Kondisi Sosial Penduduk Kondisi dan Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong

7.48 dan layang sebesar 2.80. Produksi sumberdaya ikan pelagis tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Produksi sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong tahun 2006 Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007 No Jenis ikan Produksi ton 1 Teri 215,23 2 Layang 20,81 3 Selar kuning 68,13 4 Lemurusimbulah 165,11 5 Kembunglema 138,11 6 Tenggiri 74,18 7 Cakalangtuna 66,04 8 Lainnya 56,08 Total 803,58

4.5.2 Alat tangkap

Secara umum alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong sangat beragam. Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong selama kurun waktu 5 tahun sejak tahun 2002 – 2006 disajikan pada Lampiran 3. Khususnya perikanan tradisional untuk sumberdaya ikan pelagis, alat penangkapan ikan yang digunakan antara lain; jaring insang gillnet, pancing tonda trolling lines, bagan perahu boat liftnet dan pancing tuna handlines. Penggunaan alat penangkapan ikan pelagis tersebut didominasi oleh pancing handlines sebesar 42.23 diikuti oleh pancing tonda trolling lines sebesar 28,53, jaring insang gillnet sebesar 27.16 dan bagan perahu boat lifnet sebesar 2.08. Jumlah alat tangkap untuk sumberdaya ikan pelagis tahun 2006 disajikan pada Tabel 19. Sedangkan perkembangan jumlah armada dan alat tangkap selama 5 tahun dalam kurun waktu 2002-2006 disajikan pada Lampiran 3. Tabel 19. Jumlah alat tangkap perikanan pelagis di Kota Sorong tahun 2006 Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007 Distrik No Alat tangkap Sorong Barat Sorong Timur Sorong Sorong kepulauan Sorong Utara Jumlah 1 Pancing tuna 324 97 198 213 - 832 2 Pancing tonda 211 126 138 87 - 562 4 Jaring insang 284 161 90 - - 535 5 Bagan perahu 18 16 7 - - 41

4.5.3 Armada

Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong selama kurun waktu 2002 - 2006 menunjukkan adanya fluktuasi Gambar 15. Pada tahun 2004 jumlah armada penangkapan ikan menurun sebesar 17.38. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 data perikanan masih belum akurat sehubungan dengan masih dilakukan pembenahan data karena adanya pemekaran wilayah Kota dan Kabupaten Sorong. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan dalam kurun waktu 2002 - 2006 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006 Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007 Uraian Tahun No 2002 2003 2004 2005 2006 1 Perahu tanpa motor 681 692 564 763 763 2 Perahu motor tempel 221 219 180 305 312 3 Perahu motor dalam 28 28 28 28 47 4 Kapal motor 24 22 22 27 31 Jumlah 954 961 794 1123 1153 Perkembangan 0.73 -17.38 41.44 2.67 Gambar 15 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006. Sampai dengan tahun 2006, armada penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan masih didominasi oleh perahu tanpa motor sebesar 69.47. Sedangkan perahu motor tempel tercatat hanya 24.81 serta jumlah yang paling sedikit adalah 3.19 untuk perahu motor dalam dan 2.53 untuk kapal motor. Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kota Sorong dapat dijelaskan pada Gambar 16. 200 400 600 800 1000 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Ju m la h pe ra hu Perahu tanpa motor Perahu motor tempel Perahu motor dalam Kapal motor Gambar 16 Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2006. Kondisi tersebut dapat memberikan informasi bahwa sebagian besar yaitu 94.3 dari jumlah armada di Kota Sorong adalah armada yang digunakan oleh nelayan dengan alat penangkapan ikan yang masih sederhana dan daerah penangkapan paling jauh sekitar 20 mil laut. Jenis armada perahu tanpa motor dan perahu motor tempel digunakan oleh nelayan-nelayan lokal maupun nelayan pendatang. Sedangkan jenis armada yang lebih besar seperti motor dalam dan kapal motor dimiliki oleh nelayan-nelayan pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan. 4.5.4 Nelayan dan rumah tangga perikanan RTP Sesuai dengan kondisi geografis wilayah Kota Sorong yang dikelilingi oleh laut dan pulau-pulau didukung dengan tersedianya sumberdaya perikanan, maka penduduk yang mendiami di sekitar wilayah pesisir dan kepulauan melakukan usaha perikanan sebagai matapencaharian pokok. Usaha yang dilakukan oleh nelayan bervariasi, namun sebagian besar skala usaha masih terbatas hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Perkembangan jumlah RTP dan nelayan lebih jelasnya dapat disajikan dalam bentuk diagram batang seperti pada Gambar 17. 69.47 24.81 3.19 2.53 Perahu tanpa motor Perahu motor tempel Perahu motor dalam Kapal motor Gambar 17 Perkembangan jumlah RTP dan nelayan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006. Jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan RTP di Kota Sorong dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2002-2006 menunjukkan peningkatan. Perkembangan jumlah nelayan selama tahun 2002-2006 adalah rata-rata 15,06 per tahun sedangkan jumlah RTP rata-rata 47,53 per tahun. Data jumlah nelayan dan RTP Kota Sorong disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah rumah tangga perikanan RTP dan nelayan di Kota Sorong dan perkembangannya dari tahun 2002 – 2006 Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007 Uraian Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Rumah Tangga Perikanan 380 624 788 808 814 Nelayan 1410 1872 2252 2347 2416 Perkembangan RTP 64.21 26.28 25.38 74.25 Nelayan 32.77 20.29 4.22 2.94 500 1000 1500 2000 2500 3000 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Ju m lah R T P , o ran g Rumah Tangga Perikanan Nelayan 5 HASIL PENELITIAN

5.1 Keragaan Unit Penangkapan Ikan Pelagis

5.1.1 Armada penangkapan

Hasil survey menunjukkan bahwa armada penangkapan untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong umumnya masih berskala kecil dan menggunakan teknologi penangkapan yang masih sederhana. Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong yaitu jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Armada penangkapan ikan di Kota Sorong sampai saat ini masih didominasi perahu tanpa motor yaitu sekitar 69. Akan tetapi untuk penangkapan ikan pelagis, sebagian besar sudah menggunakan perahu motor. Pada umumnya perahukapal yang digunakan untuk pengoperasian penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong terbuat dari bahan kayu dengan ukuran yang bervariasi. Khusus untuk perahu penangkapan tuna, bahan yang digunakan adalah triplex marine. Jenis dan merk mesin yang digunakan juga bervariasi tergantung ukuran perahukapal yang digunakan. Spesifikasi jenis unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Tabel 22.

5.1.2 Alat tangkap

5.1.2.1 Jaring insang gillnet

Jaring insang gillnet merupakan alat tangkap berupa lembar dinding jaring berbentuk empat persegi panjang. Jaring insang yang digunakan nelayan di Kota Sorong untuk penangkapan ikan pelagis, dioperasikan secara menetap di permukaan set surface gillnet. Pada kedua ujung jaring diikatkan tali jangkar, sehingga letakposisi jaring menjadi menetap. Float line tali ris atas dan tali pelampung akan berada di permukaan air sea surface. Konstruksi jaring insang permukaan set surface gillnet yang digunakan nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 18. Sedangkan armada penangkapan jaring insang dapat dilihat pada Gambar 19. Tabel 22. Spesifikasi unit penangkapan ikan pelagis yang diteliti di Kota Sorong Spesifikasi alat tangkap Klasifikasi armada penangkapan Unit perikanan tangkap Msz cm Pjg m Tgg m Pjg m Lbr m Tgg m Merk mesin dan kekuatan PK Jumlah Nelayan Orang Daerah penangkapan Jenis tangkapan utama Pancing tonda trolling lines - 200 - 500 - 4.0- 9.0 0.4- 1.0 0.4- 0.9 Yamaha 15-40 Daeho 5.5 1-2 Makbon Urbinasopen Raam Sausapor Mega Cakalang Tuna Tenggiri Jaring insang gill net 6-8 100 - 400 2-6 4- 12 0.5- 1.0 0.4- 0.8 Yamaha 15-40 2-4 Batanta P. Senapan P. Raam Tongkol Kembung Tenggiri Selar Bagan perahu boat liftnet 1-2 12- 21 12- 21 12- 21 0.9 0- 1.2 0.7 0- 2.6 Yamaha 40 4-5 Arar P. Soop Jefman Kalobo Samate Teri Sibula Tembang Layang Pancing Tuna handline - 100 - 200 - 4.8 0-8 0.5 0- 0.9 0.4 0- 0.6 Yamaha 15 Mitsubishi 6 Honda 3.5-13 1-2 Makbon Tuna Gambar 18 Konstruksi jaring insang menetap permukaan set surface gillnet yang digunakan nelayan di Kota Sorong. Keterangan : 1 = Pelampung berat 2,5 gr 2 = Tali ris atas pelampung 6,8 mm 3 = Tali ris atas jaring 6,8 mm 4 = Badan jaring bahan benang 5 mm 5 = Tali ris bawah dilapisi cairan timah 6 mm 6 = Jangkar 5 kg 6 Gambar 19 Armada penangkapan jaring insang di Kota Sorong. Jaring insang yang dioperasikan oleh nelayan di Kota Sorong berukuran panjang 50 m untuk setiap pis jaring dan tinggi 4 m. Jumlah pis jaring yang dirangkaikan pada waktu pengoperasian rata-rata berjumlah 2-8 pis tergantung pada daerah penangkapan. Bahan jaring terbuat dari nylon monofilament dengan ukuran mata jaring mesh size 6-8 cm. Dalam pengoperasiannya setelah jaring diturunkan setting, kemudian setelah 3-6 jam jaring diangkat hauling. Jenis ikan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis adalah ikan cakalang Katsuwonus pelamis, ikan tongkol Euthynnus affinis , ikan tenggiri Scomberomorus commerson dan ikan kembung Rastrelliger spp. Ilustrasi pengoperasian jaring insang yang dilakukan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 20. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang dilakukan selama 2-3 hari untuk satu trip penangkapan. Pada umumnya pendaratan ikan dilakukan pada pagi hari atau sore hari disesuaikan dengan waktu ramainya pengunjung di pasar. Setiap kali operasi penangkapan, dilakukan 2-3 kali setting. Kegiatan operasi penangkapan dengan jaring insang, biasanya dilakukan selama 22 hari dalam 1 satu bulan. Jumlah nelayan dalam setiap operasi penangkapan biasanya berjumlah 2-4 orang yang terdiri dari 1 orang nelayan pemilik serta 2-3 orang nelayan pengikut. Rata-rata pendapatan bersih nelayan jaring insang dalam 1 satu bulan berkisar dari Rp 627.275,- - Rp 940.913,-. Berdasarkan pengamatan data hasil tangkapan jaring insang dalam satu bulan, diperoleh ukuran ikan layak tangkap yang dihasilkan adalah rata-rata sebesar 62 dari hasil tangkapan. Gambar 20 Ilustrasi pengoperasian jaring insang di Kota Sorong. 5.1.2.2 Bagan perahu boat liftnet Alat penangkapan dengan bagan perahu yang digunakan di Kota Sorong umumnya menggunakan 1 satu buah perahu dengan jaring yang berbentuk persegi panjang. Rata-rata ukuran panjang dan lebar jaring sama dengan ukuran panjang perahu dan lebar semang perahu. Rata-rata jaring yang digunakan berukuran panjang 12 – 23 m dengan ukuran mata jaring 1-2 cm. Untuk menarik jaring pada waktu pengoperasian bagan, digunakan katrol sebagai alat penggulung tali line hauler yang terbuat dari kayu dan terletak pada bagian sisi depan kerangka bagan. Pada bagian tengah bangunan bagan terdapat rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat dan bahan bakar serta perlengkapan lainnya. Dalam pengoperasiannya, bagan dilengkapi dengan perahu motor berkekuatan 15 PK atau 40 PK yang berfungsi untuk menarik bagan menuju daerah penangkapan juga untuk mengangkut hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base. Untuk mengumpulkan ikan, nelayan bagan perahu menggunakan perlengkapan tambahan berupa lampu petromax yang jumlahnya bervariasi antara 6-15 unit. Waktu pengoperasian bagan perahu dilakukan pada malam hari selama sepanjang tahun. Umumnya nelayan bagan perahu melakukan operasi penangkapan selama 9-10 jam per trip. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan segera dipasarkan untuk menghindari menurunnya kualitas ikan. Hasil tangkapan bagan perahu yang dominan dan cukup bernilai ekonomis adalah teri Stolephorus sp, ikan simbulah Amblygaster sirm dan ikan peperak Selaroides leptolesis . Unit penangkapan bagan perahu yang digunakakan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 21 serta proses pengangkatan jaring hauling pada bagan perahu dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 21 Bagan perahu yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong. Jumlah nelayan dalam setiap operasi penangkapan bagan perahu berjumlah rata-rata 4-5 orang. Pendapatan bersih usaha penangkapan bagan perahu dalam satu tahun adalah Rp 166.675.000,-. Sehingga pendapatan bersih pemilik dalam satu bulan adalah Rp 7.576.136,-, sedangkan pendapatan nelayan pengikut selama satu bulan adalah berkisar Rp 1.515.227,- - Rp 1.894.034,-. Ukuran ikan hasil tangkapan yang layak tangkap pada bagan perahu adalah rata-rata 45 dari jumlah hasil tangkapan setiap trip. Gambar 22 Proses pengangkatan jaring hauling pada bagan perahu di Kota Sorong. 5.1.2.3 Pancing tonda trolling lines Umumnya pancing tonda trolling lines yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong, menggunakan unit pancing rata-rata 6-7 unit untuk tiap perahu dengan jenis umpan buatan yang terbuat dari tali rafia Gambar 23. Bahan tali pancing terdiri dari nilon ukuran nomor 90-100 dengan panjang tali bervariasi berkisar antara 200m-500m. Daerah penangkapan dipusatkan di rumpon yang disediakan oleh perusahaan perikanan maupun Dinas perikanan. Penangkapan dilakukan pada kedalaman 30 m untuk pagi hari, sedangkan siang hari pada kedalaman 70-80 m. Kegiatan penangkapan dengan pancing tonda dilakukan nelayan dimulai pada pagi hari sekitar jam 04.00 hingga sore hari jam 17.00 WIT. Ukuran mata pancing yang digunakan bervariasi, umumnya menggunakan pancing nomor 5-8. Jenis hasil tangkapan pancing tonda adalah ikan cakalang Katsuwonus pelamis dan tenggiri Scomberomorus commerson serta tuna Thunnus albacares berukuran muda 1-5 kg. Jumlah nelayan setiap armada penangkapan pancing tonda adalah berjumlah 1-2 orang. Pendapatan usaha penangkapan dengan pancing tonda dalam setahun adalah sebesar Rp 103.817.112,-. Pendapatan pemilik dalam satu bulan adalah sebesar Rp 4.718.960,-, sedangkan penghasilan nelayan pengikut dalam satu bulan adalah berkisar Rp 1.572.987,- - Rp 2.359.480,-. Berdasarkan pengamatan terhadap ukuran ikan layak tangkap pada hasil tangkapan pancing tonda selama satu bulan, menunjukkan prosentase rata-rata sebesar 84 dari hasil tangkapan. Kualitas ikan hasil tangkapan dengan pancing tonda nampak lebih baik dibandingkan dengan jaring insang. Hal ini disebabkan karena proses penanganan hasil tangkapan yang berbeda. Pada pancing tonda, hasil tangkapan biasanya dalam keadaan hidup dan segera ditempatkan pada coldbox yang dibawa diatas perahu. Sedangkan pada jaring insang, ikan yang tertangkap biasanya dalam keadaan mati bahkan ada juga yang rusak karena terlalu lama dalam jaring. Jenis unit armada penangkapan dengan pancing tonda yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Gambar 23 Unit alat tangkap pancing tonda di Kota Sorong. Pegangan Swivel Tali utama Tali cabang Rumbai-rumbai Mata pancing Gambar 24 Unit armada penangkapan pancing tonda di Kota Sorong Gambar 25 Nelayan pancing tonda yang sedang beroperasi di perairan sekitar Kota Sorong. 5.1.2.4 Pancing tuna handlines Kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan di Kota Sorong adalah dengan menggunakan pancing tuna handlines. Jumlah mata pancing yang digunakan berkisar 1-2 unit untuk setiap unit pancing ulur. Ukuran mata pancing yang digunaka pada umumnya nomor 7-9. Panjang tali pancing juga bervariasi yaitu berkisar antara 100-200m. Tali pancing berupa tali nilon berukuran 120-140 untuk tali utama, sedangkan tali cabang berukuran 80. Umpan yang digunakan adalah umpan hidup berupa potongan ikan komo dengan berat rata-rata 0,25 kg. Konstruksi unit alat tangkap pancing tuna dan armada penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27. Gambar 26 Unit alat tangkap pancing tuna yang digunakan nelayan di Kota Sorong. Waktu pengoperasian pancing tuna dilakukan sepanjang tahun dan kegiatan penangkapannya umumnya dimulai pada pagi hari jam 10.00 hingga sore hari jam 18.00 WIT. Dalam satu bulan nelayan melakukan penangkapan selama 25 hari. Rata-rata produksi pancing tuna adalah sebesar 53,64 kgtrip dengan rata-rata berat ikan yang tertangkap adalah 30-50 kgekor. Jumlah nelayan dalam setiap armada penangkapan berjumlah 1-2 orang. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan tuna selama 1 satu bulan, persentase jumlah ikan yang layak tangkap adalah rata-rata sebesar 87 dari hasil tangkapan setiap trip. Pendapatan usaha pancing tuna dalam setahun mencapai Rp 61.088.200,-. Sedangkan pendapatan pemilik dalam setahun adalah sebesar Rp 30.544.100,-, sehingga pendapatan pemilik dalam satu bulan Tali utama Tali cabang Mata pancing Pemberat Swivel Pegangan adalah sebesar Rp 2.776.736,-, sementara penghasilan nelayan pengikut dalam satu bulan adalah sebesar Rp 1.388.368,- Gambar 27 Armada penangkapan pancing tuna di Kota Sorong. Usaha penangkapan ikan tuna di Kota Sorong, umumnya bermitra dengan pengusaha pengolahan tuna fillet. Hasil olahan tuna fillet selanjutnya dipasarkan ke Ujung Pandang untuk di ekspor. Oleh karenanya kualitas hasil tangkapan nelayan sangat menentukan harga jual. Rata-rata harga tuna hasil tangkapan nelayan yang dibeli oleh perusahaan berkisar Rp 4500-8500 per kg tergantung ukuran dan kualitas ikan hasil tangkapan. Hasil tangkapan oleh nelayan ditampung oleh kapal penampung yang berada di sekitar rumpon. Sehingga mengurangi biaya bahan bakar para nelayan untuk membawa hasil tangkapan.

5.1.3 Daerah dan musim penangkapan

Daerah penangkapan fishing ground tuna dan cakalang adalah di rumpon- rumpon yang diletakkan di perairan lepas pantai sekitar perairan Makbon. Jarak dari fishingbase ke daerah penangkapan kurang lebih 16-20 mil ke arah laut dan membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam tergantung dari mesin yang digunakan. Daerah penangkapan untuk jaring insang lebih dekat ke arah pantai yaitu sekitar perairan Pulau Batanta, Pulau Senapan, pulau Raam, kurang lebih 2-3 mil jaraknya dari fishingbase dan membutuhkan waktu 1-2 jam. Daerah penangkapan bagan perahu berada di teluk-teluk sekitar perairan Arar, Pulau Jefman dan Kalobo. Jarak yang ditempuh dari fishingbase 1-2 mil dan membutuhkan waktu 1,5 jam. Daerah penangkapan ikan - ikan pelagis di perairan sekitar Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di Kota Sorong, musim puncak ikan cakalang, tongkol dan tuna berlangsung selama 3 bulan yaitu Januari, Pebruari dan Maret. Musim sedang berlangsung pada musim peralihan dari utara ke Selatan selama 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni, sedangkan bulan Juli, Agustus, September terjadi musim paceklik yaitu hasil tangkapan paling rendah. Musim peralihan dari selatan ke Utara yaitu bulan Oktober, Nopember dan Desember, hasil tangkapan nelayan tidak tetap. Untuk jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan menggunakan bagan perahu, musim puncak berlangsung selama 5 bulan yaitu bulan Agustus sampai dengan Desember. Musim biasa pada bulan Januari, Pebruari, Maret dan musim paceklik pada bulan April, Mei dan Juni.

5.2 Perkembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong

5.2.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan Hasil tangkapan ikan pelagis dari Kota Sorong dalam lima tahun terakhir 2002-2006 mengalami peningkatan produksi. Perkembangan produksi rata-rata sebesar 65,3 per tahun Gambar 29. Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan pelagis Tahun Total produksi ton Upaya unit CPUE tonunit 2002 154.62 892 0.173 2003 208.44 1094 0.191 2004 264.57 1431 0.185 2005 787.00 1721 0.457 2006 803.69 1568 0.513 Gambar 28 Daerah penangkapan ikan pelagis di sekitar Kota Sorong. Pada kurun waktu 2002-2006 terjadi peningkatan produksi diiringi dengan peningkatan upaya penangkapan. Sedangkan upaya penangkapan menurun sebanyak 153 unit, namun masih terjadi peningkatan produksi sebesar 16,69 ton pada tahun 2005-2006. Gambar 29 Perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong. Upaya penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dalam kurun waktu 2002- 2006 cenderung terjadi peningkatan Gambar 30. Walaupun terjadi penurunan pada tahun 2006 sebanyak 153 unit, namun secara keseluruhan terjadi kecenderungan meningkat dengan perkembangan rata-rata per tahun sebesar 16,2. Gambar 30 Perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong. Pendekatan yang digunakan untuk menduga kelimpahan hasil tangkapan adalah dengan membandingkan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan atau catch perunit effort CPUE. Nilai rata-rata periode tahun 2002-2006 adalah 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 900.00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun C a tc h T on 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun E ff o rt U n it sebesar 0,304 ton perunit alat tangkap. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,513 ton perunit dan terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 0,173 ton perunit. Kecenderungan nilai CPUE secara keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 19,08 pertahun Gambar 31. Hubungan CPUE dengan effort perikanan pelagis di Kota Sorong menunjukkan kecenderungan meningkat Gambar 32. Gambar 31 Perkembangan CPUE perikanan pelagis di Kota Sorong. Gambar 32 Grafik hubungan CPUE dengan effort perikanan pelagis di Kota Sorong.

5.2.2 Kelayakan usaha

Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat apakah pengembangan penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong layak dilakukan secara finansial. Analisa kelayakan usaha yang dilakukan dalam pengembangan usaha 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun C P U E ton uni t 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 Effort unit C P U E ton uni t penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong meliputi penghitungan biaya investasi, biaya operasional penangkapan, biaya total, pendapatan dan keuntungan yang dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti net benefit cost ratio Net BC, net present value NPV, internal rate of return IRR dan break even point BEP terhadap 4 empat jenis alat tangkap yaitu jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Berdasarkan Hasil analisis aspek finansial dari keempat alat penangkapan tersebut, diperoleh bahwa keempat alat penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong layak dikembangkan. Hasil analisis finansial berdasarkan kriteria-kriteria kelayakan usaha tersebut diatas disajikan pada Tabel 24. Perhitungan secara detail dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 24. Hasil analisis finansial dari unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Alat tangkap jaring insang bagan perahu pancing tonda pancing tuna No Kriteria kelayakan usaha Keputu san 1 NPV 4.025.924 64.408.164,9 25.331.388,7 64.416.010 Layak 2 Net BC 1,05 1,22 1,12 1,80 Layak 3 IRR 23,91 42,31 48,53 44,47 Layak

5.2.2.1 Net present value NPV

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPV dari keempat unit alat penangkapan yang dianalisa berdasarkan tahun perhitungan discount rate sebesar 18 menghasilkan jenis alat penangkapan pancing tuna adalah paling layak dikembangkan dengan nilai NPV sebesar Rp. 64.416.010,- diikuti oleh bagan perahu dengan nilai NPV sebesar Rp. 64.408.164,9,- dan pancing tonda dengan nilai sebesar Rp. 25.331.388,7,- , sedangkan yang terendah nilai NPV sebesar Rp. 4.025.924,- dari jaring insang gillnet. Berdasarkan nilai NPV dari keempat unit alat penangkapan ikan pelagis yang dianalisa, menunjukkan keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha penangkapan dengan pancing tuna lebih menguntungkan dibandingkan dengan unit alat penangkapan yang lain, sedangkan bagan perahu lebih menguntungkan dibandingkan dengan alat penangkapan pancing tonda dan jaring insang. Namun demikian pancing tonda lebih menguntungkan dibandingkan dengan jaring insang.

5.2.2.2 Net benefit cost ratio Net BC

Hasil perhitungan Net BC adalah menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Berdasarkakn analisis Net BC yang dilakukan terhadap keempat unit alat penangkapan pelagis di Kota Sorong, diperoleh bahwa keempat jenis alat penangkapan yakni jaring insang , bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna memiliki nilai BC lebih besar dari 1. Dari hasil analisis Net BC tersebut nampak bahwa pancing tuna memiliki nilai BC terbesar yaitu sebesar 1,80 diikuti oleh bagan perahu sebesar 1,22, pancing tonda sebesar 1,12 dan yang terendah adalah jaring insang sebesar 1,05.

5.2.2.3 Internal rate of return IRR

Internal rate of return IRR adalah merupakan discount rate yang dapat membuat NPV proyek atau usaha sama dengan nol 0, atau yang dapat membuat BC ratio sama dengan 1. Perhitungan IRR bertujuan untuk mengetahui keuntungan dari suatu usaha setiap tahun dan merupakan alat ukur bagi kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu usaha. Berdasarkan hasil analisis IRR terhadap keempat unit alat penangkapan pelagis di Kota Sorong menunjukkan keempat unit alat tangkap tersebut layak dikembangkan karena memiliki nilai IRR diatas discount rate yang digunakan yaitu 18. Nilai IRR tertinggi sebesar 48,53 diperoleh dari pancing tonda, 44,47 dari pancing tuna, 42,31 dari bagan perahu dan 23,91 dari jaring insang. 5.3 Analisis AHP Penentuan Prioritas Berdasarkan persepsi atau “judgement” berbagai pihak yang telah diwawancarai tentang alternatif pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, kemudian persepsi dari para responden di kuantifikasikan kedalam angka Saaty 0.602 0.271 0.127 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 Nelayan Pengusaha Pemda dan akademisi Aktor VP 1991 dan diolah dengan menggunakan program komputer Excel. Hasil olahan data primer dari persepsi responden adalah sebagai berikut :

5.3.1 Aktor atau pelaku perikanan pelagis

Aktor yang berperan dan sangat menentukan keberhasilan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah nelayan, pengusaha serta Pemerintah daerah dan akademisi. Dari hasil analisis yang dilakukan Lampiran 4, nelayan mendapat prioritas tertinggi dengan nilai 0,602. Prioritas kedua adalah pengusaha dengan nilai 0,271 dan prioritas ketiga adalah Pemerintah daerah dan akademisi dengan nilai 0,127. Lebih jelasnya nilai prioritas aktor dapat dilihat pada Gambar 33. Gambar 33 Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. 5.3.2 Kriteria yang dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Kriteria-kriteria yang efektif untuk dipertimbangkan dalam menentukan alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong antara lain : produksi hasil tangkapan, mutu hasil tangkapan, ketersediaan pasar, pendapatan usaha dan potensi sumberdaya ikan. Dari hasil analisis, diperoleh bobot prioritas tertinggi sebesar 0,388 yaitu pada kriteria produksi hasil tangkapan, diikuti oleh prioritas kedua sebesar 0,249 untuk kriteria mutu hasil tangkapan, prioritas ketiga sebesar 0,182 untuk kriteria ketersediaan pasar, prioritas keempat sebesar 0,121 untuk kriteria pendapatan dan 0.388 0.249 0.182 0.121 0.059 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 Produksi Mutu Pasar Pendapatan Potensi SDI prioritas kelima yaitu kriteria potensi sumberdaya ikan sebesar 0,059 Gambar 34. Gambar 34 Kriteria dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.

5.3.3 Alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di

Kota Sorong Alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah peningkatan penanganan hasil tangkapan, pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kelembagaan dan permodalan dan peningkatan sarana dan prasarana penangkapan serta peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis menunjukkan dari kelima alternatif kebijakan tersebut diatas, peningkatan penanganan hasil perikanan adalah prioritas tertinggi dengan nilai 0,3450, menyusul prioritas kedua yaitu pengembangan alat tangkap berkelanjutan dengan nilai 0,2385, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dengan nilai 0,1422, peningkatan kelembagaan dan permodalan dengan nilai 0,1113, peningkatan sarana dan prasarana perikanan dengan nilai 0,0927 dan prioritas terakhir adalah peningkatan jumlah hasil perikanan dengan nilai 0,0703. Nilai prioritas alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Nilai prioritas alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Penilaian secara keseluruhan dari hasil AHP ditunjukkan pada Gambar 36. 0.345 0.2385 0.1422 0.1113 0.0927 0.0703 0.1 0.2 0.3 0.4 Peningkatan penanganan hasil tangkapan Pengembangan alat tangkap berkelanjutan Peningkatan kualitas SD nelayan dan aparat Peningkatan kelembagaan dan permodalan Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana penangkapan ikan Peningkatan jumlah hasil tangkapan A lte rn a ti f s tr a te gi VP Fokus Aktor Kriteria Alternatif Gambar 36 Nilai hasil analisis AHP pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. 5.4 Pemilihan Teknologi Tepat Guna untuk Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong. Berdasarkan hasil analisis strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dengan menggunakan AHP, maka alternatif strategi pengembangan alat tangkap berkelanjutan menjadi pilihan untuk dilakukan kajian selanjutnya. Pemilihan teknologi tepat guna untuk pemanfaatan sumberdaya pelagis di Kota Sorong dilakukan terhadap 4 empat jenis alat tangkap yaitu Nelayan PEMDA dan akademisi Produksi Mutu pasar Pendapatan Potensi sumberdaya ikan Peningkatan penanganan hasil tangkapan Pengembangan alat tangkap berkelanjutan Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat Peningkatan kelembagaan dan permodalan Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan Peningkatan jumlah hasil tangkapan Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong 0,602 0,388 0,249 0,182 0,121 0,059 0,3450 0,2385 0,1422 0,1113 0,0927 0,0703 Pengusaha 0,271 0,127 jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Keempat alat tersebut dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi untuk menentukan urutan prioritas alat tangkap yang tepat guna dan layak dikembangkan dalam usaha penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong.

5.4.1 Analisis aspek biologi

Analisis aspek biologi meliputi ukuran mata jaring, prersentase ukuran ikan layak tangkap, komposisi jumlah hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap dari setiap unit alat tangkap yang diteliti, pengecualian untuk jenis alat tangkap pancing diberikan kriteria sangat selektif untuk jenis kriteria ukuran mata jaring. Hal ini mengacu pada pendapat Monintja 1987 menyatakan bahwa pancing dasar, pancing tonda adalah sangat baik untuk dikembangkan karena memiliki selektivitas yang tinggi. Hasil yang diperoleh terhadap ukuran mata jaring dari masing-masing unit alat tangkap yang diseleksi adalah jaring insang 5-8 cm, bagan perahu 1-2 cm sedangkan alat tangkap pancing seperti pancing tonda dan pancing tuna termasuk dalam jenis alat tangkap yang sangat selektif. Untuk lebih jelasnya penilaian aspek biologi dengan kriteria ukuran mata jaring, komposisi jenis hasil tangkapan, persentase ukuran ikan layak tangkap dan cara pengoperasian alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 25. Selanjutnya dilakukan standarisasi terhadap aspek biologi secara keseluruhan dengan comparative performance index CPI seperti tertera pada Tabel 26. Tabel 25. Penilaian aspek biologi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Keterangan : X1 = Ukuran mata jaring cm. X2 = Persentase ukuran ikan layak tangkap. X3 = Jumlah komposisi hasil tangkapan. X4 = Cara pengoperasian alat tangkap. Kriteria Alternatif X1 X2 X3 X4 1. Bagan perahu 3 3 3 3 2. Jaring insang 9 5 3 3 3. Pancing tonda 9 5 5 5 4. Pancing tuna 9 7 7 5 Bobot kriteria 0.25 0.25 0.25 0.25 Tabel 26. Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi Kriteria Nilai Peringkat Alternatif X1 X2 X3 X4 Alternatif 1. Bagan perahu 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 4 2. Jaring insang 300.00 166.70 100.00 100.00 166.68 3 3. Pancing tonda 300.00 166.67 166.67 166.67 200.00 2 4. Pancing tuna 300.00 233.30 233.33 166.67 233.33 1 Bobot kriteria 0.25 0.25 0.25 0.25 Keterangan : Skor keunggulan adalah 1 dan terburuk adalah 4 Skor terendah dijadikan skor standar bernilai 100. Hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja menghasilkan untuk kriteria ukuran mata jaring mesh size terbaik diperoleh nilai yang sama pada unit penangkapan jaring insang, pancing tonda dan pancing tuna sedangkan yang terburuk adalah unit penangkapan bagan perahu. Kriteria ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap adalah dikaitkan dengan persentase hasil tangkapan yang berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad firts maturity. Hasil penilaian terbaik terhadap kriteria persentase ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap didapatkan pada unit penangkapan pancing tonda dan pancing tuna yaitu lebih dari 80 ikan yang tertangkap adalah berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad first maturity. Untuk jenis ikan cakalang Katsuwonus pelamis berukuran fork lenght FL 43 cm, ikan tongkol Euthinnus affinis berukuran fork lenght 40 cm, ikan tenggiri Scomberomorus commerson berukuran FL 65 cm dan ikan tuna Thunnus albacares berukuran FL 95 cm Collette and Nauen, 1983. Diikuti oleh jaring insang permukaan yaitu sebanyak 62 dari jumlah ikan yang tertangkap adalah berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad. Ukuran ikan pertama kali matang gonad untuk jenis ikan kembung Rastrelliger kanagurta TL 23 cm. Ikan kembung Rastrelliger brachysoma TL 17 cm Collette and Nauen, 1983, sedangkan yang terburuk adalah unit penangkapan bagan perahu yaitu sebesar 45 rata-rata hasil tangkapan utama berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad. Untuk jenis ikan yang tertangkap oleh bagan perahu seperti ikan teri Stolephorus indicus adalah TL 12 cm, ikan simbulah Amblygaster sirm TL 13 cm, ikan peperak Selaroides leptolesis TL 10,10 cm Collette and Nauen, 1983. Kriteria komposisi jenis hasil tangkapan yang terbaik diperoleh pada unit penangkapan pancing tuna diikuti oleh pancing tonda dan yang terburuk adalah bagan perahu dan jaring insang. Sedangkan untuk kriteria cara pengoperasian alat tangkap yang terbaik diperoleh pada unit penangkapan pancing tonda dan pancing tuna diikuti oleh bagan perahu dan jaring insang.

5.4.2 Analisis Aspek Teknis

Analisis aspek teknis meliputi penilaian terhadap kriteria produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tahun. Penilaian terhadap kriteria tersebut disajikan pada Tabel 27. Selanjutnya dilakukan standarisasi terhadap aspek teknis secara keseluruhan dengan comparative performant index CPI seperti disajikan pada Tabel 28. Tabel 27. Penilaian aspek teknis terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Jenis alat Kriteria tangkap X5 X6 X7 Bagan perahu 268.89 53.78 76903.30 Jaring insang 80.10 26.70 640.82 Pancing tonda 218.17 109.08 57596.90 Pancing Tuna 49.52 49.50 14163.40 Bobot kriteria 0.20 0.50 0.30 Keterangan : X5 = Produksi per trip X6 = Produksi per tenaga kerja X7 = Produksi per tahun Tabel 28. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek teknis. Kriteria Nilai Alternatif X5 X6 X7 alternatif Peringkat 1. Bagan perahu 542.99 201.42 12000.80 3600.23 1 2. Jaring insang 161.75 100.00 100.00 112.35 4 3. Pancing tonda 440.57 408.54 8987.99 2988.78 2 4. Pancing tuna 100.00 185.39 2210.19 775.75 3 Bobot kriteria 0.20 0.50 0.30 Keterangan : Skor keuggulan adalah 1 dan terburuk adalah 4. Skor terendah dijadikan skor standar bernilai 100. Berdasarkan hasil transformasi melalui comparative performance index CPI , maka diperoleh produksi hasil tangkapan terbaik adalah penangkapan dengan menggunakan bagan perahu, diikuti oleh pancing tonda, pancing tuna dan yang terburuk adalah jaring insang. 5.4.3 Analisis Aspek Sosial Kriteria yang digunakan dalam penilaian aspek sosial adalah penyerapan jumlah tenaga kerja tiap unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi terhadap alat penangkapan yang digunakan dan kemungkinan pemilikan unit alat penangkapan. Penilaian aspek sosial terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Penilaian aspek sosial terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Keterangan : X8 = Jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan X9 = Tingkat penguasaan teknologi X10 = Kemungkinan kepemilikan unit penangkapan Hasil standarisasi nilai dari aspek sosial dengan menggunakan comparative performance index CPI disajikan pada Tabel 30. Berdasarkan transformasi nilai untuk kriteria aspek sosial pada Tabel 30, menghasilkan alat penangkapan terbaik adalah pancing tonda diikuti oleh pancing tuna, jaring insang dan yang terburuk adalah bagan perahu. Kriteria Alternatif X8 X9 X10 1. Bagan perahu 5 3 0.36 2. Jaring insang 3 5 1.09 3. Pancing tonda 3 5 3.99 4. Pancing tuna 1 3 3.49 Bobot kriteria 0.40 0.30 0.30 Tabel 30. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek sosial kriteria Nilai Peringkat Alternatif X8 X9 X10 Alternatif 1. Bagan perahu 500 100 100 260 4 2. Jaring insang 300 166.67 302.78 260.80 3 3. Pancing tonda 300 166.67 1108.33 502.50 1 4. Pancing tuna 100 100 969.44 360.80 2 Bobot kriteria 0.40 0.30 0.30

5.4.4 Analisis aspek ekonomi

Aspek ekonomi yang dinilai adalah efisiensi usaha penangkapan dengan kriteria kelayakan usaha yaitu net present value NPV, benefit cost ratio net BC , internal rate of return IRR dan pendapatan nelayan. Penilaian aspek ekonomi dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Penilaian aspek ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Kriteria Alternatif X11 X12 X13 X14 X15 1. Bagan perahu 64408164.9 1.22 42.31 165049445 18750936 2. Jaring insang 4025924 1.05 23.91 40960160 10350043 3. Pancing tonda 25331388.7 1.12 48.53 102607112 21628569 4. Pancing tuna 64416010 1.8 44.47 59768200 237914254 Bobot kriteria 0.15 0.15 0.15 0.25 0.3 Keterangan : X11 = Nilai net present value NPV X12 = Nilai BC ratio X13 = Nilai internal rate of return IRR X14 = Pendapatan bersih per tahun X15 = Pendapatan rata-rata per tenaga kerja per tahun Selanjutnya dilakukan transformasi melalui perbandingan indeks kinerja. Hasil transformasi aspek ekonomi untuk penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek ekonomi Alternatif Kriteria Nilai Peringkat X11 X12 X13 X14 X15 Alternatif Bagan perahu 1599.84 116.19 176.96 402.95 181.17 439.04 2 Jaring insang 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 4 Pancing tonda 629.21 106.67 202.97 250.50 208.97 266.14 3 Pancing tuna 1600.03 171.43 185.99 145.92 2298.68 1019.70 1 Bobot kriteria 0.15 0.15 0.15 0.25 0.30 Dari Tabel 32 diatas terlihat bahwa penilaian aspek ekonomi yang ditinjau dari kelayakan usaha, menghasilkan unit penangkapan bagan perahu menunjukkan nilai tertinggi diikuti oleh unit penangkapan pancing tuna, pancing tonda dan nilai terendah adalah jaring insang.

5.4.5 Analisis aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.

Untuk mendapatkan alat tangkap terpilih atau teknologi yang tepat guna yang menjadi prioritas untuk dikembangkan, dilakukan penggabungan nilai dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Jumlah nilai gabungan tertinggi merupakan urutan prioritas yang paling layak dikembangkan. Nilai gabungan unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 33. Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan seperti pada Tabel 33 dilakukan transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk unit penangkapan ikan pelagis. Transformasi melalui perbandingan indeks kinerja dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 33. Penilaian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Kriteria Alat tangkap X16 X17 X18 X19 Bagan perahu 100.00 3600.23 260.00 439.04 Jaring insang 166.68 112.35 260.80 100.00 Pancing tonda 216.66 2988.78 502.50 266.14 Pancing tuna 233.33 775.75 360.80 1019.70 Bobot kriteria 0.30 0.20 0.20 0.30 Keterangan : X16 = Aspek Biologi X17 = Aspek Teknis X18 = Aspek Sosial X19 = Aspek Ekonomi Tabel 34. Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Alternatif Kriteria Nilai Peringkat X16 X17 X18 X19 Alternatif Bagan perahu 100.00 3204.48 100.00 439.04 822.61 1 Jaring insang 166.68 100.00 100.31 100.00 120.07 4 Pancing tonda 216.66 2660.24 193.27 266.14 715.54 2 Pancing tuna 233.33 690.48 138.77 1019.70 541.76 3 Bobot kriteria 0.30 0.20 0.20 0.30 Berdasarkan hasil transformasi, maka secara keseluruhan hasil nilai gabungan dari keempat aspek diperoleh jumlah skor bagan perahu merupakan skor tertinggi, diikuti oleh pancing tonda, pancing tuna dan skor terendah adalah jaring insang.

5.5 Analisis Fungsi Produksi

Aspek teknis produksi merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input faktor teknis produksi penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan unit penangkapan ikan yang tepat guna berdasarkan hasil determinasi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong yaitu bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna yang diduga berpengaruh terhadap out put hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan produksi. Analisis fungsi produksi perikanan pelagis di Kota Sorong, dibutuhkan beberapa variabel produksi X yang diduga berpengaruh terhadap produksi atau hasil tangkapan.

5.5.1 Bagan perahu boat liftnet

Faktor-faktor teknis produksi dari bagan perahu yang diduga berperan dalam usaha perikanan pelagis di Kota Sorong, antara lain : ukuran perahu X 1 dengan satuan Gross Tonage GT, luas jaring X 2 dengan satuan m 2 , jumlah jam operasi X 3 dengan satuan jam, jumlah lampu X 4 dengan satuan unit, jumlah tenaga kerja X 5 dengan satuan orang dan pengalaman X 6 dengan satuan tahun. Penyelesaian analisis fungsi produksi digunakan analisis regresi linier berganda.. Untuk menghindari model yang jauh menyimpang, maka tahap awal analisis regresi adalah dilakukan prediksi model dengan melihat model regresi dengan menggunakan program Minitab 14. Model persamaan regresi untuk bagan perahu yang dihasilkan adalah : Y = - 15778 + 125 X 1 + 2.8 X 2 + 54.9 X 3 + 1044 X 4 + 2649 X 5 + 3 X 6 , dengan nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 98,9. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual data disajikan pada Gambar 37. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama dapat dilihat pada Tabel 35. Gambar 37 Distribusi normal residual persamaan regresi bagan perahu. RESI 1 P e rc e n t 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04 -0.05 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0.150 -3.10862E-15 StDev 0.01760 N 20 KS 0.084 P- Value Probability Plot of RESI 1 Normal Tabel 35. Analisis varian untuk fungsi produksi bagan perahu di Kota Sorong Source DF SS MS F P Regression 6 16106664715 2684444119 287.91 0.000 Residual Error 13 121211099 9323931 Total 19 16227875814 Nilai F hit adalah 287.91 F tabel0.05 sebesar 2.92 artinya seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi. Berdasarkan uji korelasi antara ketujuh faktor produksi yang dianalisis dengan menggunakan korelasi matriks pearson menunjukkan terdapat multikolinieritas antar faktor-faktor tersebut. Untuk mengatasi multikolinieritas antar variabel independent diatas, sehingga menghasilkan permodelan yang tepat, maka dilakukan regresi stepwise dengan menggunakan program Minitab 14. Hasil perlakuan regressi Stepwise terhadap variabel-variabel independent, diperoleh jumlah jam operasi, jumlah petromaks dan jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R 2 = 98,99 Lampiran 8. Hubungan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap produksi hasil tangkapan disajikan pada Gambar 38. Gambar 38 Hubungan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap produksi bagan perahu yang dioperasikan di Kota Sorong. Jumlah jam operasi P ro d u k s i 2400 1600 800 150000 125000 100000 75000 50000 Jumlah lampu 16 12 8 Jumlah t enaga kerja 6 5 4 Matrix Plot of Produksi vs Jumlah jam o, Jumlah lampu, Jumlah tenag

5.5.2 Pancing tonda trolling lines

Faktor teknis atau variabel independen pancing tonda yang diduga berpengaruh terhadap produksi hasil tangkap antara lain ukuran perahu X 1 , jumlah mata pancing X 2 , jumlah jam operasi X 3 , jumlah tenaga kerja X 4 , pengalaman nelayan X 5 dan jumlah unit pancing X 6 . Hasil analisis regresi berganda dengan program Minitab 14 pada Lampiran 8, diperoleh hubungan antara faktor-faktor teknis dengan hasil tangkapan pancing tonda trolling lines dengan persamaan sebagai berikut : Y = - 14460 - 592 X 1 + 2420 X 2 + 2.02 X 3 + 1440 X 4 + 15 X 5 + 3585 X 6 , dengan nilai R2 = 80,7. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual data dapat dilihat pada Gambar 39. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama uji F dapat dilihat pada Tabel 36. Gambar 39 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tonda. Tabel 36. Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tonda di Kota Sorong Source DF SS MS F P Regression 6 2441039300 406839883 27.56 0.000 Residual Error 32 472370032 14761564 Total 38 2913409332 Nilai F hit adalah 27,26 F tabel0.05 sebesar 2.42 artinya seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi. RESI 1 P e rc e n t 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0.150 -1.00205E-15 StDev 0.1393 N 39 KS 0.097 P-Value Probability Plot of RESI 1 Normal Berdasarkan analisis korelasi antara variabel independen menunjukkan terdapat hubungan yang erat antar variabel independen tersebut. Sehingga untuk mendapatkan model yang tepat, dilakukan analisis regresi stepwise. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi stepwise menunjukkan jumlah mata pancing dan jumlah unit pancing berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R 2 = 77,03. Hubungan jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap produksi pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 40. Gambar 40 Hubungan jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap produksi pancing tonda yang dioperasikan di Kota Sorong.

5.5.3 Pancing tuna handlines

Faktor teknis atau variabel independen pancing tuna yang diduga berpengaruh terhadap produksi hasil tangkap antara lain : ukuran perahu X 1 , jumlah mata pancing X 2 , jumlah jam operasi X 3 , jumlah tenaga kerja X 4 dan pengalaman nelayan X 5 . Hasil analisis regresi berganda dengan program Minitab 14 pada Lampiran 8, diperoleh hubungan antara faktor-faktor teknis dengan hasil tangkapan pancing tonda trolling lines dengan persamaan sebagai berikut : Y = - 47811 - 2055 X 1 - 143 X 2 + 0.3 X 3 + 9172 X 4 + 6513 X 5 dengan nilai koefisien determinasi R 2 = 53,9. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual Jumlah mat a pancing P ro d u k s i 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 50000 40000 30000 20000 10000 Jumlah unit pancing 12 10 8 6 4 Matrix Plot of Produksi vs Jumlah mata pancing, Jumlah unit pancing data dapat dilihat pada Gambar 41. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama uji F dapat dilihat pada Tabel 37. Gambar 41 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tuna. Tabel 37. Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tuna di Kota Sorong Source DF SS MS F P Regression 5 8427522771 1685504554 5.61 0.001 Residual Error 24 7215805986 300658583 Total 29 15643328757 Nilai F hit adalah 5,61 F tabel 0.05 sebesar 2.62. Seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi. Berdasarkan analisis korelasi antara variabel independen menunjukkan terdapat hubungan yang erat antar variabel independen tersebut. Sehingga untuk mendapatkan model yang tepat, dilakukan analisis regresi stepwise. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi stepwise menunjukkan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R 2 = 53,7. Hubungan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap produksi pancing tuna dapat dilihat pada Gambar 42. RESI 1 P e rc e n t 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0.049 -1.33227E-15 StDev 0.2259 N 30 KS 0.160 P-Value Probability Plot of RESI 1 Normal Gambar 42 Hubungan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap produksi pancing tuna yang dioperasikan di Kota Sorong. Jumlah t enaga kerja P ro d u k s i 4 3 2 1 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 Pengalaman nelayan 15 10 5 Matrix Plot of Produksi vs Jumlah tenaga kerja, Pengalaman nelayan 6 PEMBAHASAN

6.1 Kondisi dan Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong

Produksi dipengaruhi oleh besarnya tingkat upaya pemanfaatan. Semakin besar target produksi, maka tingkat upaya terhadap target tersebut juga diintensifkan. Dalam perikanan, hal semacam ini tidak selalu memberikan hasil positif karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya terutama keberadaan sumberdaya perikanan itu sendiri, kemampuan armada penangkapan dan kondisi oceanografis. Perkembangan produksi, effort dan CPUE perikanan pelagis di Kota Sorong dalam kurun waktu 2002-2006 cenderung meningkat seperti terlihat pada Gambar 30,31 dan 32. Penurunan effort terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 153 unit. Hal ini diduga berkaitan dengan terjadinya kenaikan harga BBM, sehingga unit penangkapan ikan pelagis sebagian dijual kepada nelayan lain yang berasal dari luar Kota Sorong. Terdapat juga beberapa unit penangkapan yang telah mengalami kerusakan sehingga tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Menurunnya effort tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi. Bahkan produksi menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hal ini dapat digambarkan bahwa dengan menurunnya effort, produksi tetap akan meningkat. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa kondisi perikanan pelagis di Kota Sorong masih dapat dikembangkan dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian untuk menjaga keberlanjutan potensi sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong. Hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort CPUE sepanjang tahun 2002-2006 menunjukkan grafik dengan kecenderungan menaik. Nilai CPUE dipergunakan untuk mengetahui kecenderungan produktivitas alat tangkap ikan pelagis dalam kurun waktu tertentu. Kecenderungan nilai CPUE yang menunjukkan peningkatan disebabkan oleh meningkatnya unit alat tangkap rata- rata 19,08 per tahun dan adanya perkembangan teknologi penangkapan ikan dengan program motorisasi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Kota Sorong, sehingga jangkauan fishing ground nelayan semakin jauh. Korelasi antara CPUE dengan effort menunjukkan hubungan yang menaik Gambar 32. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya effort, maka produktivitas alat tangkap juga akan meningkat. Setiap penambahan effort akan meningkatkan produktivitas.

6.2 Strategi Kebijakan Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong.

Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong disusun dengan menjaring kebutuhan dari para pelaku usaha perikanan aktor. Pelaku usaha aktor yang cukup berperan dalam kegiatan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong yaitu nelayan, pengusaha, Pemerintah daerah dan akademisi. Dari hasil analisis di tingkat aktor, nelayan merupakan prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan pelagis. Sehingga strategi kebijakan yang dilaksanakan 60.2 lebih diarahkan untuk nelayan, 27.1 untuk pengusaha dan 12.7 bagi Pemerintah daerah dan akademisi. Dari beberapa kriteria, Kriteria produksi merupakan prioritas utama atau sebesar 38.8 dipertimbangkan dalam menentukan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Selanjutnya diikuti dengan kriteria mutu sebesar 24.9, pasar 18.2, pendapatan 12.1 dan potensi Sumberdaya 5.9. Beberapa alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah peningkatan penanganan hasil tangkapan, pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan sarana dan prasarana penangkapan dan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis dari beberapa persepsi stakeholder terhadap strategi tersebut, menunjukkan peningkatan penanganan hasil tangkapan merupakan prioritas utama yang dilakukan guna pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Selanjutnya diikuti oleh strategi kebijakan pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan sarana dan prasarana penangkapan serta peningkatan jumlah hasil tangkapan. Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dan program-program yang perlu dilakukan berkaitan dengan pengembangan penangkapan ikan pelagis adalah sebagai berikut.

6.2.1 Peningkatan penanganan hasil tangkapan

Kegiatan usaha penangkapan ikan pelagis baik besar maupun kecil di Kota Sorong cukup berkembang. Permintaan pasar akan komoditi tersebut terus meningkat baik pasar lokal, domestik maupun ekspor. Ikan merupakan jenis komoditi yang bersifat sangat mudah rusak highly perishable, sehingga perlu ditangani segera dan tepat agar dapat sampai kepada konsumen dalam kondisi baik dan aman dikonsumsi. Aktivitas pasca panen yaitu proses yang dilakukan sejak hasil tangkapan diangkat dari habitatnya hingga menjadi produk, sangat penting karena kualitas produk yang baik sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku. Aktivitas kegiatan penangkapan ikan pelagis dengan bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna di Kota Sorong, sebagian besar termasuk usaha yang berskala kecil. Sarana dan prasarana yang digunakan masih tergolong sederhana, sehingga penanganan hasil tangkapan belum optimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka program-program yang perlu dilakukan oleh Pemerintah daerah antara lain : 1 Pengadaan sarana preservasi ikan hasil tangkapan coldbox, cold storage bagi nelayan. 2 Pembinaan secara kontinyu kepada nelayan tentang penanganan hasil tangkapan yang baik sesuai standar mutu. 3 Monitoring,Controlling dan Surveillance MCS kegiatan penanganan hasil tangkapan nelayan.

6.2.2 Pengembangan alat tangkap berkelanjutan

Pengembangan alat tangkap berkelanjutan adalah pengembangan alat tangkap yang ramah lingkungan. Kriteria alat tangkap ramah lingkungan menurut Monintja 1994 adalah alat tangkap yang dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1 Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. 2 Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.