Studi ini tidak berpretensi untuk menyimpulkan bahwa korupsi pada era Orde Baru lebih baik dari pada korupsi pada Era Reformasi. Apa yang ingin
disampaikan adalah bahwa korupsi yang terjadi saat ini mempunyai konsekuensi yang sangat serius terhadap buruknya kinerja pembangunan
ekonomi. Jika hal tersebut terus terjadi dan ketimpangan terus membesar sebagai akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan elite pejabat-pengusaha, maka
bukan tidak mungkin akan terjadi revolusi sosial.
5.4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelusuran berbagai informasi mengenai perkembangan kehidupan ekonomi politik dan budaya sebagaimana telah
dibahas dan dianalisis di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat korupsi di level pemerintah pusat dari Orde Baru ke Orde Reformasi cenderung meningkat dan
meluas. Faktor-faktor yang mempengaruhi masih tingginya tingkat korupsi di tingkat Pemerintah Pusat tersebut adalah :
1. Faktor historis kultural yang membentuk masyarakat dan birokrasi hidup dalam budaya feodalistik paternalistik, muncul sikap mental priyayi di
kalangan birokrasi, sehingga terbentuk budaya birokrasi patrimonial yang selanjutnya melahirkan patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan
kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi. 2. Faktor politik yakni rendahnya akuntabilitas partai politik. Sebagian
besar partai politik parpol masih berorientasi myopic, untuk kepentingan kelompok dan opportunis, parpol tidak punya platform
serius untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Atmosfir kehidupan politik didominasi oleh sikap pragmatisme. Faktor kultural yakni
feodalistik dan paternalistik ikut berperan membentuk pola hubungan dalam parpol, sehingga parpol didominasi oleh kepentingan politik elite-
elite parpol yang haus dengan kekuasaan. 3. Kondisi birokrasi yang patologis dan rendahnya akuntabilitas politik
tersebut selanjutnya memicu pertarungan politik parpol-parpol memperebutkan kedudukan dan jabatan dalam birokrasi sebagai sarana
akses terhadap keuangan negara dan kekayaan sumber daya alam.
4. Masuknya pengusaha ke parpol dan kemudian menduduki jabatan- jabatan strategis dalam eksekutif maupun legislatif semakin menambah
maraknya perilaku pencarian rente. Dengan menggunakan kerangka pikir The Economic Theory of Representative
Government Breton, 1974 dan Stevens, 1993, metamorfosa pengusaha menjadi aktor-aktor penentu
kebijakan publik tersebut membuat peminta demander dan pemasok supplier regulasi sejatinya berada dalam satu entitas. Oleh karena itu
kehidupan ekonomi politik yang terjadi dari Orde Baru ke Orde Reformasi adalah munculnya jejaring rente dari oligarki Orde Baru ke
oligarki politisi-pengusaha politico-business oligarchy. Lemahnya leadership
Pemerintahan SBY, makin menambah dominasi politico- business oligarchy
dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik, sehingga banyak regulasi yang ditunggangi oleh kepentingan ekonomi
politik oligarki. Hal tersebut akhirnya memicu terjadinya korupsi yang dijustifikasi oleh regulasi sehingga seolah-olah menjadi legal legalized
corruption .
5. Pola korupsi yang terjadi pada era Orde Baru adalah model kleptokrasi dengan kepemimpinan Soeharto yang sangat kuat, sementara pola
korupsi yang terjadi pada Era Reformasi merupakan model korupsi negara didominasi swasta. Dibandingkan pada era Orde Baru, model
korupsi pada Era Reformasi mempunyai konsekuensi yang sangat serius terhadap buruknya kinerja perekonomian, terutama pengaruhnya
terhadap ketimpangan pendapatan yang cenderung membesar, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan cenderung stagnan,
kemiskinan dan pengangguran yang cenderung meningkat. Hal ini karena korupsi tersebut tidak “merembes” ke bawah seperti zaman Orde
Baru, sehingga yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kondisi demikian pada akhirnya akan mengarah kepada
terjadinya revolusi sosial. Sebagai catatan akhir dalam bab ini, kembali ingin ditegaskan bahwa
konfigurasi ekonomi politik Orde Baru yang dicirikan oleh kleptokrasi dan Orde Reformasi, terutama pemerintahan SBY-JK yang didominasi oleh swasta akan
sangat berpengaruh terhadap kebijakan otonomi daerah. Hal ini karena berbagai regulasi yang mengatur proses desentralisasi mulai dari undang-
undang sampai berbagai aturan lainnya, dirancang dan dirumuskan di pusat. Lebih dari itu, pengaruh parpol di pusat juga akan sangat mewarnai pelaksanaan
desentralisasi. Pengaruh mereka bisa lewat struktur hierarki partai yaitu DPP, DPD dan DPC parpol atau melalui hasil interaksi antara DPRD di mana parpol
menempatkan wakilnya dengan pemerintah daerah yang menyusun regulasi di daerah. Dominannya elite parpol di DPP terhadap DPD dan DPC dalam
mengambil setiap keputusan, menyangkut calon Kepala Daerah dan Perda, akan sangat berpengaruh dalam konfigurasi ekonomi politik di daerah pada era
desentralisasi.
VI. FAKTOR EKONOMI POLITIK DAN BUDAYA YANG MEMPENGARUHI KORUPSI DI DAERAH-DAERAH
PADA ERA OTONOMI
Sebagaimana diketahui bahwa otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 didasari oleh UU No 221999 dan UU No 251999. UU ini lahir dari
suatu rezim yang tengah terdesak, yaitu Presiden Habibie, yang menghadapi tuntutan kaum reformis waktu itu. Sementara itu, konfigurasi politik di DPR yang
kemudian mengesahkan UU Otonomi Daerah bersama pemerintah merupakan DPR warisan Orde Baru. Oleh karena itu, UU ini sebetulnya merupakan kompromi dari
rezim berkuasa dengan gerakan reformasi untuk menyelamatkan dirinya. Perancangnya sendiri mengakui bahwa pembuatan undang-undang ini hanya
memakan waktu tiga bulanan
1
. Terburu-buru, itulah kesan yang muncul melihat proses yang begitu cepat. Sehingga menjelang desentralisasi fiskal diberlakukan
1 Januari tahun 2001 banyak kalangan meragukan apakah desentralisasi fiskal secara penuh mampu dilaksanakan
2
. Di lain pihak desentralisasi harus dilaksanakan sesuai dengan amanat UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999. Di samping
itu, jika tidak diterapkan secepatnya, maka kondisi daerah makin memburuk keadaannya dan menjadi tidak pernah siap sampai kapan pun.
Sebelum desentralisasi fiskal berlaku efektif sejak 1 Januari 2001, Pemerintah Pusat memang telah menetapkan suatu model kerangka waktu dan
tahapan-tahapan komprehensif pelaksanaannya. Model tersebut akan berfungsi sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat sendiri, dengan
harapan otonomi daerah dapat dijalankan secara sistematis dan tepat waktu
3
. Sebagai sebuah model kerangka perencanaan tersebut boleh dibilang ideal.
1
Salah satu anggota Tim Perancang UU Otonomi Daerah adalah Prof. Dr. Ryas Rasyid. Beliau kemudian diangkat sebagai Menteri Negara Otonomi Daerah pada Pemerintahan Abdurrachman
Wahid. Tetapi kemudian Kementerian ini dihapuskan dan digabung dengan Kementerian Dalam Negeri menjadi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.
2
Lihat Mahi, et all , 2000
3
Tahapan pelaksanaan otonomi daerah dibagi menjadi empat fase yaitu : fase inisiasi 2000-2001 , fase instalasi 2002-2003, fase konsolidasi 2004-2007, fase stabilisasi setelah tahun 2007 Forum
Inovasi Vol. 3 : Juni -Agustus 2002.
Susunannya cukup teratur runtut dan agenda kerjanya jelas, serta proyeksi waktunya sangat terukur. Tetapi dengan mencermati perjalanan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal selama enam tahun lebih, nampaknya jaminan kepastian dan konsistensi capaian yang ditetapkan model itu relatif sulit dipenuhi. Keadaan di
lapangan yang sungguh jauh dari asumsi ceteris paribus dan cara pandang yang linier yang direncanakan dalam model tersebut, sehingga membuat pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berjalan tidak sesuai dengan rencana model tersebut. Sejumlah agenda dalam tahapan inisiasi yang seharusnya bagian
dari daftar agenda fase transisi yang berlangsung sejak pengesahan UU No 22 dan No 25 tahun 1999 Mei, 1999 sampai berlaku efektif otonomi itu sendiri Januari
2001 tidak berjalan baik. Faktanya, pembuatan regulasi dan penetapan kelembagaan baru belum mencapai prestasi yang berarti. Malah agenda lain yakni
sosialisasi sebagian peraturan yang telah dibuat, menunjukkan tingkat realisasi yang lebih rendah lagi.
Masih menumpuknya sisa agenda dari fase transisi dan inisiasi serta fase konsolidasi, membuat munculnya berbagai permasalahan baru. Akibatnya, seperti
yang akan dibahas nanti, implementasi otonomi daerah menimbulkan berbagai ekses negatif yang tidak diharapkan. Beberapa ”arena” dan agenda desentralisasi
dimanfaatkan oleh pencari rente rent seeker untuk mengeruk rente dari masyarakat secara terus menerus. Korupsi meluas di mana-mana.
Memang pemerintah telah melakukan perbaikan proses desentralisasi dengan mengeluarkan UU No 322004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No
332004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai ganti UU No 221999 dan UU No 251999. Tetapi faktanya, hari-hari ini implementasi di
lapangan masih diwarnai oleh sejumlah masalah. Bahkan beberapa regulasi yang dirancang sebagai turunan dari UU No 322004, pada saat ini makin mencerminkan
kelemahan Pemerintah Pusat dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah dengan setengah hati. Sebagai contoh adalah terlambatnya pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tentang Pilkada Langsung PP No 62005 dan juga munculnya PP 372006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan
dan Anggota DPRD yang makin memperkeruh pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut makin memperpanjang daftar kebijakan yang bersifat dan berpengaruh
negatif terhadap proses desentralisasi di daerah. Tumpang-tindihnya dan saling bertabrakannya antar berbagai kebijakan,
terlambatnya berbagai aturankebijakan, kurangnya sosialisasi, lemahnya aturan dari pusat tentang otonomi daerah masih mewarnai proses desentralisasi hingga saat
ini. Akibatnya fase stabilisasi yang direncanakan berlangsung tahun 2007, jauh dari harapan bahkan di berbagai daerah muncul persoalan-persoalan serius, menyangkut
pemilihan Kepala Daerah, hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD, hubungan antara pusat dan daerah, perda bermasalah, dan korupsi.
Namun demikian, banyaknya persoalan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menarik
kembali desentralisasi, dan menggantinya lagi dengan pemerintahan yang tersentralisasi. Otonomi daerah adalah salah satu pilar dari reformasi politik yang
sangat penting dan fundamental. Otonomi daerah merupakan prakondisi bagi terciptanya penadbiran baik
Gonarsyah, 2006. Tokoh besar bangsa Indonesia yang juga sebagai salah satu Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Mohammad
Hatta 1957, lima puluh tahun lalu telah memberikan argumen bahwa “Otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong
berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah
apa yang dimaksud demokrasi yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama
memperbaiki nasibnya sendiri”. Usaha yang bermanfaat saat ini adalah mencoba mengidentifikasi
bagaimana dan mengapa persoalan-persoalan tersebut, terutama meluas dan suburnya korupsi di berbagai daerah. Oleh karena itu pemahaman terhadap
bagaimana dan mengapa persoalan korupsi tersebut muncul akan membantu usaha untuk mengendalikan korupsi dan mendorong penerapan otonomi daerah dalam
mencapai tujuan hakikinya yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan menggunakan data antar daerah, dalam bab ini akan dianalisis secara makro berbagai faktor ekonomi politik dan budaya di era desentralisasi yang
memicu terjadinya korupsi di daerah kabupatenkota. Pembahasan akan dilakukan dengan menguraikan secara deskriptif kualitatif faktor-faktor ekonomi
politik di daerah dan menganalisis hasil dugaan model ekonometrika.
6.1. Deskripsi Faktor Ekonomi Politik di Daerah pada Era Desentralisasi