Apakah Benar Korupsi Sudah Membudaya ?

simpul awal hubungan segitiga tersebut. Hal ini menandakan bahwa rendahnya kualitas birokrasi merupakan titik sentral penyebab korupsi. Dari hasil analisis kualitatif deskriptif dan kuantitatif dengan model ekonometrika di atas, terlihat bahwa bakumain interplay faktor ekonomi politik dan budaya tersebut akhirnya melemahkan akuntabilitas politik, adiministratif, moral, dan profesional, yang berarti lemahnya organisasi pengaturan ekonomi politik di daerah. Dengan demikian menjadi jelas mengapa proses desentralisasi yang sudah berjalan hampir tujuh tahun ini masih mengalami kendala dan persoalan serius, terutama meluasnya korupsi di berbagai daerah. Alih-alih tata pengaturan organisasi politik lokal di era desentralisasi ini menjadi mesin pertumbuhan, yang terjadi justru sebaliknya, mesin pertumbuhan “otonomi daerah” tersebut saat ini menghadapi berbagai hambatan yaitu antara lain perda bermasalah, buruknya kepemimpinan, buruknya hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan rendahnya kualitas birokrasi. 6.3. Apakah Benar Korupsi Sudah Membudaya ? Ulasan dalam sub bab 6.2 menunjukkan bahwa budaya digunakan sebagai alasan atau rasionalisasi untuk melakukan korupsi. Dalam hal ini telah ditunjukkan bahwa budaya dimanfaatkan untuk justifikasi melakukan korupsi. Tekanan pola pikir mindset masyarakat misal dalam kultur Jawa yang feodal dan paternalistik, budaya Batak dan mungkin budaya lokal lainnya, yang mewarnai relasi individu dalam kelompok baik dalam hubungan di partai politik, hubungan antara kepala daerah dengan DPRD, serta hubungan antara pimpinan dengan bawahan di tubuh birokrasi terbukti menjadi pemicu terjadinya korupsi. Hal lain yang menarik dan perlu untuk dianalisis sebagaimana diuraikan pada Bab I, adalah apakah korupsi sudah membudaya? Pertanyaaan ini penting untuk dibahas, karena jika korupsi sudah menjadi bagian dari budaya, maka akan menjadi sangat sulit untuk memberantas dan mengendalikannya. Bagaimana masyarakat memaknai atau memberikan nilai terhadap korupsi akan sangat mempengaruhi eksistensi korupsi itu sendiri Panjaitan, 2007. Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan dalam judul sub bab ini. Secara sederhana Koentjaraningrat 2007 memberikan kriteria bahwa sesuatu dikatakan telah menjadi nilai budaya cultural value jika sesuatu tersebut dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang penting dan berharga dalam hidupnya. Dalam tataran empiris, untuk mengarah kepada jawaban dari pertanyaan di atas, dapat dilakukan dengan mengelaborasi dan mengevaluasi apakah orang yang melakukan korupsi tidak malu lagi melakukan korupsi, karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan hati nurani serta moralitas sebagian besar masyarakat menilai korupsi bukan sesuatu yang memalukan? Jika jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah ”tidak”, maka korupsi tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang membudaya, karena hati nurani dan moralitas masyarakat menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang memalukan. Dalam menelaah sesuatu yang menjadi kebiasaan, Bourdieu dalam Soetrisno 2007 menjelaskan bahwa kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus gaya hidup, sebagai motivasi preferensi, cita rasa dan perasaan emosi dan sebagai perilaku yang mendarah daging. Perlu juga diungkap apa yang menjadi argumen Sigmund Freud 1961 dalam bukunya Civilizations and Its Discontents bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh alam sadar dan alam tidak sadar yang tersembunyi. Kedua alam tersebut saling berinteraksi. Yang ada bersama dalam dua alam tersebut adalah id, ego dan superego. Id adalah naluri-naluri primitif yang menuntut pemuasan selekasnya, yang terdiri dari naluri untuk hidup dan naluri untuk mati. Ego senantiasa menjaga kestabilan diri manusia dan bersifat adaptif terhadap kenyataan dan ego merupakan wadah bagi rasio dan akal sehat. Sementara superego merupakan wadah suara hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat melalui proses pembelajaran social learning dan mekanisme penguatan reinforcement, khususnya dari sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua. Oleh karena itu, jawaban masyarakat terhadap pertanyaan di atas sangat tergantung pada hasil social learning yang terbentuk selama ini. Hasil social learning tersebut ditentukan oleh proses pembelajaran dan mekanisme penguatannya reinforcement baik secara historis kultural maupun berdasarkan pengalaman, didikan orang tua, dan pengaruh media massa yang merupakan salah satu sumber pembentuk budaya serta adanya kondisi serta nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat Skinner dalam http:www. iep.utm.edubbehavior.htm Behaviorism [Internet Encyclopedia of Philosophy]. Dari sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa warisan nilai-nilai birokrasi Orde Baru yang muncul dalam bentuk nilai-nilai feodalisme, paternalisme serta sikap mental priyayi telah menimbulkan birokrasi yang penuh dengan nilai nepotisme yakni pemberian jabatan atau jasa khusus kepada sanak keluarga dan teman dekat klientisme. Dalam lingkungan seperti itulah, maka ketika seseorang berkuasa menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi maupun jabatan politik kepala daerah dan DPRD, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar baik oleh pelaku dan masyarakat pada umumnya. Hal demikian bisa terjadi karena melalui proses social learning, masyarakat selalu diajari oleh nilai-nilai tersebut sejak zaman kerajaan, zaman penjajahan, era Orde Baru dan sampai saat ini, sehingga dalam pandangan masyarakat memang demikianlah yang seharusnya terjadi. Seseorang kemudian dianggap ’aneh’ jika menduduki atau bekerja di tempat yang ’basah’, tetapi hidupnya tetap ’pas-pasan’ karena orang tersebut tidak mau melakukan korupsi. Hasil wawancara penelitian ini dengan 90 pelaku usaha di Kabupaten Solok, Sukoharjo dan Kutai Kartanegara Kukar menunjukkan bahwa memberikan uang ”tambahan” atau suap kepada birokrat yang membantu mengurus perizinan dinilai sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan menurut mereka ”uang pelicin” penyuapan sudah menjadi hal yang biasa dalam perizinan, terutama di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kukar. Sementara itu, masyarakat di Solok menganggap ”uang pelicin” bukan suatu kebiasaan lihat Gambar 6. Mengenai penjelasan terjadinya variasi penilaian antara Kabupaten Solok dengan Kabupaten Kukar dan Sukoharjo tersebut akan diuraikan pada Bab VII. Proses social learning yang menghasilkan nilai-nilai yang salah tersebut berakar dari proses pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi kecukupan secara materi sehingga mengabaikan nilai jati diri manusia self esteem yakni manusia yang berkepribadian, sosok yang utuh sebagai manusia yang punya identitas dan bebas freedom dari sikap menghamba Todaro, 2000. Patologi ini diperkuat oleh sistem renumerasi yang buruk yang dianut pemerintah. Kuat dugaan sistem renumerasi ini sengaja dirancang oleh Soeharto by design untuk membeli loyalitas anah buahnya. Kemakmuran materiil dijadikan sebagai satu-satunya ukuran dan menjadi landasan penilaian atas segala sesuatu. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih dalam tingkat kehidupan yang rendah yang ditandai oleh pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, menjadikan materi sebagai landasan keberhasilan akan membuat definisi dan batasan mengenai moral baik-buruk dan benar-salah menjadi kabur. Proses demikian akhirnya membuat manusia tidak punya kebebasan freedom dalam arti luas untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Sekali saja manusia terjebak sebagai budak materi, maka kecenderungan negatif mulai sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, sikap mementingkan diri sendiri kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain, terus meracuni kehidupan manusia Todaro, 2000. Jebakan tersebut mengakibatkan masyarakat, bangsa dan negara terpuruk dan semakin lama semakin dalam, terjerat ke dalam tingkat kehidupan yang rendah pendapatan rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, low level of living dan terus terjebak menggunakan materi sebagai ukuran nilai manusia sehingga kehilangan jati dirinya yang utuh. Itulah gambaran kondisi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Gambar 6. Persentase Responden yang Menjawab Uang Pelicin sebagai Sesuatu yang Wajar dan sebagai Suatu Kebiasaan. Dengan kondisi yang demikian, ditambah pengaruh historis kultural, pengalaman dan pengaruh media massa serta nilai-nilai yang berkembang selama ini membuat masyarakat Indonesia menjadi serba membolehkan permissive ketika dengan sangat terang tindakan korup tersebut terjadi di depan mata mereka. Akhirnya korupsi terus ada, meluas meracuni kehidupan rakyat Indonesia. Mereka kemudian menjadi acuh tak acuh dan apatis dengan lingkungan sekitarnya dan akibatnya rekam jejak masyarakat terhadap kasus-kasus korupsi yang dilakukan pejabat menjadi pendek dan terbatas. Masyarakat menjadi apatis dengan korupsi yang dilakukan pejabat. Hasil wawancara dengan 90 perusahaan di daerah yang dijadikan sebagai studi kasus penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kecuali di Kabupaten Solok pengusaha apatis dan tidak peduli dengan korupsi yang dilakukan pejabat tersebut Gambar 7. Gambar 7. Tingkat Apatisme Perusahaan terhadap Korupsi di Daerah Penelitian Inilah kiranya yang bisa menjelaskan mengapa gencarnya media massa dalam membahas dan memberitakan kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini malah membuat publik semakin apatis dan menanggapinya secara dingin. Pada hal sejatinya televisi merupakan salah satu media pembentuk budaya. Penayangan wajah koruptor di TV dan kampanye anti korupsi di berbagai media massa yang dimaksudkan untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat terutama menanamkan sikap malu melakukan korupsi dan memberikan efek jera kepada koruptor ditanggapi secara dingin oleh masyarakat. Masyarakat sampai pada penilaian bahwa penayangan koruptor melalui TV bukanlah merupakan sangsi sosial, karena masyarakat tidak ingin tahu dan terlibat lebih jauh dalam pemberantasan korupsi Kompas, 3 November 2006. Hal ini ditunjukkan oleh minimnya koruptor yang tertangkap karena penayangan tersebut. Di samping itu, melalui proses social learning masyarakat juga menyadari bahwa selama ini jejaring koruptor sungguh sangat kuat. Aparat tidak mampu menangkap dan menjebloskannya ke penjara. Para koruptor sangat berpeluang membeli ”keadilan” dengan menyuap hakim dan jaksa. Kasus-kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan lembaga peradilan yakni kejaksaaan, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang akhir-akhir ini diberitakan oleh media massa Kompas, 2 Oktober 2007 semakin membuat masyarakat apatis dengan pemberantasan korupsi. Oleh karena itulah akhirnya kita menyaksikan orang-orang yang diduga dan telah melakukan korupsi menjadi hilang rasa malunya. Tidak ada budaya mengundurkan diri dan malu karena telah melakukan kesalahan, sebagaimana budaya bersalah guilt culture dan budaya malu shame culture yang melekat dalam masyarakat Jepang yang mundur dari suatu jabatan, bahkan mereka melakukan harakiri bunuh diri karena malu telah melakukan kesalahan. Dengan memanfaatkan sikap masyarakat yang acuh-tak-acuh, apatis terhadap pemberantasan korupsi, mereka yang diduga melakukan korupsi, masih lenggang- kangkung maju sebagai kandidat pejabat publik. Muncul semacam sikap ’malu tak gentar’ di kalangan elite yang diduga melakukan korupsi. Sebagai contoh adalah fenomena tokoh nasional sebut saja GKM yang semasa Orde Baru diduga melakukan korupsi, tetapi tidak ada perasaan malu sama sekali dan hingga kini masih memegang jabatan publik politik hingga saat ini karena dipilih rakyat lewat Pemilu. Fenomena serupa terjadi di beberapa daerah, misal di Surakarta Jawa Tengah yang beberapa anggota DPRD-nya periode 1999-2004 telah dinyatakan bersalah melakukan korupsi, tetapi tanpa malu-malu mencalonkan diri kembali menjadi anggota DPRD dan kemudian malah terpilih lagi sebagai anggota DPRD periode 2004-2009. Berdasarkan uraian diatas kembali kita bertanya apakah dengan demikian suara hati dan moralitas sebagian besar masyarakat kita melihat bahwa korupsi sebagai sesuatu yang tidak memalukan? Hati nurani dan moralitas masyarakat Indonesia tentu tidak menilai demikian karena sejatinya sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua social learning dan jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya tidak menganggap demikian. Sebagian besar masyarakat sesungguhnya geram yakni marah tapi diam, karena tidak berdaya dan tidak punya energi untuk melawannya. Sejatinya juga masyarakat sendiri malu jika melakukan korupsi. Hal ini terlihat dari jawaban hasil wawancara penelitian ini dengan pengusaha ketika ditanya apakah menjadi malu dan merasa bersalah, jika melakukan korupsi dan tertangkap kemudian ditayangkan di TV Lihat Gambar 8 . Gambar 8. Respons Malu Pengusaha di Daerah Penelitian, Jika Mereka Melakukan Korupsi dan Ditayangkan di Televisi Fenomena MWK yang baru saja terjadi juga dapat dijadikan teladan mengenai hal ini. Sebagaimana diketahui bahwa MWK secara spontan tanpa malu- malu dan merasa bersalah mengatakan akan kembali bekerja di KPU setelah bebas padahal dia telah divonis pengadilan melakukan korupsi di lembaga tersebut. Belakangan diketahui lewat acara Today Dialog Metro TV, Senin, 27 Agustus 2007, Pukul 21:30-22:00 bahwa ia manyatakan kembali ke KPU hanyalah jawaban spontan MWK ketika ia baru saja bebas dari hukumannya dan langsung ditanya wartawan. MWK mengakui bahwa realitas sosial masyarakat Indonesia menilai bahwa MWK tidak ”patut” atau memalukan jika MWK akan kembali bekerja di KPU di mana dia melakukan korupsi. Penilaian masyarakat dan realitas sosial seperti itu akhirnya menyadarkan MWK untuk mempertimbangkan kembali apakah akan aktif lagi di KPU atau non aktif di KPU. Artinya sebagian besar dari masyarakat kita masih ada yang menganggap bahwa korupsi adalah sesuatu yang tidak patut dan memalukan. Memang seharusnya nilai moralitas ‘bahwa korupsi sesuatu yang memalukan’ tertanam dalam benak sanubari, sehingga perasaan malu melakukan korupsi bukan hanya kalau kemudian tertangkap, tetapi juga sudah merasa malu ketika dalam hati timbul niat korupsi. Dengan perasaan malu tersebut, maka korupsi tidak jadi dilakukan. Bagaimana dengan sebagian besar masyarakat kecil kita, birokrat-birokrat tingkat bawah yang melakukan praktek dengan suap menyuap atau praktek sejenis tanpa malu-malu. Menurut Syed Hussein Alatas, pakar Sosiologi Korupsi dari Singapura, akibat korupsi yang dilakukan oligarki Orde Baru dan pejabat tingkat tinggi menjadikan Indonesia suatu masyarakat yang dicirikan sebagai korupsi tingkat ketiga yakni tingkat dimana korupsi merusak jaringan masyarakat, menjadi self destructive . Korupsi yang lebih besar selanjutnya mendorong meningkatnya korupsi yang lebih besar lagi . Suap-menyuap yang dilakukan oleh masyarakat dan pegawai rendahan merupakan dampak dari korupsi di level yang lebih tinggi Aditjondro, 2006. Penjelasan Alatas tersebut mengisyaratkan bahwa kebiasaan korupsi dalam birokrasi merupakan hasil proses pembelajaran sosial social learning masyarakat yang melihat korupsi di level yang lebih tinggi, sehingga korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendahan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, apalagi jika dikaitkan dengan struktur insentif yang jauh dari memadai untuk hidup layak sebagai manusia. Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa korupsi adalah sesuatu yang dianggap wajar dan telah menjadi kebiasaan para penguasa pejabat dan birokrat. Masyarakat menjadi permissive terhadap terjadinya korupsi. Proses social learning masyarakat sebagaimana telah dijelaskan di atas menyebabkan batas antara baik dan buruk, salah dan benar menjadi kabur. Akibatnya usaha memperoleh materi kekayaan yang dilakukan oleh para pejabat dengan jalan korupsi, mementingkan diri sendiri dan mengorbankan kepentingan umum yang lebih besar dinilai sebagai sesuatu yang wajar dan dinilai sebagai suatu kebiasaan. Bahkan di kalangan elite yang diduga melakukan korupsi malah muncul sikap ’malu tak gentar’. Namun demikian, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa korupsi adalah sesuatu yang memalukan.

6.4. Simpulan