bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usaha tersebut dilanjutkan
pada Pemerintahan Megawati yang melahirkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK.
Dengan KPK inilah Pemerintahan SBY-JK giat memberantas korupsi. Untuk melengkapi alat hukum pemberantasan korupsi, Pemerintahan SBY-JK
mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 2006 tentang ratifikasi konvensi PBB menentang korupsi UN Convention Againts Corruption yang di dalamnya
memasukkan bribery penyuapan dan penggelapan sebagai delik pidana korupsi. Namun demikian usaha tersebut belum memberikan hasil optimal. Data
Transparency International dalam enam tahun terakhir selalu menempatkan
Indonesia sebagai kelompok negara paling korup di dunia
1
. Ini menandakan bahwa korupsi terus berlangsung dan makin merajalela. Bahkan skalanya
meluas ke berbagai daerah, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan pada tahun 2001. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di
legislatif maupun eksekutif di tingkat nasional dan lokal daerah juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam mengurangi korupsi.
Bahkan mereka malah larut dan ikut melakukan korupsi.
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi yang berbasis perilaku pencarian rente rent seeking yang tumbuh subur di era Orde
Baru terus berlangsung hingga kini. Berbagai “aksi” anggota parlemen yang kita saksikan sejak parlemen tahun 1999 dan parlemen tahun 2004 berhasil
memperluas cengkeraman partai-partai politik terhadap sumber-sumber keuangan negara, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional
kasus seperti Bulogate, Bank Bali, Bank Mandiri, BLBI, BPPN dan lainnya memberikan indikasi kuat bahwa partai-partai politik yang ada saat ini, benar-
benar berusaha mengontrol pundi-pundi keuangan negara. Partai politik yang
1
Lihat www.transparency.org
demikian menunjukkan bahwa partai-partai tersebut bukan merupakan partai politik modern.
Di sisi lain duduknya pengusaha-pengusaha besar di kepengurusan partai-partai politik yang berkuasa saat ini makin menegaskan kuatnya kontrol
korporasi terhadap partai politik dan pemerintahan, sementara birokrasi telah menjelma dari jejaring rente pengusaha besar –yang berperan sebagai pendana
politik political financiers pada masa Orde Baru- menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik dewasa ini. Konfigurasi politik nasional pada saat ini dapat
disebut sebagai pemantapan struktur-struktur pencarian rente warisan Orde Baru Simanjuntak, 2005. Robison dan Hadiz 2004 menengarai fenomena
maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme saat ini sebagai akibat kuatnya politico-business oligarchy
yang didukung oleh tiga kekuatan yaitu pengusaha hitam-birokrasi-militer. Dalam konteks ini, birokrasi akhirnya menjadi mesin
pelaku politik dan pelaku bisnis sebagai sarana apropriasi sumber-sumber daya ekonomi maupun politik Indonesian Corruption Watch [ICW], 2000.
Aksi pencarian rente tersebut bahkan terus meluas ke berbagai daerah, seiring dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah pada tahun
2001. Di satu sisi, otonomi daerah telah membuka ruang sosial bagi proses demokratisasi dalam pembangunan wilayah. Dengan otonomi daerah,
pemerintah daerah kabupatenkota memperoleh kewenangan yang lebih besar untuk mengatur kehidupan ekonomi maupun politik di daerahnya masing-
masing. Namun, di sisi yang lain, karena lemahnya akuntabilitas politik, administratif, dan profesionalisme pemerintahan daerah sebagai akibat dari
bakumain interplay antara faktor politik, ekonomi dan budaya, kewenangan yang lebih besar tersebut justru memicu terjadinya korupsi yang berasal dari
perilaku pencarian rente. Henderson dan Kuncoro 2004 menemukan bahwa setelah desentralisasi
fiskal tahun 2001, penyuapan korupsi pada tingkat pemerintahan daerah meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya aturan-aturan baru
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, khususnya pajak, retribusi dan berbagai jenis perizinan serta kebijakan regulasi di daerah yang diciptakan
sebagai aturan semu artificial agar pejabat lokal birokrasi lokal bersama
dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang mendapatkan rente
ekonomi sebesar-besarnya. Patut dicatat, bahwa sejak tahun 2001 sampai tahun
2003 telah muncul 3 844 peraturan daerah perda baik tentang APBD, pajak, retribusi, perizinan dan regulasi lainnya. Hasil kajian Komisi Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah, KPPOD 2005 menunjukkan bahwa dari 3 844
perda yang muncul tersebut, hanya sekitar 14 yang tidak “bermasalah”, dan
selebihnya, sekitar 86, menimbulkan banyak masalah antara lain berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi, menimbulkan persaingan tidak sehat,
menghalangi akses masyarakat terhadap sumber daya, menghalangi lalu lintas barang antar daerah, adanya ketidakjelasan kriteria jenis jasa yang diberikan
pemerintah daerah yang perlu dibiayai dengan retribusi, dan pengenaan pajakpungutan yang berganda dengan pungutanpajak yang telah ada.
Regulasi-regulasi yang bermasalah memang bukan hal yang baru terjadi pada era desentralisasi saat ini, tetapi sebelum desentralisasi diberlakukan
regulasi tersebut sudah ada. Misalnya regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Pemda yang memberlakukan halangan-halangan dalam bentuk tarif dan
tata niaga dalam perdagangan untuk melindungi kepentingan usaha atau dagang kelompok yang menyuap birokrat pemerintah daerah tersebut SMERU,1999.
Ray 2003 menjabarkan asal-muasal dari kebanyakan kebijakan Pemda yang diskriminatif dan anti-persaingan tepat sebelum dimulainya proses otonomi.
Namun, desentralisasi yang diwarnai oleh masih lemahnya akuntabilitas pemerintahan daerah, makin menambah persoalan-persoalan dan tekanan baru
dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi.
Persoalan-persoalan dan tekanan-tekanan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi yang memicu terjadinya korupsi juga berasal dari
faktor budaya masyarakat dan budaya birokrasi di berbagai daerah yang jauh dari prinsip-prinsip penadbiran baik good governance. Bangkitnya kembali
faktor-faktor primordialisme dan komunalisme yang berinteraksi dengan birokrasi lama yang kental dengan budaya feodalistik, makin memicu
banyaknya regulasi-regulasi yang bermasalah Simanjuntak, 2005. Tumbuh suburnya perilaku suap-menyuap juga terkait dengan warisan kondisi historis
kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh
penjajah Alatas dalam Damanhuri, 2006. Karena hal tersebut berlangsung lama dan secara terus menerus, akibatnya masyarakat menilai bahwa upeti dan
uang sogokan untuk menunjukkan loyalitas terhadap atasan atau penguasa sebagai sesuatu yang biasa. Pemaknaan sedemikian dari masyarakat sangat
menentukan eksistensi dan meluasnya korupsi Panjaitan, 2007. Budaya feodalistik yang mewarnai birokrasi pada masa Orde Baru makin
tumbuh subur, seiring dengan makin berkembangnya sistem politik yang berbasis pada budaya politik Jawa. Kondisi ini tidak lepas dari figur Presiden
Soeharto waktu itu, yang berasal dari Jawa dengan mengadopsi kepemimpinan model kerajaan Jawa Dwiyanto et al, 2005. Melalui penerapan sistem politik
sentralistik dan hegemoni, penyeragaman diberlakukan di lingkungan birokrasi pemerintah. Loyalitas para aparat birokrasi pemerintah ditujukan kepada negara
dan pemerintah, bukan kepada rakyat. Akhirnya, seperti yang kita lihat, budaya feodalistik dan paternalistik
yang melekat pada birokrasi yang tumbuh subur pada masa Orde Baru, terus berkembang mewarnai masyarakat dan birokrasi di berbagai daerah hingga saat
ini. Bahkan menurut Simanjuntak 2005, budaya feodalistik yang melekat pada birokrasi ini seperti mendapat “suntikan” energi baru dengan adanya otonomi
daerah. Sentralisasi birokrasi pada masa Orde Baru telah menyebabkan birokrasi
terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik.
Hal ini menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi.
Masuknya orang-orang partai ke dalam lingkaran kekuasaan dan jalur birokrasi di berbagai daerah sejak reformasi dan otonomi daerah diberlakukan,
pada akhirnya mendesak kekuasaan birokrasi yang semula sebenarnya sudah sangat besar Hendytio, 2006. Persoalannya, menjadi serius ketika orang-
orang partai politik mengambil peran dalam birokrasi, menduduki jabatan- jabatan teknis yang terkait langsung dengan implementasi suatu regulasi
kebijakan di daerah. Konflik kepentingan antara partai politik dan pemerintah daerah menjadi tidak terhindarkan. Akan sangat sulit bagi seorang kader partai
untuk meletakkan kepentingan partainya di bawah kepentingan publik. Sebab keberadaan seorang kader partai di dalam posisi birokrasi pada dasarnya adalah
untuk mengumpulkan sumber-sumber bagi partai, baik sumber keuangan, sumber daya manusia, maupun sumber kekuasaan dan pengaruh Hendytio,
2006. Perilaku pencarian rente yang ditandai oleh munculnya berbagai Perda
“bermasalah” tersebut selanjutnya memicu meluasnya korupsi di berbagai
daerah. Data ICW 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2004 ada 432 kasus
korupsi di berbagai daerah yang mayoritas dilakukan oleh Kepala Daerah 83 kasus dan anggota DPRD 124 kasus baik itu melalui Perda APBD maupun
melalui Perda tentang Perizinan, Pajak dan Retribusi. Berdasarkan uraian di atas, korupsi yang marak di berbagai daerah yang
membawa implikasi yang luas dalam menghambat pembangunan wilayah berakar dari munculnya berbagai regulasi yang diciptakan baik untuk
kepentingan birokrat itu sendiri maupun untuk kepentingan suatu kelompok tertentu. Berbagai Perda yang sesungguhnya dibuat untuk memaksimalkan
pemanfaatan sumber daya alam dan keuangan, secara khusus partikular telah dijadikan sebagai area untuk mendapatkan keuntungan pribadi, memperkaya diri
sendiri atau orang lain dengan melanggar atau membuat dan mengubah peraturan yang ada.
Dalam konteks pembangunan wilayah, pemerintah menetapkan regulasi dan tingkat pajak sebagai instrumen kebijakan publik. Regulasi yang ditetapkan
akan sangat berpengaruh bagi dunia usaha, sehingga swasta menginginkan regulasi yang terbentuk dan dapat diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan
mereka dengan jalan melakukan lobi dan penyuapan Rose-Ackerman, 1999. Maka perilaku korupsi dimulai dari intervensi individu dan swasta dalam
perumusan, pelaksanaan serta dalam pengawasan regulasi tersebut. Melihat fenomena korupsi yang muncul yang bersumber dari berbagai
proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi dalam proses pembangunan wilayah tersebut, mengisyaratkan adanya kegagalan yang serius
dalam usaha menyalurkan kepentingan pribadi ke arah tujuan-tujuan produktif dalam pembangunan wilayah. Akibatnya seperti yang telah dijelaskan, daya
saing produk suatu wilayah Indonesia akan menurun, iklim investasi terhambat dan pada akhirnya menghambat pembangunan wilayah itu sendiri.
Oleh karena itu kajian untuk mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana mekanisme dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
terjadinya korupsi pada proses pembangunan wilayah, terutama dalam kaitannya dengan perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasikebijakan, akan
sangat membantu, bukan hanya dalam usaha untuk menekan korupsi yang muncul di berbagai daerah saat ini, tetapi juga membantu mencapai
keberhasilan proses pembangunan wilayah itu sendiri. Beberapa studi terdahulu telah menelaah kaitan antara korupsi dan
pembangunan ekonomi di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia seperti penelitian yang dilakukan oleh Huntington 1968, Myrdal 1970,
Krueger 1974, Lui 1985, Bardhan 1987; 1997, Mauro 1995, Klitgaard 1998, Lambsdorff 1999, Rose-Ackerman 2000, Bareto 2000, Kuncoro
2002; 2006, Henderson dan Kuncoro 2004; 2005 dan World Bank 2006, tetapi penelitian tersebut pada umumnya membahas dampak korupsi terhadap
pembangunan dan berbagai tipologi korupsi. Kalaupun ada yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi, pada umumnya masih bersifat parsial
dan pada tataran terjadinya korupsi pada pelaksanaan program-program pembangunan yang bersifat makro. Studi ini mencoba menelaah secara lebih
komprehensif dan mendalam mengenai mekanisme terjadinya korupsi dan keterkaitannya dengan faktor ekonomi politik dan budaya dengan mengambil
titik masuk entry point analisis pada bagaimana mekanisme perumusan regulasi serta respons pemangku kepentingan stakeholders dalam proses
perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Titik masuk analisis tersebut didasarkan pada indikasi bahwa munculnya “bibit” korupsi terjadi sejak awal
proses perumusan regulasi atau Perda itu sendiri. Selain itu, studi ini juga menganalisis interaksi dan peranan masing-
masing pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan, termasuk partai politik dan birokrasi, di mana kepemimpinan leadership menempati
posisi yang strategis dan faktor budaya sangat berpengaruh terhadap pola interaksi dan respons para pemangku kepentingan tersebut. Hal tersebut
didasarkan pada 1 fakta yang terjadi saat ini yakni betapa sulitnya mencari pemimpin yang berkualitas negarawan, 2 kekhawatiran bahwa korupsi telah
membudaya. Jika korupsi sudah menjadi nilai budaya, maka makin sulit usaha memberantas dan menekan korupsi.
Berdasarkan uraian diatas, secara umum pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana kaitan antara faktor ekonomi politik dan budaya dengan terjadinya
korupsi di berbagai daerah di Indonesia. Secara terperinci pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme dan pola perumusan regulasiPerda dan keterkaitannya dengan terjadinya korupsi ?
2. Seberapa besar tingkat korupsi terjadi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di beberapa daerah di Indonesia dan apakah korupsi
sudah membudaya? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat, perusahaan swasta
dalam memilih instrumen untuk mengatasi koersi yang disebabkan oleh adanya suatu regulasi yang tidak sesuai dengan keinginan?
1.3. Tujuan Penelitian