Latar Belakang Korupsi Dalam Pembangunan Wilayah Suatu Kajian Ekonomi Politik Dan Budaya

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Data dari Masyarakat Transparency International 2005 menunjukkan bahwa korupsi terjadi di semua negara dengan bentuk dan derajat yang berbeda- beda. Menurut Rose-Ackerman 1997, luas dan akutnya korupsi merupakan gejala symptom bahwa negara tidak atau kurang berfungsi dengan baik poorly functioning state. Negara-negara yang telah berfungsi dengan baik dicirikan oleh keberhasilannya membangun tata aturan kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik yang diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara secara lebih baik. Negara yang demikian pada umumnya berhasil mengekang dan mengendalikan korupsi. Itulah mengapa negara-negara yang telah maju seperti Swiss, Swedia, Denmark, Jerman, Perancis mengalami tingkat korupsi yang sangat rendah. Sementara itu, negara-negara berkembang yang dalam proses pembangunannya belum berhasil membangun tata aturan sosial, ekonomi dan politiknya seperti Nigeria, Kameron, Kenya, Uganda, Vietnam, Philipina, Indonesia dan sebagainya, cenderung mempunyai derajat korupsi yang sangat tinggi Transparency International, 2005. Dalam sejarah pembangunannya, negara-negara tersebut masih mengalami berbagai kendala karena buruknya tata aturan kelembagaan sosial, ekonomi dan politik yang memicu terjadinya korupsi, sehingga walaupun negara tersebut kaya akan sumber daya alam, tetap saja negara ini gagal dalam pembangunan ekonominya. Fenomena ini mendorong banyak ahli ekonomi pembangunan untuk mengkaji keterkaitan antara korupsi dengan pembangunan, khususnya korupsi yang terjadi dalam proses pembangunan di berbagai negara berkembang. Kajian mengenai keterkaitan antara korupsi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi menghasilkan dua pandangan yang berlawanan. Pandangan pertama mengatakan bahwa dalam kondisi pajak dan aturan-aturan yang berlebihan dan cenderung menghambat aktivitas ekonomi, suap bribery dapat menjadi pelumas grease dalam perekonomian, karena dengan suap dapat diatasi hambatan dan kelambanan birokrasi. Pandangan ini dikenal dengan istilah hipotesis pelumas efisien efficient grease hypothesis sebagaimana dikemukakan oleh Huntington 1968 dan Lui 1985. Dalam perkembangannya, pandangan hipotesis pelumas efisien mulai dipertanyakan karena sejumlah asumsi yang digunakan. Sebagai contoh, misalnya, asumsi bahwa distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh penyuapan. Asumsi ini kurang mendapat dukungan yang sahih, karena sering kali distorsi-distorsi dalam perekonomian dan suap umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama. Bardhan 1997 mengeritik teori hipotesis pelumas efisien dengan mengatakan bahwa distorsi-distorsi tersebut tidak eksogen exogenous terhadap sistem, tetapi merupakan bagian yang inheren built-in dalam praktek-praktek korupsi dari sistem politik yang bercirikan hubungan patron-klien. Karena birokrat memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu aturan tertentu, maka aturan–aturan yang menghambat secara endogen dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup, sedemikian sehingga mereka menyusun bentuk dan sejumlah hambatan terhadap perusahaan agar mereka dapat memperoleh uang sogokan semaksimal mungkin. Akibatnya perusahaan yang telah membayar uang sogokan lebih besar, akan tetap harus membayar uang suap yang lebih besar lagi. Oleh karena itu penyuapan menciptakan biaya ekonomi yang tinggi sehingga berdampak negatif terhadap perekonomian dan pembangunan wilayah. Penelitian empirik yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara berkembang mendukung argumen bahwa korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian dan proses pembangunan. Myrdal 1970 yang melakukan penelitian tentang korupsi di negara-negara di kawasan Asia Selatan menemukan bahwa perilaku korupsi menghambat laju modernisasi di kawasan tersebut. Bardhan 1987, Mauro 1995, Klitgaard 1998, Bareto 2000, Lambsdorff 1999 menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Rose-Ackerman 1997 menemukan bahwa korupsi membuat negara akan terjebak pada stagnasi dan terus hidup dalam kejatuhan ekonomi, karena korupsi merupakan gejala symptom yang menunjukkan negara kurang berfungsi dengan baik sehingga pertumbuhan ekonominya lambat. Studi yang dilakukan oleh Hill 1999, MacIntyre 1999 dan Kuncoro 2002 menghasilkan temuan bahwa dampak korupsi di Indonesia terhadap pembangunan ekonominya jauh lebih buruk dan sangat mengkhawatirkan. Pada era Pemerintahan Orde Baru korupsi tumbuh subur melalui jalur birokrasi badan pemerintah. Dominannya posisi birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi menyebabkan makin maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme KKN saat itu. Korupsi dilakukan melalui kolusi antara birokrat dengan pengusaha. Perkiraan kebocoran anggaran negara APBN waktu itu ditaksir mencapai hingga 30 sampai 50 Indonesian Corruption Watch, 2000; Rosidi, 2006; Nurdjana, 2005. Dipicu oleh krisis moneter akibat jatuhnya nilai tukar bath pada Juli 1997, korupsi yang masif dan kolosal yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru akhirnya menyebabkan terjadinya krisis nasional yang berkepanjangan dan dampaknya masih terasa hingga kini. Hill 1999 menunjukkan bahwa kekuasaan yang sentralistik dan korupsi pada era Orde Baru menyebabkan bangsa Indonesia sangat rentan terhadap krisis. MacIntyre 1999 juga menemukan bahwa regulasi keuangan dan perbankan yang sangat rentan bersama dengan krisis pengelolaan perbankan akibat kolusi antara bankir– pengusaha–birokrat merupakan faktor utama hilangnya kepercayaan investor yang memicu terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Kuncoro 2002 menunjukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai tingkat suap yang tinggi akan dijauhi oleh perusahaan-perusahaan baru yang kemudian akan mempunyai dampak pada menurunnya produktivitas secara agregat. Menyadari dampak negatif korupsi terhadap pembangunan mendorong lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia World Bank dan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB berusaha secara terus menerus untuk memberantas dan menekan korupsi. Bahkan, sejak September 2007, kedua lembaga tersebut meluncurkan program StAR Stolen Asset Recovery initiative yakni sebuah program kerjasama global dan bilateral untuk membantu negara- negara berkembang agar pembangunan ekonominya dapat berjalan lebih efektif dengan cara memperkuat akuntabilitas kelembagaan dan membantu mengembalikan harta yang dikorupsi dan dilarikan ke luar negeri oleh para mantan pemimpin negaranya. Sementara itu, berbagai usaha memberantas korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Rahayu 2005 menjelaskan bahwa pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun pada waktu itu pemerintah setengah hati menjalankannya. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi TPK yang diketuai oleh Jaksa Agung. Pada tahun 1970, karena ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Akibat maraknya gelombang protes tersebut, akhirnya Presiden Soeharto waktu itu, membentuk Komite Empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto. Mereka diberi tugas untuk membersihkan korupsi di Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, Telkom, Pertamina dan lain-lain. Tetapi Tim ini bagai “macan ompong”, karena hasil temuannya dalam mengungkap korupsi pada waktu itu tidak direspons oleh pemerintah. Upaya pemberantasan korupsi memperoleh momentumnya kembali bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998 menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi. Hal ini tertuang dalam ketetapan MPR RI No XIMPR1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak saat itu wacana anti korupsi semakin berkembang dengan munculnya organisasi-organisasi yang bergerak untuk memberantas korupsi, seiring dengan adanya kebebasan pers dan kebebasan politik. Dari wacana yang berkembang tersebut kemudian muncul gagasan untuk melakukan pendekatan legal dalam pemberantasan korupsi seperti perbaikan UU Anti Korupsi, UU Perlindungan Saksi, Ombudsman, dan lain-lain Indonesian Corruption Watch, 2000 . Perangkat dan berbagai ketentuan hukum dibuat pada masa Pemerintahan Habibie sebagai upaya pemberantasan korupsi. Sebut saja misalnya UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usaha tersebut dilanjutkan pada Pemerintahan Megawati yang melahirkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK. Dengan KPK inilah Pemerintahan SBY-JK giat memberantas korupsi. Untuk melengkapi alat hukum pemberantasan korupsi, Pemerintahan SBY-JK mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 2006 tentang ratifikasi konvensi PBB menentang korupsi UN Convention Againts Corruption yang di dalamnya memasukkan bribery penyuapan dan penggelapan sebagai delik pidana korupsi. Namun demikian usaha tersebut belum memberikan hasil optimal. Data Transparency International dalam enam tahun terakhir selalu menempatkan Indonesia sebagai kelompok negara paling korup di dunia 1 . Ini menandakan bahwa korupsi terus berlangsung dan makin merajalela. Bahkan skalanya meluas ke berbagai daerah, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan pada tahun 2001. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif di tingkat nasional dan lokal daerah juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam mengurangi korupsi. Bahkan mereka malah larut dan ikut melakukan korupsi.

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah