atau berapa ratus ribu butir. Brahmana, kappa-kappa yang telah lewat dan berlalu adalah jauh lebih banyak dari butiran pasir itu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, brahmana, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan…. Cukup untuk terbebaskan darinya.”
(SN 15:8; II 183-84)
(5) Anjing yang Terikat
“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu.
“Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika samudera raya mengering dan menguap dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku katakan, tidak mengakhiri penderitaan bagi makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu.
“Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika Sineru, Raja Pegunungan, terbakar dan musnah dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku “Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika Sineru, Raja Pegunungan, terbakar dan musnah dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku
“Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika bumi besar ini, terbakar dan musnah dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku katakan, tidak mengakhiri penderitaan bagi makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu.
“Para bhikkhu, misalkan seekor anjing terikat dengan tali pada sebuah tiang atau pilar yang kuat. Ia akan terus berlari berputar mengelilingi tiang atau pilar yang sama itu. Demikian pula, kaum duniawi yang tidak terlatih menganggap bentuk sebagai diri … perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri…. Ia akan terus berlari berputar mengelilingi bentuk, mengelilingi perasaan, mengelilingi persepsi, mengelilingi bentukan-bentukan kehendak, mengelilingi kesadaran. Karena ia terus berlari berputar mengelilingi semua itu, maka ia tidak terbebaskan dari bentuk, tidak terbebaskan dari perasaan, tidak terbebaskan dari persepsi, tidak terbebaskan dari bentukan-bentukan kehendak, tidak terbebaskan dari kesadaran. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, penuaan, dan kematian; tidak terbebaskan dari kesedihan, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputusasaan; tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan.”
(SN 22:99; II 149-50)